Sebuah Kisah Agen Marketing Promosi dari Neraka

ARTIKEL HUKUM
Penipu Sepatutnya Patut Takut Menipu, Bukan Korban yang Semestinya Takut Tertipu
Terdapat sebuah cerita “dongeng” bagi kalangan dewasa cukup menarik yang pernah penulis dengarkan pada suatu kesempatan yang tidak lagi dapat penulis ingat secara tepat kapan waktunya, namun kisah yang akan penulis reka ulang dalam kesempatan ini, akan menjadi cerminan yang bisa jadi akan membuat merinding “bulu kuduk” mereka yang selama ini mencari “makan” dengan cara menipu, serta membuat tenang hati orang-orang yang pernah menjadi korban penipuan.
Alkisah, seorang Jepang (penulis tidak mengetahui latar belakang awalnya, mengapa sampai menggunakan contoh orang Jepang) meninggal dunia akibat terlampau banyak memakan makanan (percaya atau tidak percaya, memang pernah terjadi pemberitaan dimana seseorang meninggal dunia bukan dikarenakan malnutrisi ataupun kekurangan makanan, namun dikarenakan terlampau banyak mengkonsumsi makanan).
Kisah ini bukanlah sebuah kisah humor komedi, namun kisah horor. Bila Anda memiliki masalah dengan jantung Anda, penulis tidak merekomendasikan untuk melanjutkan membaca kisah ini—melanjutkan bacaan, resiko ditanggung sendiri oleh pembaca. Setidaknya jangan redupkan lampu rumah Anda saat membaca kisah ini.
Untuk itu penulis akan melanjutkan kisahnya, harap para pembaca kembali duduk manis untuk mendengarkan, dan silahkan mempersiapkan “pop corn” Anda jika perlu. Mendadak si Jepang, sebut saja begitu namanya, karena penutur kisah aslinya tidak pernah memberi nama bagi si tokoh utama kisah ini, menemukan dirinya terkapar di sebuah lorong gelap yang sangat panjang.
Ia bangkit berdiri, bertanya-tanya di mana kini dirinya berada dan terdampar. Namun satu hal yang pasti, dirinya sadar telah meninggal dunia karena kebanyakan makan (apakah si pembuat cerita tidak dapat membuat kisah yang lebih cerdas, seperti tewas karena tulang ayam yang tersangkut di tenggorokan pernafasan?).
Si Jepang dapat melihat, di kejauhan, satu ujung lorong itu menampakkan seberkas siluet cahaya, dan ada satu ujung lorong lainnya yang juga bercahaya. Namun, ia tidak tahu kemanakah dirinya harus menuju dan berjalan. Ia butuh seorang pemandu yang dapat memandunya dan menunjukkan arah.
Namun si Jepang tidak dapat menemukan orang lain di lorong yang gelap, dingin, serta panjang itu. Ia berjalan gontai tanpa kepastian arah dan tujuan, bagai anak ayam yang kehilangan induknya, demikian ia mulai meratapi dirinya sendiri. Ia butuh sebuah petunjuk, maka dirinya terus mencari-cari di sepanjang lorong tersebut.
Mendadak, ia sayup-sayup mendengar sebuah ringtone perangkat seluler, diikuti suara seorang asing yang mengucap “Haloo, Nates di sini...” dan diikuti perbincangan yang tampaknya dilakukan oleh si pemilik telepon seluler. Si Jepang mulai dapat melihat dengan lebih jelas. Kini ia mampu melihat si pemilik suara yang sedang sibuk berbincang lewat telepon selulernya adalah seorang pria berperawakan tinggi, berpakaian setelan jas yang rapih, bersih, dengan rambut tersemir, serta kulit wajah yang tidak kalah hitam dengan kacamata hitam yang dikenakan olehnya.
Tampaknya ia seorang pebisnis, sama seperti si Jepang semasa hidupnya di dunia manusia. Ketika si orang asing tersebut sibuk berbincang lewat perangkat selulernya tanpa memerdulikan kehadiran si Jepang yang ada di dekatnya, dan lewat berlalu begitu saja tanpa mengucap salam apapun pada si Jepang, si Jepang mengikutinya dari belakang.
Langkah kaki orang asing itu tegap dan mantap. Suara sol sepatunya menggema di sepanjang lorong. Ketika ia telah selesai dengan urusannya, telepon seluler ditutup, dan dalam kesempatan itulah si Jepang mulai memanggil orang asing tersebut untuk bercakap-cakap.
Si Jepang memperkenalkan diri, “Selamat pagi, siang, atau malam..., nama saya ‘si Jepang’. Jika boleh saya tahu, tempat apakah ini?”
Dengan ramah dan penuh kehangatan, si asing mengulurkan tangannya untuk berjabat-tangan. Sungguh bisnisman yang profesional, pikir si Jepang yang langsung menyambut uluran tangan si orang asing. Dapat ia rasakan, telapak tangannya memang dingin menusuk, namun cukup lembut.
“Nama saya Nates Silbi, saya seorang broker. Senang berkenalan dengan Anda, Pak Jepang.” Sungguh merdu suara si Nates ini. Yang mengejutkan si Jepang, ketika Nates memperkenalkan diri sambil tersenyum, tahulah si Jepang bahwa Nates memiliki deretan gigi yang terbuat dari emas!
Nates melanjutkan, “Apakah ada yang bisa saya bantu?”
“Di manakah ini?” tanya si Jepang tanpa lagi berbasa-basi.
“Oh, Anda pasti pendatang baru di sini,” nada suara Nates mulai menunjukkan sikap simpatik. “Ini adalah lorong alam baka.”
“Alam baka?!” ujar si Jepang setengah menjerit. “Saya harus kembali ke dunia manusia, saya belum sempat menikmati tabungan saya yang sudah saya kumpulkan susah-payah selama hidup.”
“Lupakanlah, teman. Sekarang ini Anda hanya memiliki dua pilihan. Memilih ujung lorong yang satu itu, atau ujung lorong yang ada di sisi sebaliknya yang ada di ujung seberang jauh lainnya itu. Surga atau neraka, itulah lorong yang menuju pintu salah satunya. Atau, Anda dapat menghabiskan sepanjang waktu Anda berada di lorong ini, bila Anda mau. Well, mohon maaf saya masih ada urusan yang harus saya hadiri bila tidak ada hal lainnya yang dapat saya bantu.”
Si Jepang segera mencegat langkah Nates yang hendak kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan si Jepang yang mendadak panik dilanda kebingungan dan kecemasan. Namun untunglah orang yang telah mati tidak dapat berkeringat dingin ketika sedang ketakutan.
“Mohon maaf Mr. Nates, bisakah Anda menunjukkan kepada saya di mana lorong yang menuju ke surga?” tanya si Jepang dengan wajah memelas, dibuat setulus mungkin tampil sebagai orang tak berdosa yang innocent.
Mr. Nates diam untuk beberapa saat lamanya, namun kemudian menghembuskan nafas kecil. “Baiklah Pak Jepang, tampaknya saya harus menunda janji pertemuan saya sekarang ini. Mari saya temani Anda sampai ke tempat tujuan Anda dengan selamat.”
Setelah mengucapkan terimakasih, si Jepang berjalan bersisian bersama dengan Mr. Nates yang berbincang-bincang kecil sepanjang lorong itu, menuju ke salah satu lorong yang tampak jauh namun perlahan namun pasti mulai tampak ujung lorongnya yang tampak makin berkilau dan terang-benderang.
Setibanya di satu ujung lorong, tampak sebuah pintu gerbang yang sangat besar dan megah dibalur manik-manik berlian penuh warna yang gemilang luar biasa kemilaunya, dengan sebuah plang besar terpasang di sisi atasnya, bertuliskan “SURGA”. Wajah si Jepang tampak berseri-seri, seperti bocah umur 5 tahun yang baru mendapat permen gula-gula yang pertamanya.
“Well, Pak Jepang, sungguh suatu kehormatan dapat mendampingi Anda ke tempat tujuan Anda. Apakah Anda telah mempersiapkan diri Anda untuk kita masuk sekarang?”
“Saya tidak pernah lebih siap dari sekarang!” sahut si Jepang dengan penuh kepastian, tidak lagi mampu membendung ketidak-sabaran dirinya.
“Well, tampaknya Anda sudah tidak sabar. Kita langsung saja masuk jika begitu.”
Pintu gerbang dibuka, dan bagai ada mekanisme otomatis yang membuat lantunan lagu-lagu surgawi dan bulu-bulu burung merpati seolah berjatuhan dari langit surga menyambut kedatangan sang tamu yang akan menjadi penghuni baru alam surgawi tersebut.
Betapa bahagianya si Jepang, mendapati pemandangan pesta yang sangat meriah, bagaikan diskotek yang megah, penuh peserta pesta berbaju mewah, minuman koktail, pria-pria yang tampan, wanita-wanita yang seksi, lagu-lagu pop yang membuat adrenalin terpacu, lantai dansa yang penuh oleh pemain dansa, dan orang-orang yang asyik berkaraoke juga tampak pada satu sisi lainnya, senda-gurau maupun tawa ceria riang gembira memenuhi tempat yang demikian tampak menyenangkan itu.
Benar-benar sebuah pesta yang tiada duanya. Tiada pusat hiburan malam dan pesta barberque mana pun yang dapat menandingi indahnya tempat itu. Benar-benar penuh kebebasan, penuh hiburan, penuh gairah, penuh party, penuh lagu, penuh anugerah, penuh kecantikan, dan tidak lagi terlukiskan betapa bahagianya si Jepang. Tiada satupun lukisan yang mampu menyamainya.
“Well, Pak Jepang, apakah benar tempat ini yang Anda butuhkan dan ingin tinggali?” tanya Mr. Nates yang menepuk lembut pundak si Jepang yang baru saja terbangun dari lamumannya ketika merencanakan berbagai hal yang dapat dirinya lakukan di tempat tersebut. Betapa cantiknya wanita-wanita di tempat ini, demikian pikir si Jepang.
“Tentu saja, Mr. Nates. Tidak ada tempat yang lebih pantas untuk seorang seperti saya, selain tempat yang indah dan hebat ini!
“Well, jika begitu saya ucapkan selamat untuk Anda, Pak Jepang. Saya ucapkan selamat datang untuk menjadi salah satu penghuni baru tempat ini, yang akan menjadi rumah Anda untuk selamanya. Saya tidak akan menagih tarif broker untuk Anda kali ini, Pak Jepang. Anggap saja sebagai hadiah perkenalan dari saya.”
Si Jepang menyambut kembali jabat tangan itu secara antusias dengan mata berbinar. Mereka tampak sama-sama puas dan terpuaskan.
“Saya ucapkan terimakasih atas bantuan dan petunjuk dari Anda, Mr. Nates.”
“Oh,” Mr. Nates mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku di jasnya. “Hampir lupa saya berikan kartu nama saya pada Anda.”
Setelah Mr. Nates menyodorkan kartu namanya, dan si Jepang menerimanya, lalu mulai membacanya, entah karena salah baca akibat mata yang mulai rabun atau memang kata-kata yang tercantum dalam kartu nama tersebut berubah bentuk hurufnya, dari yang semula tercantum “Mr. Nates Silbi, broker property”, berubah menjadi warna semerah darah yang menetesi kartu nama itu, menjadi bertuliskan “Mr. Setan Iblis, marketing NERAKA”.
Betapa terkejutnya si Jepang. Ketika kembali mendongakkan wajah menatap Mr. Nates, Mr. Nates membalas senyumannya, namun kali ini gigi emasnya digantikan oleh taring setajam belati yang biasa kita saksikan pada tampilan seorang drakula penghisap darah, dan pancaran merah membara terpancar keluar menembus keluar dari balik kacamata hitamnya yang tidak mampu menutupi pancaran semerah api neraka itu.
Sementara itu di luar, plat nama yang terpampang di depan pintu pagar, jatuh dan memperlihatkan plat nama asli yang sebenarnya tercantum keterangan “NERAKA”.
Ketika si Jepang menoleh ke arah pangung pesta diskotek, secara demikian mengerikan terjadi suatu kejadian yang tidak bisa tidak membuat si Jepang terkejut setengah mati—meskipun dirinya sebenarnya telah mati dan orang mati mungkin tidak lagi punya jantung untuk copot. Wajah-wajah penghuni tempat tersebut menjadi MELELEH, bagai patung lilin yang meleleh. Lagu-lagu kemegahan yang bernada agung, maupun lagu-lagu disko, berubah menjadi suara lautan rintihan hingga jeritan yang menyedihkan, raungan, dan ratapan yang mengerikan.
Yang semula tertawa gembira, berubah menjadi rintih kesakitan, keluhan karena sekujur tubuh mereka berubah menjadi luka-luka borok menganga dengan darah bercucuran dari mata dan mulut mereka, sementara seluruh tempat itu mulai dibakar oleh api panas yang memanggang seluruh penghuni tempat tersebut. Api neraka seperti yang biasa disebutkan dalam dongeng-dongeng.
Si Jepang menoleh ke belakang, cepat-cepat menuju pintu gerbang keluar yang tadi menjadi tempatnya masuk. Namun pintu gerbang tersebut telah menutup rapat, tidak lagi dapat dibuka, sekalipun si Jepang berusaha kuat mendorongnya untuk dapat keluar.
“Apa ini, Anda mencoba menipu saya?” pekik si Jepang, menuding si agen marketing NERAKA.
“Well, tidak juga. Kebetulan saja saat ini sedang ada program promosi NERAKA. Agar program kami dapat menjaring peminat orang-orang semacam Anda, maka kami buatlah strategi marketing ini. Kami hanya menggunakan cara sama yang kami tiru dari cara-cara dan perbuatan Anda selama Anda hidup di dunia sebagai manusia. Mengapa Anda protes ketika Anda yang kini menjadi korban penipuan, sementara selama ini Anda selalu menipu orang lain tanpa mengenal rasa takut? Ketika Anda pertama kali menipu, semestinya Anda sadari dan tahu betul bahwa Anda yang akan tertipu pada akhirnya.”
“Apa? NERAKA?? ... Saya TERTIPU!”
Sementara si agen marketik NERAKA, mulai tertawa dengan nada terkekeh mengejek, suara paraunya mulai terdengar demikian menakutkan. Kini, si Jepang menjadi salah satu dari penghuni neraka yang panas terpanggang dan penuh penderitaan serta kesakitan tiada berkesudahan itu. Bagai mimpi buruk, namun nyata. Mungkin itulah kodrat seorang penipu, akan tertipu sekalipun diri mereka telah berada di alam baka.
Pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut di atas, ialah bahwa kita seyogianya telah menyadari ketika pertama kali kita menipu, bahwa diri kita yang akan mati karena tertipu pada akhirnya—bila tidak di dunia manusia maka akan tertipu di dunia alam baka.
Siapa yang akan menyangka, bahwa alam baka pun memiliki tenaga marketingnya masing-masing, sama seperti dunia manusia tempat kita kini berada—meski tampaknya marketing surga masih kurang “getol” dalam menjual, namun bukanlah itu yang hendak penulis bahas. Hendaknya kita tidak meremehkan kisah fiktif rekaan yang menyerupai dongeng tidak lucu demikian sebagaimana telah penulis babarkan. Mereka yang berpikir bahwa menabur benih tidak akan menuai buahnya, akan menghadapi kodrat serupa.
Akhir kata, penulis mohon maaf menggunakan nama sebutan “si Jepang”, karena memang begitulah si penutur aslinya menggunakan penyebutan nama ketika menuturkan kisah tersebut untuk pertama kalinya yang sudah tidak lagi jelas siapa pengarang otentiknya. Bila terjadi pelanggaran Hak Cipta atas dongeng rekaan fiktif tersebut, penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Demikian agar dapat dimaklumi.
Masih adakah yang berani untuk menipu? Secara pribadi, penulis memiliki sebuah prinsip yang tampak amat sederhana, namun ternyata sangat jarang dipahami banyak manusia dewasa, yakni : Yang semestinya takut untuk berbuat jahat, ialah orang jahat itu sendiri, karena akibatnya akan dipetik oleh si pelaku perbuatan itu sendiri. Masing-masing dari kita, akan mewarisi perbuatan kita sendiri masing-masing.
Bukanlah korban yang harus merasa takut untuk menjadi korban kejahatan, karena hukum karma yang akan menjadi hakim sekaligus eksekutornya bagi si korban, tanpa harus diminta ataupun disuap, sehingga tiada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini.
Menyadari akan kebenaran prinsip tersebut, menjadi mengherankan bila terdapat orang-orang yang tidak takut dan dengan demikian berani melakukan suatu kejahatan yang merugikan orang lain—bahkan mungkin juga bangga terhadapnya. Yang semestinya takut akibat perbuatan buruk, ialah pelaku kejahatan itu sendiri, bukan si korban yang harus takut menjadi korban kejahatan.
Demikian kerap kali patut kita renungkan. Ingatlah selalu, marketer neraka sekalipun dapat mengecoh Anda dengan promosi yang dibuat secara demikian kreatif oleh mereka guna menjaring peminat. Mungkin itulah sebabnya, neraka tidak pernah sepi dari peminat untuk menjadi salah satu dari penghuninya. Anda berminat? Anda bahkan tidak perlu membayar mahal untuk sebuah tiket ekspres menuju ke alam tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.