Aturan Hukum Boleh Bertentangan dengan Norma Hukum yang Lebih Tinggi, Sepanjang Belum Dibatalkan. AMBIGUITAS HUKUM DALAM PRAKTIK

ARTIKEL HUKUM
Perlu kita ketahui, bahwa ketentuan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan norma hukum yang lebih rendah derajatnya, ketika norma yang lebih rendah derajatnya ternyata bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, dan sekalipun norma hukum yang lebih rendah diterbitkan belakangan dan lebih modern ketimbang norma hukum yang lebih tinggi seperti berbagai undang-undang yang menjadi produk peninggalan Kolonial Belanda yang masih diberlakukan hingga saat kini meski sudah tidak lagi relevan dengan keadaan situasional bangsa.
Namun, asas hukum diatas yang dalam terminologi hukumnya sering diistilahkan sebagai “lex superior derogat legi inferiori”, hanyalah dibiarkan bernasib sebagai sekadar “asas” belaka, alias norma hukum yang sangat abstrak sifatnya—bukan norma hukum konkret. Menjadi dilematis dan polemik yang ibarat luka yang dibiarkan terus dalam kondisi terbuka-menganga tanpa dapat disembuhkan, asas hukum demikian tampaknya cukup “tabu” untuk dikonkretkan dan diakomodasi dalam suatu undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Betul bahwa Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah diterbitkan dan mengatur pedoman bagi regulator saat hendak membentuk suatu peraturan perundang-undangan, agar kaedah substansi pada suatu peraturan tidak boleh disusun bertentangan dengan substansi norma hukum yang lebih tinggi. Namun yang menjadi kendala, tidak disebutkan bahwa jika itu sampai terjadi, norma hukum yang lebih rendah melanggar dan menyimpangi norma hukum yang lebih tinggi, maka adalah batal sifat keberlakuannya, secara demi hukum.
Tetap saja, sekalipun suatu Peraturan Daerah (Perda), sebagai contoh, secara tersurat bertentangan dengan suatu Undang-Undang, karena sifatnya tidak dinyatakan otomatis “batal demi hukum”, bahkan seorang Presiden maupun Menteri Dalam Negeri tidak berwenang mencabutnya secara prerogatif, maka Perda tersebut harus diajukan pembatalannya ke hadapan Mahkamah Agung RI.
Konsekuensi yuridis di baliknya, sepanjang Mahkamah Agung RI tidak menyatakan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Undang-Undang sehingga dibatalkan, atau selama Perda tersebut tidak pernah atau belum diajukan uji materiil oleh warga, maka Perda tersebut sekalipun sejatinya / notabene bertentangan dengan Undang-Undang, Perda tersebut tetap sah dan berlaku mengikat publik luas secara umum, tanpa terkecuali.
Sama halnya ketika sebuah Undang-Undang diterbitkan oleh parlemen, yang substansi normanya bertentangan dengan norma hukum tertinggi negara kita, yakni UUD RI 1945, maka Undang-Undang tersebut tetap saja memiliki kekuatan mengikat secara hukum dan diberlakukan seolah-olah legal dan sahih, sepanjang belum terdapat warga yang mengajukan gugatan pembatalan lewat mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi RI yang demikian prosedural dan meletihkan. Sepanjang syarat itu tidak terjadi, dan sepanjang Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan Undang-Undang dimaksud, maka Undang-Undang tersebut tetap saja diberlakukan sebagai mengikat dan memiliki daya paksa imperatif, sah secara hukum.
Asas “lex superior derogat legi inferiori” adalah asas hukum yang hanya tinggal sekadar asas—atau mungkin sekadar kegenita intelektual kalangan teoretis dan akademisi hukum. Ia tidaklah mungkin dituangkan dan diakomodasi ke dalam suatu norma peraturan perundang-undangan. Mengapa?
Alasannya sangatlah sederhana, sebab, jikalau terdapat aturan berupa norma hukum konkret yang tegas menuangkan bunyi asas tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi Ri sudah saatnya perlu dibubarkan, karena tidak lagi perlu dimohonkan uji materiil ke hadapannya. Begitupula uji materiil ke hadapan Mahkamah Agung, tidak lagi diperlukan sifatnya, karena secara otomatis dan demi hukum gugur serta batal demi hukum ketika suatu norma pada peraturan perundang-undangan ternyata bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.
Tampaknya penyusun regulasi kita, masih bersikap separuh hati, takut-takut, dan tidak menampilkan sebentuk kepastian untuk ditawarkan bagi warga negaranya selaku para subjek pengemban hukum, seolah asas sebagaimana penulis singgung di muka, menjadi tabu untuk dituangkan kedalam suatu undang-undang yang eksplisit menyatakan bahwa suatu norma hukum yang bertentangan norma yang lebih tinggi, menjadi tidak mengikat dan batal keberlakuannya sejak dari semua ia diterbitkan.
Padahal, sebagaimana telah kita duga, keberlakuan bunyi kaedah semacam itu sangatlah didambakan oleh masyarakat kita, dimana hukum tidak lagi demikian prosedural layaknya uji materiil yang begitu memboroskan perhatian, sumber daya, serta waktu dan tenaga, karena akan seketika secara otomatis gugur ketika norma hukum itu pertama kali diterbitkan.
Terdapat “cacat bawaan lahir” kedua dari mekanisme pembatalan lewat lembaga penuh prosedural seperti Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, yakni: sifat batalnya suatu norma hukum demikian tidaklah sejak saat ia untuk pertama kalinya diterbitkan, namun dinyatakan sah sampai ia kemudian dinyatakan batal atau tidak sah.
Artinya, norma hukum tersebut tetap saja “sah dan mengikat” publik luas dan umum sifatnya sampai ia benar-benar efektif dibatalkan—yang artinya pernah sempat berlaku dan mengikat publik. Dengan kata lain, ia tidak berlaku surut. Mungkin itulah salah satu moral hazard ketidak-beranian para penyusun regulasi kita untuk menuangkan asas hukum “lex superior derogat legi inferiori” kedalam suatu norma konkret undang-undang—sekalipun asas dimaksud merupakan asas berjenis “core”.
Lebih jauh lagi, bila kita taat asas, semestinya amar putusan Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung RI ketika mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan oleh seorang warga, bukanlah dengan bunyi amar “MEMBATALKAN”, namun “MENGAKHIRI”. Terdapat perbedaan prinsipil yang demikian kontras antara “annulment” dan “terminate / termination”. Annulment artinya batal dan segala sesuatu kembali seperti keadaan semula. Sementara termination mengakibatkan diakhirinya ikatan hukum namun segala sesuatu masih sah dan berlaku hingga saat ia diakhiri di tengah proses perjalannya.
Ambil contoh pasal pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pasal “Perbuatan Tidak Menyenangkan” yang sudah diberlakukan sejak dua ratus tahun lampau, dan telah menjerat banyak terdakwa, hingga pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada medio tahun 2010-an.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Ri, apakah artinya para mantan narapidana yang terjerat pasal “Perbuatan Tidak Menyenangkan” tersebut, berhak atas rehabilitasi nama dan kompensasi karena ternyata dipidana oleh pasal yang ternyata terbukti tidak konstitusional? Sayang sekali, Mahkamah Konstitusi RI telah membuat konferensi pers, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi RI bersifat prospektif, tidak berlaku surut, alias tidak retroaktif.
Menjadi lebih ironis, Mahkamah Konstitusi RI mensyaratkan warga pemohon uji materiil telah secara nyata dirugikan terlebih dahulu (adanya legal standing, menurut istilah mereka) barulah berhak mengajukan permohonan uji materiil. Sekalipun kemudian ternyata dikabulkan, maka apalah gunanya semua itu bila putusan Mahkamah Konstitusi tidak bersifat retroaktif?
Semestinya praktik hukum menghormati asas hukum yang menyatakan bahwa hukum bersifat mencegah terjadinya kerugian (mengantisipasi), bukan justru menunggu kerugian terjadi barulah hak konstitusional warga diakui dan diakomodasi. Bahkan sebentuk potensi merugi pun, tidak diakomodir oleh Mahkamah Konstitusi kita. Jika begitu, untuk apa negara ini sibuk mengatur soal hukum bagi warga penduduk mereka?
Bila Anda berpikir dan berasumsi bahwa aturan hukum kita dibentuk dan disusun oleh orang-orang cerdas yang jenius dan kompeten, maka Anda keliru. Bila Anda berasumsi bahwa aparatur penegakan hukum dan para hakim kita di pengadilan adalah orang-orang terpilih yang jenius dan cerdas karena melekat title gelar akademik “segudang”, maka tampaknya Anda perlu meninjau ulang asumsi Anda. Pekerjaan Rumah hukum kita, masih panjang daftarnya, dan tampaknya alih-alih berkurang panjangnya, justru kian bertambah seiring kian “mengguritanya” peraturan perundang-undangan kita menjelma “rimba belantara”.
Sebagaimana telah kita saksikan sendiri, umur ilmu hukum kita dengan budaya Civil Law kita ini telah berusia lebih dari dua abad lamanya, namun untuk hal paling mendasar seperti menerapkan asas hukum paling basic seperti tertuang dalam bahasan di atas saja, masih demikian carut-marut tanpa kepastian dan tidak taat asas—bagaimana mungkin bila warga negara diharapkan untuk patuh terhadap hukum, bila pemerintah selaku regulator dan eksekutor saja tidak taat terhadap asas.
Bila untuk hal paling mendasar dan paling prinsipil saja, wajah praktik hukum kita demikian ambigu, membias, dan absurd. Bagaimana bila kita hendak beralih pada pembicaraan yang lebih “tinggi” seperti konsep dan implementasi hukum? Pernah terjadi dalam pengalaman pribadi penulis ketika bersentuhan dengan birokrat pada kantor-kantor pelayanan publik, terjadi perdebatan sengit bahwa sang birokrat bersikukuh bahwa Peraturan Menteri lebih tinggi derajatnya daripada Undang-Undang.
“Pak, ini norma dalam Peraturan Menteri lembaga Bapak, bertentangan dengan substansi Undang-Undang. Jadi yang berlaku adalah norma dalam Undang-Undang, bukan Peraturan Menteri punya Bapak ini.”
“Peraturan Menteri lebih tinggi daripada Undang-Undang.” Mentang-mentang sang aparatur sipil negara merupakan birokrat pada lembaga dibawah kementerian dimaksud. Para aparatur sipil negara tersebut, ternyata lebih patuh terhadap Peraturan Menteri yang menjadi atasan lembaganya, bukan patuh kepada Undang-Undang.
Apakah belum cukup banyak, buku-buku teori hukum di perpustakaan hukum kita? Apakah belum cukup “kenyang” kita membaca dan menyerap teori, namun dalam tataran praktiknya tiada satupun konsistensi yang dapat kita jumpai selain kesimpang-siuran, bahkan untuk urusan asas hukum yang paling mendasar.
Negara tercinta kita ini, bukan kekurangan orang-orang jenius, namun salah urus oleh orang-orang yang tidak tepat pada tempat / jabatan yang tidak tepat. Sama apatisnya ketika penulis mendengar para pejabat kita menebar jargon klise: “Jika ada aparatur kami yang melakukan pungli, laporkan saja.” Ya, dilaporkan, tapi tak dikatakan bahwa ada jaminan bahwa laporan warga akan ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.