eCOURT, Lonceng Kematian Provesi Advokat

ARTIKEL HUKUM
Euforia tengah terjadi di tengah kalangan profesi kepengacaraan kita di Tanah Air. Betapa tidak, kini setelah diluncurkannya aplikasi e-filling, e-billing, e-summons, hingga eCourt untuk tujuan gugat-menggugat dan jawab-menjawab antara penggugat dan pihak tergugat, kalangan profesi advokat merasa telah sangat terbantu oleh terobosan Lembaga Yudikatif kita dalam memanfaatkan kemajuan teknologi guna kemudahan dan efisiensi proses persidangan.
eCourt, membantu pihak penggugat maupun penggugat, cukup mengirim berkas terkait gugat-menggugat dan jawab-menjawab ke dalam portal internet yang disediakan oleh masing-masing lembaga peradilan yang tersebar di Tanah Air, tanpa harus hadir bertatap muka untuk mengirim dan saling bertukar surat jawab-menjawab.
Dengan demikian, dapat dikalkulasi dalam benak para pengacara kita yang selama ini terbiasa menghabiskan banyak waktu menunggu dan membuang-buang waktu di persidangan, akan terjadi efisiensi waktu secara masif dan terstruktur yang mengubah sepenuhnya wajah budaya ruang persidangan kita. Yang patut juga kita beri catatan ialah, eCourt dapat diakses oleh masyarakat umum, bukan menjadi monopoli kalangan pengacara layaknya portal Sistem Administrasi Hukum Umum pada Kementerian Hukum yang hanya dapat diakses oleh kalangan notaris.
Namun, tanpa disadari oleh kalangan advokat kita, eCourt secara bersamaan menjadi titik awal runtuhnya profesi advokat di negeri ini. Betapa tidak, kalangan advokat tidak menyadari, justru in-efisiensi praktik peradilan selama ini menjadi lahan bisnis paling menggiurkan bagi kalangan advokat di Tanah Air.
Sebagai contoh, masyarakat yang awam hukum selama ini sangatlah enggan bersentuhan dengan peradilan, karena dinilai penuh pungutan liar untuk mendaftarkan gugatan, serba misteriusnya prosedural maupun birokratisasi peradilan, hingga tidak ramahnya petugas peradilan maupun panitera, hingga masih asingnya cara mendaftarkan gugatan dan segala prosedural lainnya, ditambah hal yang paling menakutkan segenap kalangan pengusaha kita : waktu yang tidak jelas kapan persidangan akan dimulai, membuang-buang waktu karena harus pulang-pergi menghadiri persidangan yang sangat memakan waktu dan tidak efisien, disamping harus meluangkan waktu seharian menunggu persidangan dibuka ketika pihak lawan tidak hadir tepat waktu atau bahkan tidak hadir sama sekali, atau bahkan salah seorang anggota majelis hakim berhalangan hadir sehingga persidangan harus ditunda dan kembali ditunda, hingga memakan “tahunan”.
Citra serta gambaran yang sangat “suram” serta “kelam” dari praktik persidangan kita di ruang peradilan, menjadi “momok” sekaligus “mimpi buruk” bagi sebagian masyarakat awam hukum kita maupun bagi para kalangan pengusaha, yang akan langsung mengambil jarak ketika mendengar nama gedung pengadilan. Justru karena itu jugalah, lahan bisnis kaum penyedia jasa pengacara untuk mewakili pengguna jasa beracara di persidangan, dinilai sebagai hal yang sepadan untuk disewa jasanya dengan harga “mahal”, mengingat waktu yang terbuang untuk menghadiri persidangan akan sama mahalnya dengan tarif sang pengacara.
Namun ketika Mahkamah Agung RI membuat terobosan serta kebijakan baru guna mendekatkan akses peradilan terhadap masyarakat umum, dengan memperkenalkan eCourt, kini siapa saja dapat menjadi demikian mudah mengakses peradilan, tanpa lagi harus dibayang-bayangi “momok” menakutkan yang demikian “kelam” layaknya persidangan ala “konvensional”.
Tren terbaru paling kontemporer sebagaimana penulis jumpai sendiri, sekarang ini masyarakat awam hukum sekalipun mulai mengajukan gugatannya sendiri tanpa didampingi ataupun diwakili oleh pengacara—dengan kata lain, maju dan bersidang secara swadaya / mandiri tanpa menyewa jasa pengacara mana pun. Bahkan, kalangan masyarakat umum dapat menyewa jasa Konsultan Hukum untuk membuatkan draf gugatan, sanggahan, replik, duplik, memori banding, kasasi, hingga upaya hukum peninjauan kembali maupun surat-menyurat lainnya.
Dengan telah diperkenalkannya manajemen eCourt oleh Mahkamah Agung RI yang tampaknya tidak “separuh hati” menerapkan road map eCourt dengan meniru berbagai eCourt yang ternyata telah mampu berjalan dengan baik di sejumlah negara maju dan berkembang, maka menjadi sebentuk ambigu ketika kalangan pengacara masih mematok tarif ratusan juta rupiah untuk bersidang mewakili pihak penggugat ataupun pihak tergugat, mengingat segala pemborosan waktu beracara telah terpangkas habis berkat manajemerial eCourt yang tidak lagi mensyaratkan tatap muka hadir di persidangan seperti selayaknya sistem peradilan konvensional yang kini sudah menjadi bagian dari “masa lampau”.
Sebagaimana yang selama ini juga telah penulis lakoni sebagai penyedia jasa konsultasi hukum, kerap mendapati klien dari luar Jakarta yang merasa kecewa dengan pengacara yang selama ini disewanya, memutuskan untuk maju sendiri dalam mengajukan upaya hukum, dengan cukup menyewa jasa penulis untuk membuatkan memori banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Jauh lebih efektif dan lebih efisien, karena semua menjadi serba dalam “genggaman tangan” maupun supervisi dan keputusan sang klien secara berdaya sepenuhnya, alih-alih menyerahkan nasib sepenuhnya pada kalangan advokat yang sukar mereka pantau kinerjanya.
Dari berbagai klien tersebutlah, penulis mendapati kalimat-kalimat bernada sinisme terhadap kalangan advokat. Mereka menyatakan, sangatlah tidak masuk akal biaya pengacara demikian mahal, sementara hasilnya tidak jelas, dan ternyata maju bersidang sendiri masih jauh lebih memuaskan, disamping lebih “terkontrol” serta jauh lebih “murah meriah”. Kini, dengan sistem eCourt, masyarakat umum yang awam hukum sekalipun tidak lagi terbendung langkahnya untuk berdaya maju sendiri bersidang, tanpa sekat batas ruang maupun waktu.
eCourt patut diapresiasi oleh publik, mengingat Mahkamah Agung RI dan jajaran peradilan dibawahnya benar-benar “mendekatkan diri” terhadap para pencari keadilan yang menjadi konstituennya, menjadi bukti bahwa Mahkamah Agung RI tidak membiarkan ruang sidang dan akses peradilan menjadi monopoli kalangan advokat sebagaimana semula disinyalir ketika praktik “pakrol bambu” dihapuskan dari ruang persidangan.
Sebagai pembuka lembaran baru wajah praktik peradilan, tepat kiranya kita sambut dengan tangan terbuka, terlepas masih diwarnainya beberapa kekurangan dan kelemahan sistem eCourt yang tentunya akan lebih disempurnakan untuk kedepannya, tidak tertutup kemungkinan seluruh masyarakat kita yang umum maupun yang awam hukum sekalipun, dapat menjadi “advokat” bagi dirinya sendiri, secara mandiri dan secara berdaya, tidak lagi bergantung ataupun mengandalkan jasa kalangan pengacara yang serba misterius dan “tidak jelas kerjanya namun bertarif ratusan juta rupiah”.
Selama ini kalangan advokat di Tanah Air, telah banyak mencetak keuntungan besar dan manisnya “madu” industri hukum berupa monopoli akses ruang persidangan dengan menggeser peran seorang “pakrol bambu”. Namun kini, tiada satu pun kalangan pengacara mana pun yang berhak membatasi pintu gerbang akses masyarakat umum terhadap lembaga peradilan yang kini telah benar-benar terbuka lebar, terutama ketika Mahkamah Agung RI berkomitmen untuk mendekatkan lembaganya kepada masyarakat umum itu sendiri.
Akhir kata, mari kita apresiasi dengan turut mengasuh serta membina dan awasi bersama dengan berpartisipasi secara aktif di dalamnya. eCourt merupakan simbol kemerdekaan bagi masyarakat umum untuk mengakses peradilan, sekaligus menjadi “lonceng kematian” bagi kalangan profesi pengacara di Tanah Air.
Note Penulis : Bila terdapat pihak advokat yang dengan sinisme menilai pemikiran penulis tersebut merupakan cerminan status penulis yang “bukan merupakan seorang advokat”, tampaknya itu adalah tuduhan yang terlampau spekulatif menjurus “pembunuhan karakter”. Faktanya, hingga saat artikel ini disusun dan dipublikasikan, penulis tidak pernah sekalipun mengikuti ujian advokat yang diselenggarakan oleh organisasi advokat manapun di Indonesia—organisasi yang bahkan tidak “becus” mengurusi internal organisasinya sendiri dan tidak “karuan” mengurusi kode etik kalangannya sendiri sehingga saling berebut kekuasaan dan mengklaim sebagai penguasa paling legitimate.
Adalah pilihan penulis pribadi untuk berkecimpung dalam profesi Konsultan Hukum—terlepas dari citra profesi advokat yang sudah demikian merosot wibawanya di mata publik. Sehingga pemikiran dan pernyataan penulis dalam artikel ini, murni bersifat objektif dan netral sifatnya. Bukan suatu “kecemburuan” atau bentuk-bentuk pemikiran picik-sempit semacam yang dituduhkan.
Adalah fakta kedua, sebagian dari total gugatan yang masuk ke lembaga peradilan yang sekalipun diajukan oleh kalangan pengacara, berakhir pada ditolaknya atau tidak diterimanya gugatan oleh pengadilan—bahkan tidak jarang digugat-balik oleh pihak lawan, membuat masyarakat umum tidak lagi perlu merasa gentar untuk maju sendiri mengakses peradilan untuk dan atas nama pribadi—tanpa harus bergantung ataupun mengandalkan jasa seorang advokat yang kadang “berbiaya sama mahalnya dengan apa yang disengketakan itu sendiri”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.