Kiat Menghadapi Manipulasi Logika Moral

ARTIKEL HUKUM
Terdapat sebuah bahaya yang patut kita waspadai dibalik manuver “lidah” seseorang secara ucapan oral atau lewat medium bahasa melakukan manipulasi logika berpikir orang lain, yang bahkan mampu memutar-balikkan logika moril—suatu tataran yang sangat berbahaya. Korbannya, tentu saja orang-orang yang bodoh akibat selama ini memang selalu bersikap “masak bodoh” tanpa mau bersikap sedikit lebih cerdas dengan menghargai martabat dirinya sendiri.
Terdapat perbedaan yang cukup kontras dan kasat-mata, antara orang yang bodoh dan orang yang bersabar. Orang berwatak sabar, belum tentu bodoh, sehingga ia sadar sepenuhnya sedang berhadapan dengan jenis orang manipulatif, namun memilih untuk tetap mengatupkan bibir tanpa memberi respons apapun ataupun terpancing amarah dibuatnya. Yang menjadi “mangsa empuk” manipulasi logika lewat ujaran / kata-kata demikian, tidak lain orang yang berwatak bodoh, mudah didikte dan di-“setir” arah respons-nya—itulah kodrat bagi mereka yang terbiasa bersikap “masak bodoh”, tidak sadar bahwa dirinya sudah dimangsa bulat-bulat.
Ilustrasi sederhana berikut ini dapat memberi gambaran bagi para pembaca, sekadar untuk memudahkan pemahaman. Suatu ketika, seorang kurir dari perusahaan jasa pengiriman paket mengetuk pintu pagar ke sebuah kediaman. Dirinya hendak mengantar paket yang ditujukan ke alamat kediaman dimaksud. Namun, dirinya kemudian memprotes dan mengkomplain pihak penghuni rumah, bahkan kepada para tetangga sekitar: “Ini saya telepon dua kali ke nomor handphone yang tertera di bungkus paket saat mencari alamat, ketika mencari alamat untuk antar paket, mengapa tidak diangkat panggilan telepon dari saya?
Sebagaimana yang telah penulis ungkap di muka, orang berwatak bodoh mudah sekali disetir dan didikte arah respons diri bersangkutan. Mereka yang berwatak bodoh, mendapati “hujatan” semacam itu, akan cenderung secara reaktif (semacam spontanitas), dilandasai perasaan takut, akan membuat ucapan atau bahasa tubuh penuh ketakutan dan merasa bersalah atau bahkan terlihat seperti orang bodoh yang “menceracau” sendiri, dan jika perlu menyakiti diri sendrii sebagai kompensasinya.
Si petugas perusahaan kurir pengirim paket, berhasil untuk membuat dirinya terkesan berhak untuk menghardik, menyalahkan, dan membuat si penerima paket merasa bersalah. Seolah, dirinya menjadi berhak untuk menghakimi dan mendapat permintaan maaf. Sebaliknya, si bodoh yang menerima paket, seolah-olah gayung bersambut, dirinya menunjukkan sikap penuh kesalahan, ketakutan, berdosa, hingga membuka kerentanan dirinya lebih jauh—seakan dirinya memang layak untuk dimaki, dihardik, serta dipersalahkan, atau bahkan siap pasrah menerima hinaan maupun pelecehan.
Bagaimana menurut para pembaca sendiri? Apakah respons demikian cukup arif bijaksana? Ataukah, ada yang salah dibalik permainan logika moril yang dimainkan dengan apik oleh si petugas perusahaan kurir pengiriman paket? Itulah yang tepatnya disebut “permainan” jungkir-balik / pemutar-balikkan logika moral terhadap seseorang yang hendak disetir / dimanipulasi proses berpikir alam morilnya.
Penulis yang kebetulan berada di tempat yang sama dan turut mendengarkan kejadian tersebut, bersikap sabar saja dengan memilih bungkam meski lidah di dalam mulut ini hendak berbalik melecehkan dengan kalimat balasan sebagai berikut: “Kamu tidak perlu protes, tidak setiap saat orang bisa ada di dekat handphone. Bisa saja sedang ‘low-bat”, atau bisa saja nomor di paket itu salah penulisan nomornya. Memangnya kamu pernah buat janji dengan kami, kapan dan tanggal serta pukul berapa akan menghubungi kami?” Sebuah handphone merupakan alat bantu belaka, bukanlah handphone yang justru diciptakan untuk membudaki manusia seolah manusia harus selalu melekat pada perangkat tersebut.
Seperti yang telah para pembaca dapat lihat sendiri, terdapat permainan logika moril dari perbincangan sehari-hari di mana dan disaat kapan pun di seputar aktivitas keseharian kita. Si petugas kurir perusahaan ekspedisi, seolah berhak mewajibkan penerima paket untuk selalu standby berada di samping handphone miliknya, bagaikan satpam menunggu majikannya dengan patuh yang entah kapan baru akan datang.
Yang sebetulnya menjadi “bos” dan “konsumen” disini, sebetulnya siapa? Mengapa seolah yang bertugas untuk repot, justru adalah pihak penerima paket? Yang berhak untuk memerintah dan diperintah, siapa dan siapakah? Yang sebetulnya berhak dan memiliki kewajiban, siapakah? Siapa yang melayani dan siapa yang dilayani dalam konteks semacam ini?
Mereka yang menggunakan medium bahasa oral / lisan sebagai perantara manipulasi logika moril, merupakan perilaku tidak etis, karena dapat dipastikan si pendengarnya mudah dipengaruhi dan didikte arah reaksinya—terutama mereka yang berwatak bodoh akibat terbiasa “masak bodoh”. Kunci untuk membentengi logika berpikir kita, ialah apa yang penulis sebut sebagai “tiga fase simultan” berikut ini, yang juga dapat digunakan saat menghadapi upaya manipulatif bentuk apapun dari pihak mana pun:
- Pertama-tama, tetap bersikap tenang. Sering-seringlah berlatih agar mental kita tidak mudah digoyahkan bagai batu karang yang kokoh meski diterpa ombak dan badai, disegala situasi yang menekan sekalipun. Itulah yang menyebabkan sikap penuh ketakutan atau “takut-takut” tidak merupakan karakter yang unggul;
- Kedua, tetap berkepala “dingin”. Tujuannya agar logika berpikir sehat kita tidak keruh oleh guncangan emosi maupun desakan mental yang cenderung membuat kita sibuk mengerahkan energi perhatian untuk dapat tetap berdiri kokoh. Ketika kita biarkan berbagai perasaan takut atau cemas mengotori keseimbangan batin kita, maka sukar untuk mempertahankan kepala yang “dingin”. Logika seorang manusia bekerja optimal ketika permukaan air batin kita tidak memiliki banyak riak. Dibutuhkan latihan untuk mencapai tahap ini, sehingga kita dapat memahami seni dibalik kemampuan bersikap logis dalam segala situasi dengan tetap berkepala “dingin”;
- Ketiga, dan yang terpenting, ialah beri kesempatan serta beri jeda waktu bagi diri kita untuk berpikir sendiri di atas “kedua kaki” kita sendiri. Arti atau maksud dibalik perumpamaan berpikir sendiri di atas “kedua kaki” kita sendiri, ialah kita tidak membiarkan orang lain berpikir untuk kita, atau menelan mentah-mentah apa yang orang lain lontarkan atau tujukan kepada kita, atau tidak membiarkan orang lain mengunci daya kemampuan kita untuk berpikir sendiri dan menerjemahkan serta mengambil kesimpulan dan keputusan kita sendiri untuk diri kita sendiri. Jadilah arsitek bagi benteng pertahanan pikiran kita sendiri, dan jaga selalu keoptimalan atau kebugaran daya berpikir jernih secara mandiri serta independensi daya berpikir kita. Dapat dikatakan, bahwa inilah core dari mental batin terdalam kita.
Biasanya orang-orang yang “jago kandang” akan tampak menyerupai seorang “badut” pengecut yang terlihat konyol, ketika mendapati upaya manipulasi logika dari pihak dari luar “kandang” yang bersangkutan. Mereka yang hanya “jago kandang” akan ciut “nyalinya” ibarat seekor singa yang menjelma kucing malu-malu yang penakut.
Manipulasi atau pemutar-balikkan logik moril, sifatnya lebih terselebung, lebih “halus” (sukar diindentifikasi oleh sebagian korbannya), sekaligus lebih berbahaya daripada manipulasi lewat permainan logika berpikir biasa, karena sifatnya dapat menjelma putar balik dari korban menjadi “si jahat”, dan sebaliknya “si jahat” akan tampak seolah-olah sebagai korban yang berhak untuk marah dan melecehkan. Sejatinya manipulasi semacam itu dapat kita jumpai demikian jamak, hanya saja jarang banyak disadari orang-orang kebanyakan karena memang sifatnya yang cenderung implisit.
Pernah sekali waktu, tatkala penulis sedang menyapu daun-daun kering di depan pagar halaman kediaman penulis, seseorang datang mendekat dengan mengendarai kendaraan bermotor roda dua. Tanpa mengucapkan salam basa-basi seperti “selamat siang” atau sebagainya, tanpa juga memperkenalkan diri, yang bersangkutan dengan tampang serta gaya premanismenya melontarkan pertanyaan: “Ini rumah nomor XXX?
Penulis jawab, “Ada perlu apa?
Mau antar surat,” sahut si orang tidak dikenal juga tidak diundang.
Ini bukan rumah nomor XXX,” balas penulis hendak kembali menyapu.
Namun, si tamu tidak diundang kembali bertanya dengan nada bicara tidak menunjukkan hormat ataupun kesopanan, “Ini rumah nomor berapa?
Tidak tahu,” sahut penulis sama ketusnya.
Kok tidak tahu, nomor rumah sendiri tidak tahu?” maki oleh dirinya dengan nada menggurui sekaligus menghakimi.
Memang ada aturan hukum yang wajibkan saya memberitahu nomor rumah dan privasi saya? Memang Anda polisi?
DASAR TIDAK SOPAN. GUA TANYA BERAPA NOMOR RUMAH KAMU!” bentak yang bersangkutan, seolah dirinya layak diberikan penghormatan, dengan sikap tubuh mengajak untuk berkelahi, semata karena melihat postur dan bobot tubuh penulis yang memang jauh lebih kecil dan lebih mudah dari segi umur dari si “tampang preman” itu, demikian penulis memberinya nama karena memang dirinya tidak pernah memperkenalkan diri sebelumnya. Sejak saat itulah, penulis baru mengetahui bahwa seorang tamu tidak diundang (yang dapat ditendang keluar sewaktu-waktu), justru merasa berhak menyebut seorang tuan rumah sebagai tidak sopan.
Inilah jawaban dari penulis, “Berapa nomor KTP Anda? Dimana Anda tinggal dan berapa nomor rumah Anda. Hak dari mana Anda mendikte saya, dan kewajiban apa bagi saya untuk mau meladeni Anda yang sudah mengganggu acara menyapu saya?
Mengapa juga dirinya yang merupakan orang asing, merasa berhak menjadi seolah sebagai penyidik kepolisian ataupun interogator yang menginterogasi seorang warga negara lainnya yang sama kedudukannya di mata hukum? Privasi adalah hak setiap warga negara, tiada siapapun berhak mewajibkan seorang warga untuk membuka bajunya sendiri. Alhasil, dirinya mengajak penulis untuk berkelahi alih-alih merasa malu dan bersalah atas sikap arogansinya yang sejatinya metode manipulasi logika moril dirinya gagal total kali ini saat berhadapan dengan makhluk yang “aneh” baginya semacam penulis. Sesekali dirinya memang sudah saatnya perlu menghadapi makhluk seperti penulis (yang memang kurang lazim), agar tidak lagi bersikap arogan di masa mendatang.
Pelaku kejahatan yang lebih galak daripada korbannya, pelaku kejahatan yang justru merasa berhak mendikte dan menyakiti korbannya serta membuat takut korbannya, adalah salah satu bentuk manifestasi penggunaan metode teknik komunikasi pemutar-balikkan logika moril. Senyatanya, logika moril yang paling sahih ialah: semestinya pelaku kejahatan yang paling harus merasa takut menanam karma buruk, bukan justru korban yang paling harus merasa takut disakiti.
Setiap orang jahat seyogianya merasa takut menyakiti seorang Buddha, seperti nasib Devadatta yang berakhir tragis dengan ditelan oleh bumi dalam keadaan hidup-hidup akibat melukai Sang Buddha. Bukan korban yang harus takut disakiti, tapi si pelaku itu sendiri yang semestinya takut akan akibat dari perbuatan buruknya sendiri. Hanya orang paling dungu di dunia, yang tidak merasa takut menggali lebih dalam lagi lubang kuburnya sendiri.
Upaya jungkir-balik logika moril juga dapat kita jumpai dalam lingkup Kantor Kelurahan di pemukiman kita. Bagi warga pengunjung pria yang tidak mengenakan celana panjang, akan ditolak dan tidak diberi pelayanan, dan diharuskan jauh-jauh pulang kembali ke rumah untuk mengganti dengan celana panjang untuk kemudian kembali pulang-pergi ke Kantor Kelurahan. Alasan pejabat kelurahan dimaksud, “Agar sopan. Orang kantoran aja pakai celana panjang, masak di kantor kelurahan ini warga pakai celana pendek? Jangan layani yang memakai celana pendek.”
Kantor Kelurahan berada di tengah pemukiman warga yang bahkan lebih tepatnya disebut sebagai daerah perkampungan, sehingga semestinya kebijakannya membumi serta merakyat, bukan justru bersikap sok jual mahal dan arogan terhadap warganya seakan demikian berjarak dengan warga yang sehari-hari bisa jadi bercelana pendek seperti kalangan petani dan sebagainya. Sama sekali tidak bersahaja, sementara pejabat korup selalu berbaju rapih dan bagus lengkap dengan rambut tersemir dan berdasi, dikatakan sebagai orang yang sopan (sejak kapankah koruptor layak disebut sebagai orang sopan hanya karena semata dinilai dari pakaiannya? Seorang per0k0k tidak pernah lebih sopan daripada warga bercelana pendek yang tidak mer0k0k, sebagai antitesis logika rusak aparatur sipil negara demikian). Namun itulah logika moril yang rusak dari aparatur sipil negara kita. Masyarakat yang protes pada sikap koruptif pejabat dan pegawai negeri sipil, dikatakan sebagai tidak sopan karena berteriak-teriak saat berorasi.
Sekali waktu penulis datang sengaja dengan mengenakan celana panjang yang digulung hingga menyerupai celana pendek. Dan inilah yang hendak penulis kemukakan kepada pejabat di Kantor Kelurahan bersangkutan, “Pak, lain kali warga pengunjung diwajibkan pakai sepatu. Warga yang datang hanya pakai sandal, jangan dilayani, agar terlihat lebih sopan seperti pekerja kantoran di kantor-kantor pusat bisnis yang mewah di Jalan Sudirman.”
Dahulu kala, keadaan di Kantor Kelurahan tersebut lebih ironis lagi, tata admistrasinya sangatlah buruk lengkap dengan layanan yang arogan, seakan warga adalah “budak” penghamba yang sedang mengunjungi seorang raja. Suatu waktu dikala lampau tersebut, ketika penulis hendak memperpanjang KTP yang akan habis masa berlakunya (ketika aturan hukumnya masih mencantumkan masa berlaku KTP), petugas kelurahan hanya memberi tanda terima KTP lama yang diambil dan ditahan pihak kelurahan, dengan hanya berupa potongan kertas kecil dengan tulisan tangan.
Mengapa, tanda terimanya seperti ini? bagaimana bisa dipakai tanda terima seperti ini, sementara KTP baru belum jadi dan bisa jadi esok saya butuh KTP untuk berbagai keperluan. Itulah tanggapan penulis. Namun respons pihak petugas kelurahan tersebut amat mengejutkan, yakni sikap penuh arogansi yang seolah kami bukanlah warga pembayar pajak sumber gaji mereka, dan tidak berhak untuk komplain dengan ancaman tidak akan dilayani bila si pejabat / petugas merasa tersinggung didebat oleh warga. Sama sekali tidak layak disebut sebagai Public SERVANT.
Ketika zaman bergulir, ketika KTP menjelma e-KTP, ada kemajuan dalam hal tertib administrasi—lepas dari problematik kasus korupsi mega proyek eKTP. Tanda terima permohonan pembuatan eKTP baru akan diberikan kepada warga pemohon berupa SUKET (surat keterangan pendaftaran penerbitan eKTP) yang dapat penulis pakai untuk keperluan layanan kependudukan lainnya seperti perpanjangan STNK kendaraan bermotor. Begitupula KTP lama, barulah akan diserahkan oleh warga ketika eKTP telah selesai dicetak dan ditukar dengan eKTP baru saat pengambilan eKTP dimaksud, bukan seperti tempo dulu dimana KTP lama yang kadaluarsa akan diambil oleh petugas kelurahan sementara KTP baru belum diterbitkan, mengakibatkan warga tidak memiliki dokumen legalitas apapun di tangan.
Terlebih Ironis, penulis sempat dimintai retribusi “denda” keterlambatan perpanjangan KTP ketika terganjal kasus eKTP yang sudah bertahun-tahun menunggu penerbitannya namun tidak kunjung terbit sehingga masa keberlakuan KTP lama telah habis masa berlakunya. Penulis berkeberatan, menyatakan bahwa “keterlambatan” demikian bukanlah kesalahan penulis, karena sudah melapor dan membuat eKTP jauh sebelum KTP tersebut habis masa berlakunya. Bila warga tidak pandai mendebat pejabat negara bermoral rusak semacam itu, dipastikan negeri ini menyerupai “sarang premanisme berseragam”.
Manusia dengan standar moral yang rusak, selalu memakai logika moril rusak miliknya untuk menghakimi dan menggurui orang lain, meski senyatanya dirinya sendiri yang paling perlu mendapat penghakiman maupun digurui. Terdapat dua buah jenis ketakutan, yakni ketakutan yang rasional dan ketakutan yang irasional.
Ketakutan yang irasional, membuat kita rentan ketika menghadapi manusia-manusia dengan standar moral yang sudah rusak hingga ke akar-akarnya. Itulah sebabnya, tidak selamanya bersikap takut-takut dapat dikagorikan sebagai sesuatu hal yang positif. Kita harus bersikap penuh keberaniaan ketika berhasil mendeteksi adanya permainan manipulasi logika moril yang coba dikelabui oleh orang lain terhadap diri kita, kerena keberanian merupakan gerbang pelindung diri kita yang paling krusial—sebab sekali gerbang tersebut berhasil diterobos dan roboh, dipastikan kita akan dapat didikte olehnya dengan penuh kepatuhan bagaikan robot, oleh karena logika moril kita telah ikut dimanipulasi oleh semacam permainan kata menyerupai “retrovirus”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.