Mengetahui Buruk dan Dilarang, Namun Tetap Melanggar, Akibat Kegagalan Mendefenisikan

ARTIKEL HUKUM
Terdapat sebuah fenomena menarik yang tidak pernah habis-habisnya penulis selidiki. Sayangnya, tampaknya ranah ilmu hukum tidak akan mampu menjawab—terlebih mengatasinya, karena ilmu hukum bukanlah ilmu tanpa keterbatasan. Kalangan profesi hukum harus bersedia mengakui keterbatasan bidang disiplin ilmu hukum, sehingga mereka yang berkecimpung dalam bidang hukum harus “mau tidak mau”, “suka tidak suka”, perlu mendalami pula disiplin ilmu penunjang lainnya—minimum sosiologi dan ilmu psikologi perilaku.
Tidak jarang, bahkan dapat disebut “sering” atau secara jamak penulis jumpai, rekan-rekan sesama Sarjana Hukum, meski mereka telah menyandang gelar Sarjana dibidang Hukum, namun kerap melakukan kejahatan seperti penipuan, penyuapan, hingga pemalsuan, yang mereka sadari betul bahwa perbuatan demikian dilarang dan terdapat ancaman hukuman yang pernah mereka baca dan pelajari sendiri selama duduk di bangku perkuliahan. Mereka tahu itu buruk dan terlarang, namun tetap melanggar dan melakukannya, tanpa mengenal rasa takut atau mungkin juga seolah merasa sudah demikian “kebal hukum”—entah karena alasan yang rasional atau sebaliknya, irasional. Namun perihal “mafia kasus”, memang betul-betul eksis di dunia ini, dan ironisnya sang “mafia” merupakan satu almamater dengan penulis.
Hal demikian ibarat seorang anak siswa Sekolah Dasar mengisi soal ujian di kelas mereka, entah ujian esai ataupun mengisi jawaban “...” dalam soal, perihal pertanyaan-pertanyaan moralitas dasar yang kerap diajarkan bagi kanak-kanak kita oleh guru mereka yang patut diragukan teladan sikap pola hidupnya sendiri, para bocah tersebut akan memberi jawaban yang demikian ideal, seperti tidak boleh berbohong, tidak boleh menipu, tidak boleh plagiat, tidak boleh mencontek, tidak boleh berdusta, tidak boleh mencuri... namun lihatlah kelakuan sebagian besar dari mereka ketika beranjak dewasa, seolah semua pendidikan moralitas dasar tersebut hanya menjadi “belajar menulis indah” di atas kertas belaka yang kemudian dilupakan ketika mereka beranjak dewasa—karena mungkin guru, orangtua, atau pemimpin negara mereka juga yang selama ini memberikan teladan yang sama kontradiktifnya.
Itulah sebabnya, pemberitaan perihal tertangkapnya tokoh pejabat negara, tokoh-tokoh selebritis, dan tokoh-tokoh masyarakat, karena terjerat kasus korupsi, obat bius terlarang, akibat perilaku asusila terhadap puluhan anak dibawah umur, atau akibat perbuatan tercela lainnya, memiliki sisi paradoksal dilematik yang berwajah ganda, mampu memberi pembelajaran bagi publik, juga sekaligus menjadi teladan buruk bagi idealisme seorang anak. Dalam ilmu psikologi, dikenal paradoksal serupa yang disebut sebagai “syndrome stockholmes” yang ternyata dijumpai pada banyak kasus serupa.
Seorang anak merupakan seorang peniru yang ulung. Mereka tidak tanggap bahwa dipenjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai contoh, adalah hal yang tidak boleh ditiru. Mereka justru akan meniru perilaku korup mereka yang ditayangkan di layar televisi rumah mereka yang “menghipnotis”. Anak-anak tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk, mereka bersikap netral ketika menangkap momen dan menirunya secara mimikri layaknya seorang bocah yang meniru tarian atau gaya nyanyian hingga tampilan seorang tokoh idola mereka.
Bahkan dalam suatu pesta kostum, pernah terdapat seorang bocah yang berpenampilan lengkap dengan kostum seorang Hitler. Mereka berpikir secara polos bahwa Hitler merupakan bintang film terkenal, bukan sebagai seorang penjahat yang harus diwaspadai. Itulah dunia kanak-kanak yang jarang disadari dunia orang dewasa, seolah orang dewasa tidak pernah hidup sebagai seorang kanak-kanak. Tayangan televisi kita, ditengarai sebagai faktor utama pencetus replikasi budaya “Kebaratan” serta terlalu cepat “dewasanya” perilaku anak-anak kita, termasuk iklan / pariwara produk tembakau, maupun kisah cerita berbau romansa—dunia anak adalah dunia bermain, bukan dunia asmara.
Bukanlah satu atau dua kali, kalangan hakim telah dan pernah memeriksa dan memutus perkara pidana seperti suap-menyuap, menipu, memalsukan, korupsi, hingga pemerasan dan berbagai perbuatan tercela lainnya. Mereka, para kalangan hakim tersebut, dengan penuh kepercayaan diri mengetuk palu ketika selesai membacakan vonis amar putusan bagi para terdakwa yang disidangkan oleh para hakim tersebut.
Bandul kemudian terus bergerak. Sampai pada suatu ketika, tragisnya, sang hakim itu sendiri yang kemudian duduk sebagai “pesakitan” di meja hijau, lebih tepatnya duduk di kursi terdakwa yang dibacakan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Kini, sang hakim yang disidangkan, namun bukan sebagai pemimpin sidang, akan tetapi sebagai “pesakitan” yang harus mencicipi vonis, yang kemudian berbagi ruang di sel yang sama dengan para narapidana lain yang dahulu pernah “dijebloskannya” ke penjara.
Tidak ada kisah yang lebih melodramatis sekaligus ironis daripada kisah pilu demikian yang mungkin dapat dibuatkan novelnya dengan judul “Ketika Hakim Menghuni Sel yang Sama dengan Terpidana yang Dahulu Dijebloskan oleh Sang Hakim”, mungkin akan mencetak best seller—sebagai novel bergenre “komedi”.
Mengapa setelah KPK berulang kali menangkap tangan dan memenjara kalangan hakim, masih saja terdapat kalangan hakim yang merasa bisa bebas melakukan aksi korup lainnya? Hal demikian terjadi, penulis tengarai karena kegagalan manusia dewasa kontemporer kita untuk menerjemahkan segala fenomena sosial dalam definisi yang jernih. Akibatnya, manusia dewasa kita juga tetap berperilaku “meniru” layaknya seorang kanak-kanak. Tubuh mereka berkembang seiring bertambahnya usia, namun tidak berlaku bagi faktor mental mereka yang masih saja menyerupai seorang kanak-kanak.
Rekan-rekan sesama hakim mereka melakukan kolusi dan tertangkap, namun para hakim lainnya gagal menerjemahkan itu sebagai hal negatif yang harus dihindari, justru kemudian para kalangan hakim tersebut menjadi terinspirasi, serta mungkin bahkan turut termotivasi untuk ikut melakukan berbagai aksi kolusi. Itu jugalah fenomena yang sama seperti yang kita jumpai pada kalangan pejabat negara, pengacara, dan berbagai pengusaha pelaku suap-menyuap lainnya. Penulis menyebutnya sebagai fenomena degradasi daya berpikir manusia dewasa, yang kemudian menjelma menyerupai kanak-kanak yang kerap “meniru” tanpa membeda-bedakan apakah peniruan demikian adalah baik ataukah buruk. Mereka mungkin menganggapnya sebagai, sekadar “latah”.
Mengapa daya kemampuan untuk mendefinisikan suatu peristiwa, menjadi demikian penting, bahkan dapat disebut sebagai krusial? Untuk sederhananya, dan demi memudahkan pemahaman para pembaca meski agak menyimpang dari topik bahasan semula dari artikel ini, penulis akan memberikan contoh perihal apa itu makna atau definisi dari kata “sukses” atau “kesuksesan”, dengan uraian sebagai berikut.
Bila untuk dapat disebut sebagai sukses, ialah ketika kita berhasil menduduki tahta kerajaan, maka peluang kita menjadi manusia “gagal” dapat menyerupai peluang satu berbanding satu miliar orang. Seorang raja, hanya ada satu orang. Tahta raja, tentu saja hanya terdapat satu buah kursi tahta. Sementara yang menjadi rakyat biasa, berjumlah miliaran penduduk. Apakah kita harus memaksakan “nasib” kita, yang bagai mencampakkan berbagai peluang hidup yang demikian luas dalam mencari kebahagiaan hidup bermakna?
Bila untuk dapat disebut sebagai sukses, maka kita harus keluar sebagai juara nomor 1, maka artinya kita bisa menjadi satu diantara ratusan atau bahkan ribuan orang yang “gagal” semata karena hanya sanggup menempati urutan “runner up”, bahkan sudah dinyatakan “gugur” pada babak penyisihan, yang mungkin juga harus mencicipi zona degradasi. Apakah merupakan suatu kesalahan atau kejahatan, menjadi juara nomor kedua atau bahkan juara nomor kesekian?
Kita tidak perlu tersobsesi menjadi seorang nahkoda. Satu kapal hanya membutuhkan satu orang nahkhoda. Sebuah kapal dengan dua kepala, akan membawa mara-bahaya bagi para penumpangnya. Apakah artinya menjadi seorang kru kapal, merupakan peran yang buruk? Bahkan, untuk ukuran sebuah proses produksi per-film-an, dibutuhkan demikian banyak peranan figuran sementara tokoh utamanya hanya dapat dihitung dengan jari. Tanpa rakyat, tidak akan ada seorang presiden yang terpilih.
Apakah artinya kita hanya bersedia hidup, dengan syarat menjadi si “tokoh utama”, dan kita akan mengakhiri hidup kita bila kita ternyata hanya mampu menjadi seorang “figuran”? Apa buruknya peran seorang figuran, setidaknya penonton tidak akan menyadari bahwa Anda memiliki “tahi lalat” di wajah Anda sebagaimana bila Anda menjadi tokoh utama yang disorot kamera secara “close up” demikian dekat.
Selama kita tidak menyiksa penonton yang dapat terkejut kaget dengan wajah kita, maka itu sudah cukup baik. Setidaknya proses produksi film, berjalan lancar dan dapat menghibur penonton. Janganlah terlampau memasukkannya ke dalam hati Anda, anggap saja sebagai sebuah “panggung sandiwara” raksasa, yang sering kita berikan nama sebagai “kehidupan”. Dunia percaturan dalam perpolitikan, sebagai salah satu contoh lainnya, ada yang tergusur dan tersingkit, sudah menjadi hal yang biasa.
Bila tidak siap tergusur dan tersingkir, hendaknya tidak memasuki dunia perpolitikan yang kejam tersebut karena setiap tokohnya mengenakan “topeng” yang sering kita beri nama sebagai “musang berbulu domba”—terkadang dapat menjadi sahabat, namun kadang juga dapat menjadi musuh bebuyutan ketika kepentingan beralih semudah angin menghembus dedaunan yang rontok.
Yang terpenting dari hidup ini bukanlah obsesi demi obsesi itu sendiri. Sebuah obsesi hanyalah sebagai alat pemandu dalam meraih prestasi dan untuk kita menikmati prosesnya, dan disaat bersamaan menghargai apapun yang kemudian akan terjadi berdasarkan best efford kita. Yang paling terpenting ialah dapat terus melanjutkan hidup, tanpa harus merugikan ataupun menyakiti orang lain yang juga ingin hidup secara tenang dan penuh kedamaian.
Bagus bila kita juga dapat membantu orang lain sepanjang perjalanan hidup kita. Namun yang paling terpenting, ketika kita merasa tengah “tersandera” oleh segala keterbatasan sumber daya diri kita, sehingga kita belum mampu banyak membantu orang-orang lainnya, setidaknya kita tidak menyakiti ataupun merugikan orang lain.
Sejatinya, semua orang dewasa tahu dan sadar betul, bahwa perbuatan buruk adalah buruk dan tercela yang harus dihindari. Mereka juga sadar tahu sekali, bahwa bukan hanya dirinya yang menghendaki hidup tenang dan aman tanpa gangguan, makmur, serta sentosa. Mereka, dan masing-masing dari kita, tahu serta sadar betul, bahwa semua orang dan setiap orang bahkan setiap hewan di luar diri kita, ingin dihargai, dihormati, serta dilindungi harkat, martabat, serta properti milik mereka.
Mengapa masih juga ada yang mencoba mencurangi kehidupan diluar sana, sementara dirinya sendiri tidak bersedia diperlakukan secara penuh kecurangan? Itulah yang tidak pernah mampu penulis pahami, kini ataupun dimasa mendatang. Janganlah berasumsi bahwa orang lain akan dengan senang hati Anda sakiti dan rugikan, serta janganlah berasumsi bahwa hukum karma tidak mencatatnya dan akan mengeksekusinya ketika buahnya masak suatu saat di masa mendatang, cepat ataupun lambat, hanya persoalan waktu belaka.
Sebagian besar dari mereka mampu menipu orang lain, namun apakah mereka mampu menipu dirinya sendiri? Jika mereka tidak mampu untuk itu, mengapa mereka terus mengulangi kesalahan serupa, lagi dan lagi? Sudah terlambat bila penyesalan baru muncul dan diakui ketika mereka telah dijebloskan ke balik jeruji. Penyesalan, selalu datang terlambat—jangan ditunggu, namun perlu mulai kita sadari saat ini juga.
Sesekali, bersikaplah melankolis si “tukang merenung”, agar Anda mampu bersikap jujur terhadap diri kita sendiri, tanpa perlu seorang hakim untuk mengatakan tentang “siapa diri kita” sebenarnya. Ironis sekali bila kita bahkan tidak mengenal siapa diri kita sendiri. Seorang hakim gagal mendefinisikan tugas dan peran seorang hakim. Mengapa hakim disamakan dengan sosok seorang “makelar” kasus?
itulah tepatnya, ketika seorang hakim menjelma layaknya seorang “penyamun” berjubah hakim—menghakimi namun dirinya sendiri yang paling perlu dihakimi. Menghakimi orang lain, selalu lebih mudah, daripada menghakimi dan menilai diri kita sendiri secara apa adanya. Bukankah demikian? Hakim adalah hakim, makelar adalah makelar, keduanya jauh sekali berbeda perannya. Sehingga, ketika seorang hakim “terpeleset” menjadi seorang makelar, maka itu dilandasi oleh kesengajaan, bukan oleh karena kelalaian—sengaja “terpeleset” alias “memelesetkan” diirnya sendiri ke lembah penuh nista yang hina.
Budaya taat aturan dan taat hukum, belum tercipta di Indonesia. Contoh sederhananya, sebagaimana yang selalu dapat penulis buktikan sendiri dalam keseharian, ialah perilaku para pengunjung website ini sendiri. Sudah demikian jelas, bahwa website ini adalah website profesi penulis sebagai seorang penyedia jasa Konsultasi Hukum selaku Konsultan yang mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum.
Sekalipun telah diberi peringatan demikian tegas, bahwa “hanya melayani klien” dan “pelanggar peringatan akan diberi sanksi”, tetap saja ribuan orang pengunjung website bisnis ini justru merasa lancang dengan beraninya menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis semata untuk “memperkosa” profesi penulis semata bagi kepentingan masalah hukum mereka yang tidak terbilang untuk ukurang seorang pengemis yang tidak memiliki masalah pertanahan ataupun masalah hukum ketenagakerjaan.
Bercermin dari hal-hal sederhana semacam ini, membawa penulis sampai pada satu kesimpulan yang kian mengukuhkan hipotesis penulis, watak / perangai sebagian dari bangsa kita, ialah seorang yang gemar “melanggar” secara disengaja, bukan secara tidak disengaja—yang bagi penulis merupakan bentuk-bentuk arogansi abad modern.
Kini, muncul budaya baru yang beberapa abad lampau belum dikenal, yakni memperkosa pun mulai dapat dilakukan secara digital (jarak jauh dan tidak kasat mata), semudah menginput nomor kontak kerja profesi konsultan pada perangkat gadget mereka, untuk kemudian memperkosai kalangan profesi konsultan tanpa rasa takut ataupun malu. Entah memang tidak memiliki malu, atau sudah putus urat malunya.
Orang-orang yang berakal sehat, sadar betul bahwa adalah “tidak waras”, menghadap dilayani setelah menyuruh kalangan profesi konsultan untuk “mati diberi makan batu”. Akan tetapi itulah faktanya yang terjadi dan berlangsung selama karir penulis sebagai seorang Konsultan Hukum di Indonesia.
Alih-alih berterima-kasih atas berbagai publikasi karya tulis penulis yang telah mereka nikmati, yang penulis hadirkan dengan begitu banyak pengorbanan waktu serta biaya, mereka justru merasa bangga membalasnya dengan “pemerkosaan”. Sungguh ironis sekaligus miris. Para pelakunya tetap saja mempertontonkan perilaku seolah sebagai bangsa “agamais”.
Bangsa Indonesia bobrok dan keropos pada bagian luar dan dalamnya. Hanya tinggal menunggu roboh saja, sebab sendi-sendi perilaku kemanusiaan mereka telah demikian keropos dan rapuh. Itulah prediksi dari penulis. Bangsa ini tidak perlu tumbang karena dijajah secara militer oleh bangsa asing. Bangsa ini akan tiarap secara ekonomi maupun secara sosial, akibat ulah berbagai perilaku tidak terpuji bangsa kita ini sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.