Setiap Warga Negara Memiliki Hak untuk Menggugat, Sepanjang Tidak Merugikan Warga Negara Lainnya

ARTIKEL HUKUM
Saat kajian sosio-legal ini penulis susun, seorang debitor mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) terkait Undang-Undang Fidusia. Bermula, ketika kendaraan objek fidusia ditarik secara paksa oleh pihak debt collector yang disewa pihak perusanaan leasing maupun pihak perbankan selaku kreditor, tanpa perantara jurusita pengadilan. Sang debitor menilai, penarikan secara paksa demikian adalah “main hakim sendiri” (eigenrichting).
Kita tahu dan pahami betul, bahwa hukum yang demikian prosedural mengakibatkan “ekonomi berbiaya tinggi” yang kontraproduktif terhadap tujuan pembentukan hukum itu sendiri, sehingga kita perlu menghindari bentuk-bentuk “over-prosedur” yang bisa berdampak pada antipati masyarakat maupun pelaku usaha terhadap aturan hukum yang ada. Bagaimana mungkin masyarakat diharapkan menaruh “respect” atau hormat terhadap hukum, bilamana hukum dianggap memiliki citra negatif sebagai “musuh” masyarakat?
Kembali pada topik semula, bilamana permohonan uji materiil yang diajukan oleh sang debitor dikabulkan oleh kesembilan Hakim Konstitusi RI yang belum tentu pernah memakai layanan lembaga pembiayaan untuk mencicil kendaraan roda dua, konsekuensinya sungguh akan berdampak luas, setidaknya roda perekonomian makro dan mikro nasional dapat lumpuh, yang pada gilirannya masyarakat lapisan kelas menengah maupun kebawah akan terkena imbasnya, secara langsung. Belum lagi bila kita bicara “efek domino” yang menunggu dibaliknya—tentulah akan lebih panjang lagi ceritanya.
Permohonan sang debitor agar penarikan secara paksa dan sepihak oleh pihak kreditor ataupun leassor ketika sang debitor menunggak dan wanprestasi, dinyatakan sebagai ilegal karena tidak terdapatnya aturan pelaksana yang jelas dalam peraturan perundang-undangan terkait agunan dan jaminan kebendaan, baik Fidusia maupun Hak Tanggungan, dinilai sebagai “kekosongan hukum” (rechts vacuum) yang tidak memberi hak apapun bagi pihak perusahaan leasing maupun perbankan untuk menarik objek fidusia dari tangan debitor.
Padahal, ditariknya secara paksa demikian tidak dimaknai menghapus hak debitor untuk mengajukan gugatan bila memang objek fidusia ditarik tanpa terjadinya keadaan wanprestasi oleh pihak debitor. Namun, sepanjang sejarah praktik peradilan, hampir tidak pernah terjadi, objek leasing ditarik tanpa terlebih dahulu dimulai dengan wanprestasinya pihak debitor. Sang debitor itu sendiri sebagai penarik pemicu dan pelatuknya, alias sebagai akibat, bukan sebagai sebabnya. Seorang ibu anak autis dikenal keras dan dingin perangainya, namun itu bukanlah sebab, namun sebagai akibat kejenuhan sang ibu menghadapi anaknya yang menderita autis.
Permohonan demikian sama seperti meminta agar seluruh perusahaan leasing maupun perbankan terkait kredit kendaraan bermotor, menjadi kolaps dan ditutup permanen karena tiada lagi kemudahan eksekusi objek fidusia yang demikian berbelit-belit dan prosedural, seolah tiada lagi jaminan apapun yang memberi kepastian dan kemudahan bagi pihak kreditor untuk memulihkan piutangnya yang ditunggak oleh pihak debitor.
Siapa yang sudi, untuk menjalankan roda ekonomi perusahaan semacam leasing jika eksekusinya menjadi demikian prosedural dan berbelit-belit? Janganlah mengambil keuntungan ditengah kesempitan dengan menjadi debitor yang “rewel”. Kita semua tahu benar konsekuensi dibalik menunggak perjanjian pembiayaan demikian ketika pertama kali mengikatkan diri dalam perjanjian leasing, sewaktu-waktu akan ditarik objek leasing ketika terjadi tunggakan demi tunggakan. Tidaklah pernah terjadi, objek leasing ditarik ketika tunggakan baru terjadi satu atau dua bulan semata, karena pihak perusahaan leasing tetap akan merugi akibat amortasi dengan penarikan prematur demikian.
Jika saja sang debitor tidak menunggak, dan beritikad baik mencicil serta melunasi hutang-hutangnya, tentulah objek fidusia tidak akan ditarik secara paksa, dan bisa jugalah kita sebutkan bahwa pihak debitor itu sendiri yang paling berkontribusi besar (causa prima) dalam terjadinya “insiden” penarikan paksa tersebut. Eksekusi secara ringkas dan mudah, se-efisien mungkin sejalan dengan nilai objek fidusia itu sendiri yang paling “masuk akal”.
Ketika perusahaan leasing maupun perbankan tersandera oleh aturan penarikan objek leasing / fidusia yang demikian membelenggu karena terlampau prosedural hingga seakan “mencekik”, bahkan disebut terdapat “kekosongan hukum” aturan mainnya, maka sama artinya tidak akan ada lagi perusahaan leasing yang bersedia menawarkan kendaraan leasing kepada kalangan masyarakat kelas bawah maupun perusahaan yang bergerak dibidang operasional kendaraan bermesin yang menjadi objek usaha perusahaan lembaga pembiayaan maupun perbankan. Ketika seluruh perusahaan leasing maupun perbankan “gulung tikar”, maka pada gilirannya siapakah yang akan dirugikan selain masyarakat umum selaku konsumen jasa keuangan dan pembiayaan?
Gugatan yang pokok tuntutannya justru merugikan rakyat banyak jika dikabulkan oleh hakim, patut menjadi hal yang patut kita waspadai bersama. Namun itulah yang tepatnya terjadi dalam perkara uji materiil terhadap Undang-Undang Lalu Lintas terkait “objek online”, dimana Mahkamah Konstitusi RI seolah bersikap demikian “naif” dengan menafikan keberadaan moda transportasi “berjemaah” tersebut, dengan menyatakan dalam putusannya sebagai “BUKAN transportasi umum”. Tidaklah elok, bila hukum dipaksakan memungkiri kenyataan dan realia. Hukum seyogianya bersifat akomodatif, sebagai hukum yang berfaedah.
Alhasil, nasib masyarakat selaku konsumen jasa “ojek online” menjadi “menggantung” tanpa perlindungan maupun kepastian hukum, seolah diri mereka setiap harinya menjadi penumpang / pengguna jasa UFO “Unidentified Flying Object” yang tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dikenal bahkan tidak diakui sebagai “tranportasi umum” oleh para hakim Mahkamah Konstitusi yang selama ini naik mobil pribadi lengkap dengan supirnya, tanpa pernah melihat keadaan dinamika di masyarakat lapisan kelas bawah yang sudah sangat bergantung dengan keberadaan layanan “ojek online”—bagai sedang memutus perkara diatas “menara gading”. Penulis menyebutnya sebagai “mata rantai ekonomi yang terputus” oleh putusan yang “tidak nyambung”.
Begitupula bagi kodrat para pengemudi “ojek online”, karena tidak diakui sebagai bidang profesi yang legal, karena “ojek online” bukanlah “transportasi umum” juga tidak diakui oleh Mahkamah Konstitusi, maka mau dibawa kemana nasib para “driver online” si “pengemudi liar” tersebut, tanpa jaminan terlebih perlindungan hukum yang dapat diharapkan, padahal jika kita menyaksikan pemandangan di jalan raya, para “driver online” sudah menjelma bak air bah yang membanjiri jalan-jalan. Diakui ataupun tidaknya, lapangan usaha “driver online” tersebut turut menekan angka pengangguran kerja.
Begitupula persepsi dalam hukum acara perdata yang sangat tidak sensitif terhadap hak setiap warga negara untuk tidak diganggu ketenangan hidupnya. Betapa tidak, praktik peradilan dan teori usang hukum acara perdata yang terus digaung-gaungkan di ruang perkuliahan pada bangku pendidikan tinggi hukum di Tanah Air, menyebutkan, menggugat adalah hak setiap orang, meski kita ketahui bersama, tidak semua orang betul-betul berhak untuk menggugat dan mengganggu hidup orang lain.
Sekalipun setiap orang dinyatakan berhak untuk menggugat, apakah artinya dapat dibenarkan secara moril bila seseorang digugat meski jelas-jelas tidak bersalah, atau bahkan justru si tergugat adalah korban yang lebih berhak untuk menggugat si penggugat seperti yang sering dijumpai dalam praktik peradilan “rekonpensi”, harus memusingkan diri didatangi jurusita pengganti yang mengirim relaas panggilan sidang, di-stempel sebagai “Tergugat”, harus membuang waktu membaca surat gugatan “sampah” yang semestinya cukup “mark as spam”, harus meluangkan waktu mengetik surat bantahan, harus hadir ke persidangan untuk membantah atau bila tidak hadir maka akan dianggap hakim membenarkan seluruh dalil-dalil dan klaim pihak penggugat (karena tidak mau hadir untuk membantah), harus pula direpotkan menghadirkan bukti saksi dan dokumen, lengkap dengan mengeluarkan biaya fotokopi dan leges materai, yang tentu sangat membuang-buang waktu, energi, biaya, serta perhatian.
Hukum acara perdata di Indonesia masih sangat primitif dan terbelakang. Betapa tidak, meski Anda mengetahui bahwa gugatan yang ditujukan pada Anda adalah gugatan “sampah”, namun karena Anda memilih untuk tidak menghiraukan dan tidak menanggapi, maka pihak penggugat dapat dengan leluasa mengajukan sita jaminan terhadap properti milik Anda. Ketika hakim mengabulkan permohonan sita jaminan dalam putusan “sela”, maka properti Anda tersita.
Problematika “gila” demikian tidak berakhir sampai di situ. Sekalipun gugatan penggugat sudah Anda prediksi “ditolak” hakim karena absurd, dan ternyata betul dalam putusan akhirnya Majelis Hakim menyatakan “gugatan ditolak sepenuhnya”, namun tetap saja Anda selaku tergugat yang harus mengeluarkan biaya dari kantung saku Anda sendiri untuk membayar biaya pengangkatan sita jaminan pada panitera pengadilan yang jumlah biayanya cukup untuk membeli satu buah kendaraan bermotor roda dua.
Mahkamah Agung RI bagai tidak memiliki “telinga” untuk dapat masyarakat teriakkan derita dan aspirasinya. Telinga Mahkamah Agung RI seolah tersembunyi demikian rapat, tidak terjamah, dan tergolong “tuli” serta “buta”. Sekalipun penulis pernah menyerukan agar pihak yang mengajukan sita jaminan diwajibkan membayar panjar biaya sita jaminan sebesar dua kali biaya sita jaminan, tidak lain dengan tujuan untuk mengantisipasi bilamana gugatan dirinya pada muaranya justru ditolak oleh hakim, maka sita jaminan demikian dapat dicabut seketika itu juga secara prakarsa oleh panitera pengadilan, tanpa harus memaksa tergugat merogoh kocek dari kantung celana sendiri dan bersusah payah bersentuhan dengan pejabat peradilan yang penuh korup dan kolusi yang gemar memeras rakyat pembayar pajak yang telah mambayar gaji mereka.
Bila Anda masih berasumsi bahwa semua orang berhak untuk menggugat, cobalah bayangkan bila Anda secara sewenang-wenang didudukkan sebagai pesakitan di “meja hijau” sebagai tersangka atau bahkan sebagai terdakwa, maka sekalipun tuntutan Jaksa Penuntut Umum dinyatakan oleh hakim sebagai “tidak dapat diterima” dan Anda dibebaskan, atau harus dibuat sibuk membantah klaim dalam gugatan seseorang, maka Anda baru akan tahu bagaimana rasanya “dipermainkan” oleh pihak-pihak yang menyalah-gunakan lembaga peradilan pidana maupun gugatan perdata.
Setiap orang berhak mencalonkan diri sebagai presiden, namun tidak semua orang layak untuk menjadi presiden, itulah yang perlu kita cam-kan baik-baik. Setiap orang berhak untuk mengajukan gugatan, namun tidak semua orang patut untuk digugat, dan tidak setiap orang berkewajiban untuk didudukkan sebagai pesakitan di persidangan.
Janganlah membuang-buang waktu orang lain dengan suatu penyalah-gunaan, karena itu sama artinya Anda merampas waktu kerja yang menjadi nafas sumber nafkah mereka dan keluarganya. Pepatah memberi nasehat yang sangat relevan untuk apa yang telah kita bahas sejauh ini : Yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang. Setiap warga negara berhak untuk bebas dari gangguan, termasuk bebas dari gugatan absurd.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.