Bekal Kepekaan Bahasa Kalangan Praktisi Hukum, Modal Seorang Legal Practitioner

ARTIKEL HUKUM
"Kata-kata memiliki kekuatan untuk merusak dan memulihkan. Bila benar dan baik, maka kata-kata itu dapat mengubah dunia."
(Dikutip dari khotbah Sang Buddha)
Kepekaan terhadap penggunaan bahasa dan rangkaian kata-kata yang menyusun suatu kalimat, baik secara lisan / oral maupun tertulis, menjadi hal yang paling signifikan bagi kalangan praktisi hukum di Indonesia maupun di mancanegara. Dapat dikatakan, “citarasa” seni dan estetis mewarnai daya sensitivitas dalam mengecap aneka rupa rasa dibalik penggunaan maupun pilihan diksi saat berbincang maupun saat menyusun suatu kontrak, karya tulis, legal opinion, gugatan, surat menyurat, SOP, peraturan perusahaan, hingga peraturan perundang-undangan.
Penulis tidak akan bermaksud berpanjang-lebar berteori dalam artikel singkat ini, namun kita akan menyelaminya langsung dalam contoh konkretnya agar menjadi mudah untuk dipahami dan dicerap, serta dapat dipraktikkan bersama, tanpa harus mengernyitkan kening untuk mencoba memahami dan melatihnya dikeseharian, yang juga tanpa dapat kita hindari, terutama dalam arus lalu-lintas bisnis dan niaga yang kental akan “syarat dan ketentuan berlaku” (term and conditions applied).
Sebagai contoh pertama, dapat penulis ilustrasikan ketika penulis menjual eBook bertemakan hukum, dimana file eBook bersifat rentan dan riskan terjadi pelanggaran Hak Cipta penulis oleh para pembeli eBook, maka dari itu penulis merasa perlu “membentengi” Hak Cipta milik penulis dengan membuat suatu peringatan berupa “syarat dan ketentuan” dalam invoice pemesanan eBook yang penulis kirimkan kepada pihak pemesan.
Mulanya, “syarat dan ketentuan” tersebut berbunyi: “Bila pemesan eBook tidak dapat berkomitmen untuk menghargai Hak Cipta penulis, maka eBook tidak akan kami jual kepada Anda.” Keterangan demikian bersifat eksplisit, jelas, lugas, utuh, dan langsung pada intinya (baca: “hukum banget”). Namun, ada kalanya untuk menjual suatu produk, kita perlu juga memerhatikan aspek marketing, agar produk tetap dapat terjual tanpa merugikan pihak penjual.
Sampai suatu ketika penulis mulai memahami, banyak diantara perilaku konsumen dan pasar kita yang diwarnai elemen / karakter irasional saat membeli dan memilih produk atau jasa yang mereka beli dan konsumsi, bahkan menjadi pelanggan setia, ternyata bukan dilandasi dan juga bukan dilatar-belakangi oleh pilihan dan alasan logis yang rasional, namun lebih banyak diwarnai nuansa irasional yang tidak logis sama sekali.
Sejak penulis mulai menyadari fenomena unik kalangan konsumen dan fenomena / tren pasar demikian, maka penulis untuk itu mengubah strategi bisnis penjualan eBook yang selama ini penulis pasarkan. Karena itulah, sesegera mungkin penulis merevisi kalimat dan “syarat dan ketentuan” dalam invoice order eBook yang penulis kirimkan kepada pihak pemesan, menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Bila pemesan / calon pembeli tidak sanggup untuk memiliki komitmen, maka kami tidak akan menjual eBook yang kami pasarkan.”
Penggunaan frasa “sanggup”, merubah seluruh impresi kalimat diatas menjadi sebentuk “tantangan” bagi pihak calon pemesan, bahkan berkat keberadaan “ego harga diri” dalam diri mereka, mereka merasa memiliki “kemampuan” dan “kesanggupan” untuk itu sebagaimana tantangan yang ditawarkan oleh pihak penulis selaku penjual.
Terkadang, berkomunikasi secara logis terhadap “target market” yang tidak memiliki daya nalar yang logis, sangatlah sukar dan membuat frustasi. Untuk itulah, pendekatan yang paling rasional ialah “bermain” dalam tataran alam berpikir tidak logis para calon pembeli itu sendiri. Seorang marketer (tenaga marketing) yang terampil, sangat menguasai psikologi konsumen, lengkap dengan memahami segala pemikiran irasional para calon konsumen yang tidak pernah logis sifatnya. Hal demikian sangat menyerupai “tim sukses” pasangan calon kepala daerah, dimana kepala daerah terpilih bukanlah berarti benar-benar paling kompeten untuk menjabat sebagai kepada daerah—unlogic voters, demikia mereka menyebutnya, dan itulah yang paling “disasar” untuk didekati.
Contoh kedua, ketika kita sebagai konsumen atau pelanggan suatu produk ataupun suatu jasa, kita kerap menjumpai adanya keluhan ataupun kekecewaan dalam layanan ataupun produk yang kita terima selama menjadi pelanggan atau sewaktu melakukan pembelian. Sebenarnya, bila konsumen ataupun pelanggan masih bersedia memberikan kritik, itu adalah hal yang sangat berharga bagi kalangan pelaku usaha, untuk mengetahui dimana titik lemah layanan mereka agar dapat diperbaiki menjadi lebih baik kembali.
Bayangkan, bila konsumen memilik “berdiam diri” saja dan membiarkan sang pelaku usaha tidak menyadari kekeliruannya, maka mereka yang anti terhadap “otokritik”, sejatinya mematikan usahanya sendiri. Pelaku usaha yang baik, justru membuka sebesar-besarnya pintu untuk mendengarkan setiap keluhan ataupun kritik dan masukan dari pengguna produk maupun jasa yang selama ini mereka tawarkan. Pelanggan yang sudah tidak lagi bersedia memberi kritik, itulah calon potensial orang-orang yang berniat untuk tidak lagi menjadi pelanggan. Masih bersedia memberi kritik, merupakan indikasi “masih bersedia” menjadi pelanggan, selama kritik ditindak-lanjuti.
Pernah suatu ketika, penulis melakukan komplain dan protes terkait layanan jasa perbankan, dimana penulis menjadi nasabahnya. Ketika penulis mengeluhkan hal yang sangat fatal sifat kekeliruannya, seperti nomor Call Centre yang tertera dalam buku tabungan ternyata sudah kadalursa, dan berbeda dengan nomor Call Centre yang kini efektif berlaku tanpa sosialisasi kepada nasabah (dimana buku tabungan tersebut baru penulis terima pada pagi harinya ketika pada siang hari penulis mencoba menghubungi Call Centre bank bersangkutan yang ternyata nomornya telah kadaluarsa), mengakibatkan kondisi dan situasi nasabah menjadi rentan bila sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan.
Namun apa yang kemudian menjadi tanggapan pihak Customer Service pihak perbankan tersebut, sangatlah mengejutkan, yakni tanpa nada simpatik sedikit pun justru seolah bersifat defensif dengan dalil berpanjang-lebar yang pada intinya tidak bersedia disalahkan atas kesalahan yang demikian vital demikian. Singkatnya, tidak bersedia mengakui kesalahan, cenderung defensif, dan melempar tanggung-jawab kepada pihak nasabah itu sendiri dengan berbagai jargon klise maupun kata-kata sumir yang sejatinya tidak perlu didengar (membuang waktu pemberi komplain, belum lagi biaya pulsa yang harus dibayar nasabah saat menghubungi dan menyampaikan komplain) dan bukan itulah yang ingin didengar seorang nasabah / konsumen ketika menyampaikan komplain.
Pelaku usaha yang baik, akan bertanya kepada dirinya sendiri, dengan pemikiran bernalar sebagai berikut: Apakah yang sebetulnya ingin didengar oleh sang nasabah / konsumen ketika menyampaikan kritik? Apakah respon yang paling tepat dalam menanggapi sebuah kritik? Apakah kita harus defensif ataukah justru bersikap simpatik dan berterimakasih atas kritik yang telah susah-payah disampaikan pelanggan kepada kita? Apakah pihak nasabah / konsumen akan merasa perlu dan terbantu, untuk mendengar jawaban / respon yang sumir dan hanya menjustifikasi diri kita sendiri agar dinilai selalu dan sudah sempurna, sementara si pelanggan itu sendiri yang seolah penuh cela dan penuh cacat?
Tidak mengherankan, bila ternyata perbankan tersebut selama ini “sepi” dari nasabah meski menawarkan tingkat suku bunga yang sama tingginya dengan tingkat suku bunga yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan, dan kini penulis sudah mengetahui penyebab utama “penyakit”-nya yang selama ini dibiarkan tumbuh menjelma “tumor” oleh direksi perbankan bersangkutan. Bila penulis menjadi pihak penerima aduan pada Customer Service ataupun petugas Call Centre perbankan bersangkutan, akan menanggapi sebagai berikut:
“... (tidak seketika menanggapi, namun jeda sejenak untuk merenungkan / menghayati atau turut merasakan keprihatinan yang sama, dan memberi nafas bagi para pihak, baru kemudian memberi respons dengan nada simpatik yang tulus agar nasabah tidak merasa dilecehkan ataupun diremehkan tanpa sikap hormat). ... Kejadian yang memang harus kami akui menjadi kelalaian dari pihak kami tersebut pastilah sangat membuat tidak enak perasaan Bapak / Ibu. Itu kesalahan fatal sekali, dan sangat disayangkan. Sebelum kami meminta maaf pada Bapak / Ibu atas kejadian yang sangat tidak berkenan demikian, sebelumnya izinkan kami mengucapkan terimakasih atas input dan feed-back dari pihak Bapak / Ibu, sehingga kami jadi mengetahui dimana letak kekurangan dari pelayanan kami agar dapat kami perbaiki. Bapak / Ibu sudah benar, meng-komplain pelayanan kami langsung kepada pihak kami, agar dapat segera kami perbaiki cara kerja manajemen internal perusahaan dan layanan kami setelah kami melakukan perubahan nantinya berdasarkan masukan dari pihak Bapak / Ibu.”
Ketika Anda bersifat defensif terhadap kritik, atau bahkan “alergi” terhadapnya, ketahuilah bahwa bukanlah itu yang hendak didengar oleh pihak konsumen / pelanggan, bahkan bukan itu pula yang perlu didengar oleh pihak konsumen, karena akan lebih baik bila diri Anda diam membisu tanpa perlu memberi respons, ketimbang bersikap reaktif dan defensif secara membuta tidak rasional—mempertontonkan sikap yang tidak respek terhadap konsumen.
Oleh pihak konsumen yang bisa memberi penilaian dalam benak dan hati mereka, bahwa pelayanan dan tutur kata Anda dalam memberi klarifikasi, sangatlah tidak rasional dan tidak dapat diterima, justru kian memperkeruh kesan tidak enak dalam hati sang konsumen. Ibarat percikan api yang justru disiram dengan bensin, tidak akan ada faedahnya sikap defensif yang digunakan sebagai suatu bentuk respons terhadap sebuah kritik. Konsumen dapat memberi penilaian tanpa perlu persetujuan dari pihak Anda, itulah yang perlu kita sadari dengan baik.
Seorang praktisi hukum yang baik, haruslah juga menjadi seorang “ahli” dalam olah psikologi sosial dan kepribadian. Sebagai contoh, manakah pilihan diksi yang paling tepat sasaran dan paling efektif untuk dipakai sebagai kalimat peringatan bagi nasabah suatu perbankan, ketika / dalam menghubungi suatu Call Centre perbankan selaku nasabah:
1) “Petugas Call Centre tidak pernah meminta password akun user ID nasabah.”; ataukah
2) “Nasabah agar jangan pernah memberikan password akun user ID nasabah kepada siapapun, sekalipun itu diminta oleh petugas Call Centre.”
Pernah terjadi, petugas Call Centre dengan nada menghakimi menuntut agar penulis menyampaikan data-data pribadi penulis dengan alasan untuk verifikasi kebenaran identitas nasabah penelepon, yang mana bila penulis menolak memberikan data tanggal lahir, alamat rumah, nama ibu kandung, dsb., dengan ancaman tidak akan mendapat layanan sebagaimana mestinya alias tidak kooperatif. Kemudian, terjadilah jebakan mental ketika penulis menghubungi Call Centre perbankan bersangkutan karena User ID Internet Banking penulis terblokir, yakni sang petugas kemudian meminta juga disebutkan User ID milik penulis selaku nasabah, lalu juga meminta disebutkan “password”.
Susunan kalimat keterangan baku resmi dari perbankan yang berisi seperti nomor kesatu contoh di atas, akan mengakibatkan nasabah tidak terlindungi dari segi psikologi dan mentalnya, karena ternyata “Ah, tidak juga, buktinya ini petugas Call Centre bank minta juga itu password, jadi apakah tidak boleh diberikan info nomor password-nya bila data-data pribadi privasi seperti nama ibu kandung dan nomor identitas saja harus diberikan pada sang petugas Call Centre dan diwajibkan seperti itu? Nanti itu petugas Call Centre akan bersikap sinis lagi tutur-katanya bila kita menolak memberi info bahkan hingga apa warna celana dalam yang saat ini kita kenakan.
Berbeda dengan opsi pilihan kalimat kedua, dimana nasabah dipersiapkan oleh segala situasi, dengan disituasikan untuk siap dan waspada secara mental dan secara psikologi untuk tidak memberikan informasi nomor password apapun kondisinya dan kepada siapapun itu yang memintanya, termasuk kepada pihak petugas Call Centre.
Dunia usaha perbankan haruslah menjalankan usaha secara “prudent” (prinsip kehati-hatian) dalam memperlakukan dan mengedukasi para nasabahnya. Penulis menerangai, banyaknya terjadi aksi-aksi korban penipuan dengan medium instrumen perbankan, terjadi akibat buruknya redaksional informasi bagi kalangan nasabah selaku konsumen—terlebih tataran sosialisasinya, meski mereka sendiri menyadari betul, berbagai kompetitor bisnis lembaga keuangan diluar mereka begitu sengit menjaring calon nasabah.
Salah satu contoh penutupnya, tanpa bermaksud berpanjang-lebar, yang akan penulis lanjutkan dalam kesempatan berikutnya, ialah ketika pihak manajemen menyusun suatu norma-norma dalam Peraturan Perusahaan yang diberlakukan bagi kalangan buruh / pekerja mereka, yakni masih kerap digunakannya istilah yang mengundang sikap “defensif” tidak simpatik kalangan karyawan yang diputus hubungan kerjanya (PHK) karena melakukan suatu pelanggaran, yakni peristilahan “pelanggaran berat”.
Istilah demikian sangatlah kontra-produktif bagi kedua belah pihak, baik pihak pekerja maupun bagi pihak pengusaha yang melakukan PHK itu sendiri—karena secara mental-psikologis, tanpa disadari pemilihan istilah demikian membuka lembaran bibit sengketa yang pastilah akan berujung pada upaya gugat-menggugat—terlepas apakah betul tuduhan pelanggaran demikian benar terjadi atau tidaknya. Akan lebih elok, bila penggunaan istilah dibuat secara lebih “diplomatis”, sebagai contoh mengubah istilah “pelanggaran berat” menjadi “kesalahan fatal”.
Sama seperti ketika kita belum memulai mempelajari sesuatu saja, bagaimana mungkin kita benar-benar bisa menguasai suatu ilmu pengetahuan ataupun keterampilan, bila belum mencoba dan ketika belum memulai memelajarinya saja kita sudah memberi sugesti pada diri kita sendiri, bahwa “saya tidak akan bisa mengerti sekalipun mempelajari keterampilan baru ini”, “ini hanya akan membuang-buang waktu saja”, “Saya tak punya waktu ataupun potensi untuk memelajari ini”, atau seperti “saya terlampau bodoh dan terlampau tua untuk menguasai bidang ilmu pengetahuan baru ini”.
Anda selalu benar sebagaimana Anda memberi label kepada diri kita sendiri. Meremehkan kekuatan sebuah kata-kata, sama artinya Anda membiarkan diri Anda terjerembab dalam jebakan kata-kata secara fatal. Bukan hanya ilmu karya sastra yang sensitif terhadap pilihan kata. Ilmu hukum, sebagaimana juga ilmu psikologi maupun ilmu jurnalistik, bertopang pada daya kemampuan yang sensitif dalam hal pemilihan kata, intonasi, nada suara, serta bahasa tubuh—disamping momen “kapan harus diam” (menutup mulut, ada kalanya pelaku komplain hanya sekadar ingin menumpahkan “unek-unek” tanpa pernah butuh dan tidak pernah meminta untuk mendengarkan kata-kata pembelaan diri penerima komplain), dan “kapan harus berucap”.
Mereka yang terampil dengan telaten, patut disebut sebagai seorang “diplomat”. Bila seorang perwira militer menghadapi kepala peluru rudal balistik dengan rudal anti balistik yang sama canggihnya secara teknologi, maka seorang diplomat menghadapi ancaman peperangan dengan menggunakan modal “lidah”-nya: tahu kapan harus bersuara, tahu kapan harus diam, dan tahu kata-kata apa yang harus dipilih. Diplomatis, membutuhkan kecerdasan linguistik yang “mumpuni”—tanpa dimaknai tidak dapat dilatih dan dikuasai.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.