Tidak Mau Membayar Tarif Jasa Seperak Pun, Tapi Mengharap Selamat? Itulah yang Disebut, MENCELAKAI DIRI SENDIRI

ARTIKEL HUKUM
AKIBAT MELECEHKAN PROFESI KONSULTAN, Mengharap Beruntung dapat Merampok Nasi dari Piring Milik Seorang Konsultan, Justru Berujung Merugi secara FATAL
Perbedaan Karakter Pengguna Jasa dari Indonesia dan Warga Luar Negeri
Apakah yang menjadi pembeda utama antara warga masyarakat Indonesia dan warga masyarakat di luar negeri, dalam hal terkait pengguna suatu jasa profesi? Perbedaan utamanya, ialah masyarakat Indonesia sangat tumpul dalam menyoal sikap “tahu malu”. Indoensia bahkan tergolong berbangsa dengan mental “penjajah” terhadap anak bangsanya sendiri.
Percaya atau tidaknya, watak karakter Bangsa Indonesia tergolong sangat “tidak etis” dan “tidak beradab”. Betapa tidak, telah ribuan pihak yang menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis selaku konsultan hukum, mereka bermaksud meminta dilayani (bahkan tak jarang bersikap menuntut agar dilayani) namun tanpa mau membayar tarif layanan jasa SEPERAK PUN (apanya lagi yang perlu dinegosiasikan jika sudah begitu?), sekalipun masalah hukum mereka tak jarang berupa sengketa tanah belasan miliar rupiah, hingga sengketa kontrak bernilai ratusan juta rupiah.
Sejak kapankah, seorang pengemis memiliki sengketa hukum, sengketa tanah, sengketa ketenagakerjaan, sengketa kontraktual dan berbagai sengketa-sengketa hukum lainnya? Ribuan pelanggar yang melecehkan profesi penulis tersebut, telah menikmati banyak karya tulis penulis dalam publikasi website ini. Alih-alih berterima-kasih, mereka dengan lancang justru merasa berhak memperkosa profesi orang lain, yakni profesi penulis selaku penyedia jasa konsultasi hukum. Membalas air susu, dengan perkosaan. Sungguh watak dari suatu bangsa yang tidak manusiawi dan belum beradab—terbelakang dalam segi moralitas.
Seorang pengemis tidak mencari makan dengan merampok nasi dari piring profesi orang lain. Perilaku yang lebih hina daripada seorang pengemis demikian, menjadi karakter sebagian Bangsa Indonesia (bila tidak dapat dikatakan seluruhnya, namun ribuan orang yang telah lancang memerkosa profesi penulis bukanlah jumlah yang terbilang sedikit), kontras dengan watak warga negara di luar negeri sebagaimana akan penulis bahas secara relavan dalam kesempatan ini.
Dengan logika orang “waras”, tidak ada profesi konsultan mana pun yang tidak memungut tarif jasa profesi atas layanan jasa yang dijual oleh kalangan profesi konsultan, baik konsultan properti, konsultan pajak, konsultan bisnis, konsultan IT, konsultan pernikahan, konsultan arsitektur, konsultan programming, konsultan keuangan, tidak terkecuali seorang konsultan hukum.
Menyuruh kalangan profesi konsultan tersebut untuk “mati diberi makan batu”, sama artinya dengan praktik-praktik perbudakan ala kolonial penjajah. Entah mengapa, Bangsa Indonesia pada satu sisi menyerupai bangsa bermental sebagai “bangsa terjajah” (karena selalu tergila-gila pada produk asing dan rendah diri menghadapi bangsa asing), namun pada sisi lain dengan demikian sadistiknya juga memiliki mental sebagai “bangsa pelaku perbudakan dan eksploitasi tenaga manusia” (ala kerja rodi).
Entah apa yang membuat mereka berpikir bahwa kalangan profesi konsultan akan dengan senang hati “diperkosa” profesinya, seolah untuk membuka usaha konsultasi tidak dibutuhkan modal ataupun investasi pendidikan, seolah untuk memberi makan keluarga cukup dengan membeli beras memakai modal berupa “batu”?
Bahkan ironisnya, merasa bangga dan percaya diri akan dilayani setelah mereka berlaku tidak senonoh demikian (minta dilayani namun tidak bersedia membayar SEPESER PUN). Entah sudah “putus urat malunya” atau memang tidak punya malu sama sekali. Bukan bermaksud berlebihan, penulis tidak mendapati setitik pun rasa malu dari para pemerkosa profesi penulis demikian.
Bila kita tidak dapat mengharap “selamat” ketika meminta dilayani oleh seorang konsultan “murahan”, maka terlebih ketika menuntut dilayani tanpa mau membayar kompensasi SEPERAK PUN? Apakah merupakan orang yang patut disebut sebagai “waras”, memiliki sengketa hukum bernilai ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah, namun mati-matian mencari layanan konsultan “tanpa bayaran” (seorang sang konsultan “makan batu”), dan mengharap “selamat”?
Ironis kedua, para pemerkosa profesi konsultan tersebut berniat menggugat pihak yang bersengketa dengan dirinya, menuntut agar hak-hak mereka dipenuhi, namun disaat bersamaan dirinya memperkosa kalangan profesi orang lain tanpa mau menyadari hak dan kewajiban masing-masing. Mereka berkoar-koar bahwa suatu pihak telah melakukan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi terhadap dirinya (yang sama sekali bukanlah urusan penulis sekalipun mereka tewas karena melompat ke jurang). Namun dirinya sendiri kerap memakai modus-modus penipuan ketika mencoba menghubungi penulis, mengharap penulis terkecoh agar dapat mereka “mencuri ilmu” tanpa membayar SEPERAK PUN. Untuk apa mereka mencoba mencuri ilmu dari orang yang dapat dengan mudah mereka kecoh dan tipu? Namun itulah “libido” yang dipertontonkan oleh orang-orang bermental “tamak”.
Para pelakunya (yang memerkosa profesi penulis), bahkan kerap kali jauh lebih kaya raya dan lebih makmur ketimbang finansial penulis pribadi—ibarat perampok yang bahkan tega merampok nasi dari piring orang-orang yang lebih miskin daripada dirinya, semata demi ego dan “birahi” nafsu binatang orang-orang hina bersangkutan, lebih hina daripada seorang pengemis. Kelewat tidak etis dan kelewat “penipu teriak tertipu”. Konsultan mana lagi yang hendak mereka tipu dan perkosa profesinya?
Begitupula kalangan buruh / pekerja yang kerap menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis, meminta dilayani karena sedang bersengketa dengan kalangan pengusaha, menuntut gaji dan pesangon mereka dibayarkan, namun disaat bersamaan mereka merasa berhak dengan lancang memperkosa profesi penulis. Dahulu, penulis bersimpati pada kalangan buruh / pekerja, seolah-olah selalu menjadi kaum “tertindas”.
Namun akibatnya, kini, penulis menjadi alergi dan menaruh bibit api “dendam” terhadap kalangan buruh yang tidak etis manapun—akibat berulang-kali dilecehkan dan diperkosa profesi penulis yang sedang mencari nafkah, bagai perbudakan yang tidak berperi-kemanusiaan. Karena itu jugalah, dari yang semula menjadi pendukung teori kekuatan proletar ala Karl Marx, kini penulis mulai menjadi penentang paling utama pendapat dan pemikiran Karl Marx. Sejatinya kalangan proletar tidak lebih kejam dan tidak lebih “beringas” ketimbang kalangan pemilik modal. Tidak ada lagi simpati yang tersisa bagi kalangan buruh / pekerja manapun. Kemunafikan berjubah buruh, hipokrit.
KIni penulis telah menutup pintu terhadap kalangan yang mengaku sebagai buruh / pekerja—oleh sebab sudah dapat diterka, mereka akan meminta dilayani tanpa mau membayar kompensasi tarif profesi SEPERAK PUN, alias hanya bermaksud untuk “merampok” nasi dari piring milik penulis.
Mereka tidak bersedia diperbudakan oleh pengusaha, tapi disaat bersamaan mereka memperbudak dan mengeksploitasi kalangan profesi lainnya. Apakah mereka layak dan patut dikasihani? Kalangan buruh / pekerja menyerupai “benalu” bermuka dua. “Kamu suruh saya makan batu?” itulah yang selalu penulis tanyakan ketika mereka mencoba melecehkan, dan tidak ada satupun dari mereka yang berani menjawabnya.
Namun bukan berarti kalangan pengusaha lebih bermoral ketimbang kalangan profesi lain. Pernah suatu ketika, seorang pedagang kuliner dari suatu kota di Jawa Tengah, menghubungi penulis perihal masalah hukum pertanahan yang dihadapinya. Dirinya menuntut dilayani (bukan lagi meminta), namun menuntut dua hal: meminta dilayani dan menuntut agar penulis melayaninya tanpa meminta tarif SEPESER PUN.
Wajar penulis menjadi murka, seolah penulis tidak punya hak untuk bebas dari gangguan melecehkan demikian, dan seolah dirinya sendiri tidak memungut harga atas kuliner yang dijual olehnya sebagai sumber mencari nafkah bagi keluarganya. Seolah, hanya diri mereka sendiri yang berhak atas nafkah, sementara penulis harus tunduk sebagai “budak”, seolah negeri ini belum bebas dari perbudakan. Entah sudah tidak waras atau memang tidak pernah waras, mereka masih mengharap dilayani setelah melakukan “perkosaan” demikian.
Konstitusi RI, yakni UUD RI 1945 telah menegaskan dalam Pasal 28, bahwa hak atas kompensasi / nafkah, adalah HAK ASASI MANUSIA! Tidak terkecuali hak asasi manusia penulis yang jelas-jelas sedang mencari nafkah sebagai konsultan—anak kecil usia Sekolah Dasar sekalipun tahu bahwa website ini adalah website komersil seorang profesi konsultan.
Kita dapat membandingkan dengan mental Bangsa Indonesia dengan karakter khas bangsa lain, secara demikian kontras, digambarkan secara eksplisit dalam pengisahan oleh seorang Bhikkhu asal Australia, bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya Opening the Door of Your Heart (Judul versi Bahasa Indonesia: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya), Penerjemah : Chuang, Awareness Publication, 2009, Jakarta, dengan cerita pengalaman yang menarik untuk disimak, sebagai berikut:
PENGAJARAN YANG TAK TERNILAI
Saya pernah diberi tahu bahwa depresi telah menelurkan industri bernilai miliaran dollar. Itu benar-benar membuat depresi! Menjadi kaya di atas penderitaan orang lain rasanya bukan hal yang patut dibenarkan.
Di dalam tradisi kami yang keras (monastik Buddhisme), para biksu tak diizinkan memiliki uang, dan kami tak pernah menagih biaya apa pun untuk ceramah yang kami berikan, untuk konsultasi, atau untuk pelayanan lainnya.
Seorang perempuan Amerika menelepon seorang rekan biksu, yang terkenal sebagai guru meditasi, untuk bertanya mengenai cara bermeditasi.
“Saya dengar Anda mengajarkan meditasi,” tanyanya dari balik telepon.
“Ya, benar, Bu,” jawab sang biksu dengan nada sopan.
“Berapa tarif Anda?” tanya si perempuan langsung kepada inti masalahnya, tanpa berbasa-basi lagi.
Tidak ada tarif, Bu.”
Kalau begitu, Anda pasti tidak bagus!” sang perempuan yang menelepon, menukas dan langsung menutup teleponnya.
Beberapa tahun yang lalu, saya pun pernah menerima telepon seperti itu dari seorang perempuan keturunan polandia-Australia.
“Benarkah ada ceramah di Vihara Anda nanti malam?” tanyanya.
“Ya, Bu. Mulai pukul 8 malam,” saya memberitahunya.
Berapakah biayanya?” tanyanya.
“Tak ada, Bu, grat!s,” jelas saya. Seeetelah itu ada jeda sesaat.
“Anda belum menangkap maksud saya,” katanya dengan keras. “Berapa banyak uang yang harus saya berikan kepada Anda untuk mendengarkan ceramah itu?
“Bu, Anda tak perlu memberikan uang, ini grat!s,” saya menjelaskan, dengan cara bicara selembut mungkin.
“Dengar!” dia mulai berteriak dari seberang. “Dollar! Sen! Berapa banyak yang harus saya bayar untuk bisa masuk?”
“Bu, Anda tidak perlu membayar apa pun. Anda masuk saja, duduk, dan boleh pergi kapan pun Anda mau. Tak ada yang akan menanyakan nama dan alamat Anda, Anda tak akan diberi selebaran apa pun, dan Anda tak akan dimintai sumbangan apa pun di pintu. Ini benar-benar grat!s.”
Demikian saya mencoba meyakinkan sang Ibu. Sekarang ada jeda yang cukup lama.
Lalu dia bertanya, dengan sungguh-sungguh ingin tahu. “Baiklah, jika grat!s, lalu apa yang kalian dapatkan dari situ?”
“Kebahagiaan, Bu,” jawab saya, “Kebahagiaan.”
Dewasa ini, bila ada yang bertanya berapa harga pengajaran ini, saya tak pernah lagi bilang grat!s. Saya menjawab pengajaran itu harganya sebagai ‘TAK TERNILAI’.”
Setelah bercermin pada ilustrasi cerita di atas, bukankah demikian memalukannya, watak dan perangai Bangsa Indonesia ini? Warga bangsa asing, mereka akan secara “sadar diri” cukup bertanya kepada diri mereka sendiri, apa hak dari penyedia jasa yang digunakan jasanya? Apa yang sedang dijual oleh penyedia jasa jika bukan menjual jasa yang jelas ada harga dan nilainya? Apakah si penyedia jasa tidak berhak atas tarif nafkah profesinya? Si penyedia jasa makan apa? Jika ia harus perduli pada urusan saya, mengapa saya tidak perduli pada urusan pihak konsultan yang saya mintakan layanan jasanya?
Orang Indonesia, memiliki tipikal watak satu ini yang sangat dominan, selalu menanyakan dan hanya mau bertanya pada dirinya sendiri: Apa dan dimana HAK saya? Selebihnya, perihal hak orang lain dan kewajiban dirinya sendiri, orang-orang Indonesia akan tutup mata serapat-rapatnya yang mereka dapat. Sama sekali tidak memiliki “sense” keadilan, cenderung tidak fairness dalam segala hal meski konon, disebutkan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang “bergotong-royong” (jargon)—ternyata hanya pandai “merampok” nasi dari piring profesi orang lain.
Jika orang-orang Indonesia berpikir bahwa ucapan “terimakasih” dapat dimakan, maka mengapa dirinya sendiri menuntut ini-itu dalam sengketa hukum yang mereka miliki? Mengapa tidak diri mereka sendiri yang melepaskan segala sengketa hukum mereka, melepas aset-aset mereka yang terlibat masalah hukum, digaji dengan cukup sebatas ucapan “terimakasih”, lalu cukup “makan batu” sebagaimana mereka paksakan penulis untuk “mati memakan batu” saat mereka menuntut dilayani?
Sejak kapankah, seorang pemerkosa dapat dibebaskan dari dakwaan ketika sang pemerkosa mengucapkan “terimakasih” kepada korbannya? Mengapa tiada satu pun dari mereka, yang ketika penulis tantang balik agar diri mereka sendiri saja yang menjadi “budak” penulis dan “makan batu” sebagaimana mereka paksakan dari penulis dan demikian lancang melecehkan profesi sumber nafkah penulis, tiada seorang pun dari mereka yang bersedia.
Jika demikian, mengapa mereka masih merasa berhak untuk mengganggu dan bahkan hingga tahap “memperbudak” profesi penulis? Warga Negara Indonesia berpendidikan tinggi dan berekonomi tinggi, namun perihal “rasa” keadilan dan kesetimpalan, tumpul setumpul-tumpulnya. Bangsa yang sangat terbelakang secara moralitas. Penjajah yang hanya “jago kandang”—namun nyali mereka akan “ciut” ketika menghadapi bangsa asing.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.