Hukum Perlindungan Konsumen Seyogianya Menyasar Pula Pedagang Informal Tradisional, Bukan Semata Mengawasi Pedagang Formal Peritel

ARTIKEL HUKUM
Penulis selalu memiliki hipotesis bahwa untuk menciptakan hukum yang baik, pertama-tama perilaku sosial bangsa negara bersangkutan harus beradab dan berkeperimanusiaan terlebih dahulu—tidak bisa sebaliknya. Kita selama ini mencoba menghibur diri, seolah konsep “law as a tool of social engineering” dapat / mampu mengubah budaya (culture) suatu bangsa, khususnya Bangsa Indonesia.
Namun fakta realita justru memperlihatkan, hukum seolah tumpul dan tidak berdaya menghadapi berbagai anomali dan perbuatan tidak humanis warga negaranya. Banyak aturan hukum kita yang menjelma “macam ompong” karena hanya dijadikan teks mati diatas kertas, tanpa diimplementasi secara tegas, juga tiadanya keseriusan dalam penegakannya—dengan alasan klasik: kekurangan personil—meski untuk urusan tilang-menilang, polisi selalu hadir dan ada di samping kita, bila perlu mengawasi secara sembunyi-sembunyi untuk menyergap.
Ketika berbagai lembaga pemasyarakatan (penjara) telah penuh disesaki para kriminil, tetap saja tindak kejahatan terjadi secara masif di tengah masyarakat kita, dimana para pelaku kejahatan yang tidak tersentuh hukum, senyatanya jauh lebih marak lagi, lengkap dengan segala modus-modus baru yang lebih “kreatif” ketimbang pengaturan hukum yang ada. Kita dapat saja membuat berbagai aturan hukum yang tampak ideal, namun ketika penegakannya tidak menunjukkan komitmen serta tiada konsistensi, semua itu hanya menjelma “PHP” (Pemberi Harapan PALSU).
Mereka para korban yang mengutip bunyi undang-undang berisi ancaman hukuman, justru akan ditertawakan para pelaku kejahatan yang memang tahu betul bahwa hukum negara kita memang layak dilecehkan dan “diinjak-injak”, oleh sebab kerap tampak “impoten”. Silahkan Anda lapor saja, siapa takut? Demikian kerap dilontarkan para pelaku kejahatan yang “kebal” hukum. Pertanyaan bagi kita bersama, melapor ke mana? Sekalipun dilaporkan, apakah akan ditindak-lanjuti atau justru hanya akan membuat kita merugi dua kali karena direpotkan oleh suatu “PHP”?
Kita merasa telah dilindungi oleh hukum, sementara senyatanya tidak, yang tidak jarang bahkan aparatur penegak hukum itu sendiri yang berperilaku korup, penuh kolusi, atau bahkan mengabaikan dan menelantarkan warga yang membutuhkan pertolongan (bahkan tidak jarang juga justru memeras pihak korban), atau setidaknya tidak pernah hadir saat benar-benar dibutuhkan oleh warga yang menjadi korban tindak kriminil.
Hukum yang baik, mencegah terjadinya kerugian bagi warga negaranya sehingga benar-benar berperan mengayomi dan melindungi. Apakah praktik hukum negara kita telah baik? Aturan hukumnya telah baik dan ideal, masalah terletak dalam tataran implementasinya, masih separuh hati, tidak ada komitmen nyata selain jargon—siapapun pemimpin dan kepala negaranya, siapa pun kepala POLRI, siapa pun menteri yang menjabat, tidak ada banyak perubahan berarti, sehingga “pesta demokrasi” berbiaya mahal tidak berbanding lurus terhadap tingkat kemajuan bangsa ini, senyatanya demikian.
Disaat artikel ini penulis susun, media sedang digegerkan pemberitaan seorang pewarta warga (citizen journalistic) yang mengungkap kecurangan pelaku usaha informal di berbagai pasar tradisional, terkait penjualan daging ayam kampung maupun broiler yang diberi pewarna tekstil yang tidak boleh dikonsumsi oleh manusia, terlebih bagi kanak-kanak. Pedagang daging ayam potong tersebut mencelupkan ayam ke dalam air panas untuk membuka pori-pori kulit ayam yang dijualnya, setelah itu ayam kembali dicelup ke dalam cairan pewarna coklat kekuningan (tentu saja “dibalik layar”), agar daging ayam yang disuguhkan di lapak-lapak di pasar menjadi tampak bewarna kekuningan penuh lemak isi daging di bawah kulitnya, tidak berwarna pucat seperti warna kulit ayam kampung asli pada normalnya.
Bahkan terungkap pula, hingga pedagang sayung yang menggunakan gerobak yang sering lewat di depan rumah kita, menjual daging sapi yang diberi pewarna pink. Dari pedagang besar yang melakukan kartel harga, hingga pedagang kecil di pasar-pasar tradisional, semakin jarang dapat kita temui pedagang yang berdagang secara jujur dan beretika. Artikel ini justru akan membuka mata kita, ancaman terbesar justru datang dari para pedagang informal, ketimbang pedagang formal.
Sebaliknya dari yang kita asumsikan selama ini, kalangan pemodal yang membuka pusat-pusat belanjaan ritel, senyatanya masih dinilai lebih jujur dalam hal keamanan bagi kesehatan konsumen ketika menjual bahan pangan. Faktor diawasi atau tidaknya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), bila seseorang dibentengi rambu etika bisnis, perilaku curang yang membahayakan konsumen tidak akan pernah dilakoni, apapun alasannya.
Pedagang artinya berdagang secara jujur, bukan merampok dana dan menipu kesehatan dan keselamatan konsumennya—keduanya adalah profesi yang saling berbeda antara seorang pedagang dan seorang penipu. Pedagang adalah pedagang, penipu adalah penipu. Janganlah penipu menyaru sebagai pedagang. Pedagang berhak dilindungi oleh hukum, sementara penipu harus disikapi secara tegas oleh hukum negara yang baik.
Kita tahu bahwa konsumen / pengunjung pasar tradisional masih lebih masif ketimbang pengunjung pasar ritel, sehingga otoritas terkait keamanan pangan sudah seyogianya menertibkan perilaku pedagang yang membahayakan kesehatan konsumen. Negara perlu hadir di tengah sikap curang kalangan pelaku usaha informal, bukan semata berfokus mengawasi pedagang formal.
Di tengah gempuran beras yang diberi pemutih, berbagai bahan pangan yang diberi pewarna tekstil, terasi yang diberi pewarna merah, tahu yang diberi pengawet boraks, berbagai buah dan sayur-mayur yang diberi pestisida maupun insektisida, daging gelondongan, ikan yang diberi formalin, jagung hibrida transgenik, dan berbagai resiko tidak wajar lainnya, sampai kecurangan seperti produk yang telah kadaluarsa kembali dilempar ke pasar dengan mengubah label tanggal kadaluarsa pada kemasan, bahkan dalam skala lingkup pedagang kaki lima, kerap dijumpai pula gorengan yang dicampur plastik dalam minyak penggorengan, minuman oplosan, hingga berbagai cairan kimia pedagang kelapa bungkusan, disuntikkannya pemanis dan pewarna ke dalam buah-buahan, dan berbagai “kegilaan” lain yang mana kesemua itu dipastikan membawa dampak buruk bagi kesehatan konsumen dalam jangka panjang.
Bila yang dirugikan dari pihak konsumen hanyalah faktor uang jual-beli semata, maka hal tersebut tidak akan membunuh konsumen. Namun, semua kalangan pedagang informal tersebut menyadari betul yang mereka masukkan ke berbagai bahan pangan jualan mereka tidak untuk dikonsumsi manusia, bahkan diketahui betul dilarang untuk dikonsumsi, namun demi mengejar kepentingan pribadi, dengan alasan mencari nafkah bagi keluarga mereka, mereka “menumbalkan” kesehatan dan keselamatan nyawa para konsumen mereka yang telah membeli produk mereka dan memberi keuntungan / sumber penghasilan bagi para pedagang tersebut. Menyadari akan fakta demikian, kita kini mengetahui betapa banyak kriminil di dalam bangsa kita ini yang mengakui sebagai bangsa ramah, humanis, toleran, suka bergotong-royong dan agamais. Bangsa Indonesia layak menyandang gelar sebagai bangsa hipokrit, baik kalangan menengah atas maupun kalangan kecilnya.
Ibarat website ini yang telah mempublikasikan ribuan konten ilmu pengetahuan hukum, namun sebagai balasannya justru ribuan pembaca website ini secara lancang menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis semata untuk “memperkosa” profesi penulis—alih-alih berterimakasih, mereka justru menampilkan sikap “air susu dibalas dengan air tuba”. Sama seperti itu pula, para pedagang tersebut diberi nafkah oleh para konsumennya, namun sebagai balasannya para pedagang tersebut justru merusak dan mencelakai kesehatan para konsumen mereka.
Mungkin saja para pedagang tradisional informal tersebut dapat “lolos” dari jerat hukum negara kita yang memang korup, lengkap dengan aparatur penegak hukumnya yang tidak kalah korup serta otoritas pengawas makanan yang kerap mengabaikan keselamatan dan kesehatan pangan warga negara mereka yang menjadi konsumen. Namun, dari sudut pandang hukum karma, kejahatan yang dilakukan oleh para pedagang informil tersebut dapat dikatakan lebih kejam daripada modus-modus canggih para pelaku “white collar crime”. Dalam kesempatan ini, penulis akan membuktikan statement tersebut, tanpa tedeng aling-aling.
Ibarat seseorang yang telah melakukan kesalahan sehingga merugikan hak orang lain, namun ketika dirinya hendak ditegur dan dimintai pertanggung-jawaban, namun si pelaku justru mempersalahkan dan menghardik korban-korban mereka. Bahasa sederhananya, lebih galak daripada para korban mereka. Itu sama artinya melakukan dua buah kesalahan yang semakin fatal sifatnya, bukan lagi sebuah kesalahan.
Yang pertama, ia telah melakukan perbuatan tercela terhadap korban mereka. Kedua, dirinya justru kian melecehkan dan melengkapi penderitaan sang korban—dua kali menyakiti, dan dua kali merugikan. Menyerupai satu kebohongan baru untuk menutupi satu kebohongan lain sebelumnya, alias menyusun rangkaian kebohongan. Apakah dengan upaya pemungkiran fakta demikian, diartikan mampu meloloskan si pelaku dari jerat hukum karma?
Sebaliknya, dari sudut pandang hukum karma, si pelaku karena telah tidak menyesali perbuatannya, bahkan melakukan satu kesalahan baru untuk menambah parah bobot kesalahan kesalahan pertama secara “senang hati”, mengakibatkan karma yang akan berbuah bagi si pelaku akan berlipat ganda dengan perlipatan yang sangat mengerikan. Bahasan selengkapnya, lihat Abidhamma Pitaka.
Bila dalam hukum pidana, dikenal istilah perbuatan kejahatan yang “berlanjut”, maka begitupula dengan hukum karma. Artinya, suatu kejahatan tidak hanya dilakukan satu kali, namun dilakukan secara berulang-kali dan berlanjut. Hal demikian ibarat menggali lubang kubur dirinya sendiri, lebih dalam dan lebih dalam lagi, bukanlah sesuatu yang patut dilakoni oleh orang-orang dewasa yang berakal sehat.
Masalahnya, banyak diantara orang dewasa kita yang semakin dewasa, justru semakin rusak akal sehat mereka seiring bertambahnya umur karena faktor “ketamakan” pribadi belaka yang bersifat egoistik. Memberi makan diri dan keluarga dengan uang hasil “menumbalkan” kesehatan konsumen, apakah itu tercela ataukah layak untuk dipuji? Anak kecil sekalipun mampu menjawabnya, karena mereka masih polos dan penuh kejujuran, kejujuran yang langka dalam dunia orang dewasa yang penuh selubung kepalsuan.
Tidak pernah dapat penulis pahami, bagaimana mungkin mereka mendalilkan demi menafkahi keluarga mereka, mereka merenggut bahkan merampas, mengorbankan, dan menumbalkan kesehatan dan keselamatan hidup nyawa para konsumen mereka yang jumlahnya dapat mencapai ratusan hingga ribuan orang, setiap harinya? Mereka memberi makan keluarga dengan uang yang bahkan jauh lebih panas dan jauh lebih kotor daripada uang hasil korupsi maupun per-ju-di-an.
Apa yang membuat mereka berasumsi, para pedagang tradisional atau pedagang informal tersebut, bahkan mereka dapat lolos dari hukum karma (sekalipun betul mereka pastinya akan lolos dari hukum negara kita yang korup serta kerap mengabaikan dan melalaikan keselamatan warga negara mereka)?
Betul bahwa jika mereka, pada pedagang tradisional tersebut, ditindak secara tegas berdasarkan pasal ancaman pidana dalam undang-undang terkait bahan pangan, maka berbagai penjara di Indonesia tidak akan sanggup menampung mereka semua karena telah “overload” sekalipun pemerintah telah “obral remisi”. Namun apakah itu menjadi sebuah alasan untuk membiarkan mereka berkeliaran memangsa korban-korban baru, setelah demikian banyak korban berjatuhan?
Hal tersebut ibarat memberi makan anak kita sendiri dengan uang yang bahkan jauh lebih kotor daripada uang hasil korupsi. Pelaku korupsi, setidaknya tidak membahayakan nyawa warga negara yang dirugikannya, setidaknya hanya merampok nasi dari piring banyak orang lain sehingga kelaparan. Namun perilaku seperti para pedagang informil tersebut, disamping merugikan keuangan konsumen, juga merusak dan membahayakan keselamatan juga kesehatan para konsumen yang tidak ternilai harganya, yang bisa jadi biaya berobat sang konsumen jauh lebih tinggi ketimbang kejahatan-kejahatan korupsi mega proyek semacam korupsi berjemaah e-KTP.
Tampaknya hanyalah jargon penuh kepalsuan, ketika warga kita menyerukan perang malawan korupsi, berantas korupsi, “ganyang” koruptor, dan berbagai slogan “sok suci” lainnya—suatu kemunafikan yang tidak layak dipertontonkan bagi anak-anak kita yang akan meniru perilaku munafik orangtua mereka. Sementara, disaat bersamaan, secara dibalik layar (tentunya), para pedagang informal tersebut justru melakukan kejahatan demi kejahatan yang bahkan lebih keji daripada ulah seorang koruptor, memberi makan anak mereka dengan uang hasil menipu dan merusak kesehatan para konsumen mereka.
Kita selalu berasumsi bahwa “musuh” besar kita adalah pemodal besar, pedagang besar formal, industri besar, tengkulak besar, distributor besar, produsen besar, peritel besar, namun pedagang skala kecil informal seperti di pasar-pasar tradisional, para penjahat yang lebih jahat justru berkeliaran dengan mudahnya tanpa pengawasan berarti dari otoritas negara, juga tanpa pemberitaan yang cukup berarti (media pers kita lebih tertarik meliput berita sensasional operasi justisi KPPU terhadap pedagang besar formal ternama). Negara tidak tampil dan tidak pernah hadir di tempat-tempat yang semestinya paling dibutuhkan peran dan kehadiran negara oleh para warga negaranya, sekalipun berbagai informasi tersebut bukanlah lagi rahasia, namun sudah menjadi “rahasia umum”.
Kemiskinan bukanlah alasan melakukan kejahatan, mencari nafkah bukanlah alasan untuk melakukan pencurian, penipuan, perampokan, begal, maupun berbagai kecurangan dan kejahatan lainnya. Menyambung hidup bukanlah dengan cara merampok nasi dan kesehatan dari para warga negara lainnya yang telah memberi kepercayaan dengan membeli produk yang kita jual sebagai konsumen maupun pelanggan setia.
Karena, setelah kehidupan ini, ada kehidupan lain menunggu paska kematian kita di dunia ini, dimana kita harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatan kita, tanpa ada yang terkecuali, baik yang besar maupun yang kecil, apapun itu perbuatan kita, perbuatan itulah yang akan kita warisi sendiri. Seribu orang konsumen yang kesehatannya telah mereka celakai, maka paling sedikit seribu kelahiran kembali dirinya akan disiksa dan tersiksa. Jika sudah seperti itu, siapa yang patut dipersalahkan? Apakah layak melakukan segala penipuan dan “perampokan” demikian terhadap kesehatan konsumen?
Bila kita benar-benar mencintai anak-anak dan keluarga kita, maka carilah nafkah dengan cara-cara yang beretika dan jujur. Jangan merampok nasi dari piring orang lain, serta hendaknya kita tidak merusak kesehatan maupun keselamatan hidup orang lain. Demi nyawa kita seorang diri, kita tidak pernah berhak merampas nyawa banyak orang lainnya.
Seolah kita tidak dapat memiliki anak dan sanak keluarga, yang bisa jadi kelak akan menjadi konsumen korban pedagang curang penjual produk pangan berbahaya lainnya. Penipu memang layak tertipu, tanpa dapat ditolak sesuai kodratnya. Yang hidup dari menjual produk pangan beracun, juga akan mati karena terkena racun dibalik pangan yang tampak lezat dan sehat begizi.
Diberi penghasilan sumber nafkah oleh para konsumen mereka, justru membalas dengan dicelakai lewat produk pangan yang jelas-jelas membawa dampak buruk secara langsung maupun tidak langsung secara jangka panjang bagi para konsumen mereka. Suatu kejahatan yang tidak dapat ditolerir, yang bahkan lebih jahat daripada ulah seorang koruptor mega proyek sekalipun. Seorang Setya Novanto tidaklah membunuh nyawa, namun para pedagang informal di pasar-pasar tradisional, membunuh secara perlahan-lahan setelah menguras dana (uang jual-beli) para konsumen dan pelanggan mereka—musuh dalam selimut yang bahkan ‘kebal” dari KPK dan sukar diidentifikasi untuk diwaspadai.
Masalahnya bukanlah terletak pada faktor kemiskinan maupun desakan ekonomi, tapi kurangnya daya kreativitas para pedagang tradisional tersebut. Para pedagang tradisional kerap berperilaku tidak jujur dan tidak etis terutama saat pasokan menipis, mereka akan menaikkan harga jual berbagai sembako dengan alasan pasokan dari distributor hanya diberi jatah lebih sedikit daripada biasanya bagi para penjual eceran. Artinya, distributor tidak menaikkan harga di pasar, yang menaikkan harga ialah kalangan penjual di pasar-pasar tradisional, dengan harapan tetap mendapat jumlah keuntungan seperti keadaan pasokan normal. Itulah yang menyebabkan harga komoditas seperti bawang, daging sapi, cabai, dan berbagai komoditas pangan lainnya sempat menyentuh level harga yang fantastis mendekati separuh harga satu gram emas.
Bila saja para pedagang informal tersebut mau bersikap jujur ditambah sentuhan kreativitas, semisal memberi edukasi pada konsumen bahwa ayam kampung asli kulitnya memang bewarna “pucat”, sementara yang berwarna kuning itu adalah hasil sepuhan pewarna tekstil berbahaya, maka pastilah pedagang yang berjualan secara tidak jujur akan kehilangan (ditinggalkan) pelanggan yang beralih pada pedagang yang jujur. Seperti digarap secara baik oleh pengusaha ritel pangan organik yang diburu konsumen yang telah “melek” kesehatan—bahkan dapat dijual dengan harga yang jauh lebih mahal ketimbang produk non-organik sebagai gimmick.
Bisa saja sang penjual daging ayam tradisional bersikap kreatif dengan merendam daging ayam ke dalam zat pewarna kuning asli seperti dari ekstrak kunyit, sehingga daging ayam dapat bewarna kuning tanpa resiko bagi kesehatan konsumen. Namun, faktanya, meski kunyit dapat mereka temukan di pasar yang sama dengan tempat mereka berjualan dengan harga yang sangat amat murah serta sangat mudah dijumpai, ternyata realita sebenarnya ialah: para pedagang tersebut terlampau “malas” dan terlampau “tamak”. Penulis tidak akan memilih penggunaan bahasa diplomatis, namun secara to the point membuka wajah asli perangai pedagang tradisional kita, agar kita mulai lebih waspada terhadap pelaku usaha sektor informil.
Belum tentu konsumen mereka lebih miskin dari para pedagang tradisional tersebut, juga belum tentu konsumen mereka lebih sehat dari kondisi kesehatan si penjual, semisal ternyata diberi sebagai makanan anak-anak balita sang konsumen—fakta yang pastilah akan dipungkiri oleh para pelaku usaha informal di pasar-pasar tradisional.
Seringkali konsumen pasar tradisional ialah mereka yang berasal dari kalangan buruh dengan upah minimum—sementara para konglomerat lebih memilih pasar swalayan dan peritel yang lebih menawarkan kepastian keamanan produk pangan jualan mereka yang penuh pengawasan dari pihak manajemen maupun otoritas terkait—bahkan talenan dan pisau pemotong pun perlu terlebih dahulu disterilkan sebelum mencacah bahan pangan yang dijual pada konsumen.
Itulah fakta yang sebenarnya, sementara alasan desakan ekonomi hanyalah alibi yang menjadi “lagu lama” yang terus mereka dendangkan—sebagai pembenaran diri, tentu saja. Bila bangsa kita terus seperti ini, menjadi “serigala bagi sesamanya”, bagaimana negeri ini dapat bersaing di kancah global? Tidak ada bangsa yang lebih konyol daripada bangsa yang mematikan bangsa mereka sendiri, membodohi dan menipu bangsa sendiri. kita bahkan terfragmentasi dan saling ber-“perang saudara” semata karena urusan sepele seperti sengketa pengusung calon pemimpin saat Pemilu dan Pemilukada. Kita bahkan dapat disebut sebagai sedang dijajah dan terjajah dari luar dan dari dalam.
Lihat saja, akibat asupan gizi yang “beracun” demikian, berkat para pedagang informal tradisional kita, pemimpin Ibukota kita hanya menyibukkan pembicaraan soal “becak” (seperti yang sempat diberitakan terkait kelakuan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2018 lampau), sementara bangsa lain sedang sibuk mengembangkan dan merealisasikan proyek futuristis seperti menerbangkan manusia ke luar angkasa.
Untuk membesarkan bangsa, dimulai dari lingkup mikro seperti rumah tangga. Untuk urusan asupan gizi dan nutrisi bagi pertumbuhan generasi penerus, dimulai dari wajah pasar-pasar tradisional kita, dan perilaku para pedagang informal kita. Sepanjang faktor-faktor mikro tidak dibangun dengan landasan kejujuran, selamanya bangsa ini akan terpuruk dan kian tertinggal dari bangsa lainnya. Tersisih dari kancah persaingan global dan hanya menjelma konsumen produk asing dan penonton belaka.
Kita tidak dapat menjadi “pemain” besar dalam kancah makro, sepanjang bangsa kita masih berkutat dalam masalah ranah mikro yang tidak berkesudahan. Bagaimana kita mampu mengharap buah hati kita dapat tumbuh cerdas dan sehat, bila konsumsinya adalah produk “beracun” yang dijual oleh pedagang-pedagang informal tidak jujur demikian? “Musuh” bersama kita bukan yang ada di luar sana, namun ada serta tersebar di dalam negeri kita sendiri. Demikianlah yang hendak kerap kali kita renungkan bersama sebagai otokritik sesama warga.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.