Bukan Siapa yang Terlebih Dahulu Memukul, Namun Tanyakan Siapa yang Terlebih Dahulu Mengintimadasi

ARTIKEL HUKUM
Pasal terkait pidana penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, merupakan rumusan pasal pidana yang sudah sangat usang dan dapat dikatakan sebagai sangat terbelakang rumusan deliknya. Hukum pidana kita seolah menutup fakta real de facto, siapa yang terlebih dahulu memicu aksi aniaya, dengan memungkiri adanya faktor tekanan batin yang sangat kuat sehingga terjadilan suatu aksi “pemukulan” yang terlebih dahulu.
Dengan kata lain, apakah pihak yang terlebih dahulu memukul, selalu diartikan sebagai pihak yang akan dikenakan pasal pidana “penganiayaan”? Rasanya terlampau naif, ketika kita secara “membuta” (menutup mata) tanpa disertai kearifan, menilai bahwa dorongan batin untuk membela diri dan ketakutan yang sangat besar sehingga menciptakan suatu daya refleks spontanitas untuk melakukan perlawanan terhadap suatu bentuk-bentuk intimidasi, sehingga memicu inisiatif terlebih dahulu untuk memukul jatuh lawan yang mendekat, sebagai pelaku penganiayaan.
Mungkin ulasan pengalaman pribadi penulis dapat menjadi pembelajaran. Flashback ketika penulis masih cilik, saat duduk di bangku sekolah, terdapat seorang senior atau kakak kelas yang bersikap layaknya preman cilik dengan komunitas “gengster”-nya. Dirinya kerap mem-bully penulis dalam setiap kesempatan, semata karena penulis beretnis keturunan, berkacamata, serta bertubuh lebih kecil dan lebih muda.
Konflik-konflik kecil berbuntut percikan konflik seteru yang besar, mulai dari perang urat saraf hingga pertikaian mulut dan pergesekan lainnya, selayaknya anak pria muda lainnya yang kerap berkelahi. Sampai pada suatu ketika, benar-benar terjadi puncak seteru, si preman bocah menantang penulis untuk berkelahi, sementara penulis hanya seorang diri menghadapi si preman bocah yang dikawal oleh rekan-rekan anggota “gangster”-nya. Kami sepakat untuk berkelahi selepas jam sekolah dibubarkan. Dari sini saja sudah dapat kita nilai, siapa yang sebetulnya pengecut.
Usai pelajaran di sekolah, seluruh anak-anak lainnya yang menjadi penonton telah berkumpul di halaman belakang gedung sekolah, seolah siap untuk menyaksikan tontonan gladiator melawan singa haus darah. Penulis dan si preman bocah telah berada di lokasi pertarungan. Penulis melepas tas ransel, dan si bocah preman dari kejauhan berjalan menuju ke arah penulis dengan sikap tubuh menerjang seperti harimau yang hendak menerkam mangsanya.
Secara reflek, disertai desakan batin yang sudah terkondisikan penuh tekanan mental demikian untuk bertahan dan selamat dari “binatang” buas yang mendekat, penulis melancarkan serangan pukulan ke arah wajah si preman bocah agar penulis tidak terkena terkaman si preman bocah yang mendekat dan berjalan ke arah penulis dengan keadaan kedua tangan terangkat siap memukul penulis, sementara dari awal hingga akhir kejadian, penulis tetap berdiri di tempat yang sama—itulah fakta latar belakang yang melingkupi kejadian.
Akhirnya, singkat cerita, nyatanya si preman bocah tak sekuat yang penulis bayangkan. Hanya tubuh, umur, serta wajahnya saja yang tampak menyerupai “babi hutan”. Hidungnya bercucuran darah, sementara si preman bocah itu bertarung layaknya seorang “banci” yang hanya mampu menjambak rambut penulis dari sejak awal hingga akhir pertarungan yang semestinya duel layaknya “Ip Man melawan Karateka”—namun ternyata hanya pertarungan layaknya “banci” yang hanya tahu teknik menjambak rambut. Cukup mengecewakan juga buat penulis.
Alhasil, penulis di panggil pihak kepala sekolah. Sebagai anak kecil yang ketakutan karena seorang diri dari awal hingga akhir menghadapi si preman cilik bos gengster sekolahan, tanpa satupun penonton yang mendukung ataupun membela penulis, penulis mendapat tekanan batin lebih besar lagi ketika pihak kepala sekolah justru menunjuk pelaku yang bersalah ke arah hidung penulis. Kejadian puluhan tahun lampau tersebut, masih terbayang dengan jelas hingga penulis beranjak dewasa, bahkan wajah si “babi hutan” pun masih penulis ingat sekali dalam memori.
Penulis tentu saja membantah dan mengatakan bahwa penulis yang justru menjadi korban yang hanya membela diri, alih-alih sebagai pelaku pemukulan. Tanpa menunjukkan empati layaknya sesosok kepala sekolah yang banyak digambarkan di novel berjudul Totto Chan Si Gadis Cilik, sang kepala sekolah yang yakin akan vonisnya membuat semacam pengadilan dengan menghadirkan para saksi mata, yakni anak-anak sekolah yang pada waktu itu menjadi penonton dan hanya menikmati bully oleh senior terhadap juniornya—rupanya penulis tidak memiliki sahabat yang baik dikala masa sekolah tempo dahulu itu.
Seluruh saksi mata, menyatakan bahwa penulislah yang terlebih dahulu memukul. Sang kepala sekolah, yang sudah merasa menang dengan membela si preman bocah, tidak bertanya mengapa penulis sampai memukul terlebih dahulu, apa yang melatar-belakanginya, bagaimana situasi dan kondisi dari keadaan saat itu, bagaimana sikap si preman bocah, dan bagaimana pula posisi penulis dari sejak awal, sebelumnya, hingga akhir dari kejadian. Itukah yang disebut fair trial? Sang kepala sekolah justru mempertunjukkan teladan berupa sikap menghakimi tanpa kebijaksaan apapun—tidak heran bila kemudian para muridnya menjelma menjadi hakim tanpa hari nurani.
Ternyata, setelah penulis tumbuh dewasa dan mempelajari ilmu hukum, mulai dari peraturan perundang-undangan terkait hukum pidana, hingga praktik di pengadilan, sikap dingin sang “hakim” ternyata sangat menyerupai sikap tidak bijaksana sang “kepala sekolah” yang dahulu pernah menghakimi penulis. Penulis pada saat kecil tersebut, mulai dicap sebagai anak “berandal” pelaku pemukulan, sementara si preman cilik justru dipandang sebagai “korban” yang patut dilindungi dan dikasihani. Bukankah ini suatu putar-balik keadaan?
Oleh sebab itulah, lewat artikel ini penulis hendak menggugat aturan hukum pidana kita. Bukan lagi siapa yang terlebh dahulu memukul, namun mulailah untuk bertanya: Siapa yang terlebih dahulu mengintimidasi. Suatu pukulan yang terlebih dahulu dilancarkan adalah sebagai akibat, bukan sebagai sebab. Semisal ketika seseorang akan dipukul lewat gerakan bahasa tubuh yang intimidatif, apakah harus menunggu dahulu mata kita kena pukul sehingga berpotensi cacat permanen baru diizinkan membela diri? Ibarat harus terkena copet dahulu oleh seorang pencopet, baru boleh menjerit “ada copet Pak Polisi!
Seringkali terjadi, situasi telah terkondisikan demikian kentara akan terjadi pertarungan, penonton semua tahu akan ada perkelahian karena rencana perkelahian sudah dikumandangkan para pihak, dan sama-sama saling buat ikrar untuk bertarung. Lalu, Jika si A yang mendatangi si B dengan sikap tubuh hendak menerjang dan menyerang, apakah menjadi salah jika si B mencoba membela diri secara reflek atas dasar kondisi mental yang sudah sangat tertekan dan terancam intimidasi?
Dalam perspektif Hukum Humaniter dan Hukum Perang Internasional yang lebih modern, bahkan diizinkan suatu negara untuk melakukan suatu “affirmative action”—dalam pengertian terlebih dahulu berinisiatif melakukan serangan karena adanya alasan yang patut dipertanggung-jawabkan demi membela diri. Semisal diketahui adanya ancang-ancang negara “pengancam” yang akan menggunakan senjata kimia pemusnah massal, lewat laporan intelejen dibenarkan adanya pasokan bahan kimia dimaksud serta persiapan lawan yang dipastikan akan menyerang dalam waktu dekat ataupun waktu lainnya.
Maka, demi menghindari dampak kemungkinan terburuk yang tidak dikehendaki, suatu negara dapat saja “bertahan” yakni dengan cara “terlebih dahulu menyerang” lawannya—penulis ulangi, bertahan dengan terlebih dahulu menyerang. Dengan demikian, dalam kacamata Hukum Perang Internasional, inisiatif menyerang bisa saja terjadi akibat gerak-gerik negara lawan yang sudah sangat mengintimidasi, dan “affirmative action” tersebut telah beberapa kali disahkan keberlakuannya dalam berbagai putusan mahkamah pidana internasional (International Criminal Court)—sayangnya, Indonesia tidak semaju itu.
Sehingga, janganlah lagi menanyakan siapa yang terlebih dahulu memukul, namun tanyakanlah siapa yang terlebih dahulu melancarkan “serangan berupa intimidasi” sehingga si B semata membela diri dengan cara mengambil inisiatif untuk memukul terlebih dahulu dalam rangka membela diri dalam tekanan batin yang sangat mendesak.
Meski, untuk saat kini, penulis merasa pesimis kalangan pembentuk undang-undang maupun para hakim kita, akan membuka diri untuk merubah paradigma berhukum mereka dari yang semula melihat “kulit luar” menjadi melihat lebih jauh kronologi peristiwa dan keadaan “terkondisi” yang melingkupinya sejak sebelum, saat, dan setelah kejadian aksi pemukulan.
Terlebih bila pembentuk undang-undang dahulunya anak-anak yang menyerupai si “preman bocah” yang belum pernah merasakan keadaan “terpojokkan” seperti yang pernah dialami oleh penulis semaca kecil, maka dapat dipastikan secara membuta baik undang-undang maupun praktik peradilan akan mengkriminalisasi seseorang yang secara “situasional” sejatinya menyerang dalam rangka semata untuk membela diri, dipandang sebagai “pelaku”, dan si pelaku intimidasi justru didudukkan sebagai “korban”—sangat tidak mendidik.
Mungkin saja sosok-sosok narapidana yang pernah bernasib serupa dengan “penulis cilik”, telah mencicipi ketidak-adilan logika hukum yang selama ini dipertontonkan di ruang sidang. Mengapa hal demikian dapat terjadi? Hal tersebut semata karena kesalahan didik oleh para guru yang berkarakter layaknya si “kepala sekolah” yang dahulu kala pernah menghakimi penulis.
Bagus bila ulasan singkat ini mampu menggugah para penyusun kebijakan pemidanaan di negeri ini. Bila tidak, korban-korban baru akan terus bertumbangan dari tahun ke tahun, sebagai suatu “kriminalisasi” yang tidak lagi terbendung, akibat minimnya empati para hakim dan penyusun undang-undang.
Bila Anda berasumsi bahwa logika undang-undang dibentuk oleh logika yang canggih, maka asumsi Anda tampaknya perlu dipertimbangkan ulang. Logika dibalik penyusunan undang-undang—tidak terkecuali logika sebagian kalangan hakim—sejatinya perlu ditinjau ulang lewat sebentuk “uji moril”. Ketika suatu pasal pemidanaan maupun wajah praktik peradilan pidana tidak lolos terhadap “uji moril”, itulah yang disebut dengan “kriminalisasi”.
Kini, bila ada dua anak kecil bertarung dalam perkelahian, penulis sebagai orang dewasa yang bila kemudian mengetahui adanya pertarungan antar bocah demikian, tidak akan mempermasalahkan siapa yang terlebih dahulu memukul dan terpukul—justru akan penulis sarankan agar si yang lebih muda yang terlebih dahulu perlu memukul yang lebih tua darinya.
Yang akan terlebih dahulu penulis hakimi ialah betapa pengecutnya seseorang yang bertubuh dan berumur lebih besar, menantang berkelahi anak yang lebih kecil. Sungguh memalukan bila ada senior yang berkelahi dengan juniornya. Jika dirinya memang berani, mengapa sang senior tidak menantang bertarung yang lebih senior dari dirinya, alih-alih menantang bertarung anak yang lebih junior?—alias perilaku / praktik-praktik bullying?
Tidak ada anak etnis keturunan yang lebih muda dan lebih kecil, bahkan berkacamata, pernah berinisiatif menantang bertarung seorang berwajah “babi hutan” bila bukan dilandasi adanya intimitasi dari pihak yang dilawan olehnya. Seorang pengadil yang adil, tidak bisa melihat suatu adegan kejadian secara parsial, namun harus dilihat dari segmen pra kejadian, saat kejadian, hingga pasca kejadian sebagai suatu rangkaian kejadian utuh yang tidak dapat saling dipisahkan, termasuk keadaan batin dan situasional yang melingkupinya.
Ternyata kejadian serupa terjadi saat penulis beranjak remaja. Terlagi penulis harus mengahadapi para preman yang banyak berkeliaran di luar sana. Seseorang yang “kecil” dari segi otak, akan cenderung mengandalkan kekerasan “main otot”. Si preman telah membuat sikap tubuh hendak memukul, lengkap dengan tangan kanan dikepalkan dan secara nyata-nyata di-ayunkan ke arah belakang bahunya untuk melancarkan pukulan. Namun ternyata, daya reflek penulis yang terbisa berlatih Kung-Fu, lebih baik dari si preman. Salah si preman itu sendiri, karena lamban dalam “beratraksi”.
Alhasil, “bogem mentah” penulis yang terlebih dahulu bersarang ke wajah si preman—meski ancang-ancang untuk memukul datang inisiatifnya dari pihak si preman. Ketika penulis melaporkan perilaku tidak menyenangkan dari si preman, pihak polisi justru menanggapi tanpa sedikitpun menunjukkan sikap simpatik, dengan nada dingin menyatakan bahwa penulis-lah yang akan diancam ditangkap dan ditahan, karena mengancam memukul (alias diancam / mengancam akan dianiaya / menganiaya) tidak dapat dipidana. Bila mengancam membunuh dapat dipidana, mengapa mengancam akan menganiaya tidak dapat dipidana?
Meski kasus tersebut tidak berujung sampai ke tahap pidana, karena secara moril lubuk hati si preman tahu sekali bahwa dirinya yang paling bersalah karena telah bersikap sewenang-wenang terhadap penulis sehingga memicu konflik, namun bercermin dari kejadian demikian menjadi tahu-lah penulis, bahwa bentuk-bentuk intimidasi masih belum diakui dan sama sekali tidak diakomodasi oleh praktik hukum kita, sehingga dapat dipastikan banyak berjatuhan korban-korban intimidasi serupa yang tidak mendapat perlindungan hukum.
Sebagai penutup, pernahkah Anda menyaksikan film fenomenal “Ip Man”, sang guru dari Bruce Lee? Apakah pernah Ip Man dipukul dan terpukul? Seringkali Ip Man membela diri dengan terlebih dahulu memukul para bandit yang dijumpainya. Apakah artinya, Ip Man merupakan tokoh jahat yang suka “menganiaya”, atau justru sebagai pelindung dan tidak mudah dipukul karena selincah angin dan pukulannya secepat kilat?
Namun, jika hakim kita yang mengadili IP Man, kecurigaan penulis ialah Ip Man akan divonis pidana penjara sebagai pelaku penganiayaan, bukan sebagai korban yang mencoba melindungi ataupun melindungi diri sendiri. Yang paling gembira pada gilirannya, ialah para bandit alias para tokoh antagonis dalam film “Ip Man” tersebut. Terkadang, logika orang awam masih lebih logis, ketimbang logika praktik hukum kalangan hakim dan pembentuk undang-undang di negeri ini yang dingin dan kaku-beku.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.