Universitas Negeri Populer ataukah Universitas Swasta Tidak Populer, Pilih mana?

ARTIKEL HUKUM
BILA KITA MEYAKINI CITRA DIRI SEBAGAI LULUSAN SEKOLAH TINGGI KELAS DUA, MAKA ITU AKAN MENJADI BENAR ADANYA. NAMUN BILA KITA YAKIN AKAN POTENSI, KEMAMPUAN, SERTA KETERAMPILAN DIRI KITA SENDIRI, MAKA KITA ADALAH SARJANA YANG TERBAIK
Di tengah masyarakat kita, terdapat suatu stigma, bahwa menjadi sarjana lulusan perguruan tinggi negeri bergengsi, adalah suatu prestasi tersendiri yang patut dibanggakan, dan pasti bermasa depan cerah. Namun, bagaimana dengan nasib kawan-kawan kita yang hanya mampu mengikuti pendidikan tinggi dan lulus pada sebuah perguruan tinggi swasta kecil di pelosok daerah terpencil? Apakah artinya mereka akan selalu kalah bersaing dengan mereka yang bergelar akademik lulusan perguruan tinggi negeri bergengsi yang Top 1 besar di Tanah Air terlebih dari luar negeri?
Penulis pribadi sebagai contohnya, hanyalah lulusan universitas swasta, dan hanya seorang sarjana, bukan bergelar magister maupun doktoral. Namun, apakah artinya penulis akan bersikap rendah diri menghadapi para sarjana maupun magister dan doktor hukum dari universitas negeri? Jawabannya, tidak sama sekali. Penulis tidak pernah memandang rendah kompetensi, talenta, potensi, pengetahuan, maupun keterampilan yang penulis miliki. Juga tidak memandang tinggi mereka yang bergelar akademik “berjubel”, mulai dari magister hukum hingga doktor hukum dari berbagai universitas bergengsi.
Kita semua, tanpa terkecuali, sejatinya sedang menempuh pendidikan dalam suatu universitas megah yang maha luas, bernama Universitas Kehidupan. Jenjang pendidikannya sepanjang masa, sepanjang kita masih hidup dan bernafas. Kita baru akan lulus saat kita sudah terbujur kaku di “liang kubur”.
Dengan mulai memahami bahwa kita semua adalah sesama mahasiswa dan mahasiswi dari Universitas Kehidupan, maka tiada kasta ataupun “pengkotak-kotakan” dalam suatu stigma lulusan perguruan tinggi negeri ataukah swasta, di kota ataukah di daerah pelosok yang terpencil. Semua dari kita belum menjadi sarjana dari Universitas Kehidupan, masih sebagai seorang “pelajar kehidupan”. Dengan demikian, kita tidak merasa perlu untuk bersikap “rendah diri”.
Bahasan dalam kesempatan ini akan membuat kita menyadari, bahwa kita harus senantiasa penuh “percaya diri”, tanpa pernah berkecil hati terhadap kemungkinan prestasi yang dapat kita capai dalam kehidupan ini. Universitas Kehidupan mensyaratkan perjuangan, tekad, serta keyakinan pada diri kita sendiri, untuk dapat memiliki suatu kemahiran, pengetahuan, serta keterampilan.
Sebagai bagian dari civitas akademik dari Universitas Kehidupan, tiada batasan apapun yang bisa kita capai sesuai talenta kita yang paling optimal, tanpa harus dibatasi oleh “kotak” diametral bernama negeri ataukah swasta, kota ataukah di daerah pelosok. Pelajaran perihal kehidupan, lebih bersifat informal ketimbang formal di ruang-ruang kelas yang kaku dan beku.
Ilustrasi dalam kisah berikut, mungkin cukup relevan terkait topik bahasan ini, sebagaimana penulis kutip dari artikel yang ditulis oleh Jennie Ivey dalam buku “Chicken Soup for the Soul : Kekuatan Berpikir Positif—101 Kisah Inspiratif tentang Mengubah Hidup dengan Berpikir Positif”, Editor Jack Canfield dkk., versi terjemahan Indonesia oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan ke-14 November 2018, dengan pengisahan sebagai berikut:
KELAS UNGGULAN
“Jangan menjalani hidup dengan hanya sebatas pengharapan-pengharapan. Keluarlah dari sana dan lakukan sesuatu yang luar biasa.” (Wendy Wasserstein)
Murid-murid kelas sebelas mata pelajaran Sejarah Amerika yang bertampang campur-baur itu tidak terlihat seperti murid-murid unggulan yang pernah kubayangkan. Mereka berebutan masuk ruangan kelasku, yang sudah susah-payah kuhiasi dengan potret para presiden dan peta berwarna serta salinan naskah proklamasi dan UUD berpigura, dengan sikap-sikap yang terlihat jelas bahwa di mata seorang guru baru.
Itulah persisnya diriku ketika itu. Baru saja lulus dengan kesarjanaan dibidang sejarah, menyandang sertifikat mengajar, dan tak ada pengalaman secuil pun. Aku bersyukur mendapatkan pekerjaan, meski hanya di sebuah sekolah menengah paling butut yang ada di kota tempat tinggalku.
“Selamat pagi,” kataku dengan riang. Salam dariku hanya disahut dengan tatapan-tatapan kosong. “Saya begitu senang terpilih mengajar di kelas unggulan ini,” aku melanjutkan, penuh antusias. “Biasanya, seorang kepala sekolah tidak memberikan guru baru kepercayaan besar untuk mengajar di kelas seperti ini.”
Beberapa murid terlihat menjadi duduk dengan postur tubuh lebih tegak, dan mulai saling pandang antar sesama murid.
Sudah telat, pikirku, untuk mencoba menyembunyikan fakta bahwa aku belum punya pengalaman mengajar sama sekali. Yah, apa boleh buat. “Kita akan sedikit mengubah beberapa hal di kelas ini karena saya tahu kalian semua suka tantangan.”
Saat itu, semua murid sudah menatapku dengan ekspresi bingung.
“Pertama-tama, mari kita susun kembali meja-meja ini,” kataku. “Saya suka banyak diskusi, jadi marilah kita mengatur meja menjadi sebuah lingkaran besar supaya kita semua bisa duduk saling berhadap-hadapan.”
Beberapa anak memutar-mutar mata, tetapi semuanya bangkit dan mulai menggeser meja dari susunan yang biasanya.
“Bagus sekali! Terima kasih. Nah, setiap orang pilihlah kursinya masing-masing dan mari kita memainkan suatu permainan. Kalau saya menunjuk, sebutkan namamu. Ceritakan pada saya apa yang paling tidak kamu sukai tentang sejarah.”
Akhirnya, aku melihat beberapa ulas senyuman. Dan, lebih banyak lagi muncul senyuman dari wajah mereka sewaktu permainan kami berlanjut.
Amanda tak suka sejarah karena semuanya seolah hanya tentang perang. Jose tidak suka menghafal nama-nama dan tanggal-tanggal. Gerald yakin bahwa tidak ada yang telah terjadi di masa lalu masih relevan dengan hidupnya kini.
“Mengapa aku harus perduli pada serangkaian lelaki kulit putih yang gugur?” begitulah dia mengiaskannya.
Caitlyn tidak suka pertanyaan-pertanyaan ‘benar’ atau ‘salah’ yang menjebak dan memperdaya. Miranda sebal dengan ujian yang berupa instruksi untuk mengisi titik-titik.
Kami baru saja menyelesaikan satu putaran ketika bel berbunyi. Siapa yang mengira, empat puluh menit bisa lewat dengan begitu cepatnya?
Berbekal masukan dari murid-murid kepadaku, aku mulai merumuskan rencana. Aku tidak akan mengajar langsung dari buku teks untuk kelas ini. Tidak ada juga perintah membuat PR (pekerjaan rumah) semacam ‘bacalah bab ini dan jawablah pertanyaan di belakangnya.’ Anak-anak di kelas ini cerdas-cerdas. Mereka punya motivasi. Kelas unggulanku ini pantas diajari dengan cara yang sepantasnya mereka dapatkan.
Kami akan belajar sejarah sosial dan ekonomi, tidak hanya soal peperangan dan para jenderal. Kami akan mengaitkan kejadian-kejadian mutakhir dengan yang silam. Kami akan membaca novel untuk mengembalikan sisi-sisi kemanusiaan sejarah. Membaca novel Across Five Aprils ketika belajar tentang Perang Sipil. Membaca The Grapes of Wrath untuk belajar tentang Zaman Depresi Parah. Membaca The Things They Carried ketika membicarakan tentang Vietnam.
Ujian akan memasukkan fakta-fakta, tetapi juga akan membutuhkan keterampilan berpikir yang lebih kritis dari para siswa ini. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan seperti “Benar-Salah”. Tidak ada perintah isilah titik-titik “...” di bawah ini.
Awalnya, aku kaget menemukan betapa banyak siswaku yang menggunakan tata bahasa yang kacau dan tak punya keterampilan menulis. Dan sebagian lagi payah sekali bila membaca nyaring.
Namun, kemudian aku menemukan bahwa banyak anak tidak hanya mau, bahkan amat bersemangat untuk belajar di luar jam sekolah yang kutawarkan dan menerima bantuan tutor dari sesama siswa.
Empat orang diantara siswaku jadi begitu menyukai mata pelajaran itu sampai mereka mendirikan tim “History Bowl” dan ikut lomba tingkat nasional. Kendati tidak meraih juara pertama, mereka sudah sangat senang mendapatkan piala juara harapan yang mereka bawa pulang ke kelas.
Tahun ajaran ini berakhir tanpa terasa. Meski aku sudah jatuh hati pada banyak muridku, mereka yang duduk di kelas unggulan itu menempati tempat khusus di hatiku. Kebanyakan mereka mendapatkan nilai A dan B. Tak seorang pun mendapatkan angka rata-rata di bawah C.
Pada hari-hari terakhir mengajar menjelang libur musim panas, kepala sekolah memanggilku ke kantornya untuk evaluasi akhir tahun.
“Saya ingin memberi selamat kepada Anda atas tahun percobaan yang sukses,” katanya dengan sebuah senyuman. “Terutama betapa suksesnya Anda menangani anak-anak kelas remedial.”
“Anak-anak kelas remedial? Saya tidak paham. Saya tidak mengajar kelas remedial.”
Bu Anderson memandangku dengan tatapan heran. “Kelas jam pertama yang Anda ajar itu adalah kelas remedial. Pastilah Anda sudah melihatnya tertulis di atas kertas absen.” Dia menarik sebuah map dari laci dan menyerahkannya kepadaku. “Dan Anda mestinya sudah mencurigai bahwa murid-murid di kelas itu adalah anak-anak di bawah rata-rata dari cara mereka berpakaian dan cara mereka bersikap. Lebih-lebih lagi tata bahasa dan keterampilan baca dan tulis mereka yang rendah.”
Aku membuka map dan melepaskan selembar dari absesni kelas jam pelajaran pertama. Di sana di bagian atasnya, seterang siang, tercantum kata ‘UNGGULAN’. Kutujukkan kepada Bu Anderson.
“Oh, ya ampun,” katanya. “Kok bisa keliru begitu! Bagaimana Anda sampai bisa mengelola, menyikapi murid-murid yang lamban seakan-akan mereka adalah...”
Aku tak bisa lagi menahan untuk melanjutkan ucapannya. “Seolah-olah mereka anak-anak yang cerdas?”
Dia mengangguk, lebih terlihat seperti jengah.
“Tahukah Anda, Bu Anderson? Saya kira kita sama-sama belajar dari kasus ini. Pelajaran yang tidak diajarkan di perkuliahan mengajar. Tetapi pelajaran yang tidak akan pernah saya lupakan.”
“Saya juga tidak akan pernah lupa,” katanya, sambil melingkari kata UNGGULAN dengan spidol merah sebelum mengembalikan kertas itu ke dalam mapnya semula. “Tahun depan, sebaiknya saya cetak saja kata itu di semua kertas untuk absensi kelas.”
Percaya atau tidak, orang-orang awam hukum yang kerap menjadi pembaca setia publikasi berbagai karya tulis penulis, lebih paham dan lebih terampil soal hukum ketimbang fresh graduate Fakultas Hukum Universitas Negeri paling bergengsi manapun. Itu menjadi salah satu bukti tak terbantahkan, betapa fungsi sebuah wadah bernama universitas, hanya sekadar memupuk kepercayaan diri.
Namun, untuk dapat menjadi tumbuh penuh percaya diri, bukanlah monopoli kalangan lulusan perguruan tinggi negeri di kota-kota besar di Tanah Air. Seperti halnya banyak diantara kalangan pengusaha sukses, bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan secara formil di bangku perguruan tinggi. Mereka bahkan sama sekali tidak memiliki gelar akademik, namun “insting” bisnis dan berwirausaha mereka yang menjadi pemandu utama dalam menekuni sebuah keterampilan dan keunggulan khas tertentu yang bahkan tidak dimiliki banyak lulusan suatu perguruan tinggi.
Terdapat dua kemungkinan, para Sarjana Hukum yang kemudian mengambil program S2 Magister Hukum: hendak menjadi dosen (karena melamar menjadi dosen disyaratkan bergelar minimal telah mengantungi izasah Magister Hukum maupun Magister Notaris); atau karena tidak terserap dalam lapangan pekerjaan, sehingga mereka mencoba “membunuh waktu” dengan menambah panjang gelar dalam Curriculum Vitae mereka dengan izasah program Magister hingga Doktoral—demi menutupi kelemahan mereka yakni kosongnya pengalaman kerja yang dapat mereka tampilkan.
Percaya atau tidak percaya, banyak kalangan advokat hingga para dosen Universitas Negeri bergelar Doktor, yang menjadi pembeli dan pembaca buku-buku karya tulis penulis yang hanya bergelar “Sarjana” dari Universitas Swasta. Percaya atau tidak percaya, telah banyak kalangan pengusaha yang masalah hukumnya tidak terpecahkan oleh kalangan pengacara yang jasanya mereka sewa, dan merasa telah menemui jalan buntu, namun seluruh masalah hukum yang membelitnya mendapat solusi hanya dalam beberapa jam sesi konsultasi dengan penulis.
Percaya atau tidak percaya, penulis pun bahkan menjadi penyedia jasa pembuatan surat gugatan / bantahan bagi kalangan pengacara di Tanah Air. Di tengah jumlah angkatan kerja Sarjana Hukum serta Magister Hukum yang membanjiri lapangan kerja di Tanah Air, dan tidak terserap oleh industri maupun pengguna jasa akibat over supply timpangnya supply and demand, adalah suatu keajaiban bila penulis yang hanya seorang Konsultan Hukum bergelar “Sarjana” dari perguruan tinggi swasta, mampu survive dan menjadi monumen simbol fenomenal tersendiri sebagaimana website hukum ini. inilah keajaiban yang dapat penulis ciptakan dengan tangan penulis sendiri, yakni dengan tidak terjebak dalam sebentuk mental “rendah diri”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.