Kiat Berkarir sebagai Konsultan Hukum

ARTIKEL HUKUM
Selamat ini para peserta didik pendidikan tinggi hukum maupun para Sarjana Hukum “muda”, hanya mengidamkan profesi hukum sebagai seorang pengacara (advokat) ataupun sebagai notaris—seolah, tiada profesi hukum lain yang dapat dilakoni oleh lulusan pendidikan tinggi hukum. Namun, betulkah demikian? Untuk alasan khusus tersebut, penulis merasakan perlunya untuk menyusun artikel singkat berikut guna membahas suatu profesi yang ternyata masih asing oleh sebagian besar kalangan Sarjana Hukum di Tanah Air.
Bercermin dari pengalaman merintis karir dan berprofesi sebagai seorang Konsultan Hukum, tentunyalah pemaparan berikut dapat meluaskan khazanah banyak mahasiswa Fakultas Hukum maupun para Sarjana Hukum “muda” untuk menentukan arah karir mereka untuk mulai dirintis kedepannya, lengkap dengan segala “suka” maupun “duka” berkecimpung dalam profesi sebagai “konsultan hukum” yang lebih banyak hanya terlibat “di balik layar”—tidak menyerupai kalangan profesi lawyer / advokat yang lebih kerap tampil di layar kaca bak selebritis yang sering diliput oleh berbagai media.
Bila Anda memiliki karakter dasariah sebagai seseorang yang tergolong “low profile”, profesi sebagai “Konsultan Hukum” tentulah menjadi sangat ideal bagi Anda. Patut juga dicatat, seorang Konsultan Hukum profesional tidak boleh merangkap sebagai seorang pengacara (advokat). Hal demikian mengingat akan adanya conflict of interest, maupun benturan kode etik profesi antara seorang Konsultan Hukum maupun seorang Pengacara, sebagaimana akan penulis uraikan ilustrasinya dalam bahasan ini, satu per satu.
Hal pertama yang harus Anda persiapkan, ialah membangun “nama” serta brand (ciri khas) Anda sendiri selaku Konsultan Hukum spesialis suatu bidang ilmu hukum tertentu. Anda akan menemui kegagalan total bila berharap menjadi seorang Konsultan Hukum “palugada” (apa elu mau, gua ada). Profesi hukum saat kini telah menjelma terspesialisasi, kecuali bila Anda memiliki tim yang saling terdiferensiasi dan tidak saling tumpang-tindih spesialisasi satu sama lainnya antar sesama rekan konsultan dalam tim Anda—memiliki spesialisasi yang sama dalam tim Anda, sama artinya adalah pemborosan. Tidak hanya bagi kalangan profesi Konsultan Hukum, prinsip yang sama juga berlaku bagi kalangan profesi Pengacara.
Sebagai gambaran, penulis memiliki spesialisasi hukum kredit-jaminan, ketenagakerjaan, perikatan kontraktual, perseroan, hukum binsis, serta hukum pertanahan. Perihal hukum pasar modal maupun hukum perpajakan, bukanlah kompetensi penulis. Hukum telah menjelma “rimba belantara” yang “menggurita”, tidak lagi dapat disamakan dengan para pendahulu kita dua dasawarsa lampau.
Setelah Anda memiliki “nama” yang cukup bereputasi di tengah masyarakat luas dan diakui oleh publik, maka Anda siap untuk merintis karir Anda sendiri, untuk “merugi” beberapa tahun pertama Anda berkarir sebagai seorang Konsultan Hukum mandiri. Bila Anda tidak siap merugi, maka Anda harus mengurungkan niat untuk merintis solo karir—kecuali Anda berlaku tidak etis dengan merenggut klien dari kantor hukum tempat dahulu Anda bekerja untuk dijadikan sebagai klien kantor konsultan Anda sendiri, suatu perilaku yang tidak pernah dapat dibenarkan oleh etika profesi mana pun.
Hal kedua, ialah jangan gunakan metode yang sama dengan yang dilakukan oleh kalangan notaris ataupun pengacara, yakni dengan tidak membagi-bagikan kartu nama yang mencantumkan nomor kontak Anda seolah itu adalah selebaran promosi dimana seakan-akan orang-orang dapat “mencicipi” Anda tanpa perlu membayar. Sadarilah, jualan jasa seorang konsultan berbeda dengan jualan jasa kalangan notaris yang membuat akta, maupun jualan jasa kalangan pengacara yang beracara di “meja hijau”.
Adalah sebuah kesalahan fatal, mencantumkan nomor kontak kerja pada offiicial website jasa konsultasi hukum Anda, karena sekalipun Anda memberi peringatan tegas seperti bahwa Anda “hanya melayani klien pembayar tarif jasa konsultasi”, Anda akan terkejut mendapati fakta bahwa masyarakat Indonesia demikian sangat tidak etis: menyalah-gunakan nomor kontak kerja Anda, lalu menghubungi Anda semata dengan maksud hanya untuk “memperkosa” profesi Anda selaku konsultan (menjual jasa tanya-jawab), tanpa bersedia membayar SEPERAK PUN. Jangankan bersedia membayar, memperkenalkan nama pun kerap kali tidak mereka lakukan.
Itulah pengalaman ribuan kali kejadian yang telah penulis hadapi, disalah-gunakannya nomor kontak kerja penulis, sekalipun website profesi konsultan ini telah demikian tegas dan sangat “keras” mencantukan peringatan agar nomor kontak kerja penulis tidak disalah-gunakan dan keterangan bahwa penulis sedang mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab (konsultasi) seputar hukum.
Mereka menyadari, dan telah membacanya, bahwa nomor kontak penulis hanya diperuntukkan bagi “klien pembayar tarif”, namun mereka “berpura-pura” tidak tahu dan terus saja secara senonoh mencoba “memperkosa” profesi penulis, tanpa rasa malu, bahkan tidak jarang terjadi : para pemerkosa profesi tersebut bahkan bersikap lebih galak ketika ditegur sikap mereka, ketimbang penulis yang telah mereka lecehkan—itulah kendala terbesar kalangan profesi konsultan manapun, baik konsultan pajak, konsultan bisnis, konsultan kesehatan, konsultan mental (psikiater), konsultan properti, tidak terkecuali konsultan hukum.
Alhasil, kini penulis bahkan “menyembunyikan” nomor kontak kerja penulis, dengan hanya mencantumkan keterangan informasi terkait cara menghubungi penulis, pada laman website yang berisi keterangan perihal “Tarif Konsultasi”—itu pun masih saja terjadi, pihak-pihak yang demikian lancang dan berani tetap mencoba “memerkosa” profesi penulis, bahkan dengan cara-cara lebih tidak etis seperti tipu-daya seolah berpura-pura hendak menjadi klien namun ternyata hanya bermaksud untuk memerdaya dan “mencuri ilmu” semata.
Hal ketiga, ketahui kelemahan dan kelebihan profesi Anda sendiri selaku Konsultan Hukum, untuk dapat menang dalam kompetisi kerja profesi hukum—yang lebih besar supply ketimbang demand, serta kondisi sosial-teknologi yang telah jauh berubah. Apakah yang menjadi maksud dari perumpamaan “kelebihan dan kelemahan profesi konsultan hukum”?
Perlu kita padami dan sadari bersama, bahwa seorang Konsultan Hukum sangatlah berbeda dengan corak maupun ranah kerja profesi Pengacara, sementara era digitalisasi membuat masyarakat awam pun mampu secara mandiri mengakses berbagai data peraturan perundang-undangan secara mudah, berbeda dengan beberapa dasawarsa lampau ketika perangkat digital masih belum terhubung dengan dunia internet.
Karena itulah, tawaran yang kini hanya bisa diusung oleh kalangan Konsultan Hukum ialah, layanan hukum yang lebih dari sekadar bunyi undang-undang, namun “hukum yang riel” dan hukum yang “tidak kasat mata”. Menjadikan kelemahan situasional ini sebagai bentuk momen untuk melakukan transformasi cakupan inti layanan. Kita hanya dapat mengikuti perkembangan zaman, tidak dapat memaksakan suatu keadaan untuk status quo.
Sebagai contoh, mungkin para Sarjana Hukum akan merasa “jengkel” karena kerap terjadi perubahan undang-undang sehingga harus “memulai dari awal lagi” setelah sekian lama bersusah-payah mendalami suatu kaedah normatif undang-undang. Namun justru itulah tepatnya “lahan” pekerjaan kalangan Konsultan Hukum maupun Konsultan Perpajakan bagi warga masyarakat yang merasa “tidak punya waktu” untuk mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan.
Kita ambil contoh pula keterbatasan layanan kalangan Konsultan Pajak ketimbang seorang Konsultan Hukum. Konsultan Pajak hanya mengetahui tentang hukum perpajakan, namun kelebihannya ialah, dirinya mengetahui segala seluk-beluk terkait pajak hingga ke unsur yang paling terdalam. Karena itulah, masyarakat yang bermasalah atau hendak konseling terkait pajak, lebih cenderung merefer kepada seorang spesialis, yakni Konsultan Pajak, bukan kepada seorang Konsultan Hukum sekalipun betul bahwa seorang Konsultan Hukum dapat saja memahami hukum perpajakan.
Sama halnya diantara kalangan Konsultan Hukum itu sendiri, terdapat diferensiasi spesialis bidang disiplin ilmu hukum. Ambil contoh seorang Konsultan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) seperti jasa pengurusan merek, paten, desain industri, hak cipta, dsb. Konsultan Hukum yang terspesialisasi cenderung lebih diminati pengguna jasa yang lebih spesifik, ketimbang Konsultan Hukum yang umum sifatnya. Itulah salah satu kiat untuk mampu bersaing di tengah bisnis sebagai Konsultan Hukum.
Antara profesi Konsultan Hukum maupun Pengacara, keduanya adalah sama-sama berkecimpung dibidang hukum, namun tidak pernah dapat dipersatukan ataupun dipertukarkan. Seorang Konsultan Hukum, memiliki kelemahan yakni menyerupai satu tangannya “teramputasi”, karena tidak dapat maju bersidang untuk mewakili klien pengguna jasa layaknya seorang Advokat.
Namun apakah artinya itu merupakan “kelemahan” fatal profesi Konsultan Hukum yang tidak memegang “izin” bersidang layaknya seorang advokat? Jawabnya : tidak juga. Justru karena kalangan Konsultan Hukum tidak memiliki conflict of interest yang menyerupai kalangan Pengacara yang kerap mendorong kliennya untuk menggugat, sebetapa pun tidak layak bagi sang klien untuk mengajukan gugatan, maka kalangan pengguna jasa yang membutuhkan opini hukum secara netral dan objektif, akan mencari nasehat maupun opini hukum dari seorang Konsultan Hukum yang dapat membuat pemetaan terhadap masalah hukum sang klien serta saran-saran langkah mitigasi, antisipasi, maupun langkah-langkah preventif yang paling layak untuk ditempuh sang klien agar tidak sampai bersengketa di pengadilan (langkah kuratif yang belum tentu menjadi solusi paling ideal).
Semua warga awam hukum pengguna jasa dan masyarakat umum yang pernah terlibat dengan kalangan profesi Advokat, telah mafhum serta paham betul, bahwa “pengacara bukanlah mitra hukum ideal”, karena pengacara mengedepankan faktor Kuratif yang mahal harganya ketimbang pendekatan preventif dan mitigatif yang hanya dapat ditawarkan kalangan profesi Konsultan Hukum. Dari sisi tersebut saja, sudah demikian kontras perbedaan antara profesi Konsultan Hukum dan Pengacara—bagai air dan minyak, sama sekali tidak dapat dijadikan satu.
Pengacara yang menyambi atau merangkap sebagai Konsultan Hukum, tidak akan pernah memberi opini hukum secara netral maupun objektif, oleh sebab pastilah akan diwarnai unsur subjektif keberpihakan pada kepentingan profesinya untuk beracara di persidangan sebagai lahan nafkahnya (conflict of interest). Lebih menggiurkan tawaran fee untuk bersidang yang senilai ratusan juta rupiah, ketimbang satu atau jam fee konsultasi layaknya profesi Konsultan Hukum “murni”.
Hal itu jugalah yang melatar-belakangi pembentukan “aturan main” ketiga berikut ini. Bila seorang Pengacara dapat mengikat kliennya untuk membayar tarif jasa saat persidangan berlangsung (karena bila tidak dibayar, sang Pengacara dapat mengancam tidak akan melanjutkan proses persidangan), sementara kalangan profesi Konsultan Hukum wajib memungut tarif jasa konsultasi dalam bentuk deposit tarif konsultasi secara “di muka”, sebelum pengguna jasa menceritakan masalah hukumnya ataupun untuk mengajukan pertanyaan hukum yang sekalipun hanya membutuhkan opini hukum berupa jawaban “Ya” ataupun “Tidak”.
Dibutuhkan “jam terbang” yang tinggi sekalipun hanya untuk memberi opini hukum berupa jawaban “Ya” ataupun “Tidak”. Kebanyakan calon pengguna jasa akan mencoba menghakimi kalangan profesi Konsultan Hukum, dengan menyebutkan bahwa “Apa Anda serius, memungut tarif jutaan rupiah hanya demi sebuah jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’? Maka inilah yang dapat Anda berikan sebagai respons balasan, “Jika begitu, silahkan Anda bertanya saja pertanyaan hukum Anda yang bukan urusan saya itu, kepada seorang tukang becak di pasar.”
Ilustrasi sederhana berikut dapat memberi penjelasan secara mudahnya, mengapa SOP demikian dibentuk khusus bagi kalangan profesi Konsultan Hukum. Seorang pengacara, ketika mendapati calon pengguna jasa menemui dirinya, maka apapun pertanyaan ataupun cerita permasalahan hukum yang diuraikan oleh sang calon pengguna jasa, maka inilah yang akan menjadi opini hukum sang pengacara (satu-satunya opini hukum kalangan profesi pengacara), yakni: “Mari kita ajukan gugatan sekarang juga.”
Adakah kalangan profesi Pengacara yang akan menyatakan pada sang “calon” pengguna jasa, bahwa : “Maaf Bapak, Ibu, Anda–lah yang sebetulnya paling patut digugat oleh lawan Anda. Anda memiliki kontribusi paling fatal dalam sengketa ini, sehingga Anda hanya paling layak menggugat kelalaian Anda sendiri. Anda tidak takut digugat balik oleh lawan Anda bila Anda menggugat? Anda yakin lawan Anda punya aset untuk dieksekusi bila seandainya nanti menang gugatan? Anda siap jika gugatan Anda non-executeable? Anda siap nanti putusan gugatan Anda mirip ‘macan di atas kertas’? Anda siap membuka aib Anda sendiri dengan mengajukan gugatan yang bisa dilihat dan diketahui publik alias dibaca semua orang?”
Tidak akan pernah ada kalangan profesi Pengacara yang “sebodoh” itu akan menyia-nyiakan kesempatan “memangsa” dengan memungut tarif jasa beracara di persidangan, sebetapa tidak layak pun bagi calon kliennya untuk menggugat, atau bahkan diketahui betul oleh sang pengacara bahwa sang klien akan digugat balik oleh lawannya, sehingga akan ada lagi fee baru untuk upaya hukum Banding hingga Kasasi, serta Peninjauan Kembali jika perlu, karena bila menyia-nyiakan semua itu sama artinya “tidak makan sama sekali”. Itulah ladang menari nafkah kalangan profesi Advokat, tidak beracara dan tidak membuat-membuat acara, maka tidak ada acara “makan-memakan” sama sekali.
Bandingkan dengan skenario berikut yang dapat terjadi pada seorang Konsultan Hukum. Setelah melalui serangkaian sesi tanya-jawab, diketahuilah bahwa sang klien tidak layak untuk menggugat, dan dapat dipastikan kalah dalam gugatannya, atau bahkan akan digugat-balik oleh lawannya, berdasarkan prediksi dengan rujukan berbagai norma imperatif peraturan perundang-undangan maupun kaedah preseden yang telah ada. Bagi kalangan Konsultan Hukum : “hukum adalah ilmu tentang prediksi. Sementara bagi kalangan Pengacara : “hukum adalah ilmu tentang berspekulasi di meja hijau”.
Sang klien merasa putus asa, kecewa, harapannya untuk menggugat secara menggebu-gebu mendadak menjadi antiklimaks, seolah dilambungkan demikian tinggi namun seketika menghujam jatuh ke tanah, betapa keras dan sakit rasanya. Sang klien pergi berlalu begitu saja. Apakah Anda pikir dirinya akan secara “sadar diri” membayar tarif jasa konsultasi tanpa harus dikejar-kejar untuk membayar? Ibarat tukang ramal yang kerjanya meramal, semua orang senang diramalkan yang baik-baik, dan tidak akan ada yang senang diramalkan hal buruk akan terjadi pada kita, dan kita akan berkata: “Ia seorang peramal yang buruk.”
Seperti itu jugalah, seorang Konsultan Hukum kadang menjadi seorang “pewarta vonis” ataupun “pewarta kabar buruk” yang tidak ingin didengar pasien manapun. Konsultan Hukum tidak dapat menawarkan iming-iming “tangan ajaib” membolak-balik keadaan dari “bersalah” menjadi “tidak bersalah” layaknya kaum Pengacara yang dapat melakukan pendekatan “politis” terhadap pihak penguasa di ruang “kedap suara” di pengadilan—sekalipun konon kabarnya dinding pun bertelinga.
Bila Anda berpikir semua klien akan bersifat “gentlemen”, maka Anda keliru. Oleh sebab itulah, deposit tarif menjadi prasyarat mutlak, karena perlu kita pahami bersama, sebagaimana pengalaman penulis yang sudah-sudah, menagih piutang tarif, justru menjadi salah satu tantangan terbesar kalangan penjual jasa konsultasi. Sudah banyak pengalaman penulis menghadapi klien yang menunggak dan “kabur” begitu saja setelah diberikan opini hukum dan layanan terkait pembuatan / review kontrak, pembuatan legal opinion, dsb. Belajar dari pengalaman buruk, sama berharganya dengan belajar ilmu hukum.
Hal keempat, seorang Konsultan Hukum ibarat seorang “tunanetra” (lihat kembali kelemahan profesi Konsultan Hukum sebagaimana telah terurai di atas). Namun, bukan berarti kelemahan demikian menjadi “harga mati” yang demikian menyandera kalangan profesi Konsultan Hukum. Seorang tunanetra, meski tidak lagi mampu melihat dengan indera matanya seperti orang “normal”, namun ternyata mampu mengembangkan kompensasinya dengan cara atau berupa ketajaman indera pendengarannya diatas rata-rata manusia normal.
Sama seperti itu jugalah, Konsultan Hukum rata-rata lebih fasih berbicara tentang riset data, analisa perkara dan masalah, mencari solusi dari “benang kusut” masalah hukum sang klien, lebih terampil memahami peraturan perundang-undangan, kaya akan wawasan preseden yang bahkan tidak dimiliki banyak kalangan praktisi pengadilan seperti Pengacara, hingga kemampuan mengarahkan sang klien untuk tidak terjebak dalam sengketa keruh berlarut-larut, yakni lewat langkah-langkah mediasi, mitigasi, dan preventif, yang akan menyelamatkan sang klien dari potensi kerugian yang jauh lebih besar lagi.
Hal kelima, yang tidak kalah penting untuk dicermati, jangan pernah menerapkan standar tarif yang minim, mengingat profesi hukum adalah profesi yang sarat potensi resiko yang terbilang sangat tinggi. Kekeliruan memuat opini hukum, dapat membuat klien merugi hingga miliaran rupiah, yang tentunya menjadi tanggung jawab hukum maupun tanggung jawab moril kalangan profesi Konsultan Hukum. Hanya legal opinion yang dapat digugat oleh klien, sementara surat gugatan pengacara tidak pernah dapat menjadi objek gugatan di pengadilan.
Berbeda dengan kalangan Pengacara yang tidak menjual produk semacam “Legal Opinion” tertulis, kalangan Pengacara dapat semudah mendalilkan : “Hakimnya sudah disuap pengacara lawan” atau “saya hanya mengupayakan, bukan menjanjikan hasil”—bagaimana cara membuktikannya, selain hanya klaim demikian? Itulah dalih “favorit” yang kerap dilontarkan kalangan Pengacara ketika mendapati “kekalahan” dalam mewakili sang klien bersidang.
Ada semacam sikap irasional dibalik masyarakat kita. Ketika mereka mendapati opini hukum yang mereka nilai berbenturan dengan realita, maka sang Konsultan Hukum akan ia tinggalkan begitu saja. Namun, ketika sang Pengacara kalah dalam bersidang mewakili kepentingan sang klien, sang klien tersebut lebih cenderung tetap memakai jasa sang Pengacara yang sebelumnya telah kalah mewakili dirinya.
Hal keenam, menjadi indikator berkebalikan, yakni semacam parameter apakah Anda layak atau tidaknya berkarir sebagai seorang Konsultan Hukum. Berikut ini karakter wajib yang perlu Anda tumbuhkan bila masih berpendirian kukuh untuk menjadi seorang Konsultan Hukum : komitmen melakukan riset hukum secara rutin berkesinambungan, menyenangi dunia kepenulisan, teliti tanpa toleransi sekecil apapun, kuat dalam analisa dibalik kata-kata dalam undang-undang, dan menjadi si “kutu buku” yang telah “menyantap” banyak sekali teori maupun praktik telaah preseden.
Hal ketujuh, bersikaplah percaya diri, oleh sebab reputasi kalangan profesi Konsultan Hukum tidak rusak menyerupai citra kalangan profesi Pengacara di Tanah Air. Cobalah sesekali tanyakan apa pendapat masyarakat kita tentang mereka yang berprofesi sebagai Pengacara, tanggapan baikkah atau justru komentar “satir” yang akan kita jumpai? Citra profesi Pengacara, tidaklah sebaik yang Anda semula duga.
Penulis mencoba memperkenalkan dan lebih mendekatkan masyarakat kita pada fungsi serta peran utama profesi Konsultan Hukum, yang berdasarkan pengalaman pribadi penulis, ternyata belum benar-benar dikenal oleh masyarakat luas atas peran jasa seorang Konsultan Hukum. Edukasi ini penting, mengingat hingga saat kini masih kerap dijumpai masyarakat yang masih merasa asing terhadap penyedia jasa “Konsultan Hukum”. Mereka, selama ini hanya memandang profesi hukum sebatas “jika tidak Pengacara, maka Notaris”. Memang apa bedanya antara Konsultan Hukum dan Pengacara? Demikian yang kerap mereka lontarkan, sampai-sampai penulis merasa jenuh untuk menjelaskan—meski sudah jelas istilah “konsultan” merujuk pada karakter profesi lainnya yang serupa “konsultan pajak”, dsb.
Hal kedelapan, miliki kode etik yang “berselera tinggi”. Hal tersebut penting untuk penulis garis-bawahi. Betapa tidak, hingga saat kini belum terdapat satupun standar Kode Etik profesi Konsultan Hukum (mungkin terkecuali bagi profesi Konsultan Hukum Pasar Modal). Dalam artian, kesadaran pribadi untuk menetapkan sebentuk Kode Etik profesi sebagai seorang Konsultan Hukum, tidak dapat dihindari. Jangan pula membuat Kode Etik menyerupai Kode “Etik” kalangan notaris yang lebih menyerupai Anggaran Dasar suatu badan hukum ketimbang membahas substansi “etika”.
Hal kesembilan, bersikaplah layaknya seperti seorang psikolog. Seorang psikolog, dibayar bukan hanya untuk memberi konseling “cuap-cuap”, namun juga dibayar untuk mendengarkan masalah hukum sang pasien. Adalah suatu kebodohan besar kalangan profesi konsultan, yang tidak memungut tarif jasa profesi ketika mendengarkan masalah hukum orang lain—Anda akan paham secara sendirinya apa yang penulis maksudkan dari pernyataan tersebut, ketika Anda telah menapaki tangga karir sebagai seorang Konsultan Hukum maupun sebagai seorang psikolog / psikiater yang kesemuanya berkecimpung dibidang layanan jasa konseling.
Konsultan Hukum yang profesional, akan mulai menghitung / menjalankan “argo” ketika sang klien pengguna jasa pertama kali / memulai menceritakan masalah hukumnya. Bukanlah perkara mudah mendengar cerita / masalah hukum milik orang lain, karena itu sama artinya kita akan terpapar dan terpajan “penyakit” milik orang lain yang harus kita “sentuh” dan “bedah”. Bila Anda bersedia menampung seluruh masalah hukum milik orang lain, tanpa dibayar, maka Anda sejatinya tengah merendahkan martabat Anda sendiri dengan menjadikan diri Anda betul-betul layaknya sebuah “tong sampah”—Anda pun akan diberi stigma sebagai “murahan” atau bahkan “grat!san”. Siapa yang akan menaruh sikap respek terhadap Anda yang demikian lemah citranya, “murahan”, dapat “dicicipi” tanpa perlu membayar.
Bila Anda merasa “senang-senang” saja mendengarkan masalah hukum orang lain sekalipun “tanpa dibayar” untuk itu, maka Anda memang patut mendapat gelar “murahan”—dan ingatlah, tidak pernah ada Konsultan Hukum “murahan” yang disegani ataupun diakui reputasinya sebagai seorang Konsultan Hukum yang bonafit. Jangan lecehkan profesi Anda sendiri dengan menjadi orang yang “murahan” serta mudah dibodohi oleh mereka yang hanya bermaksud untuk mengkesploitasi (mencuri ilmu), terlebih hingga memperdaya, memperalat, dan membodohi Anda. Akan akan menemui 1001 modus tipu-daya dari mereka yang mencoba mengeksploitasi profesi Konsultan Hukum.
Hal kesepuluh, jangan pernah berasumsi bahwa pihak-pihak yang menghubungi Anda adalah orang-orang yang selalu beritikad baik. Bercermin pada pengalaman penulis pribadi, seringkali yang mencoba menghubungi penulis selaku Konsultan Hukum, ternyata penuh oleh tipu-daya serta agenda tersembunyi, berpura-pura menjadi klien namun dibaliknya memiliki niat buruk untuk memperdaya, mengecoh, dan mencoba menipu dengan maksud hanya untuk “mencuri ilmu” tanpa bersedia membayar SEPESER PUN.
Modus-modusnya sangatlah beragam, dan sudah hampir seluruhnya penulis petakan, sehingga kini mudah bagi penulis untuk mengidentifikasikan pihak-pihak manakah yang betul-betul serius atau pihak-pihak yang menghubungi hanya dengan maksud untuk memperdaya dan menipu. Yang mengejutkan, latar belakang mereka tidaklah tergolong miskin, karena masalah hukum yang dimilikinya terkait harta kekayaan seperti objek tanah bernilai ratusan hingga miliaran rupiah—namun ironisnya, tidak bersedia membayar tarif jasa meski barang SEPERAK PUN (apanya lagi yang perlu dinegosiasikan jika demikian tuntutannya?).
Hal kesebelas, meski bukan hal yang paling akhir, jangan mudah patah semangat meski yang menghubungi Anda lebih banyak dari pihak-pihak yang hanya bermaksud memperkosa profesi Anda selaku penyedia jasa tanya-jawab seputar hukum (konsultasi hukum), dan siap untuk menjadi “pelawan” ketika profesi Anda dilecehkan oleh orang-orang semacam demikian. Penulis bahkan pernah dituntut untuk memberi pelayanan konsultasi tanpa boleh menarik tarif SEPERAK PUN untuk masalah tanah yang dimiliki olehnya, dengan menyebut bahwa penulis sebagai “mata duitan” sementara dirinya meminta dilayani tanpa bersedia membayar SEPERAK PUN—seolah hanya dirinya seorang yang paling berhak mencari nafkah.
Meski penulis akui amat meletihkan mendapati pelecehan demi pelecehan demikian, sejatinya para pelaku pelecehan / pemerkosaan profesi demikian telah membuat hina dirinya sendiri, bersikap layaknya seorang pemerkosa, pelaku perbudakan, dan bahkan lebih hina perilakunya daripada seorang pengemis yang tidak mencari makan dengan cara merampok nasi dari piring orang lain.
Sebagai seorang Konsultan Hukum, Anda sekalipun selaku penyedia tawaran jasa dituntut senantiasa bersikap lembut dan penuh sopan santun, juga perlu membekali diri dengan keterampilan “bertarung” yang mumpuni dengan sesekali menjadi manusia kasar serta keras terhadap mereka yang memang patut untuk dikasari dan dikerasi, seperti contohnya dalam kasus-kasus berjumpa dengan para pemerkosa profesi demikian, Anda tidak punya kewajiban bersikap sopan penuh kelembutan terhadap mereka yang memang layak untuk “ditampar”. Junjung tinggi martabat profesi Anda, bila Anda hendak mendapat penghormatan di hati diri Anda sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.