ARTIKEL HUKUM
Bila Anda meyakini bahwa hukum dengan segenap norma imperatif yang mengatur setiap sendi kehidupan warga negara, adalah sesuatu yang telah sempurna, maka ilustrasi konkret dalam artikel ini akan mengubah sudut pandang Anda.
Adalah sah-sah saja, sebagai seorang subjek hukum dan warga negara yang baik, kita mengandalkan hukum sebagai pengatur dan pelindung. Kita selama ini mencoba meyakinkan diri kita, bahwa hukum lengkap dengan segala pengaturannya, diciptakan oleh orang-orang “pintar” yang ideal sehingga segala norma aturan hukum bersifat sama idealnya bagi kehidupan dan demi khalayak hidup orang banyak. Kita berasumsi, aturan hukum yang ada maupun penegakannya, bersifat logis dan ideal.
Namun apakah betul, bahwa aturan hukum tidak lepas dari keterbatasannya sendiri, dan bahwa praktik hukum di negara paling modern sekalipun tidak luput dari suatu kendala serta polemik yang dapat kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari? Bukan bermaksud membuat pembaca menjadi berkecil hati, namun pandangan rasional perlu kita miliki untuk hidup di dunia real, nyata.
Begitu pula, janganlah kita bermain-main dengan kesehatan kita dengan menggali informasi dari dunia maya yang belum tentu benar reputasi serta informasi yang dikandung didalamnya, bahkan menjadikan itu sebagai bahan untuk mendebat dokter kita sendiri. Penulis telah banyak menjumpai informasi “menyesatkan” seputar info kesehatan, bahkan yang tertuang dalam sebuah surat kabar terkenal di Tanah Air, yang menyebutkan bahwa tidaklah baik banyak mengkonsumsi air minum—mengakibatkan dalam beberapa waktu penulis menghayati informasi yang keliru, dan mengalami pengentalan darah.
Tidak terkecuali praktik masyarakat kita yang sedang terlibat masalah hukum, sekalipun itu masalah hukum yang demikian kompleks dan melibatkan aset bernilai ratusan hingga miliaran rupiah, masyarakat kita dikenal demikian “kikir” sehingga untuk informasi hukum yang paling penting sekaligus kritis sifatnya sekalipun, masyarakat kita alih-alih berkonsultasi dengan kalangan profesi Konsultan Hukum, justru memilih menyerahkan nasib masalah hukumnya pada internet—mengharap “beruntung” dapat mencari jawaban hukum tanpa membayar SEPERAK PUN, atau jika perlu memperkosa kalangan profesi konsultan dengan menyalah-gunakan nomor kontak kerjanya seperti yang selama ini terjadi oleh masyarakat di Indonesia, tanpa rasa malu.
Segala informasi terkait hal medik maupun terkait isu hukum di dunia maya, semua itu bersifat penuh idealis, kadang dibuat berlebihan (tidak membumi dan tidak melihat kenyataan), tanpa suatu pendekatan rasional, atau bahkan tanpa si pembaca sadari, mengandung muatan “hoax” yang sangat kontraproduktif dan berbahaya.
Hanya seorang dokter dan konsultan hukum nyata, yang dapat memberikan informasi memadai sesuai konteks kondisi dan keadaan sang pasien / klien, sehingga pendekatannya akan berbeda bagi masing-masing pasien / klien, serta diutarakanlah berbagai komplikasi yang mungkin dapat terjadi, ataupun mitigasi dan solusi alternatif maupun langkah pencegahannya.
Segala informasi dalam dunia maya bersifat linear, tanpa dapat dipertanggung-jawabkan. Mengandalkan dan menyerahkan nasib pada informasi yang tidak jelas akurasinya demikian, bagai “bermain api”—pada gilirannya akan terbakar. Pada muaranya, mereka hanya dapat menyesal dikemudian hari, dan itu menjadi urusan pribadi mereka masing-masing. Bermaksud mendapat “keuntungan”, justru merugi jauh lebih besar lagi.
Ilustrasi dalam kisah berikut, mungkin cukup relevan terkait topik bahasan ini, sebagaimana penulis kutip dari artikel yang ditulis oleh Sally Willard Burbank dalam artikel singkatnya dalam buku “Chicken Soup for the Soul : Kekuatan Berpikir Positif—101 Kisah Inspiratif tentang Mengubah Hidup dengan Berpikir Positif”, Editor Jack Canfield dkk., versi terjemahan Indonesia oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan ke-14 November 2018, dengan cerita sebagai berikut:
BILIK BAWANG
Alih-alih mengeluhkan duri pada mawar liar, syukurilah betapa semak-semak liar pun bisa berbunga. (Peribahasa)
Aku sudah mundur seandainya bukan aku yang jadi bos di situ. Diawali dengan keterlambatan tiga puluh menit pasienku yang pertama, yang tetap memaksa untuk diperiksa. “Ini bukan salah saya—kemacetan jalan luar biasa.”
Pasien berikutnya membentak sekretarisku yang mencoba memintanya melunasi kewajiban separuh pembayaran. Setelah menenangkan sekretarisku, aku memasuki kamar periksa berikutnya yang langsung disodori tumpukan tinggi formulir-formulir yang harus diisi—sebelum esok hari.
Aku lalu harus menyabarkan diri menunggu urusan asuransi selama dua puluh menit, menghadapi kemarahan pasien karena dia harus menunggu selama empat puluh menit, dan menangani seorang lelaki yang pingsan ketika diambil darahnya, dan hari itu aku serasa menaiki balon udara di antara tornado.
Deraan terakhir? Mrs. Smith menyampaikan bahwa dia telah menghentikan obat darah tingginya dan menggantinya dengan pengobatan herbal yang dia perolah dari internet. Situs web itu menyatakan bahwa herbal yang 100 persen alami itu memiliki kemampuan “penyembuhan ajaib” untuk menurunkan tekanan darah.
“Aku jauh lebih nyaman dengan bahan-bahan organik,” katanya bersikukuh. “Menurut internet, pil-pil darah tinggi yang Anda resepkan tiada lain hanyalah racun sintesis.” Dia menatapku seakan aku sudah meresepkan racun tikut.
Dengan menghentikan “racun sintesis” itu, tekanan darahnya mencapai tingkat bahaya 220/110. Singkatnya, herbal organiknya yang seluruhnya alami itu, tiada lain hanyalah plasebo yang mahal—mungkin dia hanya menelan segenggam rumput alang-alang. Tapi percuma saja mengatakan itu kepadanya!
Aku keluar dari kamar periksanya itu satu jam terlambat. Kepalaku berdenyut-denyut sakit seperti gendang ditabuh dan otot-otot leherku lebih tegang ketimbang dawai banjo. Kuputar leherku, kuregangkan rahangku, dan kutarik nafas dalam-dalam beberapa kali. Tumpukan berkas di mejaku sudah mirip Menara Miring Pisa. Aku rebah ke kursiku selama dua menit untuk istirahat lalu mulai menangani penulisan resep.
Apa yang telah membiusku untuk membuka praktik menjadi dokter ini? Lamunanku tentang Marcus Welbu, M.D. tak banyak yang mirip dengan kehidupan dokter spesialis penyakit dalam di era modern—kerepotan urusan asuransi, urusan administrasi, dan para pasien yang lebih memercayai internet ketimbang dokternya.
Aku membubuhkan tanda-tangan terakhirku di berkas terakhir, mengangkat tumpukan yang berat itu ke atas meja asistenku, dan siap menghadapi bencana berikutnya. Tuntutan hukum karena malpraktik? Serangan jantung? Pemadaman listrik? Pertengkaran pegawai? Hari ini, semua itu bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi seperti dewasa ini.
Aku buru-buru masuk ke ruangan berikutnya dan menyapa Marge Moreland, seorang perempuan menyenangkan berusia empat puluh yang menatapku dengan mata merah dan bengkak. Tampangnya seolah-olah habis menangis sebulan tiada henti.
Tidak mengherankan, dia telah mendaftar untuk memeriksakan apa yang bisa dilakukan pada matanya yang mengalami iritasi itu. Satu demi satu, aku menyisihkan kemungkinan biang keladinya: kecandungan menangis karena stes dan depresi, maskara baru, radang selaput mata, penyebab alergi sepreti serat permadani, jamur, debu, atau serpihan kulit hewan.
Aku menggaruk-garuk kepalaku, tidak menemukan petunjuk, dan menjadi bingung sendiri. Lalu dia berkomentar, “Kayaknya tempat kerja saya, deh, Dok.”
Aku mengangguk, “Saya paham, Anda bekerja di ‘bangunan tidak sehat’ yang kami sudah sering dengar dari berita dan kini Anda dan rekan kerja di sana sama-sama punya gangguan mata merah, dan mata bengkak.”
“Tidak, tak seorang pun di sana yang terkena kecuali saya.”
Pasien satu ini seolah sedang bermain teka-teki. Aku melirik apa yang ditulisnya di dalam berkasnya. “Lalu mengapa Anda pikir pekerjaan Anda-lah sumbernya sementara rekan kerja Anda tidak ada yang terkena.”
“Karena mereka tidak bekerja di ruang bawang.”
“Ruang bawang?”
“Mereka menugasi saya mengupas dan mengiris bawang delapan jam sehari.”
“Anda mengiris bawang delapan jam sehari?” Aku tak bisa membayangkannya! Pantas saja matanya merah.
“Ya, dan ruangan itu kecil dan tidak ada ventilasinya.”
Sudahlah tentu menyiksa seorang pekerja di ruangan tanpa ventilasi selama delapan jam sehari, melanggar undang-undang keselamatan kerja OSHA (Occupational Safety and Health Administration—Badan Penataan Kesehatan dan Keamanan Kerja). Amarahku jadi menyembur seperti air mancur.
Aku keluar dari ruangan periksa itu, bergegas ke ruang kerjaku dan menelepon petugas OSHA setempat, siap untuk memintanya menginvestigasi dan memperbaiki kondisi kerja perempuan itu.
Bayangkan saja keterkejutanku ketika si petugas, mengatakan bahwa dia sudah menginvestigasi ruangan itu dan tidak menemukan pelanggaran. Tidak ada yang dapat dilakukannya secara hukum.
“Sebab bawang hanyalah jenis makanan dan bukan toksin atau racun, saya tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Tetapi lingkungan kerjanya itu tidak dapat ditoleransi. Bagaimana orang bisa mengiris bawang seharian?”
“Saya bahkan tidak tahan untuk masuk ke ruangan itu, apalagi memeriksanya—baunya menyengat. Percayalah pada saya, karena saya ditelepon paling tidak sebulan sekali tentang itu. Pekerja yang keluar-masuk di sana tak masuk akal.”
Aku kembali ke ruang periksa dan menyampaikan kabar buruk itu. Aku menggeleng dengan keheranan. “Anda sudah tersekap berapa lama di ruangan itu?”
“Tiga bulan. Bos saya bilang saya yang paling lama ketimbang pegawai sebelumnya,” katanya membanggakan diri.
Aku menyilangkan kedua lenganku. “Mengapa Anda bertahan?”
“Saya berharap dapat dipromosikan di bagian kol.”
“Kol?” Aku menahan diri agar tidak sampai tertawa.
“Ruang salad. Itulah kenaikan pangkat di perusahaan itu dan disertai kenaikan upah lima puluh sen per jam.”
Aku menatapnya dengan takjub, jadi malu dengan sikapku yang buruk dan keluhanku terhadap hal-hal kecil. Di sini aku sudah meradang sepanjang pagi tentang urusan asuransi, pembaca internet yang terlalu bersemangat, dan tumpukan berkas, sementara perempuan malang ini menanggungkan bau menyengat dan perihnya mengiris bawang selama delapan jam sehari—semuanya dengan upah minimum. Namun, toh dia masih saja berharap mendapatkan kenaikan pangkat ke bagian kol?
Sekarang, setiap kali aku merasakan hari yang seperti itu dan tergoda untuk mengeluh, aku mengingatkan diriku tentang hal yang lebih buruk. Jauh lebih buruk. Aku mungkin sedang mencacah bawang.”
Sebagaimana tergambarkan pada kisah di atas, aparat penegak hukum di negeri Amerika Serikat sangat serius bekerja dan melayani masyarakat warga negaranya, dimana laporan dan aduan masyarakat benar-benar ditindak-lanjuti dan dipermudah (cukup melalui telepon, bandingkan dengan Indonesia dimana semua call centre layanan pemerintah tidak berfungsi secara baik dan belum tentu laporan warga akan tindak-lanjuti, seringkali hanya diabaikan dan ditelantarkan begitu saja).
Namun, tetap saja, otoritas penegak hukum di negara semaju Amerika Serikat, dapat tetap terganjal oleh masalah aturan hukum yang memiliki “keterbatasannya sendiri”. Bila kita memandang bahwa aturan hukum adalah sebentuk aturan yang “logis” sebagaimana yang tertulis dalam berbagai bahasan yang tersebar di internet, tampaknya Anda akan mengalami “patah hati” terhadap praktik hukum dan menjadi kecewa sendiri karenanya.
Internet memang merupakan gudang ilmu pengetahuan, namun juga sebagai gudang informasi keliru, menyesatkan, bahkan juga dapat disebutkan sebagai suatu “PHP” (pemberi harapan palsu). Tidak jarang penulis menjumpai bahasan yang demikian ideal di internet, bahwa pelaku ini dan itu dapat dijerat pidana, meski senyatanya belum pernah ada satupun pelaku perbuatan serupa yang dijerat pemidanaan sejak dahulu kala aturan tersebut diciptakan.
Yang disebut sebagai “pengetahu hukum”, ialah ia yang tahu betul seluk-beluk dan sendi-sendi sekaligus kelemahan-kelemahan yang menyertai aturan hukum dan praktik yang melingkupinya. Memahami dan mengetahui hukum secara rasional, itulah tugas dan peranan fungsi jasa seorang Konsultan Hukum, yang tidak akan pernah tergantikan oleh media semacam internet yang bersifat linear “satu arah” dan cenderung tidak “membumi”—alias tidak logis dan tidak rasional dalam pemaparan informasinya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.