Wibawa Hukum Bertopang pada Daya Prediktabilitas Hukum, Hukum Sebagai Ilmu Meramal dan Ramalan

ARTIKEL HUKUM
Apakah praktik “ramal-meramal”, merupakan hal yang ditabukan dalam kehidupan sosial maupun kehidupan berhukum? Mungkinkah, praktik hukum dilepaskan dari hal “ramal-meramal” semacam itu? Mengapa sebagian dari masyarakat kita masih saja menabukan kegiatan “ramal-meramal”—seakan ramalan maupun meramal merupakan hal yang tabu dan selalu berkonotasi negatif di benak masyarakat kita?
Dalam kacamata penulis, yang perlu diwaspadai bukanlah isi “ramalannya”, tapi si peramal itu sendiri (review kembali kasus Mario Teguh), apakah betul yang bersangkutan memiliki kompetensi yang memadai untuk melontarkan substansi “ramalan” yang tepat, akurat, serta berfaedah? Seringkali, banyak orang merasa terlena ketika berjumpa suatu pihak yang mengaku dapat meramal, dan meramalkan hal-hal yang terdengar baik-baik saja dan seolah masa depan seseorang yang diramal akan bernasib mujur dan sentosa. Siapa yang tidak akan gembira mendengar ramalan demikian?
Isi ramalan semacam itu adalah ramalan yang umum-umum saja dan tidak ada faedahnya selain sekadar membuat “senang” orang yang diramal. Jika Anda memang menyukai hal-hal yang terdengar baik dan ideal, mengapa Anda tidak memulai menjadi peramal bagi diri Anda sendiri jika demikian, seperti halnya kalangan motivator yang terkesan begitu optimis sehingga kurang “membumi”? Mungkin itulah penyebabnya, kalangan motivator demikian digembari oleh masyarakat kita, karena tidak pernah memberi ramalan buruk bagi audiens mereka.
Sebuah “ramalan” yang berfaedah bukanlah semacam itu, namun isi “ramalan” yang dapat membuat kita waspada dan siaga, bukan justru untuk dibuat terlena dan buaian, seolah semua akan baik-baik saja di masa mendatang—peramal yang jitu selalu merupakan motivator yang buruk. Namun siapa yang akan menyukai seorang peramal yang isi ramalannya justru membuat ketakutan dan bulu kuduk berdiri orang-orang yang diramal olehnya? Itulah sebabnya, penulis sebutkan bahwa seorang peramal yang baik selalu merupakan motivator yang buruk, sehingga akan sepi dari peminat.
Sebetulnya, ilmu hukum yang baik juga tidak jauh dari aktivitas ramal-meramal demikian. Bila Anda tergolong klien yang menyukai ramalan yang indah-indah, carilah pengacara. Namun bila Anda tergolong klien yang siap untuk mendengarkan vonis “di muka”, carilah seorang Konsultan Hukum. Itulah, yang oleh budaya hukum Anglo Saxon ala Common Law disebut sebagai sebuah “preseden”, atau yang di negara Indonesia dikenal juga dengan terminologi hukum dengan istilah sebagai “yurisprudensi”. Ilmu hukum adalah ilmu tentang prediksi, demikian seluruh kalangan Sarjana Hukum Anglo Saxon secara kompak menyatakan.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan sebelumnya, sebuah “ramalan” tak selamanya berkonotasi negatif, oleh sebab “ramalan” yang berfaedah membuat kita menjadi waspada dan dapat melakukan kalkulasi serta sebagai sarana melakukan introspektif diri atau “cooling mind” atas minat menggebu untuk menggugat. Tidak sedikit penulis jumpai, isi gugatan serta petitum yang justru merugikan pihak penggugat itu sendiri, sehingga langkah gugatannya menyerupai “skak mat” untuk dirinya sendiri ketika dikabulkan oleh hakim, atau ibarat pertandingan bola dapat diibaratkan semacam “mencetak gol ke dalam gawang sendiri”.
Sebagai contoh kalangan petani serta nelayan, sangat membutuhkan laporan prediksi cuaca serta musim untuk menghitung kapan waktu yang tepat untuk menyemai bibit pada ladang serta untuk pergi melaut dan kapan perlunya untuk segera kembali merapat ke tepian pantai. Praktis, otoritas negara pun selalu mempublikasi hasil penelitian dan pengamatan mereka terhadap kecenderungan cuaca serta iklim pada berbagai media massa, dengan harapan agar petani maupun nelayan tidak terbelit masalah ekonomi akibat gagal panen hingga keselamatan jiwanya saat bertani dan melaut.
Begitupula kegiatan komersiel seperti maskapai penerbangan dan otoritas bandara, tiada satupun pesawat yang akan diberi izin lepas landas maupun untuk mendarat ketika petugas monitoring di menara pengamat cuaca mendapati adanya perilaku aktivitas langit yang tendensinya dapat mengancam keselamatan penerbangan—sekalipun baru berupa tendensi. Semua itu belumlah terjadi, namun masih bersifat prediktif. Jika memang hal-hal yang berbau prediktif demikian tabu di mata sebagian kalangan kita yang cukup “kolot” cara berpikirnya, mengapa pihak maskapai penerbangan maupun ketika dirinya menjadi seorang penumpang, demikian patuh terhadap hasil pengamatan menara pemantau cuaca sehingga dengan sabar ketika menanti adanya delay jadwal penerbangan?
Tidak terkecuali praktik hukum di negara-negara yang lebih maju dari Indonesia dari segi teknikalisasi maupun penerapan ilmu hukumnya, perlahan namun pasti, praktik hukum berbagai negara modern mulai merapat pada Budaya Hukum Common Law yang sangat tegas dan penuh kepastian dalam memberlakukan kaedah preseden, “the binding force of precedent”.
Hoge Raad, Mahkamah Agung di Negari Belanda, yang selama ini menjadi kiblat praktik hukum di indonesia berdasarkan asas konkordansi pasca kemerdekaan NKRI, ternyata pun kini telah secara resmi beralih menjadi penganut sistem hukum Common Law. Praktis hanya Indonesia yang masih tertinggal jauh di belakang dengan praktik hukum yang masih bersifat konvensional, tidak canggih, serta orthodoks—penuh spekulatif.
Yang terjadi kemudian, berbagai kalangan pengacara menawarkan harapan palsu (alias dibayar sekadar menjadi Pemberi Harapan Palsu, PHP), seolah gugatan dapat membalikkan keadaan dari bersalah menjadi tidak bersalah, dari keadaan merugi dapat menjadi beruntung, dari keadaan dapat dituntut menjadi menuntut, dan segala iming-iming atau “janji-janji” yang pada pokoknya memberi suatu “angin surga” yang membuat terlena para klien pengguna jasa.
Kalangan pengacara dibayar untuk beracara, menang atau kalah, atau bahkan digugat balik oleh pihak tergugat yang merugikan sang klien, menjadi urusan “belakangan”. Yang terpenting, dalam benak kalangan pengacara, gugat terlebih dahulu, konsekuensinya baru dibicarakan dikemudian hari—atau bila perlu ditutup rapat-rapat. Sesuatu yang wajar-wajar saja dalam hemat penulis, karena setiap orang yang mendatangi kantor pengacara, diasumsikan telah menyadari konsekuensi niat mereka mendatangi seorang pengacara, yakni untuk menggugat, terlepas mereka sebenarnya secara yuridis layak atau tidak layak untuk menggugat warga negara lainnya.
Sementara masyarakat yang betul-betul menghendaki opini hukum secara netral dan objektif, tidak akan terlebih dahulu mendatangi kantor pengacara, namun mencari jasa hukum berupa penyedia jasa Konsultan Hukum yang tidak merangkap sebagai profesi Advokat—dengan demikian tiada conflict of interest untuk mendorong sang klien mengajukan gugatan sekalipun tidak layak untuk menggugat, setelah permasalahan hukum klien bersangkutan dianalisa dalam kajian yuridis.
Profesi advokat merupakan profesi spekulatif, dalam artian menang atau kalah, bukan menjadi urusan “di muka”, namun menggugat menjadi interest utama profesi kalangan Advokat. Sebaliknya, kalangan Konsultan Hukum berpedoman pada prinsip: pahit di muka, daripada pahit di belakang hari. Seluruh kalangan pengacara akan bersikap dan mengatakan hal-hal yang “manis di muka”—jika tidak, sama artinya tiada pekerjaan bagi mereka untuk beracara dan memungut tarif jasa lawyering dari sang klien yang terlena, seolah menggugat adalah cara jitu untuk memutar-balik keadaan.
Telah ribuan putusan peradilan dilakukan eksaminasi oleh penulis, yang ternyata sebagian daripada putusan-putusan tersebut, berisi gugatan “sampah”—alias gugatan maupun upaya hukum banding maupun kasasi yang sejak awal sudah dapat diprediksi dan dipastikan akan “ditolak” atau setidaknya akan dinyatakan sebagai “tidak dapat diterima” oleh Majelis Hakim maupun pengadilan. Sehingga, tudingan penulis bukanlah suatu tuduhan tanpa dasar.
Kita tidak akan pernah mendengar kalangan pengacara ketika dikunjungi “pasien”, akan memberi respons: “Anda tidak layak menggugat, karena setelah meninjau permasalahan hukum Anda, ternyata Anda sendiri yang paling patut digugat, atau setidaknya Anda hanya paling berhak menggugat kelalaian Anda sendiri.”
Semua kantor hukum dapat dipastikan akan “gulung tikar” bila kalangan profesi advokat bersikap “sejujur” dan “seterbuka” demikian. Kode Etik Advokat pun tidak mensyaratkan kalangan Advokat untuk bersifat “terbuka” di muka—sehingga menjadi percuma bila Anda melaporkan “pengacara PHP” ke majelis etik profesi Advokat. Tiada satupun pengacara yang tidak PHP. Sebuah akal sehat saja sebenarnya telah mampu menggambarkannya.
Itulah sebabnya, kalangan pengacara tidak pernah berminat mendalami ilmu tentang prediktif, sebaliknya kalangan profesi advokat lebih mengukai ilmu tentang berspekulasi dengan melakukan berbagai bombardir upaya hukum gugatan, banding, kasasi, hingga perlawanan dan peninjauan kembali—sekalipun dalam hati mereka tahu sekali semua itu tiada faedahnya selain hanya untuk menguras isi kantung klien mereka sendiri, yang justru bertentangan dengan kepentingan sang klien yang tidak mengharap semakin merugi akibat masalah hukum yang berlarut-larut.
Bila Anda bertanya-tanya, dimanakah letak perbedaan paling prinsipil antara profesi Konsultan Hukum terhadap kalangan profesi Pengacara, maka itulah esensi jawabannya. Sekalipun sang Advokat merangkap sebagai penyedia jasa konsultasi hukum, semua itu hanyalah gimmick belaka, oleh sebab tarif jasa Pengacara masih jauh diatas tarif jasa Konsultan Hukum yang bila memberi prediksi “tidak layak mengajukan gugatan” atau “ada langkah mitigasi lain selain alternatif menggugat”, maka sang klien hanya cukup membayar satu atau beberapa jam tarif selama sesi konsultasi berlangsung.
Itulah sebabnya, hanya kalangan profesi Konsultan Hukum yang layak disebut sebagai mitra hukum paling ideal, bukan kalangan profesi Advokat yang justru memiliki conflict of interest (sebagai kodratnya) untuk mengajukan berbagai gugatan dan berperkara yang sebetulnya tidak perlu diperkarakan. Seorang Konsultan Hukum profesional, tidak memiliki agenda tersembunyi apapun selain hanya memberi opini hukum secara netral serta objektif disertai “prediksi” yang akan terjadi, sementara keputusan berpulang kembali kepada sang klien itu sendiri apakah akan tetap melakukan upaya hukum ataukah langkah-langkah mitigasi lainnya.
Conflict of interest kedua dari kalangan Advokat, kalangan Advokat lebih menyukai sang klien telah terjerumus masuk dalam ranah kuratif, ketimbang preventif serta pemetaan opsi mitigatif yang memang menjadi bidang jasa utama kalangan Konsultan Hukum. Sebuah prinsip emas dalam praktik hukum yang mulai perlu masyarakat awam pahami, berbunyi: preventif selalu lebih ekonomis ketimbang kuratif.
Namun tampaknya kalangan masu kita cenderung bersikap “masak bodoh” atau menunggu hingga detik-detik terakhir sekalipun masalah mereka telah menjelma “benang kusut”—seperti yang terjadi pada klien penulis yang baru mencari opini hukum yang objektif ketika masalah hukum mereka telah sedemikian keruh tidak lagi mampu ditangani kalangan Advokat, suatu proses yang sebetulnya terbalik.
Bahkan untuk penyakit yang telah menjelma kronis atau “benang kusut”, seorang dokter paling terampil sekalipun belum tentu mampu menjamin penyembuhan, sebanyak apapun keluarga sang pasien menawarkan diri untuk menyanggupi pembayaran jasa medik. Permasalahan hukum sejatinya tidak berbeda dengan suatu masalah medik, pencegahan serta deteksi secara dini dapat mencegah segala kerugian yang jauh lebih besar di kemudian hari.
Kembali pada topik utama kita, profesi hukum yang menyerupai seorang “peramal”, bukanlah kalangan profesi Advokat, namun secara esklusif hanya menjadi lingkup bidang jasa kalangan profesi Konsultan Hukum yang tidak menyambi sebagai seorang pengacara, sehingga tiada conflict of interest yang terlibat saat melakukan analisa yuridis dan memberi opini hukum bagi sang klien pengguna jasa. Sifatnya ialah “apa adanya saja”. Semua kembali pada sang klien, apakah hendak mendengarkan opini hukum yang objektif, ataukah dibuat terlena dan terbuai oleh “angin surga” kalangan profesi Advokat.
Bila Anda, para calon mahasiswa Fakultas Hukum, berasumsi bahwa profesi Advokat adalah profesi yang disegani dan dihormati di tengah masyarakat kita, maka asumsi Anda adalah keliru. Citra profesi Advokat telah sangat rusak di mata masyarakat awam kita. Bahkan organisasi induk kalangan profesi Advokat, ternyata hanya sibuk memungut “upeti” serta “saling sikut” berebut kekuasaan, sehingga penegakan etik semacam apa yang dapat diharapkan oleh masyarakat bila masalah etik pejabat internal organisasi profesi bersangkutan itu sendrii tidak dapat dibenahi.
Namun “nasi yang telah berubah menjadi bubur”, tidak dapat disesali kemudian karena apa yang kemudian akan menjadi catatan sejarah tidak dapat ditulis ulang ataupun dihapus. Demikianlah yang perlu kalangan masyarakat awam perlu mulai memahami dan menyadari pentingnya aktivitas “ramal-meramal” dalam disiplin ilmu hukum.
Menggugat, sama artinya membuat “aib” Anda sendiri di tengah era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, pernahkah Lawyer Anda memberitahukan Anda perihal fakta tersebut? Apakah Anda telah benar-benar siap untuk itu? Sekali lagi, apa yang telah terekam dalam catatan sejarah, tidak dapat diputar ulang ataupun dihapus, selamanya telah tercatat sebagai bagian dari sejarah.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.