Hukum Perlindungan Konsumen dan Perilaku Konsumtif yang Irasional

ARTIKEL HUKUM
Hukum Perlindungan Konsumen, disamping memiliki fungsi sebagai pelindung bagi masyarakat selaku konsumen, juga memiliki peran sebagai sarana edukatif bagi warga negaranya agar tidak merugikan diri sendiri dari perilaku konsumtif yang irasional. Tampaknya, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia masihlah bersifat orthodoks, dalam pengertian hanya bereaksi ketika ada warga selaku konsumen yang merasa dirugikan, yakni baru diterapkan keberlakuannya di ruang sidang perkara perdata maupun pidana.
Hukum yang ideal, bersifat antisipatif serta mitigasi, yakni mencegah terjadinya kerugian bagi segenap warga negaranya. Hukum Perlindungan Konsumen yang baik tentulah akan lebih mengedepankan langkah-langkah preventif ketimbang kuratif, sesuai dengan namanya “perlindungan” yang artinya (seyogianya) melindungi dari sejak awal penawaran produk. Ketika hukum menjelma sebatas sarana untuk melakukan upaya kuratif, dapat dikatakan bahwa “itu sudah terlambat”. Langkah kuratif, terkadang menjadi lembaran baru sengketa yang berlarut-larut.
Sebagai contoh, banyak perilaku irasional masyarakat kita ketika menjadi konsumen sejumlah produk barang maupun jasa yang ditawarkan sejumlah pihak pertokoan, peritel, maupun penyedia barang dan jasa. Obat semprot pembunuh nyamuk, yang ketika dikemas berbau harum layaknya parfum yang wangi, adalah jauh lebih berbahaya daripada obat semprot pembunuh nyamuk yang berbau busuk.
Yang timbul dibenak masyarakat selaku konsumen, yang mereka semprot dan hirup ialah “parfum” yang ajaib karena dapat juga sekaligus membunuh nyamuk, bukan obat pembunuh nyamuk yang sedang mereka semprotkan dan hidup ke dalam paru-paru mereka sendiri. Apa jadinya bila racun pembunuh tikus dikemas berbentuk dan serenyah potongan keju yang bisa jadi menggoda kita untuk juga mencicipinya?
Perilaku tidak etis kalangan produsen dan penjual produk demikian, tidak dapatlah kita berkilah bahwa semua itu tanggung-jawab sang konsumen yang menjatuhkan pilihan untuk membeli dan memakai produk bersangkutan. Pihak produsen tahu benar dan dengan sangat terampil mengeksplorasi serta mengeksploitasi perilaku irasional target pasar yang akan menjadi konsumen potensialnya.
Bila sang konsumen yang irasional demikian, hanya akan mencelakai dirinya sendiri, mungkin memang Hukum Perlindungan Konsumen tidak perlu bergerak terlampau jauh untuk mengintervensi. Namun yang perlu kita pahami, seringkali perilaku irasional segelintir pihak konsumen, membawa dampak bagi warga di sekitarnya yang menjadi “terkena getahnya” juga.
Sebagai contoh ialah perilaku per0k0k aktif, mereka berpikir bahwa diri mereka sendiri yang akan bertanggung-jawab hanya untuk diri mereka ketika mereka benar-benar mengidap kanker akut (9 dari 10 penderita kanker paru, adalah seorang per0k0k aktif berat, 1 orang selebihnya mungkin adalah per0k0k pasif), begitupula pihak pemerintah merasa telah memberi edukasi yang cukup berupa publikasi bahaya r0k0k, larangan pemasangan iklan r0k0k, hingga pemasangan gambar penyakit akibat konsumsi r0k0k pada kemasan pembungkus produk r0k0k.
Padahal, secara ilmu neurologi, jelas sekali bahwa tingkat irasionalitas konsumen (dalam hal ini pelanggan yang telah mencandu adiktif zat r0k0k) terbilang sangat tinggi disamping konsumen obat-obatan bius terlarang, sehingga langkah antisipatif pemerintah terbilang tidak tepat guna. Tetap saja, warga perpapar cemaran udara sebagai per0k0k pasif, tanpa perlindungan yang optimal oleh negara. Mereka yang telah divonis kanker stadium 4, dikabarkan bahkan tetap menghisap asap beracun tersebut tanpa merasa jera. Tingkat intelijensi daya berpikir rasional mereka telah tertekan hingga ke titik nadir, dan itulah tepatnya yang di-“garab” dengan sangat sistematik oleh produsen industri r0k0k yang sudah saatnya dijadikan “musuh” kita bersama untuk diperangi tanpa toleransi apapun.
Betul bahwa terdapat peraturan yang melarang konsumsi r0k0k di sejumlah tempat tertentu, namun negeri ini terbilang gemar memproduksi berbagai aturan secara “genit” dan “gemuk” tanpa konsistensi dalam penegakannya seperti nasib berbagai Peraturan Daerdah (Perda) di Tanah Air, tidak terkecuali Perda-Perda di ibukota seperti DKI Jakarta. Pelanggaran terjadi semacam masif, mengakibatkan “inflasi” hukum karena rontoknya wibawa penegakan hukum di mata para pelanggar tersebut—diremehkan dan diketahui hanya menjadi “macan ompong” di atas kertas.
“Perilaku irasional” warga masyarakatnya, itulah yang perlu menjadi sorotan pihak regulator selaku pembentuk undang-undang, tidak terkecuali perilaku irasional warga terkait konsumsi—untuk dikonservasi dan dijaga dari intervensi pihak pelaku usaha yang besar kemungkinan akan memperdayanya tanpa tinggal diam. Tidak ada teori marketing yang lebih berbahaya daripada manipulasi daya berpikir logis suatu “bangsa konsumen”.
Salah satunya terlihat dari hadirnya fungsi negara lewat lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dimana kita ketahui, sering terjadi fenomena-fenomena irasional yang sukar dipahami, dimana bahan pangan melonjak dengan harga demikian fantastis, terjadi bukan semata karena kurangnya pasokan di pasar, namun perilaku konsumen yang tetap membeli sekalipun dengan harga yang demikian melambung tinggi. Secara rasional, bila memang sekalipun pasokan menipis, bila warga tidak berniat membeli ketika terjadi kenaikan harga, maka harga akan tetap stabil.
Sempat terjadi, harga cabai menapaki rekor senilai Rp. 100.000 per kilogram. Begitupula harga bawang, mencapai Rp. 110.000 per kilogram. Semua itu dapat terjadi, karena penjual tetap saja “kebanjiran” pembeli seberapa mahal pun harga jualnya, maka dari itu berani menaikkan harga. Dalam kasus “pembantaian” ayam ras daging potong dimana produsen mematikan ribuan ayam mereka di kandang, dengan kalkulasi bisnis bahwa menurunnya pasokan daging ayam akan mengakibatkan kenaikan harga, maka pihak produsen justru mendapat keuntungan yang justru jauh lebih menggiurkan daripada membiarkan ribuan ayam ternak mereka dilempar ke pasar. Kasus demikian sempat terlacak dan mendapat hukuman dari KPPU beberapa tahun lampau.
Ketika warga bersikap rasional, dan kompak melakukan “boikot” pembelian, tidak akan ada penjual ataupun tengkulak dan pedagang besar ataupun importir yang berani berspekulasi dengan menaikkan harga ataupun meninbun stok dengan harapan membuat gejolak harga di pasaran. Masalahnya, pihak produsen telah memahami betul pemetaan perilaku irasional kalangan konsumen di Indonesia.
Salah satu bukti indikasi kuat sikap irasional warga pelaku konsumsi di Indonesia, ialah perihal komoditas “seksi” bernama daging sapi yang menjadi primadona masyarakat konsumen di Indonesia. Betapa tidak, ketika harga daging sapi mencapai senilai Rp. 110.000 per kilogram, warga tetap membelinya—meski disaat bersamaan terdapat alternatif yang lebih terjangkau, yakni daging sapi beku impor senilai Rp. 40.000 per kilogramnya, maupun alternatif substitusi daging konsumsi seperti daging ikan yang justru kedua alternatif yang disebutkan terakhir sama sekali kurang laku dari peminat di pasaran meski sangat berlimpah dan mengingat pula Indonesia mengaku sebagai negara maritim.
Pihak penjual, tengkulak, dan pedagang besar maupun importir telah berhasil sejak lama membaca peta karakter irasional warga masyarakat yang sangat tidak logis dalam hal belanja dan mengkonsumsi. Menyadari betul karakter irasional demikian, menjadi fokus yang menarik bagi mereka untuk di-“tambang” serta dieksploitasi lebih jauh dengan berbagai aksi spekulasi yang sebetulnya dapat dengan mudah mereka kalkulasi dan rekayasa.
Masyarakat Indonesia adalah bangsa konsumtif, konsumen yang menjadi target market utama berbagai produsen di luar negeri. Tengoklah berbagai gadget keluaran terbaru merek ternama dengan harga yang luar biasa mahalnya, tetap laku di pasaran segmen barang tersier konsumen Indonesia, meski sebagian besar dari mereka hanya menggunakan gadget canggih tersebut hanya sebatas untuk fungsi sederhana yang sejatinya dapat juga dilakukan dengan perangkat yang jauh lebih murah.
Betul bahwa bangsa kita hanya bangga sebatas sebagai konsumen, namun tetap saja bangsa bermental konsumsi takkan akan pernah maju sebagai bangsa berdaya kreatif tinggi—semua sebatas konsumtif, secanggih apapun gadget yang mereka miliki. Indonesia bagai negara “tambang” yang sensuil untuk ditambang kekayaan sumber daya ekonominya, sekaligus “telanjang bulat” karena regulasi hukumnya terbilang primitif dalam hal perlindungan terhadap konsumen yang dibiarkan menjadi objek gempuran berbagai iklan pariwara yang cenderung tidak mendidik.
Hukum Perlindungan Konsumen seyogianya mencerdaskan, mendewasakan, mengayomi, melindungi, serta memandu warga negaranya menjadi konsumen yang cerdas, bukan dibiarkan menjadi kurus kering dikeruk serta dihisap dari berbagai penjuru gaya hidup hedonistis yang memang diproduksi budaya demikian secara apik oleh kalangan pelaku usaha.
Hukum Perlindungan Konsumen yang baik akan menyadari dan paham betul kelemahan watak bangsa Indonesia, yakni sikap irasional dalam memutuskan objek dan tingkat konsumsi mereka. Betul bahwa tingkat pendidikan warga di Indonesia telah relatif cukup tinggi dengan program wajib belajar sembilan tahunnya, dengan ribuan orang bergelar profesor dan Doktor, namun ternyata tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan kemampuan berpikir rasional sang warga. Kompetensi mereka hanya sebatas title pada izasah yang mereka banggakan, atau sekadar gelar penghias kartu nama dan kartu undangan pernikahan.
Kita sudah saatnya meninggalkan paradigma “biarkan konsumen sendiri yang memilih”, oleh sebab Hukum Perlindungan Konsumen yang baik akan berupaya semaksimal mungkin menghindari warga negaranya dari pilihan konsumsi yang hanya akan menyakiti dan merusak kesehatan dirinya sendiri. Indonesia justru merasa bangga menduduki peringkat posisi ke-3 warga terbanyak dalam hal konsumsi tembakau. Padahal, dibanding jumlah proporsional penduduk antara Indonesia dan China, mungkin saja tingkat konsumsi tembakau per kapitanya Indonesia masih jauh diatas China.
Pada gilirannya, industri r0k0k yang justru paling banyak menikmati biaya yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selama ini defisit triliunan rupiah dan disubsidi oleh warga per0k0k pasif yang selama ini menjadi korban konsumen mereka. Kita perlu mulai menyadari, kenaikan cukai r0k0k bukanlah dibayar oleh industri tembakau, namun dibayar oleh warga konsumen yang sudah terlanjut mencandu tanpa dapat terputus. Sebesar apapun cukai tembakau dinaikkan, perilaku irasional demikian tidak dapat dibendung dengan pola pikir pragmatis semacam kenaikan bea cukai. Cara satu-satunya ialah memutus mata-rantai target market konsumen di Indonesia.
Dalam “road map” milik perusahaan raksasa tembakau yang sempat bocor ke publik, disebutkan bahwa mereka menyasar kaum muda sebagai pasar potensial mereka di masa mendatang. Satu orang anak muda berhasil di-“gaet”, artinya hingga 50 tahun atau lebih umurnya akan menjadi “penyumbang” keuntungan industri mereka sebagai konsumen setia yang bahkan siap dan rela mati demi sang pemilik industri (dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekadar bahasa kiasan). Tidak ada bisnis yang lebih menggiurkan daripada industri demikian.
Dari sudut pandang itulah, Hukum Perlindungan Konsumen terbilang cukup terbelakang, tidak canggih, dan cenderung membiarkan warga negaranya menjadi konsumen tidak cerdas yang diperlakukan semata sebagai objek “sapi perahan” yang tidak berdaya dan dengan senang hati dan sumringah-tersenyum ketika dieksploitasi dengan cerdiknya oleh kalangan produsen dan pelaku usaha.
Singkat kata, sudah saatnya Hukum Perlindungan Konsumen yang modern mengadopsi falsafah hukum sebagai sarana edukasi dan pencerdasan bagi warga negaranya agar berdaya dan mulai menjadi konsumen yang cerdas, bukan lagi dengan patuh didikte selera dan tingkat konsumsinya oleh kalangan pelaku usaha.
Negara kita bahkan tergolong masih terjajah dari segi teknologi, produk, ekonomi, budaya, hingga pilihan barang konsumsi. Lihatlah, di jalan raya kita didominasi kendaraan roda dua maupun roda empat produksi merek Jepang yang notabene dahulu pernah menjajah Indonesia lengkap dengan “jugun ianfu”-nya.
Kita belumlah benar-benar merdeka, kita masih terjajah, hanya saja tidak sekasat-mata seperti dahulu kala—namun terjajah secara terselubung, dan sebagian besar warga negara kita seakan bangga dengan keadaan terjajah ini. Mental terjajah, itulah yang kerap digaungkan beberapa cendekiawan. Hendaknya kita tidak terkecoh dengan upacara penaikan bendera merah-putih ke atas tiang bendera pada perayaan 17 Agustus, kita belum benar-benar berdaya dan merdeka. Kita masihlah sebagai sebatas “bangsa konsumen”, masih terjajah—terdikte dan dieksploitasi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.