Saatnya Generasi Tua Menghormati Generasi Muda, Bukan Lagi Sebaliknya

ARTIKEL HUKUM
Ketika masih hidup, merampok hak milik orang lain dan banyak melakukan penipuan. Ketika sudah mati pun, masih saja merepotkan orang lain dengan menggelar upacara rtiual kematian yang menutupi badan jalan hingga menutup pintu keluar rumah warga sekitar, serta mobil pengangkut jenazah lengkap dengan sirine meraung-raung seolah si mayat yang dibawa olehnya butuh pertolongan medis segera ke UGD—seolah si mayat dapat hidup kembali jika dapat cepat tiba di tempat. Bahkan, mungkin juga setelah menjadi arwah gentayangan, dirinya masih juga mengganggu ketenanangan hidup orang lain.
Apa yang hendak penulis sampaikan ialah, seseorang bukanlah layak atau tidak patut dihormati setelah diri yang bersangkutan menjadi mayat alias jenasah, tapi saat dirinya masih dalam keadaan hidup dan sehat penuh kekuatan. Sebagai contoh, seorang Hitler atau bahkan seorang Setya Novanto, katakan dirinya meninggal dan dibawa oleh mobil jenazah, melaju dalam kecepatan tinggi di jalan raya meminta agar pengemudi lain untuk menyingkir memberi jalan dengan bunyi sirinenya.
Pertanyaan untuk kita semua ialah, apakah kita wajib “secara MORIL” untuk menghormati jenazah yang dibawa oleh mobil jenazah yang “minta untuk dihormati” demikian? Seorang manusia bukan dihormati karena ia sudah menjadi seorang jenazah yang terbujur kaku dengan tubuh dingin tanpa nafas. Betul bahwa Undang-Undang tentang Lalu Lintas kita memberi prioritas bagi kendaraan pengangkut jenazah, namun apakah artinya kentuan dalam undang-undang demikian, selalu akan lolos dari “uji moril”?
Namun, bagaimana mungkin dirinya hendak dihormati serta diberi “mengheningkan cipta” bila diri bersangkutan (atau anggota keluarganya) yang bila sudah meninggal dunia saja masih merepotkan orang lain yang notabene masih hidup? Orang yang sudah mati, semestinya membuka jalan bagi generasi penerus, bukan justru menghalangi dan menjadi penghambat jalan bagi orang-orang yang masih hidup.
Begitupula terhadap seseorang yang berpenampilan telah mencapai usia paruh baya (alias sudah sepuh dan berambut serba memutih atau kulit berkeriput dan bertulang punggung bungkuk). Kita selalu diajarkan dalam pendidikan tata-tertib etika sosial, agar memberi hormat dan memberi tempat duduk kepada mereka yang lebih tua. Namun apakah etika sopan-santun demikian, dapat dibenarkan secara moril? Jawabannya, tidak sama sekali, dan etika sopan-santun demikian sudah selayaknya untuk digugat “uji materiil”, jika perlu “dibatalkan” keberlakuannya.
Seseorang layak untuk dihormati ataupun untuk tidak patut untuk dihargainya, bukan karena suatu faktor umur seseorang bersangkutan yang telah mencapai usia paruh baya, namun dari perilaku orang bersangkutan tatkala masih berusia muda dan kuat. Semakin tua semakin bijak, adalah pepatah usang yang sudah tidak lagi memiliki korelasi / relavansi dengan dunia kontemporer, dimana generasi tua memerkosa generasi muda, generasi tua secara “tega” menipu generasi muda, generasi tua mengkorupsi hak-hak generasi muda, generasi tua memanipulasi dan mengeksploitasi generasi muda, dan berbagai contoh pemberitaan lainnya yang tidak akan habis untuk dirinci satu per satu.
Ilustrasi sederhana berikut, dapat menjadi cerminan nyata. Penulis mengenal seseorang pemuka agama di lingkungan kediaman penulis, dimana ketika dirinya masih muda, yang bersangkutan kerap mimbar di tempat ibadah lingkungan kediaman penulis, yang ironisnya, setiap kali mimbar selalu mengutuk mereka yang berkeyakinan lain, dan menyebut-nyebut bahwa mereka yang berkeyakinan lain agar dimasukkan ke “neraka jahanam”. Begitu sadistik lontaran kata-kata yang bersangkutan, ketika dirinya masih muda dan kuat.
Namun itu sudah lampau bertahun-tahun yang lalu. Kini, dirinya sudah dimakan umur, menjadi uzur serta lemah lunglai, tidak dapat lagi mimbar untuk mengutuk-ngutuk mereka yang berbeda keyakinan. Bila orang-orang saat kini melihat kondisi dirinya, mungkin akan menaruh prihatin dan kasihan karena terlihat kurus-kering dan lemah. Namun siapa yang tahu, apa yang betul-betul diperbuat diri bersangkutan ketika dirinya masih muda dan kuat? Jangan tanyakan apa yang diperbuat seseorang ketika dirinya tua, namun tanyakan apa yang diri bersangkutan buat ketika masih muda dan kuat. Seseorang yang telah tua dan lemah, apa lagi yang dapat diperbuat diri bersangkutan selain menampilkan wajah innocent dan tidak berdaya?
Kita ambil cerminan lainnya, yakni kembali pada teladan buruk seorang Setya Novanto. Dirinya telah berumur separuh abad ketika melakukan tindak pidana korupsi Mega Proyek e-KTP. Dirinya apakah patut mendapat respect dari kaum muda, sebagai contoh, diberi tempat duduk oleh kalangan muda ketika berada di tempat umum ataupun ketika berada di sebuah moda transportasi umum?
Aksi korup Setya Novanto jelas-jelas telah merampas hak-hak generasi muda dan generasi penerus bangsa ini, sehingga menjadi pertanyaan moril utama yang hendak kita kemukakan ialah : Apakah dirinya layak, mendapat kehormatan untuk dihormati oleh mereka yang masih muda? Sayang sekali, Setya Novanto demikian gemuk oleh pundi-pundi korup, sehingga tampaknya mustahil akan menjumpai sang koruptor bersedia “mencicipi” / merasakan penderitaan rakyat dengan menumpangi transportasi umum “berjubelan” dengan rakyat jelata yang merana akibat kemiskinan.
Dahulu, sebagai sesama anam muda, penulis tidak segan-segan menghardik anak muda lainnya yang tidak bersedia memberi tempat duduk bagi kalangan lansia ketika berada di dalam transportasi umum seperti bus maupun kereta api. Kalangan muda tersebut berpura-pura tertidur atau sibuk bermain gadget mereka sendiri, seolah tidak mengetahui keberadaan kaum lansia yang berdiri tanpa mendapat jatah tempat duduk.
Namun, itu dahulu kala, ketika penulis belum mendapati fakta realita “getir” bahwa demikian masifnya kaum tua di negeri ini, yang bersikap korup, tidak segan-segan mengambil serta merampok hak-hak kaum muda generasi penerus negeri ini. Kaum tua yang egoistik, kian membuat paradigma penulis menjelma bergeser menjadi penentang utama “warisan” dinasti korup para generasi tua di negeri kita bersama.
Sehingga, saat kini, alih-alih menghardik dan menghakimi sesama kalangan muda yang tidak bersedia memberikan tempat duduk bagi generasi tua, penulis akan cukup bertanya kepada diri penulis sendiri di dalam hati, apakah si “tua” itu layak mendapat penghormatan dari generasi “muda”? Apa yang selama ini si “tua” lakukan ketika masih muda dan kuat? Si “muda” sekalipun, kelak akan menjadi “tua”, sehingga apa salahnya bila si “muda” hendak menikmati masa “muda”-nya yang telah banyak dirampok oleh generasi “tua” tersebut? Si “tua” pun telah menikmati masa-masa “muda” tatkala dirinya masih kuat dan sehat bugar.
Penulis tidak pernah lagi secara membuta dengan “kolot”-nya menaruh hormat kepada siapa pun yang sudah terlihat tampak berambut putih (beruban), berkulit penuh keriput, berjalan tertatih-tatih lengkap dengan kondisi punggung yang bongkok. Penulis menaruh apatis terhadap generasi tua bangsa Indonesia, terlampau banyak “warisan” korup yang kini harus dibayar dan ditanggung oleh pundak generasi muda, sangat membebani.
Para generasi tua itu sendiri, yang tidak menaruh penghargaan yang selayaknya kepada generasi-generasi muda. Rata-rata pelaku korupsi, ialah mereka yang telah berusia jauh diatas empat puluh tahun. Melihat cerminan fenomena sosial demikian, sudah saatnya generasi muda bersikap “berontak” dengan tidak lagi menaruh respect sebagaimana beberapa abad lampau ketika generasi tua digugu dan ditiru serta menjadi pengayom hidup bagi generasi muda. Kalangan arif dan bijaksana, dahulu kala selalu merujuk kalangan yang telah senior dari segi umur—namun itu “dulu”, dahulu kala. Zaman sudah berubah, saat kini hanya “Mbah Google” yang paling jujur dan apa-adanya.
Generasi tua kita justru banyak memberi teladan buruk bagi generasi muda, seperti mempertontonkan perilaku tidak beradab seperti tindak anarkhi dan penganiayaan, perilaku vandalisme, perilaku penuh kekerasan dan radikalisme, perilaku-perilaku tidak senonoh, sikap-sikap korup penuh kolusi, kebiasaan-kebiasaan memeras dan menerima pungutan liar ataupun sebaliknya yakni menyogok dan memberi suap, aksi tipu-menipu, berbohong dan berdusta yang menjadi makanan sehari-hari para generasi tua terhadap generasi muda mereka, hingga ajang penelantaran oleh generasi tua terhadap generasi muda mereka.
Tidaklah mengherankan bila generasi muda kita menaruh kecewa, bahkan rasa “alergi” terhadap generasi tua mereka. Penulis sendiri, secara pribadi, telah berubah cara pandang demikian drastis secara kontras, dari semula bersikap monoton kaku penuh hormat terhadap seluruh generasi tua yang penulis jumpai dalam setiap kesempatan, menjadi bersikap penuh apatis.
Sikap apatis penulis, bukanlah “sebab”, namun “akibat” perilaku tidak etis kalangan tua itu sendiri. Demikian untuk kita renungkan bersama. Bukan zamannya lagi generasi tua minta dihormati serta dihargai, sepanjang generasi tua itu sendiri tidak menaruh penghargaan terhadap para generasi muda mereka. Saat kini, banyak tampil generasi muda yang disegani dunia global, dari kemahiran mereka dalam bidang iptek, hingga berbagai inovasi dan prestasi mereka. Sudah saatnya generasi tua “angkat topi” bagi generasi muda.
Sebagai contoh untuk melengkapi sekaligus sebagai penutup bahasan dalam kesempatan ini, jika sekali waktu penulis berjumpa dengan seorang Setya Novanto yang telah banyak menyiksa rakyat saat berurusan dengan e-KTP, jangankan penulis akan memberikan padanya kesempatan untuk duduk di tempat umum, dirinya akan penulis hardik dan usir ketika meminta agar penulis memberi dirinya tempat duduk agar dirinya dapat menikmati tempat duduk dengan lagi-lagi mengorbankan generasi muda.
Sebelum Anda menuduh penulis telah bersikap “kurang hajar” serta tidak menghormati generasi tua, maka tanyakanlah dahulu kepada diri Anda sendiri : Apakah Anda benar-benar layak untuk dihormati semasa Anda hidup sebagai manusia yang muda dan kuat? Janganlah bersikap seolah-olah Anda tidak pernah menikmati masa muda, dan seolah-olah si muda tidak akan juga menjadi tua suatu saat nanti.
Kita hanya berhak untuk “minta dihormati” oleh diri kita sendiri, bukan menuntut agar orang lain menghormati diri kita. Mereka yang terhormat, akan dihormati oleh warga secara sendirinya, tidak akan pernah perlu untuk “minta dihormati”. Ketika masih hidup, janganlah membuat repot orang lain. Dan setelah meninggal, janganlah membuat sulit hidup orang lain.
Itulah prinsip hidup yang mulai perlu diterapkan oleh para generasi tua kita, bila mereka mengharap mendapat tempat kehormatan di hati para generasi muda kita yang sudah sangat sukar hidupnya karena mendapati “warisan” beban korup para generasi tua kita. hidup ini sudah sedemikian sukarnya bagi generasi muda kita, janganlah generasi tua menambah beban derita bagi para generasi muda yang belum tentu akan hidup semewah dan seistimewa generasi pendahulu mereka.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.