Biarkan Hukum KARMA dan Hukum ALAM yang Bekerja dan Berproses

ARTIKEL HUKUM
Suatu waktu, ketika penulis sedang menyirami sesuatu dengan air, siraman air tersebut tanpa dapat diterka justru menciprat balik ke arah penulis, sehingga membuat wajah penulis menjadi kuyub. Alangkah konyolnya hal demikian dapat terjadi. Seketika timbul sekelebat pemikiran, yang lebih tepatnya disebut sebagai sebuah asumsi, mungkinkah Tuhan yang melakukan semua ini, membuat cipratan ke arah wajah penulis? Namun, disaat bersamaan, terdapat suara hati yang berkata seperti ini, “Apakah engkau berpikir, Tuhan demikian kurang kerjaan untuk ‘tetek-bengek’ semacam itu?
Berteriak ke arah tembok, kita akan mendengar echo atau pantulan suara yang kita sebut sebagai gema. Itu bukanlah hal yang aneh, dan tidak ada orang lain yang berteriak balik ke arah wajah kita selain suara gema kita sendiri. menembakkan proyektil peluru ke arah tembok, proyektil tersebut menjelma “peluru nyasar” yang dapat melukai siapa saja seperti kerap diberitakan warga yang terluka akibat “peluru nyasar” polisi yang sedang berusaha mengejar seorang tersangka. Namun apakah artinya peluru itu memang memiliki mata, yang memang sejak semula secara sengaja bermaksud menyasar seseorang tertentu sebagai korbannya?
Kembali pada kesadaran setelah larut sejenak dalam lamunan demikian, merasa mendapat “pencerahan”, penulis segera merangkai kata-kata yang kemudian menjadi paduan kalimat seperti artikel yang kini sedang para pembaca selidiki lebih lanjut. Saat ini pula, penulis mulai menyadari, yang membuat cipratan air tersebut hanyalah semata karena keberlakuan hukum fisika, hanya sebatas itu. Tidak kurang, dan tidak lebih. Kita tidak perlu menambahi “bumbu-bumbu” spekulatif untuk apa yang sudah demikian terang-benderang.
Tidak kurang, dan tidak lebih, itulah esensi yang dapat penulis sarikan. Seperti hukum matematika telah membuat sebuah perangkat kalkulator mampu menghitung penjumlahan, perkalian, maupun pembagian secara akurat tanpa ada yang harus membuat keputusan berapakah hasil perkalian dari bilangan yang kita masukkan pada papan input.
Hukum matematika yang tertanam pada perangkat kalkulator tersebut, bekerja secara sendirinya, sesuai hukumnya sendiri secara mekanistis, ibarat robot maupun perangkat komputer kita yang bekerja sesuai hukum yang ditanam dalam program yang menyusun kecerdasan buatan miliknya. Sekarang ini bahkan dikenal berbagai program yang mampu bersuara ketika menerjemahkan suatu teks, dan yang berbicara bukanlah manusia, namun robot dengan program terjemahan dan suaranya. Ada waktunya, suatu saat, kita dapat berteman dengan “sekaleng” robot, seperti yang mulai terlihat tendensinya dimana orang-orang lebih sering sibuk mengetik papan tuts pada gawainya ketimbang bersosialisasi dengan orang di dekatnya.
Seperti itu jugalah hukum alam, hukum karma, hukum gravitasi, hukum termodinamika, hukum relativitas, hukum kimia, hukum fisika, dan berbagai hukum lainnya. Sebagai contoh, apakah halilintar maupun angin puting-beliung benar-benar diciptakan tanpa ada dasar yang mendahului seperti kelembaban udara, siklus cuaca, perputaran arus aliran air panas di bawah permukaan samudera, kemiringan sumbu bumi, faktor bentang alam, dsb?
Angin tornado tidak pernah terjadi tanpa ada faktor hukum alam yang bekerja dibaliknya, sehingga, ada keterlibatan atau tidaknya tangan-tangan “tak terlihat” yang sering kita namakan sebagai “kuasa adikodrati”, tornado tetap saja dapat terjadi sesuai cara kerja aktivitas hukum alam yang ada. Menyerupai musim penghujan dan musim kemarau, apakah terjadi tanpa sebab yang mendahuluinya? Bukankah hujan dan terik kemarau merupakan suatu hal yang alamiah saja sifatnya, sesuai cara kerja hukum alam?
Bunga bermekaran di musim semi, apakah ada yang memerintahkan bunga-bunga tersebut untuk bermekaran, ataukah bunga-bunga tersebut memang bermekaran secara sendirinya tanpa perlu diperintah dan tanpa perlu disuruh oleh siapapun, sesuai hukum alam yang berlaku? Sama seperti timbul dan tenggelamnya rembulan maupun mentari, semua bekerja berdasarkan hukum resolusi perputaran bumi maupun hukum orbit tata surya.
Semua yang telah dipetakan hukumnya, menjadi dapat diprediksi (prediktif sifat keberlakuannya). Itulah sebabnya, kalangan astronom tahu betul kapan akan terjadi gerhana bulan dan gerhana matahari selanjutnya, sebagai bukti bahwa terjadinya berbagai gerhana tersebut terjadi semata secara alamiah sesuai hukum tata surya. Para astronom tersebut mampu meramalkan hingga akurasi yang demikian akuran pada tanggal berapa dan pukul berapa kita mampu kembali menyaksikan gerhana yang akan datang. Apakah hal demikian dimaknai mendahului kehendak sang makhluk adikodrati? Untuk jawabannya, kembali rujuk pada suara “bisikan hati” seperti yang pernah penulis singgung sebelumnya.
Tidak ada yang demikian sibuknya memutar dan memindahkan semua hal, semua serba “terprogram”. Ibarat programmer pencipta program dan aplikasi perangkat digital yang kita gunakan, semua berjalan tanpa lagi harus melibatkan si programmer penciptanya. Bahkan, ketika sang programmer meninggal dunia sekalipun, sebagai umpama, program tersebut tetap dapat berfungsi dan berjalan sebagaimana hukum logika biner pemograman yang telah tertanam di dalamnya.
Ketika kita menghidupkan kendaraan bermotor yang kita kendarai, dan selanjutnya kita menekan pedal akselerasi, kendaraan tersebut melaju dengan hukum fisika yang menjadi motor penggeraknya, tanpa perlu ada keterlibatan suatu makhluk adikodrati untuk membuat roda kendaraan tersebut menggelinding di jalan raya. Sama seperti air yang mengalir ke bawah secara alamiahnya mengikuti hukum gravitasi, air tersebut mengalir begitu saja tanpa perlu diperintahkan kecuali bila Anda menghisapnya menggunakan jet pump berdasarkan hukum fisika pula cara kerjanya sehingga bisa terangkat ke tangki penampung yang terletak di atas rumah kita.
Hingga suatu ketika, saat menyaksikan perhelatan pertandingan bulu tangkis suatu kompetisi lewat layar kaca, setelah kedua pemain dari dua kubu yang berkompetisi melewati rangkaian pertarungan sengit, pada gilirannya akan ada yang keluar sebagai juara dan ada pula yang harus bertekuk lutut. Menjadi pertanyaan yang patut direnungkan, apakah suatu sosok makhluk Adikodrati telah melakukan “tangan dewa” (seperti kasus Maradona dalam piala dunia sepak bola) dengan mengatur hasil pertandingan dan menekuk lutut salah satu pemain (dalam arti yang sesungguhnya), ataukah semua itu berjalan berdasarkan hukum kompetitif serta sportivitas yang alamiah saja sifatnya, sehingga menang dan kalah adalah wajar sifatnya tanpa perlu menjadi bersifat demikian personal?
Sebagian kalangan ilmuan neurosains bahkan meyakini, faktor penyebab utama seorang kriminil kerap melakukan tindak kriminil, semata karena pengaruh kode genetik DNA seorang manusia (genom), dalam salah satu atau serangkaian kromosomnya, yang cukup bertanggung-jawab atas dorongan atau impuls untuk melakukan berbagai tindak kejahatan. Sekalipun terdengar demikian deterministik, namun hukum Agama Buddha pada khususnya, mengenal pula “hukum kehendak bebas” (free will), hingga hukum perubahan, sehingga tidak ada yang sedemikian fatalistik dalam sebuah kehidupan umat manusia. Semuanya masih dapat berubah. Tiada yang pasti selain ketidak-pastian itu sendiri, seperti yang kerap disebutkan.
Berbagai gempa yang meluluh-lantakkan berbagai wilayah di Tanah Air beberapa waktu lampau, sempat menjadi pertanyaan bagi penulis, mengapa gempa-gempa sadis mematikan lengkap dengan tsunaminya tersebut, harus terjadi di Indonesia, yang notabene negara “agamais”? Mengapa tidak terjadi di negara lain, yang kerap disebut sebagai negara-negara Barat, yang diberi stempel stigma sebagai negara kapitalis tidak “agamais”? Mengapa harus terjadi di negeri ini yang semestinya sangat dicintai oleh Sang Khalik?
Apakah Tuhan telah bersikap diskriminatif? Namun selalu terdapat kemungkinan kedua sebagai alternatifnya, yakni semua itu adalah hal alamiah yang terjadi sesuai hukum alam yang ada. Planet Bumi ini terus berputar dengan cairan magma terkandung di perut Bumi, siap untuk meletup bagaikan jerawat di wajah kita secara tak terduga, hingga lempengan yang terus bergerak dan bergesekan membuatnya bertumbukan menciptakan gempa tektonik hingga gunung meletus. Cepat atau lambat, semua itu akan terjadi, semata perihal waktu. Hanya saja, kita mampu memprediksinya ataukah tidak. Seperti Negara Jepang yang bukan “dikodratkan” menjadi negara penuh gempa bumi, namun memang demikianlah adanya sesuai hukum alam yang ada.
Selama ini kita selalu menunjuk pada sosok makhluk adikodrati sebagai pelaku yang berkuasa atas kehidupan manusia. Penulis rasa tuduhan demikian cukup dapat disebut sebagai terlampau naif serta menista sosok Tuhan, yang bisa jadi tidak terlibat dengan semua yang terjadi, semata berpulang pada berbagai hukum-hukum yang memang telah ada dan tercipta sejak proses awal pembentukkan dunia lengkap dengan segala peradaban makhluk hidup di dalamnya.
Tidaklah mungkin produsen komputer kita menjual perangkat keras tanpa pernah ada tersedia perangkat lunak yang juga tersedia di pasaran. Dunia fisik adalah perangkat kerasnya, sementara berbagai hukum tersebut menjadi perangkat lunaknya, sebagai umpama, sekadar untuk memudahkan pemahaman kita.
Kita seolah menjadi hakim yang menghakimi sosok Tuhan ketika kita berasumsi bahwa dunia ini bukanlah berputar berdasarkan hukum karma dan hukum alam. Tersengat aliran listrik ketika kita menyentuh benda dengan hantaran listrik tanpa perangkat keselamatan, adalah hal yang wajar sesuai hukum kelistrikan. Terbakar akibat bermain api, juga adalah hal yang wajar. Tidak ada pemain sirkus akrobatik yang belum pernah mencicipi rasanya terjatuh dan cedera saat melakukan latihan.
Bahkan seorang balita yang terjatuh ketika belajar berjalan, juga menjadi hal wajar, tanpa siapa pun yang seolah-olah mencoba menjatuhkan sang balita yang ternyata masih saja bangkit dan kembali mencoba berjalan. Ia tidak perduli siapa atau karena apa ia terjatuh, tugasnya ialah untuk kembali bangkit dan melanjutkan pertualangannya. Hidup terus saja bergulir, ada atau tidak adanya “tangan-tangan tak terlihat” demikian. Kita perlu mulai menyadari, terkadang asumsi kita lebih banyak yang keliru ketika asumsi tidak dibarengi oleh kesadaran perihal realita dan fakta.
Sebuah asumsi seyogianya mengikuti realita pada gilirannya, bukan sebaliknya seolah realita yang menghamba pada asumsi kita yang bisa jadi berbeda dengan asumsi milik orang lain. Hendaknya kita tidak berkonflik semata karena perbedaan asumsi, karena fakta di luar sana tetap bergeming apapun asumsi yang kita yakini. Asumsi perlu diverifikasi pada gilirannya, bukan sekadar “asumsi demi asumsi” itu sendiri.
Tidak ada impian untuk menjadi seorang pemimpi, bermimpi untuk mendorong kita meraih prestasi dalam dunia nyata pada akhirnya, bukan untuk berkubang dalam dunia semu. Mereka yang mampu meraih kesuksesan bukanlah seorang pemimpi, namun seorang yang terbangun seutuhnya. Mereka yang sadar mampu membangun impian, mereka yang terlelap tidak akan mampu membangun apapun selain bermimpi. Impian hanya berlaku untuk mereka yang sadar dan bangun, sementara bermimpi hanya untuk mereka yang tertidur. Itulah perbedaan utama antara bermimpi dan impian.
Yang menipu pada gilirannya akan tertipu. Yang merampok, pada giliranya akan hidup dibawah garis kemiskinan. Yang menyakiti, pada gilirannya akan menikmati kapling di neraka, sebagai yang terpanggang bukan yang memanggang barberque. Yang mengedarkan obat terlarang, pada gilirannya akan menghuni hotel prodeo dan mendekam bersama kalangan koruptor.
Semua adalah konsekeunsi logis dari keberlakuan hukum karma maupun hukum negara. Yang terlebih konyol ialah, kita tahu disakiti akan berbalik disakiti, mencopet akan kembali dirugikan. Namun tetap saja mereka melakukannya tanpa kenal rasa takut, sekalipun mereka tahu benar kebenaran hukum alam maupun hukum negara yang berlaku.
Seperti yang kerap penulis istilahkan, bahwa tiada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini, dimana pun kita hendak bersembunyi dan melarikan diri, pada akhirnya kita terjengkang oleh perbuatan buruk kita sendiri—bukan oleh tangan-tangan ajaib tak terlihat sebagaimana yang telah penulis singgung di muka. Membangun rumah impian tidak dapat lewat bermimpi, tapi dari kerja nyata dan keringat yang juga nyata. Membangun masa depan, bukan dengan mengharap, namun dengan menanam benih-benih kebajikan. Itulah yang disebut sebagai, cara berpikir rasional.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.