KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Penyebab Investor Asing Tidak Berminat Investasi di Indonesia, Inilah Alasan Logisnya yang Perlu Kita Benahi Bersama

ARTIKEL HUKUM
Katakanlah, atau buatlah suatu pengandaian, umpama Anda adalah seorang investor dari luar negeri. Ketika Anda melirik Indonesia, apakah Anda tertarik dan berminat menanamkan modal Anda dan berspekulasi dengan berinvestasi di Indonesia untuk memakmurkan bangsa Indonesia ini? Jawabannya akan sama seperti pertanyaan, apakah Anda berminat berinvestasi ke Suriah, sementara rakyat Suriah itu sendiri berbondong-bondong migrasi keluar dari negeri mereka?
Tulisan ini merupakan bagian dari otokritik, sehingga perlu kita akui dan maklumi bersama. Penulis akan mengajak seluruh pembaca untuk bersikap terbuka menyikapi pemberitaan betapa kini tren antipati kalangan investor asing terhadap Indonesia, seperti mulai menurunnya minat investor asing yang lebih memilih untuk berinvestasi di negara-negara Asean lainnya seperti di Filipina, Vietnam, Thailand, hingga Myanmar, Malaysia, dan India. Mengapa harus di Indonesia? Menurut Anda, apakah faktor yang paling merugikan dan paling menguntungkan ketika Anda dapat berinvestasi di Indonesia?
Penulis akan membuka wacana ini dengan mengungkap satu dan satu-satunya keuntungan berinvestasi di Indonesia, yakni: pejabat pembuat kebijakan di negeri ini mudah sekali disuap dan berperilaku kolusi, seperti kasus Meikarta dimana ruang terbuka hijau dapat disulap menjadi tempat berdirinya proyek apartemen raksasa, semudah kalangan pengusaha menyuap kepala daerah di wilayah tempat akan berdirinya proyek bisnis dan komersiel.
Begitupula kalangan pengacara di Indonesia, sudah dikenal luas menyerupai seorang makelar kasus sekelas OC kaligis. Namun itu sajalah satu-satunya “isu sensuil” betapa menariknya berivenstasi di indonesia. Tidak ada hal positif lainnya yang dapat mengundang minat investor asing untuk masuk ke Indonesia.
Kalangan buruh menuntut agar jumlah hari kerja dikurangi dari 5 hari dalam seminggu dirubah regulasi menjadi 4 hari kerja—jika itu sampai benar-benar terjadi seperti tuntutan kaum buruh saat berdemo setiap tanggal 1 Mei (May Day) setiap tahunnya, dapat dikatakan bahwa Indonesia akan masuk dalam salah satu negara blacklist tujuan investasi oleh kalangan serikat pengusaha di dunia.
Setelah mengungkap faktor kelebihan berinvestasi di Indonesia, tidak lengkap bila penulis tidak secara berimbang mengungkap berbagai pertimbangan memberatkan bagi para investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, ialah dengan rincian sebagai berikut, yang ternyata sangat panjang daftarnya, sehingga mau tidak mau akan tampak “berat sebelah”.
Pertama, faktor disparitas dan pergesekan diametral antara etnis “pribumi” dan etnis “pendatang non pribumi”, dimana etnis keturunan masih diperlakukan diskriminatif di Indonesia seperti kasus Ahok sang mantan Gubernur DKI Jakarta, Meiliana dalam kasus di Tanjung Balai, dan berbagai gesekan-gesekan sosial lainnya yang pada pokoknya isu SARA masih menjadi isu yang paling sering terjadi di Indonesia—dan yang tidak terungkap oleh media masih jauh lebih banyak.
Kedua, berbagai aksi sweeping oleh berbagai Ormas (organisasi massa) berbasis agama tertentu ke berbagai pabrik, dengan tujuan untuk meminta diperlakukan istimewa bagi kalangan pekerja beragama tertentu, menuntut uang keamanan (pemerasan), hingga intimidasi dan provokasi.
Ketiga, euforia kalangan buruh, baik lewat medium Serikat Pekerja maupun secara massal “berjemaah”, berdemo menuntut berbagai perlakuan istimewa semata demi memberatkan kalangan pelaku usaha (seolah para investor tidak dapat ‘minggat’ alias angkat kaki dan angkat koper memindahkan investasi / pabrik mereka ke negara tetangga), hingga aksi memaksa berbagai pekerja pabrik agar ikut dengan demonstrasi mereka dengan ancaman akan merusak pabrik bila pihak manajemen tidak mengizinkan pekerja mereka ikut berdemo.
Keempat, terlampau mudah dan masifnya berbagai demo demi demo dibiarkan berlangsung di Indonesia, dari demo yang satu berlanjut dengan demo yang lain dengan memakai kemasan “alumni ...”, menjadikan Indonesia bukan negara yang kondusif bagi warga negaranya sendiri terlebih bagi pengusaha lokal maupun investor asing. Indonesia bagai negara dengan zona merah yang panas, sewaktu-waktu dapat meletup, meledak, dan ricuh. Bagai telur di ujung tanduk, satu percikan kecil dapat membuat ledakan besar.
Bahkan untuk ukuran suporter kesebelasan sepak-bola, dapat dan sering terjadi ricuh yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa, hingga tawuran antar remaja berseragam sekolah, kerusukan suku, konflik sosial antar daerah, antar agama, antar pengusung calon presiden berbeda partai politik, hingga berbagai konflik-konflik yang terbilang cukup remeh, namun berdampak signifikan bagi wajah / citra Indonesia di mata global.
Kelima, rumitnya perizinan, tidak pastinya perizinan yang dapat dicabut sewaktu-waktu serta tumpang-tindih dengan perizinan yang diberikan kepada pihak lain, hingga masalah birokratisasi yang sarat pungutan liar dan aksi-aksi kolusi yang memberatkan kalangan pelaku usaha yang sangat membutuhkan kepastian hukum serta kalkulasi yang dapat dipastikan atas investasi mereka. Tiada jaminan kepastian hukum yang mampu ditawarkan pemerintah Indonesia (jika betul menjanjikan, dimana bukti konkretnya?), sehingga adalah logis bila tiada investor asing yang berminat “membakar” dana mereka ke Indonesia. Tiada investor asing yang berminat datang untuk “merugi”—kita tidak dapat bersikap naif mengenai hal ini.
Keenam, rezim hukum pertanahan kita yang masih dibiarkan ketinggalan zaman, dalam artian sewaktu-waktu jual-beli dapat dinyatakan tidak sah karena muncul suatu pihak sebagai penggugat yang mengklaim sebagai pemilik yang paling berhak, bahkan ketika investor asing lewat PT. PMA-nya telah berhasil mengantungi Sertifikat Hak Guna Usaha, tidak ada jaminan sewaktu-waktu sertifikat miliknya akan aman untuk didirikan pabrik yang padat modal.
Ketujuh, lembaga peradilan di Indonesia sama sekali tidak layak disebut sebagai lembaga tempat mengadili, dimana kalangan hakimnya kerap tertangkap tangan terjerat kasus kolusi yang memprihatinkan. Investor asing butuh negara dengan lembaga peradilan yang bukan tinggi dalam segi kuantitas, namun tinggi dalam faktor wibawa serta reputasi. Ironisnya, Mahkamah Agung RI tidak mau belajar dari pengalaman untuk mengubah sistem hukumnya agar lebih mengedepankan kepastian hukum dengan menjadikan preseden sebagai bersifat “mengikat” bagi kalangan hakim pemutus.
Bahkan disparitas antar putusan kasasi antar Hakim Agung, tetap dibiarkan berlangsung hingga saat kini, tanpa perhatian berarti dari Ketua Mahkamah Agung RI yang ada seolah hal tersebut bukanlah hal urgen untuk dibenahi—itulah salah satu kegagalan besar dari para Ketua Mahkamah Agung RI. Bila sang Ketua MA RI menyatakan tuduhan penulis tidak berdasar, dapat penulis berikan berbagai nomor register putusan kasasi produk hasil lembaga MA RI yang saling tumpang-tindih antar putusannya meski dalam rentang waktu yang tidak demikian berjarak.
Kini biarlah penulis yang balik menantang MA RI, sejauh apa komitmen MA RI mengatasi aib terbesar dalam praktik hukum, yakni: disparitas antar putusan? Bukankah itu sama artinya dengan mengajak masyarakat untuk berspekulasi? MA RI terkesan membuka ruang lebar untuk berspekulasi, sesuatu yang sangat tidak mendidik.
Sementara praktik di Hoge Raad, Mahkamah Agung Belanda, telah secara resmi mengumandangkan kiblat sistem hukum Common Law sebagai back bone praktik hukum mereka sehingga menawarkan kepastian dan tingkat prediktabilitas yang tinggi bagi para pencari keadilan—itulah standar kualitas produk yang ditetapkan Ketua Hoge Raad. Mahkamah Agung RI masih berbangga diri mencetak kuantitas output total putusan per tahunnya, bukan dari segi kualitas.
Ketua MA RI perlu mulai memahami, membanjirnya berbagai upaya hukum hingga tingkat kasasi, oleh sebab para warga masyarakat tergiur untuk berspekulasi “siapa tahu hakim agung yang memeriksa akan ‘kecolongan’ dan bisa dimenangkan?”, “siapa tahu bisa menang”, “siapa tahu preseden perkara serupa akan diputus berbeda dan tidak serupa”. Ketika MA RI justru mengejar kuantitas, ketimbang kualitas, maka sampai kapan pun MA RI akan dikodratkan dibanjiri puluhan ribu permohonan kasasi dan peninjauan kasasi setiap tahunnya, yang sifatnya hanya spekulasi belaka oleh para ‘spekulan’ hukum.
Kedelapan, harga-harga komoditas di Indonesia, baik bahan baku bahkan untuk ukuran bahan pangan, terbilang sangat tinggi secara tidak rasional—entah disebabkan karena faktor apa. Sebagai contoh, harga barang-barang dan komoditas di Thailand, sangat jauh dibawah Indonesia, meski dengan kualitas yang masih diatas produk-produk dan pangan di Indonesia.
Ketika segala hal terkait produk di Indonesia terbilang tinggi (meski Indonesia adalah negara yang tidak kalah suburnya, sehingga menjadi tidak logis ketika berbagai harga sayur-mayur jauh diatas harga sayur-mayur di Thailand), tiada investor yang merasa diberi insentif yang cukup menarik untuk mengeruk laba dari Indonesia. Umpama, gaji buruh di Thailand masih jauh dibawah penghasilan per kapita buruh di Indonesia. Namun dengan segala produk pangan yang tergolong jauh tidak semahal di Indonesia, upah minimum regional bagi kalangan buruh di Indonesia tidak lagi memiliki dampak signifikan.
Kesembilan, tingkat kriminalitas di Indonesia terbilang sangat tinggi. Indonesia menjadi tampak menyerupai negara yang belum beradab, di mata kalangan pengusaha global, mengingat berbagai tingkat kriminalitas di tengah masyarakat kita sangat tinggi akibat penegakan hukum “separuh hati” oleh aparaturnya di Indonesia. Jika melaporkan tindak kriminil menjadi demikian sukar, maka tiada jaminan keamanan berinvestasi di Indonesia. Mengapa masih harus mengambil resiko tidak perlu, dengan berspekulasi sampai untuk hal-hal diluar faktor ekonomi dengan menanam modal ke Indonesia?
Bahkan, seperti telah menjadi rahasia umum, kalangan kepolisian justru kerap memeras kalangan korban pelapor, alih-alih memberi perlindungan hukum bagi korban. Hukum acara pidana kita juga tidak memberi kepastian tindak-lanjut laporan bagi pihak warga pelapor—terlebih bila pelapornya merupakan investor asing.
Terlebih ironis fakta berupa statistik demikian overload-nya berbagai lembaga pemasyarakatan di Indonesia, mengakibatkan banyak kriminil yang diberi remisi demi remisi sehingga paga gilirannya pemidanaan menjadi tidak cukup berarti, mengingat para kriminil demikian dibiarkan dengan mudahnya kembali berkeliaran di tengah jalan, yang sewaktu-waktu dapat mengancam kelangsungan usaha kalangan investor asing. Melapor kehilangan seekor “sapi”, justru akan mengakibatkan hilangnya satu buah “mobil”.
Kesepuluh, masifnya aksi-aksi terorisme di Indonesia. Setiap tahunnya terjadi aksi peledakan berdarah yang menjadi headline pemberitaan di media massa, membuat wajah Indonesia demikian tercoreng oleh aksi radikalisme berdarah di Indonesia yang mengundang antipati investor asing untuk masuk ke Indonesia.
Pihak kepolisian bahkan kerap diberitakan menangkap para tersangka pelaku terorisme, yang bila ternyata masih lebih banyak yang tidak terlacak dan tidak tertangkap, maka Indonesia bagaikan daratan yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi “neraka penuh ranjau bom waktu”—sehingga menjadi jelas tiada satupun investor yang cukup “waras” untuk menanggung resiko demikian.
Kesebelas, perilaku atau watak bangsa Indonesia yang gemar “mengkaf*r-kaf*rkan” kaum yang berbeda agama dan golongan. Mengakibatkan tiada simpati apapun yang dapat dihimpun dari investor asing yang juga tergolong mereka tunjuk sebagai “kaf*r”. Sementara, investor asing seyogianya perlu diperlakukan layaknya tamu hotel berbintang agar berminat untuk datang, tinggal, dan menetap. Namun ketika investor asing tersebut diperlakukan layaknya “binatang” yang “dilaknat”, diancam dengan peledakan aksi radikal, adalah logis bila para investor asing kemudian lebih memilih negara lain yang lebih ramah terhadap kemajemukan di lingkup negara-negara Asean lainnya. Tiada investor yang berminat mengantar nyawanya dengan memasuki Indonesia untuk beraktivitas dan berproduksi.
Keduabelas, kalangan buruh dan pekerja kita, diakui ataupun tidak diakui, kerap melakukan korupsi, mulai dari segi korupsi waktu, dari segi korupsi uang bensin, korupsi alat tulis kantor, korupsi pengadaan barang dan jasa, korupsi ini dan itu, sehingga kasus-kasus penggelapan dalam jabatan marak sekali terjadi di Indonesia, mengakibatkan kalangan pengusaha harus dipusingkan oleh berbagai kasus-kasus pidana yang kontraproduktif dan membuang-buang waktu mereka yang dapat mereka sudahi semudah memindahkan pabrik mereka keluar dari negara Indonesia.
Ketigabelas, over regulated yang terlampau rumit di Indonesia, baik peraturan perundang-undangan sektor bisnis, sektor penanaman modal, hingga sektor perpajakan dan berbagai sektor lainnya, terutama perburuhan hingga pertanahan. Adalah kebohongan besar, bila kita mengklaim mampu menyampaikan seperti apa regulasi di Indonesia guna memancing minat investor asing untuk masuk ke Indonesia, cukup dengan satu atau dua hari presentasi. Pada gilirannya, banyak investor asing kita yang merasa “tertipu” oleh presentasi demikian, dan menyesal ketika mereka telah membangun pabrik di Indonesia.
Keempatbelas, infrastruktur yang semrawut dan tidak tertata, bahkan dapat disebut sebagai jorok dan kumuh, dimana warganya sendiri yang kerap membuang sampah ke bantaran kali / sungai yang terdapat persis di depan rumahnya sendiri, yang pada gilirannya mengakibatkan banjir yang bukan lagi bencana alam karena ulah manusia penghuninya sendiri. Infrastruktur jalan yang buruk, mengakibatkan pasokan dan distribusi menjadi suatu kendala tersendiri, melahirkan apa yang oleh kalangan ekonom sebut sebagai “ekonomi berbiaya tinggi” yang sangat ditakutkan oleh kalangan pelaku usaha baik asing maupun lokal.
Berbagai aksi korupsi turut menambah keruh problema lemahnya infrastruktur di Indonesia, sehingga dirasakan tidak sebanding dengan pajak yang dibayarkan oleh kalangan pelaku usaha di Indonesia. Tiadanya kesetimpalan ini, pada gilirannya melahirkan antipati kalangan investor yang seringkali berminat atau tidak berminat berdasarkan rekomendasi “mulut ke mulut” antar investor yang biasanya saling berbagi informasi. Janganlah kita pikir para investor asing tidak memiliki jaringan informasi ini.
Kelimabelas, kualitas tenaga kerja yang tidak terampil dan lemah dalam segi kualitas keterampilan dan pengetahuan—mengapa para investor asing perlu memusingkan hal yang satu ini? Mereka datang untuk berinvestasi, bukan untuk repot-repot “mendidik” dan memberi “tutorial” bagaimana menjalankan roda ekonomi dan menjadi terampil.
Sekadar menyebutkan, salah satunya ialah para tenaga kerja lulusan fakultas hukum di Indonesia, tiada satupun fresh graduate ilmu hukum yang siap pakai di Indonesia, karena kurikulum dan kualitas pendidikan yang lebih mengedepankan teori serta kegiatan membaca undang-undang yang membuang-buang waktu dan sejatinya dapat dibaca sendiri oleh orang awam sekalipun. Tiada pembekalan keterampilan praktis yang dapat diterapkan bagi para peserta didik mereka perguruan tinggi ilmu hukum.
Keenambelas, aksi vandalisme kian membuat wajah Indonesia tampak seperti bangsa yang belum beradab. Investor asing hanya berminat memasuki negara yang diberi label sebagai bangsa beradab—agar aset mereka aman. Bangsa yang belum beradab adalah bangsa yang belum selesai dengan dirinya sendiri untuk dibenahi, sehingga tiada investor yang berminat untuk “terkena getahnya”, mengakibatkan iklim investasi di Indonesia tidak berjalan kondusif.
Selama bangsa Indonesia belum siap membenahi diri, tiada investor global yang akan menaruh hormat terhadap Indonesia. Ketika bangsa ini telah siap untuk berbenah, barulah investor asing tersebut berminat untuk bekerja sama, dan muncul secara sendirinya tanpa perlu diundang. Ketika murid tidak siap, tiada satupun guru yang akan siap untuk si murid, demikian penulis kerap mengumpamakan.
Ketujuhbelas, terlalu sering dan terlampau cepatnya pemerintah Indonesia membongkar-pasang peraturan perundang-undangan, bagai bermain-main, atau menjadikan masyarakat umum dan dunia usaha sebagai laboratorium eksperimen uji coba yang pada gilirannya membuat citra negatif para subjek hukum terhadap hukum maupun penegakannya. Terdapat jebakan mental disini, yakni para investor asing merasa telah “terjebak” serta “terperangkap” dari apa yang mereka harapkan dan bayangkan semula.
Regulasi yang paling kerap diganti dan diubah, salah satunya peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan serta penanaman modal (sangat kontra-produktif terhadap niat pemerintah kita untuk menarik simpati investor asing), mengakibatkan para investor bagai terombang-ambing tanpa arah tujuan yang jelas di tengah samudera karena nakhoda pengemudi kapal yang tidak terampil dan tidak profesional.
Kedelapanbelas, aparatur sipil negara atau pegawai negeri sipil yang tidak profesional serta tidak jelas apa kerjanya. Jangankan investor asing, warga lokal merasa seolah hidup dan berjuang seorang diri tanpa perlindungan ataupun pengayoman dari berbagai instansi pemerintahan. Negara seolah tidak hadir di tengah masyarakat, dan tidak pernah hadir maupun tampil saat benar-benar dibutuhkan. Mereka seolah demikian berjarak, tidak tersentuh, hidup di “menara gading”, dan tidak membuka akses bagi publik ataupun masyarakat untuk mengadukan sesuatu serta kepastian tindak lanjut laporannya. Jumlah pegawai negeri sipil di negeri kita demikian “gemuk”, namun minim dari segi prestasi dan pelayanan terhadap publik.
Kesembilanbelas, membanjirnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) berbasis agama tertentu di berbagai daerah di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, indeks keamanan dan tingkat keterbukaan suatu negara bersahabat bagi pendatang, ialah ketika kemajemukan dapat diakomodasi oleh warga lokal.
Namun dengan munculnya Perda-Perda berbasis agama tertentu, menimbulkan segresasi sosial seolah negara atau kota tersebut menolak keberadaan kaum yang berbeda keyakinan dengan mereka. Jangankan disebut mengundang investor, keberadaan Perda-Perda demikian justru bahkan “mengusir” warga lokal mereka sendiri semata karena berbeda faktor keyakinan.
Keduapuluh, sukarnya mengajukan eksekusi terhadap putusan pengadilan, baik putusan pengadilan lokal maupun arbitrase asing. Menang dalam gugatan bukanlah akhir dari segalanya, justru seringkali menjadi lembaran masalah baru akibat penuhnya ketidak-pastian dan pungutan liar dalam praktik di berbagai pengadilan negeri yang tersebar di seluruh pelosok di Indonesia. Dalam mata penulis, itulah faktor pertimbangan yang paling memberatkan yang membuat investor asing perlu berpikir ribuan kali sebelum berspekulasi menanamkan modal mereka ke Indonesia.
Keduapuluh satu, Indonesia dikenal sebagai negara konsumtif dan importir. Cukup menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar, tanpa perlu berspekulasi dengan membangun pabrik apapun di Indonesia—sejujurnya itulah rekomendasi yang penulis berikan bagi investor asing yang berkonsultasi pada penulis, perihal layak atau tidaknya menanam modal / berproduksi di Indonesia. Bila para pembaca menilai bahwa penulis tidak nasionalis, tampaknya penulis lebih memilih reputasi ketimbang sikap nasionalis yang tidak rasional.
Kita semua ketahui, seluruh produk yang beredar di pasar Indonesia, sebagian besar merupakan produk importasi. Jika mengekspor produk ke Indonesia dapat menjadi langkah yang lebih pasti, mengapa harus berinvestasi dengan membangun pabrik dan berproduksi di Indonesia. Indonesia adalah market yang sangat menggiurkan bagi produk-produk konsumtif dan gaya hidup seperti gadget.
Riset menunjukkan, sebagian besar ecommerce kita dibanjiri produk impor, dan itulah produk yang paling diminati pasar konsumen di Indonesia. Bila cukup mengekspornya ke indonesia, mengapa harus membangun pabrik di Indonesia? Social cost akibat membangun pabrik di Indonesia, masih jauh lebih mahal ketimbang biaya kargo kapal laut dalam rangka ekspor produk ke pasar di Indonesia yang selalu akan menyerap produk apapun yang diberi label “impor” pada kemasannya.
Sebenarnya masih banyak lagi rincian yang dapat penulis susun, namun agar tidak membuat para pembaca semakin kian pesimis atau terdepresi lebih mendalam, maka ulasan penulis cukupi sampai sejauh itu saja. Sebagai penutup, perlu mulai kita pahami bersama, setiap investor asing pastilah akan melakukan modus transfer pricing, tidak ada investor asing yang tidak melakukan praktik transfer pricing.
Setiap otoritas negara lainnya di luar sana, mengetahui hal itu. Satu-satunya tujuan negara-negara yang membuka tangan bagi investor asing untuk masuk, ialah untuk membuka lapangan pekerjaan. Sebaliknya, Indonesia justru secara ironis mengklaim memiliki tingkat pengangguran paling terkecil dibanding negara lain di Asean.
Investor asing yang baik, akan memilih berinvestasi di negara selain indoensia, karena ternyata tingkat pengangguran di Indonesia terbilang kecil, sehingga investor asing tersebut lebih dibutuhkan oleh negara-negara Asean lainnya. Suatu “prestasi” (klaim semu) yang pada gilirannya menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia itu sendiri.
Namun ketika bangsa Indonesia memilih untuk bersikap demikian “sok jual mahal” dan menolak keberadaan investor asing demikian untuk masuk dan berinvestasi di Indonesia, maka yang perlu kita sadari ialah: negara-negara alternatif untuk mereka menanamkan modal bukan hanya opsi bernama Negara Indonesia, karena dunia ini demikian besar, mengapa harus di Indonesia bila mereka masih bisa ke negara-negara lain di Asia, di Eropa, dan di Amerika?
Bila kita sebut bahwa pemerintah Indonesia mengundang seluas-luasnya investor asing untuk masuk ke Indonesia, mengapa buktinya tidak banyak investor yang berminat untuk melirik Indonesia? Itulah bukti yang tidak terbantahkan, sebagaimana pernah penulis berjumpa dengan seorang warga Aceh, yang dalam suatu kesempatan mengaku pada penulis bahwa minim pembangunan di Aceh akibat minimnya investor asing di Aceh, meski Aceh sangat strategis dari segi geografi.
Indonesia bagai mengucilkan diri di tengah pergaulan dunia dengan pola pikir yang sempit dan cenderung picik. Perlahan namun pasti, Indonesia mulai dijauhi oleh para investor asing. Masih terdapat banyak opsi negara alternatif lainnya bagi mereka untuk berinvestasi dan menanamkan modal, bukan hanya ada negara bernama Indonesia. Ada gula, ada semut. Tampaknya Indonesia tidak lagi semanis dahulu kala. Wajah kita telah demikian tercoreng, masam, serta kurang bersahabat. Saatnya kita berubah, atau terus menampilkan wajah kurang bersahabat yang sama?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.