ARTIKEL HUKUM
Bila terdapat kalangan pegiat hukum menyatakan, bahwa hukum tidak berkerja berdasarkan asumsi, namun semata berkerja atas dasar fakta, maka kompetensi hukum sarjana hukum bersangkutan, sejatinya patut untuk diragukan. Dalam derajat tertentu, hukum berkerja berdasarkan asumsi, sebagaimana akan penulis buktikan dalam kesempatan kali ini.
Asumsi pertama, aturan hukum diasumsikan dibentuk oleh para pembentuk undang-undang yang kompeten, bebas dari segala cacat niat keberpihakan / “agenda tersembunyi” (hidden agenda) saat proses pembentukannya. Asumsi seolah para regulator pembentuk peraturan perundang-undangan tidak memiliki cacat moril saat membentuk sebuah produk hukum, menyerupai seorang “malaikat” yang bersih dan suci, itulah yang menjadi sorotan utama kritikan kaum Critical Legal Studies, yang meyakini bahwa “motif pembentuk undang-undang patut untuk diragukan”.
Asumsi kedua, mereka-mereka yang duduk sebagai pemangku jabatan hakim, diisi oleh dan dari orang-orang yang berkarakter tanpa noda dan tanpa cela, serta benar-benar mengetahui hukumnya (ius curia novit). Terdapat dua buah asumsi disini, yakni seorang hakim pastilah orang yang berwibawa dan bermoral tinggi tanpa cacat (suatu asumsi yang jelas keliru), dan seorang hakim tahu segala hukum yang ada—suatu kemustahilan untuk sarjana hukum manapun saat kini untuk “tahu segala hukum”. Bisa jadi sang hakim itu sendiri yang sejatinya paling patut untuk diadili dan dihukum, seperti yang sudah kerap mengisi kolom pemberitaan kita.
Asumsi ketiga, hukum bertopang pada suatu fiksi hukum yang diberi nama “asas fiksi”, yakni bahwa semua warga negara—seluruhnya, tanpa terkecuali—dianggap tahu dan mengerti hukum. Asumsi demikian masih relevan ketika peraturan perundang-undangan tidak “menggurita” dan belum menyerupai “rimba belantara” seperti sekarang ini.
Dua abad yang lampau, hukum masih bersifat terkodifikasi, yang dapat dengan mudah dipelajari dan diketahui oleh masyarakat. Kini, tiada satupun warga negara, bahkan untuk ukuran seorang sarjana hukum sekalipun, mengetahui seluruh aspek peraturan perundang-undangan dari A hingga Z. Anda akan “salah alamat” jika bertanya tentang masalah perpajakan ataupun tentang masalah hukum pasar modal kepada penulis, sekalipun penulis adalah seorang Sarjana Hukum sekaligus berprofesi sebagai seorang Konsultan Hukum. Profesi hukum saat kini, cenderung terpolarisasi menjurus suatu spesialisasi bidang hukum tertentu secara terspesifik, tidak lagi general seperti dua dekade lampau.
Asumsi keempat, yakni suatu asas dalam ranah hukum pidana yang dikenal dengan sebutan asas legalitas. Artinya, tanpa dipublikasikannya terlebih dahulu suatu ketentuan yang mengandung ancaman pidana, maka keberlakuan pidana tersebut tidak memiliki validitasnya. Sebaliknya, ketika suatu undang-undang telah dipublikasi kepada khalayak ramai, secara layak dan patut (alias mudah diakses setiap anggota masyarakat), maka setiap warga negara terancam dijerat hukum pidana ketika diri bersangkutan dinyatakan melanggar suatu ketentuan hukum, tanpa dapat menggunakan dalil “tidak tahu ada larangan semacam itu”.
Asumsi yang terlampau kejam—namun begitulah hukum adanya, hukum itu kejam (yang disebut terakhir ini, bukanlah asumsi). Undang-Undang tentang Pasar Modal telah lama diterbitkan, namun hingga kini penulis sama sekali tidak paham terhadap ketentuan hukum pasar modal, karena memang bukan kompetensi hukum penulis, sebagai ilustrasinya.
Asumsi kelima, putusan tingkat kasasi dinyatakan sebagai putusan yang bersifat inkracht, alias berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut pun merupakan “jargon” yang bersifat “asumsi” belaka. Asumsi demikian benar sepanjang para pihak tidak mengajukan upaya hukum luar biasa bernama Peninjauan Kembali (PK), dan diasumsikan pula permohonan upaya hukum PK demikian akan tetap “ditolak” sebagai amar putusan akhirnya.
Asumsi keenam, pemidanaan dapat memberi keadilan bagi korban. Namun, bagi mereka yang benar-benar paham praktik hukum pidana, akan memilih si pelaku agar dihukum dan diberi vonis di “alam baka” (oleh hukum karma, alih-alih hukum buatan manusia yang bisa jadi korup), ketimbang divonis oleh hakim dan jaksa yang korup, eksekutor yang korup, dan sipir penjara yang korup.
Sebagaimana telah kita ketahui, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kita kerap “mengobral remisi” dengan alasan jumlah penghuni Lapas telah melampaui rasio daya tampung kapasitas sel-sel pada Lapas yang tersebar di berbagai penjuru kota di Tanah Air. Alhasil, setelah divonis hukuman penjara yang sangat ringan, sang kriminil akan mendapat kebijakan pembebasan bersyarat maupun pemotongan masa tahanan dan akan kembali menjadi residivis—kembali menghantui masyarakat dan korbannya untuk membalas dendam karena dipidana.
Asumsi ketujuh, sejak dibentuknya hukum negara, kalangan sipil direnggut haknya untuk menggunakan senjata tajam maupun untuk menggunakan cara-cara “main hakim sendiri”. Seluruh hak tersebut kini dimonopolisir oleh mereka yang diberi gelar sebagai “aparat penegak hukum” yakni institusi kepolisian. Namun, hukum hanya berasumsi bahwa laporan korban pelapor yang mengadukan peristiwa pidana yang dialaminya, akan benar-benar direspon dan ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya oleh para penyidik kepolisian. Meski, yang kerap terjadi ialah, para korban pelapor seringkali dibengkalaikan, ditelantarkan, serta dikecewakan—alias merugi dua kali, yakni : rugi perasaan, dan rugi sebagai korban tanpa diberikan keadilan.
Terlebih, ketika terjadi aksi kriminil di tengah masyarakat, warga masyarakat “tersandera” karena tidak dapat menggunakan cara-cara kekerasan untuk membela diri, sementara aparat penegak hukum tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat—suatu fakta de facto yang sangat ironis, mengakibatkan negeri ini ibarat surga para kriminil dan para pelaku aksi pencopetan, penodongan, perampokan, begal, hingga premanisme yang menjamur.
Jika terdapat perampok atau pelaku penganiaya di lingkungan kediaman kita selaku warga, kemanakah kita dapat menelepon atau mencari pihak polisi yang lebih sering aktif dengan rajinnya menilang pengendara bermotor di jalan raya ketimbang berdekatan dengan lingkungan warga. Ketika Anda benar-benar membutuhkan kehadiran dan keberadaan mereka, percayalah, mereka akan sembunyi sedapat yang dapat mereka mampu.
Bila Anda berpikir bahwa kepolisian di Indonesia diisi oleh orang-orang yang memang tulis berniat menegakkan hukum dan keadilan bagi warga masyarakat, maka itulah asumsi yang paling fatal. Anda harus menghindari polisi, sebagaimana Anda harus menghindari orang-orang pelaku kriminil, itulah nasehat terbaik yang dapat penulis berikan setelah lama berkecimpung dibidang hukum—pernyataan tersebut dapat penulis pertanggung-jawabkan secara fakta maupun secara moril, sehingga bila otoritas POLRI berkeberatan atas pernyataan penulis, ataupun merasa nama korpsnya telah ternista / dicemarkan, maka penulis siap menghadapi POLRI. Citra polisi di tengah masyarakat kita, tidak “baik-baik amat”, sehingga memang “tiada nama baik yang dapat dicemarkan bila namanya sendiri telah penuh cemaran sejak dari semula”.
Tidak heran bila Anda mengancam seorang pelaku kriminil yang sedang Anda hadapi, bahwa Anda akan “menelepon polisi”, para pelaku aksi tindak kriminil demikian justru akan menertawakan Anda—fakta yang bukanlah lelucon, meski patut disayangkan. Itulah bukti, bahwa negara telah merenggut hak Anda untuk memakai senjata dan melakukan kekerasan dalam rangka membela diri, namun disaat bersamaan negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat kecuali pada saat menilang dan menagih pajak bumi dan bangunan ataupun retribusi parkir kendaraan bermotor.
Asumsi kedelapan, gugatan merupakan sarana untuk memulihkan hak-hak keperdataan guna menuntut ganti-kerugian yang dialami oleh suatu warga terhadap warga negara lainnya. Namun, yang lebih kerap terjadi ialah, menggugat kehilangan “kambing”, Anda selaku penggugat akan kehilangan “sapi”. Bila Anda tidak percaya, atau merasa pernyataan demikian adalah terlampau berlebihan, silahkan Anda coba sendiri. Anggap saja hal tersebut adalah tantangan dari penulis. Bukan satu atau dua kesempatan, penulis mendapati adanya gugatan yang justru menjatuhkan pihak penggugat itu sendiri sekalipun gugatannya dikabulkan hakim.
Asumsi kesembilan, kemenangan dalam gugatan perdata, merupakan penyelesaian dan akhir dari sengketa hak-hak keperdataan seorang warga. Namun, yang lebih kerap terjadi, masalah dalam eksekusi putusan menjadi “momok” yang paling menakutkan dan bahkan menjadi masalah yang lebih bermasalah ketimbang masalah dalam gugatan itu sendiri—belum lagi terdapat demikian banyak jenis amar putusan yang tidak dapat dieksekusi (non-executeable), karena berbagai faktor penyebab seperti rumusan petitum gugatan justru hanya mengandung jenis amar deklaratif dan constitutief tanpa disertai amar condemnatoir, ataupun faktor-faktor politis seperti jurusita eksekutor yang korup dan arogan.
Asumsi kesepuluh, hukum selalu dianggap benar, sampai aturan hukum tersebut dirubah atau diganti. Dalam benak penulis, asumsi demikian benar-benar dapat disebut sebagai asumsi “sinting” alias sebuah asumsi yang sama sekali tidak waras. Sebagai contoh, seseorang warga dipersalahkan oleh hukum dan pengadilan karena melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, setelah sang terdakwa “mencicipi” bagaimana rasanya mendekam di penjara, peraturan perundang-undangan yang pernah menjeratnya kemudian dihapuskan atau dirubah oleh pemerintah, dan orang-orang kini bebas untuk melakukan hal yang dahulu dilarang dan terdapat ancaman hukumannya.
Bukankah itu adalah hal yang cukup “gila”, untuk dapat kita sebutkan? Sebetulnya bukan hanya ilmu hukum yang memakai asumsi “gila” semacam demikian. Seluruh ilmu pengetahuan, bersifat tentatif, dalam pengertian dianggap / diasumsi benar sepanjang belum dibuktikan sebaliknya. Sebagai contoh suatu kandungan zat dalam suatu obat medik, bisa jadi dahulu kala menjadi zat yang digemari dan cukup populer oleh kalangan medis, namun bisa jadi kini atau dimasa mendatang zat tersebut justru akan dilarang karena terbukti berbahaya bagi kesehatan pasien / konsumen.
Asumsi kesebelas, akta otentik dianggap sebagai akta yang benar-benar “benar”. Namun, saat kini citra kalangan notaris di Indonesia tidak kalah rusaknya dengan citra kalangan pengacara di Tanah Air—kerap diwarnai aksi kalangan notaris yang terlibat dalam modus tipu-menipu, bersikap tidak adil terhadap salah satu pihak, tidak netral, terlibat dalam rangkaian kata-kata bohong yang dicantum dalam akta, hingga berbagai penyelundupan hukum lainnya lewat medium akta otentik notaris.
Asumsi keduabelas, teori hukum yang disebut sebagai “strict liabilities”, semisal kecelakaan pada pesawat terbang yang mengakibatkan korban jiwa yakni para penumpangnya, maka yang akan dipersalahkan oleh hukum ialah pihak maskapai, dan para penumpangnya selalu akan diasumsikan benar dan tidak bersalah. Tanpa asumsi demikian, akan sukar sekali menjerat kelalaian pihak maskapai penerbangan untuk dimintai pertanggung-jawaban.
Asumsi ketigabelas, beban pembuktian terbalik dalam rezim hukum tindak pidana korupsi. Korupsi bersifat tersistematik, tertutup, penuh hal terselubung, alat bukti yang serba tersembunyi, dilakukan secara sembunyi-sembunyi, serba gelap dan temaram. Maka, untuk membuktikan seorang koruptor telah melakukan korupsi, menjadi suatu kendala tersendiri bagi kalangan penegak hukum. Maka, solusinya ialah membalik beban pembuktian bahwa aset kekayaan milik sang tersangka adalah hasil dari tindak pidana korupsi, sepanjang sang terdakwa tidak mampu membuktikan sebaliknya—kerap diistilahkan sebagai “shifting the burden of prove” (membalik beban pembuktian).
Hal tersebut pun berlaku dalam rezim penertiban persaingan usaha tidak sehat, yang seringkali kartel harga dan dominasi pasar dilakukan secara tertutup antar pelaku usaha, terselubung, serta sukar dibuktikan karena tidak ‘kasat-mata”, sehingga otoritas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kerap menggunakan istrumen pendekatan statistik ekonomi dalam pola ragam pembuktiannya, mengingat keterbatasan KPPU dalam menyidik tidak memiliki keleluasaan selayaknya penyidik kepolisian meski KPPU mengawasi ranah bisnis yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak seperti kartel harga bahan kebutuhan pokok masyarakat—suatu isu strategis.
Asumsi keempatbelas, hukum dicitrakan identik dengan keadilan. Para politikus kita kerap melontarkan kalimat : “Serahkan pada hukum, serahkan pada instrumen hukum yang ada, dan serahkan saja pada aparat penegak hukum.” Namun, yang patut menjadi pertanyaan, apakah betul hukum negara kita berpihak pada rakyat kecil dan akan berlaku adil pada pihak yang lebih lemah? Jika memang hukum adalah keadilan itu sendiri, mengapa kemudian kerap juga terlontar sindiran satir, bahwa hukum adalah “law as a tool of crime”?
Istilah-istilah atau berbagai terminologi hukum bahwa hanya bisa dimaknai oleh asumsi para penafsirnya, yang bisa jadi saling berbeda antara satu audiens (subjek hukum) terhadap audiens lainnya, maka tidak mengherankan bila kemudian ditemukan istilah sebagai “multi tafsir”. Bagaimana tidak, sebagai contoh, apa yang timbul dibenak Anda ketika mendengar istilah “diamankan” serta “diadili”?
Hakim bertugas “mengadili”, namun apakah yang dimaksudkan dengan “mengadili” di sini? Apakah hakim yang lebih pandai menghukum, dapat dikategorikan juga sebagai “mengadili”? Apakah mengadili artinya memberi keadilan? Namun, keadilan bagi pihak siapakah? Terlagi-lagi, hukum selalu mengasumsikan bahwa hakim akan membela pihak korban dan pihak yang lemah yang telah dirugikan. Namun, terlagi-lagi juga, apakah asumsi Anda tersebut benar-benar diakui oleh asumsi milik orang lain yang bisa jadi berbeda kepentingan dengan kita? Faktanya, hakim kita kerap dilaporkan berlaku “bias gender” saat membuka persidangan.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil, janganlah kita berasumsi bahwa hukum adalah sesuatu hal yang sempurna. Hukum digoreskan di atas tinta yang bersifat tertulis. Bahasa, mengandung keterbatasannya sendiri, entah bahasa lisan / oral, bahasa tubuh, tidak terkecuali bahasa tertulis.
Tidak pernah ada undang-undang yang betul-betul telah jelas, maupun pasal-pasal yang betul tanpa polemik yang dapat diperdebatkan, semua bersifat multi-tafsir di tangan orang-orang yang apik serta terampil dalam memberikan sudut pandang berbeda atas susbtansi rumusan pasal yang sama. Bila Anda masih berpikir, bahwa hukum tidak dibangun berdasarkan fondasi bernama “asumsi”, maka sejatinya Anda pun tengah sedang berasumsi.
Sebagai contoh, kita dapat melihat nasib Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita, umurnya telah mencapai lebih dari dua abad, namun tidak artinya dapat bebas dari gugatan uji materil seperti yang satu dasawarsa terakhir banyak telah mempreteli pasal-pasal di dalam KUHP yang telah berumur lebih dari 200 tahun tersebut. Semua norma dalam undang-undang, hanya tinggal menunggu waktu untuk digugat dan dibatalkan, jika tidak diubah atau dibatalkan sendiri oleh pemerintah. Itulah kodrat dari ilmu hukum, dibentuk hanya untuk diubah dan dibatalkan pada muaranya.
Sama seperti asumsi bahwa proses berdemokrasi akan melahirkan pemimpin yang memiliki legitimasi, karena dipilih langsung oleh rakyat. Namun, ketika perolehan suara (elektabilitas) sang calon presiden terpilih ternyata kurang dari 80% dari total suara pemilih, bahkan hanya sanggup mengantungi 60% dari total suara, hal tersebut tidaklah dapat disebut sebagai presiden yang “benar-benar legitimate”, karena hal tersebut dapat diartikan terdapat sekitar porsi 40% suara yang menyatakan TIDAK “merestui” sang calon dengan memilih calon lainnya—belum lagi jika kita hitung dan rekapitulasi dengan jumlah suara 20% dari total penduduk yang memilih untuk “tidak memilih” pada saat “pesta demokrasi” berlangsung.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.