Entah Pintar, Ataukah Bodoh, Menjadi Agen Kejahatan, Mengotori Tangan Sendiri dengan Dosa hanya Demi Uang Tidak Seberapa

ARTIKEL HUKUM
Orang-orang berwatak “dungu” (berpikiran sempit dan dangkal), akan berpikir bahwa mereka sedang meraup “keuntungan” besar dengan mendapat dana “suap” gratifikasi, korupsi uang rakyat, maupun bentuk-bentuk penyalah-gunaan kekuasaan lainnya. Namun, benarkah semua itu betul-betul “menguntungkan” bagi si pelaku bersangkutan yang melakukan perilaku korup?
Kita sering menemukan pemberitaan—atau bahkan mungkin melihatnya sendiri—kalangan pejabat negara, aparatur sipil negara, birokrat politisi, hingga kalangan hakim, maupun pengacara, tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan pihk Kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kerena terlibat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
KKN merupakan perilaku “korup”, dimana tren terkini lebih banyak diwarnai aksi “kolusi”, karena kerugian warga masyarakat bukan lagi berupa “penyunatan” terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara / Daerah (APBN/D), namun sebentuk praktik kecurangan yang secara langsung maupun tidak langsung hanya menguntungkan segelintir pihak pemberi “suap” dan merugikan pihak-pihak lain yang sejatinya lebih layak namun menjadi tersisih akibatnya.
Ulasan singkat dalam kesempatan kali ini, penulis akan membuktikan bahwa segala aksi korup, sejatinya hanya merugikan diri sendiri si pelaku korup serta merugikan masyarakat umum lainnya. Untuk itu, kita angkat contoh kasus mega korupsi eKTP yang salah satunya menjerat Setya Novanto. Setya Novanto melakukan aksi kolusi serta korupsi yang membuat kerugian negara mencapai triliunan rupiah—perlu juga kita garis-bawahi, modus korupsi Setya Novanto tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan aksi kolusi jabatan politis yang melekat pada sosok diri yang bersangkutan.
Namun, apakah artinya sang Setya Novanto mendapat “keuntungan” dari aksi korupsi tersebut “senilai” itu juga? Tidak, Setya Novanto hanya mengantungi sekian ratus miliar rupiah, sementara “kue” sisanya dibagi-bagikan kepara para “tikus hitam busuk” lainnya yang turut terlibat dengan kejahatannya merampok “hak rakyat” yang tersistematis.
Berhubung Setya Novanto hanya dapat menikmati dana hasil korupsi senilai ratusan miliar rupiah, selanjutnya apa yang akan terjadi barulah akan disadari oleh si pelaku, bahwa semua itu sangatlah tidak “worthed”, tidak layak dan tidak patut karena tidak setimpal—namun sudah terlambat untuk menyesalinya, penyesalan selalu datang terlambat (sehingga untuk apa lagi ditunggu untuk tiba dan terjadi?).
Setelah dana hasil kejahatannya habis dinikmati atau dihambur-hamburkan (uang panas, tidak akan dapat bertahan lama. Sebagaimana diistilahkan oleh Roy Kiyoshi : “Uang jin, dimakan setan.”), yang terjadi kemudian ialah hari “penghakiman” saat setibanya yang bersangkutan menjadi penghuni baru di alam baka, oleh raja neraka, yang akan melakukan rekapitulasi kejahatan dan harga yang harus dibayar dan ditebusnya di alam baka itu.
Tentu saja, lembaga hukum PKPU dan Kepailitan tidak dikenal di alam baka, si pelaku harus membayar semua hutang-hutang yang pernah dibuatnya semasa hidup di dunia manusia, sampai lunas. Semisal kerugian negara akibat mega korupsi eKTP mencapai senilai lima triliun rupiah, sementara dana korupsi yang dinikmati Setya Novanto hanya mencapai lima ratus miliar rupiah yang sempat dikembalikan oleh yang bersangkutan saat tertangkap oleh KPK, maka itu artinya Setya Novanto harus membayar senilai selisihnya, yakni sejumlah empat triliun lima ratus miliar rupiah, dengan cara “kerja rodi” di alam baka, sampai lunas.
Bila dalam hukum buatan manusia (hukum pidana maupun hukum tindak pidana korupsi), pelaku kejahatan korupsi hanya dihukum senilai dana hasil kejahatan yang ia nikmati, bukan kerugian yang ia buat, maka dalam hukum karma memiliki cara penghitungan yang berbeda.
Sebagai contoh, tindak pidana korupsi mengenal istilah “merugikan keuangan negara untuk kepentingan pribadi ataupun untuk kepentingan orang lain ataupun korporasi”, sehingga perilaku korupsi maupun kolusi, belum tentu dana hasil kejahatan dinikmati oleh diri si pelaku itu sendiri.
Sebagai contoh, pelaku kolusi pengadaan tender pemerintah atas barang maupun jasa, sekalipun sang pejabat panitia pengadaan tender hanya mengarahkan agar peserta tender tertentu yang dimenangkan akibat adanya persekongkolan antar peserta tender yang dibiarkan, sementara harga penawaran oleh peserta tender masih jauh diatas harga yang patut (mark up secara terselubung dan tidak langsung), sekalipun sang pejabat pembuat komitmen mengetahui betul harga penawaran tidak layak untuk dimenangkan, namun tetap juga memenangkan sang peserta tender yang bisa jadi adalah kerabat dari sang pejabat, maka semua uang yang merugikan keuangan “negara” (baca: uang milik rakyat) mengalir pada pihak swasta pemenang tender, tanpa sedikitpun dinikmati oleh sang pejabat.
Dari contoh diatas, kerugian “uang rakyat” telah secara real / nyata terjadi. Sekalipun si pejabat pelaku tidak menikmati sepeser pun uang hasil kejahatan, namun dirinya terlibat dan menjadi otak dibaliknya. Apakah artinya, si pelaku tidak dapat dimintakan pertanggung-jawaban secara hukum maupun secara moril, terlebih dalam ranah hukum karma?
Dalam contoh kasus di atas, si pejabat pelaku dapat dikenakan tindak pidana kolusi tanpa disertai pidana “uang pengganti”, hanya vonis berupa sanksi “penjara” dan “denda”. Namun dalam hukum karma, soal turut menikmati atau tidaknya, tidaklah menjadi penting, karena kerugian pada hak-hak rakyat telah senyatanya terjadi dan ada yang harus dipertanggung-jawabkan untuk membayar ganti-kerugiannya.
Si pejabat pelaku tak dapat melempar tanggung jawab agar hukum karma menagih saja kepada pihak si pemenang tender, karena tanpa keterlibatan si pejabat (pelaku penyertaan sebagai otak intelektual yang menyalah-gunakan kekuasaan / wewenangnya, kolusi) maka semua kejahatan demikian tidak mungkin berhasil terlaksana.
Tanpa keterlibatan Setya Novanto, maka mega korupsi eKTP tidak mungkin akan terjadi secara demikian lancar dan tersistematis. Maka, sekalipun dalam amar putusan Pengadilan Tipikor tidak membebani sanksi berupa vonis “uang pengganti”, maka bukan berarti Setya Novanto akan lolos dari “penghakiman” dan “penagihan” di alam baka setelah kematian yang cepat atau lambat akan ditemui oleh dirinya. Mengapa juga para koruptor tersebut bersikap seolah diri mereka tidak akan meninggal dunia, pada akhirnya? Mungkinkah mereka berpikiri bahwa sang “dewa pencabut nyawa” dapat di-“suap”?
Melihat dari konsepsi cara kerja hukum karma, maka melakukan perbuatan yang melibatkan diri si pelaku pada aksi kejahatan korupsi yang saling bersekongkol dengan banyak pelaku yang menikmati uang hasil kejahatan, bukan dimaknai beban tanggung jawab moril akan dibagi-bagi secara proporsional antar pelaku kejahatan yang menikmati uang hasil kejahatan, dimana menikmati sebagian kecil saja uang hasil kejahatan tetap harus bertanggung-jawab sepenuhnya, maka sejatinya tiada satupun diantara sang pelaku kejahatan yang patut merasa “diuntungkan”—justru mulai perlu menyadari bahwa semua bentuk keterlibatan perilaku jahat hanya membawa “kerugian” sekalipun tidak menikmati uang hasil kejahatan “berjemaah” demikian.
Ilustrasi lainnya, seorang pengacara menjadi “calo” alias “makelar kasus”, membantu kliennya memenangkan gugatan melawan lawan bisnis dari sang klien, sehingga mengakibatkan sang lawan menderita kerugian miliaran rupiah, sementara sang pengacara hanya mendapat fee jasa “mafia kasus” demikian yakni sebatas senilai ratusan juta rupiah. Apakah setelah si pengacara tiba di alam baka, dirinya dapat mendalihkan dan mendebat sang raja neraka, bahwa ia hanya menikmati fee senilai ratusan juta rupiah, bukan ia yang menikmati uang miliaran rupiah tersebut, namun sang klien. Sehingga, mengapa ia dibebani tagihan senilai miliaran rupiah sebesar kerugian yang dialami oleh rekan bisnis sang klien?
Sehebat apapun argumentasi dan dalih sang pengacara, tetap saja dirinya takluk di hadapan “dewa pencabut nyawa” dan sang “raja neraka”. Keterampilannya yang telah terasah tajam untuk “menego” dalam rangka menyuap, tidak berfaedah saat sang pengacara telah menjadi penghuni alam baka. Uang manusia tidak “laku” di alam baka, dan sama sekali tidak ada harganya di mata seorang raja neraka yang hanya melihat karma yang dibuat oleh si pelaku saat masih hidup sebagai seorang manusia.
Terlebih ironis ialah para rekan-rekan Sarjana Hukum yang bekerja baik di berbagai kantor hukum maupun di perusahaan sebagai pengacara, legal councel, maupun sebagai seorang legal staff officer. Apa yang penulis sampaikan bukanlah sebuah fantasi, namun real terjadi di lapangan. Gaji seorang Legal Officer suatu perusahaan maupun pengacara di kantor hukum, tidaklah seberapa, dibandingkan dengan nilai kejahatan yang diperbuat oleh sang klien dari kantor hukum tersebut ataupun oleh owner dari perusahaan tempatnya bekerja.
Namun apa yang dikerjakan oleh diri mereka, atas perintah atasan mereka, ialah sama sekali tidak layak, alias tidak sebanding. Dengan gaji hanya senilai beberapa juta rupiah per bulannya, mereka harus melakukan segala perbuatan jahat sesuai perintah atasan mereka (diperalat), seperti menyuap birokrat agar diterbitkan izin usaha, menyuap jaksa agar dapat memesan pasal-pasal tertentu dalam menjerat lawan bisnisnya, menyuap polisi agar laporan polisi dan hasil penyidikannya dapat di-“setir” dan di-“setting”, menyuap hakim agar amar putusan dapat dirancang dan diatur, hingga berbagai aksi kriminil lainnya.
Hanya dengan gaji per bulannya yang tidak seberapa, sang pekerja tersebut menggunakan tangannya sendiri untuk melakukan kekotoran berupa kejahatan-kejahatan, dengan resiko tertangkap tangan KPK saat memberi uang suap, terjerat pidana sebagai pelaku penyertaan (turut serta), hingga akan menjadi narapidana di alam baka. Dengan menjadi tahanan di neraka, bukan artinya dirinya bebas dari “tagihan”, sebagaimana telah penulis singgung di muka.
Jika saja lawan bisnis sang “bos” menderita miliaran rupiah akibat perbuatan aksi suap-menyuap demikian, tidak dapatlah ia mendalilkan bahwa dirinya hanya diberi gaji senilai jutaan rupiah atau hanya setaraf upah minimum kota, sehingga hanya sebatas itulah ia dapat dimintakan pertanggung-jawaban?
Pertanyaan yang mau atau tidak kemudian mau harus kita kemukakan kepada diri kita sendiri ialah, jika sudah mengetahui bahwa gaji sedemikian tidaklah “worthed”, mengapa juga masih dilakukan jika sudah mengetahui bahwa mengikuti perintah demikian sadalah sama sekali tidak sebanding?
Terlebih ironis ialah mereka yang bersedia menjadi “tumbal” sang atasan pemberi perintah, yang kemudian akan “dikambing-hitamkan” ketika dirinya tertangkap tangan oleh pihak berwajib tatkala melakukan aksi kejahatan seperti pemberian suap. Janganlah kita berasumsi bahwa kita demikian “kebal”. Keberuntungan dan nasib mujur tidak datang seterusnya ataupun untuk selamanya.
Sepandai apapun tupai melompat, akan jatuh juga pada suatu ketika. Rumor “miring” tentang perilaku tidak etis sang Otto Cornelis Kaligis, sebagai contoh, telah tercium bau tidak sedap praktik hukum yang bersangkutan jauh sebelum dirinya tersandung kasus penyuapan hakim di Sumatera Utara terkait kepentingan seorang gubernur yang menjadi kliennya.
Bahkan lisensi beracara OC Kaligis telah dicabut lewat hukuman Majelis Kode Etik Profesi Advokat karena terbukti melakukan pelanggaran etis secara berat, sebelum dirinya terjerat masalah hukum. Bila semua rumor tersebut terbukti benar dan berhasil diungkap aparat penegak hukum, maka OC Kaligis benar-benar akan dibuat mati “membusuk” di balik sel jeruji.
Apakah Anda pikir, sang atasan pemberi perintah, akan tampil untuk melindungi dan bersedia mengakui pada aparat penegak hukum, bahwa diri mereka yang telah memberi perintah pada sang anak buah untuk menyerahkan uang “suap” demikian? Apakah layak, gaji yang tidak seberapa, menjadikan diri kita sendiri sebagai “bumber” yang hanya akan dijadikan sebagai “tumbal kambing hitam”?
Bila ada diantara para pembaca yang masih merasa layak untuk berspekulasi dengan nasib, maka simak kembali sejarah penumbalan oleh sang pengacara “beken”, OC Kaligis, terhadap anak buahnya sendiri yang dijadikan “kambing hitam” saat menyuap hakim di PTUN Medan.
Sang pengacara muda yang menjadi anak buah OC Kaligis, kini mendekam di penjara sebagai pelaku “turut serta”, nama dan reputasinya rusak untuk seumur hidupnya meski masih terbilang berumur muda—hanya karena gaji bulanan yang tidak seberapa nilainya dibandingkan sebuah reputasi yang bersifat “modal untuk seumur hidup”. Masa depan yang semestinya cerah sebagai pengacara, kini suram untuk selamanya.
Lihat pula nasib OC Kaligis, fee advokat yang tidak senilai harganya, harus dibayar dengan runtuhnya kerajaan bisnis sang pengacara “beken” bersama dengan tumbangnya reputasi yang telah dibangun selama puluhan tahun sebagai pengacara “kondang”, ditambah tagihan segunung di alam baka untuk ia cicil dan bayarkan hingga lunas. Bila sudah demikian, maka siapakah yang sebetulnya paling bodoh, selain mereka-mereka yang bersedia tangannya digunakan sebagai bagian dari “aktor” kejahatan?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.