Antara Aplikasi Plagiarism Checker, Plagiarisme, dan Kaedah Pengutipan Karya Ilmiah

ARTIKEL HUKUM
DAFTAR PUSTAKA TIDAK MENJADI ALAT “CUCI-DOSA” SEORANG PENGUTIP YANG TIDAK JUJUR, ALIAS PELAKU PLAGIAT
Bagi seorang akademisi yang taat pada kaedah pengutipan ilmiah yang baik dan benar, mungkin akan mendapat “penghakiman” yang sangat menyakitkan hati, dan harus ditelan olehnya. Betapa tidak, seorang calon sarjana penyusun skripsi, dilarang untuk membuat teori sendiri oleh dosen penguji maupun dosen pembimbing, juga dilarang untuk berpendapat sendiri, namun disyaratkan penuh dengan berbagai pengutipan agar terkesan berwawasan dan layak untuk diluluskan.
Yang dimaksud dengan “penghakiman”, tidak lain tidak bukan penilaian sebuah robot kecerdasan buatan bernama “Plagiarism Checker”, yang mampu mendeteksi kesamaan frasa dari suatu bahasa tertulis dengan mencocokkannya dengan database world wide web milik sang aplikasi Plagiarism Checker. Alhasil, tiada seorang pun calon Sarjana yang akan lolos dari scanning aplikasi Plagiarism Checker.
Sebagaimana kita tahu, pendapat sendiri sang mahasiswa biasanya hanya tertuang dalam bab akhir skripsi dengan sub judul “Analisa” maupun “Kesimpulan”—dan itupun sudah ditetapkan lembaga akademik tidak boleh melebihi bab “Kerangka Teori” maupun “Metode Penelitian”. Alhasil, secara keseluruhan, kurang dari 10% dari total karya ilmiah sebagai syarat kelulusan mereka, yang orisinil pendapat dan ide pribadi mahasiswa bersangkutan. 90% sisanya, apakah mereka layak disebut sebagai seorang plagiator?
Justru disitulah letak ironinya “penghakiman” (alih-alih “penilaian”) robot digital bernama aplikasi Plagiarism Checker ini. Jika kita mengutip norma Undang-Undang, tentulah kita tidak boleh sesuka hati mengubah dan mencopot-pasang bunyi kaedah didalamnya, namun harus dan diwajibkan menyalin utuh “apa adanya”. Tidak meng-“copy paste” norma peraturan perundang-undangan yang dirujuk, justru itulah kesalahan terbesar seorang Sarjana Hukum.
Namun Plagiarism Checker hanyalah robot yang tidak tahu nilai kebenaran, dirinya mengetahui kuantitas, namun bukan kualitas—sebuah robot “hakim” yang buruk. Plagiarism Checker hanyalah menyerupai mesin penghitung layaknya kalkulator, bukan sebuah penentu, terlebih disamakan derajatnya dengan seorang hakim yang mampu memberi penilaian.
Begitupula ketika kita membahas norma preseden seperti yurisprudensi, untuk mengulas petimbangan hukum Majelis Hakim pemutus perkara, lengkap dengan amar putusannya, tidak bisa tidak, mau tidak mau, kita harus mengutip utuh-utuh tanpa dibolehkan untuk mengubah satu pun bunyi atau susunan kata-kata di dalam putusan yang sedang kita telaah. Berani Anda menyalin tidak secara utuh apa adanya, maka sama artinya Anda sedang mencoba menipu pembaca.
Tidak terkecuali saat mengutip buku lainnya, tidak dibolehkan kita menggunakan interpretasi sendiri, karena bisa jadi penulis dari buku yang kita kutip, akan mengkritik secara keras: “Bukan seperti itu yang saya tulis di buku saya yang Anda kutip! Saya tidak pernah menulis seperti itu. Jika mau mengutip, kutip penggalan paragrafnya secara utuh, jangan memakai kacamata ataupun tafsiran Anda sendiri atas apa yang saya tulis. Jika Anda memakai tafsiran Anda sendiri, itu bukan mengutip namanya, namun opini pribadi Anda sendiri. Anda telah memfitnah saya, jika demikian.
Bahkan terdapat sebuah buku cetak pelajaran yang diperuntukkan bagi para peserta didik Fakultas Hukum di Universitas, yang mana penulisnya secara jujur dalam bab “kata pengantar” pada para pembacanya, mengakui bahwa tiada ide orisinil pada bukunya ini, karena semuanya adalah hasil kutipan alias “gado-gado” campur-aduk dari himpunan berbagai kutipan dari buku-buku lain yang dikutip oleh sang penulis.
Menurut Undang-Undang tentang Hak Cipta, agar tidak melanggar Hak Cipta milik pengaran buku lainnya, yang terpenting ialah mengutip secara taat asas kaedah ilmiah, yakni “norma etika pengutipan” sehingga tidak melakukan plagiat dan tidak melanggar Hak Cipta milik penulis aslinya yang kita kutip pendapat atau ide dalam tulisannya—itu pun dibatasi persentase kebolehan pengutipan dari seluruh susbtansi karya tulis aslinya, tidak dibenarkan mengutip hampir seluruh buku rujukan sumber asli pengutipan.
Yang menarik, justru buku yang penulisnya bersedia jujur mengakui secara terbuka pada para pembacanya demikian, bahwa bukunya tersebut tidak terkandung satu pun ide orisinil, karena semuanya adalah “gado-gado” himpunan kutipan dari buku-buku penulis lainnya, namun disertai kaedah pengutipan yang etis dan ilmiah sebagai bagian dari kejujuran akademik, akan tetapi senyatanya buku tersebut justru laku terjual dan diakui para akademisi di berbagai perguruan tinggi sehingga dijadikan buku pegangan bagi para mahasiswa. Sekalipun, Plagiarism Checker akan menghakimi buku tersebut sebagai 100% plagiat.
Yang disebut dengan “karya ilmiah”, artinya mengutip dengan disertai kaedah-kaedah pengutipan. Lalu, yang menjadi pertanyaan paling utama, mengapa masih juga dianggap plagiat oleh Plagiarism Checker? Kata-kata dalam undang-undang maupun kaedah preseden merupakan “domain publik”, mengapa juga masih disebut plagiat oleh Plagiarism Checker? Plagiarism Checker tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi hukum di Indonesia, sehingga bagaimana mungkin sebuah robot yang bahkan tidak menyandang izasah apapun, bisa menghakimi seorang intelektual yang menelurkan sebuah karya tulis?
Mesin semacam Plagiarism Checker, tidak dibekali kemampuan oleh penciptanya untuk menilai bahwa karya tulis tersebut mengandung atau patuh pada teknik pengutipan ilmiah atau tidaknya, yakni dilekatkan footnote ataupun sidenote oleh penyusun / penulisnya, juga apakah itu pengutipan norma sebuah undang-undang ataukah bukan, semua “pukul rata” sifatnya. Yang identik dan mirip, adalah plagiat, itulah cara kerja kecerdasan buatan Plagiarism Checker yang meski secara akurat menghitung, namun begitu membuta cara kerjanya.
Dalam pandangan penulis secara pribadi, yang murni plagiat, adalah buku yang hanya mencantumkan Daftar Pustaka tanpa footnote maupun sidenote, sehingga seolah semua substansi di dalam bahasan buku tersebut adalah gagasan / ide orisinil dari nama seseorang yang tercantum dalam cover buku sebagai “penulis”, dimana si “penulis” tidak mau secara jujur mengakui dirinya telah secara masif mengutip ide atau pendapat milik penulis lainnya, karena tiada kaedah pengutipan semacam footnote sebagai informasi serta keterbukaan dari sang penulis bagi para pembacanya.
Salah satu bentuk plagiarism besar-besaran secara masif, dapat dijumpai pada yang buku-buku “tulisan” sang pengacara senior sekaligus dosen akademisi bernama Munir Fuady, yang telah “menulis” puluhan judul buku, namun penulis menengarai tiada satupun buku “tulisan”-nya tersebut mengandung ide orisiinil milik dirinya sendiri, namun semata murni “copy paste” secara masif dan utuh sepenuhnya, atau bahkan menerjemahkan mentah-mentah dari sumber buku berbahasa asing, lalu semua itu dijustifikasi “ketidak-jujuran” atau “cuci dosa” seolah bisa dibenarkan lewat semudah mencantumkan Daftar Pustaka. Sebuah buku disebut ilmiah, ketika penulisnya menghormati kejujuran akademik kepenulisan lewat kaedah pengutipan secara etis. Apakah buku-buku “karya” Munir Fuady, layak untuk menyandang gelar buku ilmiah yang “jujur”, ataukah buku yang mengandung muatan pelanggaran Hak Moral secara masif?
Ironisnya, buku-buku “tulisan” Munir Fuady hingga saat kini menjadi buku-buku pegangan bagi para mahasiswa, memenuhi rak-rak pada toko buku maupun perpustakaan hukum di berbagai kampus, menjadi sumber kutipan banyak mahasiswa saat menyusun skripsi maupun tesis dan disertasi dengan mencantumkan nama Munir Fuady sebagai penulis pemilik pendapat yang dikutip, bahkan sang Munir Fuady itu sendiri menjadi dosen pada perguruan tinggi yang menguji etika kaedah pengutipan para mahasiswa yang diuji dalam sidang skripsi, tesis, maupun disertasi olehnya—namun dirinya sendiri ternyata tidak patuh terhadap norma etika pengutipan karya ilmiah.
Buku karya Munir Fuady tidak layak disebut buku ilmiah, juga tidak dapat dikutip untuk keperluan ilmiah, mengingat pengutipan hanya akan menyebut nama Munir Fuady sebagai penulis, sementara bisa jadi yang dikutip ialah ide orisinil milik penulis lainnya yang dikutip tanpa kejujuran akademis oleh Munir Fuady dalam berbagai buku-bukunya. Karenanya, Plagiarism Checker yang betul-betul mampu “mengendus” terjadinya aksi plagiat, ialah penulisan yang tidak patuh terhadap etika pengutipan.
Sebagai contoh, kita akan mengutip buku “karya” Munir Fuady dengan footnote sebagaimana banyak dilakukan oleh kalangan mahasiswa, sebagai berikut: “Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Penerbit ... , Kota ... , tahun ... , halaman ...” Padahal, bisa jadi pendapat yang kita kutip tersebut, besar kemungkinan bukan milik Munir Fuady, namun gagasan milik penulis lain yang tidak secara jujur diungkap oleh Munir Fuady dalam berbagai bukunya. Dengan demikian, Munir Fuady telah mengklaim ide / pendapat milik orang lain sebagai tulisan miliknya sendiri. Siapa pun bisa, “menulis” buku “gado-gado” tanpa kaedah pengutipan, semudah menuangkannya dalam bab terakhir berjudul “Daftar Pustaka”.
Jika kita mau bersikap jujur, tiada satu pun buku “karya” Munir Fuady yang akan lolos dalam sidang skripsi, oleh karena kejujuran seorang mahasiswa calon sarjana ternyata masih lebih etis ketimbang buku-buku yang menjustifikasi plagiarism lewat semudah pencantuman “Daftar Pustaka”. Penulis pun mampu menghasilkan ratusan buku yang semudah mencantum “Daftar Pustaka”, dan Anda pun bisa membuatnya sendiri.
Jika penulis menjadi dosen pembimbing mahasiswa dalam menghadapi pembuatan karya tulis, maka buku-buku demikian akan penulis larang untuk disentuh oleh para mahasiswa, karena “ketidak-jujuran mampu menular”. Sebuah skripsi mahasiswa calon Sarjana Hukum dari Universitas Swasta di pelosok negeri ini, masih lebih jujur dan lebih berkualitas secara ilmiah ketimbang puluhan buku-buku “karya” Munir Fuady.
Kaedah pengutipan ilmiah, tidak lain dalam rangka mengakomodasi kejujuran akademis sebuah karya tulis. Etika pengutipan yang menjadi penentu etis tidaknya si penulis suatu karya tulis ilmiah—gerbang awal penilaian aspek kejujuran intelektual sekaligus gerbang akhirnya. Kaidah pengutipan, dalam Bahasa Inggris diistilahkan sebagai “citation”, dan terdapat beragam jenis citation yang dikenal oleh dunia akademik di dunia ini, seperti Chicago Style yang sudah umum dikenal baik perguruan tinggi lokal maupun di mancanegara, dsb.
Kaedah etika pengutipan menjadi rambu utama penanda kuantitas orisinalitas ide serta pendapat pribadi sang penulisnyadisamping berfungsi sebagai keterbukaan dan kejujuran penulisnya. Jika sejatinya karya tulis tersebut hanya sekadar “menghimpun kutipan”, ia tidak layak disebut sebagai seorang “penulis” (author), namun sebagai “penghimpun kutipan” belaka. Menulis dan mengkompilasi kutipan, adalah dua hal yang bertolak-belakang. Menulis artinya menciptakan ide serta gagasan baru, seorang inovator dalam merangkai kata dan aspirasi, bukan seorang “pemulung” serpihan / kepingan ide milik orang lain.
Jika tiada kaedah pengutipan dalam buku yang ditulisnya, ditengarai dirinya tidak mempunyai ide orisinil apapun selain mengutip ide milik penulis lain atau bahkan sekadar menerjemahkan buku milik penulis berbahasa asing, lalu mengklaimnya sebagai buku tulisan milik sendiri. Karenanya, kita patut curiga mendapati buku-buku yang hanya mencantumkan Daftar Pustaka: “Jangan-jangan buku ini hanya kumpulan kutipan yang tidak etis dan tidak sehat karena tidak jujur pada pembaca, tidak jujur pada pihak penerbit, tidak jujur pada penulis asli pemilik ide / pendapat, serta tidak jujur pada diri si penulis buku ini sendiri”.
Seolah dosa penulisnya bisa ditebus hanya lewat “semudah” membuat bab “Daftar Pustaka”. Keberanian beropini dan menyampaikan gagasan, hanya dapat dituangkan lewat kata-katanya dari pemikiran miliknya sendiri, perasaannya sendiri, dan pikiran serta cita rasanya sendiri, secara ORISINIL. Melanggar Hak Moral penulis yang sesungguhnya yang menciptakan ide / pendapat lewat karya tulis yang dikutip oleh penulis lainnya tanpa kejujuran etika ilmiah, adalah sebuah dosa akademik yang tidak termaafkan—karena itu sama artinya “mencuri” ide / pendapat milik penulis lainnya.
Sebuah karya tulis, selalu mengandung tiga muatan sebagaimana juga disebutkan lewat Undang-Undang tentang Hak Cipta, yakni: Hak (atas) Ekonomi, Hak Moril, serta Hak Cipta. Hak untuk Mencipta (Hak Cipta), hanya dapat disimpangi secara “halus” lewat kaedah pengutipan ilmiah. Begitupula Hak Ekonomi, maupun hak Moril nama dari penulis / pencetus ide / pendapat aslinya, hanya dapat disimpangi secara “halus” lewat makenisme etika berupa kaedah pengutipan yang dilandasi respek atau penghormatan terhadap kejujuran itu sendiri.
Sudah saatnya masyarakat melakukan “BOIKOT” terhadap buku-buku yang melanggar kaedah etis dengan tidak secara jujur menyebutkan pengarang asli yang dikutip ide atau pendapatnya dalam buku tersebut. Penegakan hukum di Indonesia, masih separuh hati dan “tebang pilih”. Berbagai pelanggaran Hak Cipta, Hak Ekonomi, bahkan Hak Moral para penulis yang telah bersusah-payah menulis sebagai bagian hak kekayaan intelektual penulisnya, dilanggar secara vulgar oleh para “pengutip” dan “penyadur” yang tidak secara jujur mengutip dan “menghimpun”.
Kembali pada polemik Plagiarism Checker, ketika seorang penulis dengan ide orisinil menghasilkan suatu karya tulis, kemudian terpublikasi dalam dunia maya dan disalin secara massal oleh banyak pelaku plagiat, ironisnya ketika dikemudian hari karya tulis sang penulis diperiksa lewat aplikasi jenius bernama Plagiarism Checker, maka hasilnya akan sangat melukai perasaan sang penulisnya: 100% plagiat (semata karena salinannya telah tersebar-luas di dunia maya). Ketika kita bertanya pada sang aplikasi, sebenarnya karya tulis milik siapa yang paling orisinil dan pertama kali terbit? Jawabnya demikian menciutkan hati, yakni: yang pertama kali meng-upload-nya ke internet, sekalipun oleh seorang plagiator.
Plagiarism Checker tidak dapat membedakan, mana karya asli, dan mana karya hasil fotokopi alias “copy paste”. Satu-satunya kecerdasan buatan yang mampu menentukan manakah konten yang paling orisinil sekalipun di dunia maya telah banyak beredar salinannya, hanyalah sistem yang dimiliki oleh Google, perusahaan penjelajah dunia maya, sebagaimana telah seringkali penulis melaporkan plagiarisme terhadap berbagai publikasi milik penulis—alhasil, pelaku plagiat di-banned oleh mesin penjelajah “Mbah Google”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.