Pengorbanan Diri Tidaklah Berkonotasi Positif

ARTIKEL HUKUM
Pengorbanan diri yang “sehat”, tidaklah berbentuk meng-khianati ataupun menyakiti diri kita sendiri. Mungkin kita bermaksud baik ketika hendak mengorbankan diri ataupun mengorbankan kepentingan pribadi kita, demi orang lain, entah mengatas-namakan demi kepentingan orang tua kita, saudara kita, teman kita, atau rekan-rekan kita.
Apapun motifnya, tulus hendak menolong, atau sekadar demi gengsi, atau berpikir itu suatu hal yang “keren” yang dapat dikenang oleh sejarah, atau untuk berbangga diri dan berpamer diri, pengorbanan diri jarang yang benar-benar dapat disebut sebagai langkah yang cerdas—bahkan sebaliknya, cenderung dapat disebut sebagai kekonyolan seorang umat manusia. Mari kita buktikan bersama.
Didesak oleh berbagai kisah-kisah perihal anak yang harus berbakti kepada orang tuanya, mungkin sebagai anak kita terdorong dan merasa didesak untuk bertanggung-jawab dengan menjadi anak yang berbakti—dengan ancaman disebut anak tidak berbakti jika sebaliknya (padahal, sebagaimana kita ketahui bersama, kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia ini).
Namun setelah membaca apa yang akan penulis urai secara lugas dan utuh apa-adanya, kemungkinan besar pendirian Anda mungkin akan berubah secara drastis ataupun perlahan, dan akan mulai untuk lebih menghargai diri dan mengakui eksistensi diri kita sendiri. Bila Anda adalah termasuk kalangan pembaca yang orthodoks dalam hal teori dogmatis perihal etika dan moralitas, maka ada baiknya bacaan ini tidak Anda teruskan—karena penulis akan “mendobrak” teori usang demikian. Mungkin Anda akan takut berakhir sebagai seorang pemberontak, atau bahkan disebut egois dan “durhaka”. Namun, yang perlu kita pahami bersama, semua itu adalah hak setiap umat manusia untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Berbagai pengisahan mengenai kewajiban seorang anak untuk berbakti, seringkali diwarnai motif “agenda tersembunyi” kalangan orangtua yang demikian terampil memanfaatkan kisah-kisah perihal kewajiban seorang anak demikian, yaitu dilandasi niat batin untuk hendak mengeksploitasi hidup dan kehidupan serta masa muda ataupun masa depan anak-anak mereka sendiri, baik dengan terus-menerus menyinggung bagaimana sukarnya melahirkan dan membesarkan kita “si anak nakal” yang tentunya untuk memanem “pamrih” dari anak-anak mereka. Diakui ataupun tidak diakui, kerap kali orangtua kita adalah orang-orang yang tergolong sangat egois, bahkan terhadap anak mereka sendiri.
Bila Anda berpikir bahwa orangtua Anda tidak akan berbohong terhadap anak mereka sendiri, maka ada baiknya Anda berpikir ulang perihal asumsi Anda demikian. Senyatanya tidak ada yang lebih banyak berbohong kepada kita, selain orang tua kita sendiri. Kita tidaklah hidup di dunia dongeng dimana semuanya serba ideal. Selamat datang di dunia yang nyata, realita yang jauh dari kata “ideal”. Bila memang idealisme dapat ditemukan dalam lingkup rumah keluarga, maka tidak akan ada kasus-kasus seperti pemerkosaan terhadap anak kandung sendiri, penganiayaan oleh orangtua, bahkan hingga human traffiking yang dijual oleh orangtuanya sendiri.
Orangtua kita telah melewati dan menikmati masa muda, masa remaja, dan masa dewasa mereka sendiri, tidak sepatutnya mereka menyandera masa muda dan masa dewasa seorang anak demi kepentingan pribadi orangtua. Seorang anak pun dapat menjadi tua dan memiliki masalah serta impian hidupnya sendiri, bukan hanya orangtua yang dapat menjadi tua. Orangtua yang baik membukakan pintu kebahagiaan bagi anak-anak mereka, bukan sebaliknya, merenggut masa muda dan kebahagiaan hidup mereka.
Selama ini pula kita dibombardir kisah-kisah mengenai kutukan bagi seorang anak yang tidak berbakti. Namun, fakta empirik dari kacamata ilmu sosiologi, justru memperlihatkan sebaliknya: lebih banyak orangtua yang bersikap tidak patut dan tidak adil terhadap anak-anak mereka sendiri, bahkan hanya mewariskan berbagai trauma yang traumatik yang akan dibawa sepanjang hidup si anak. Adakah kisah serupa yang memberi pemberitaan seimbang dan berimbang, bahwa orang tua juga dapat “durhaka” ketika membuat hidup anak-anak mereka penuh penderitaan?
Secara cukup kontras, dalam khasanah ilmu psikologi, yang kerap menjadi “korban” perilaku orangtua, ialah anak-anak mereka sendiri. Contoh sederhananya, ialah “broken home”, tidak boleh kita asumsikan bahwa mereka dapat tumbuh secara normal tanpa terjadi kerusakan mental laten akibat keadaan lingkungan rumah-tangga tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Kehidupan ini, bahkan dari sudut pandang ilmu genetik, manusia tidaklah deterministik didasari oleh genom yang menyusun kode genetik masing-masing pribadi, unsur eksternal seperti faktor lingkungan sosial juga memainkan perannya, dimulai dari perilaku orang tua, lingkungan pergaulan, serta lingkungan sosial lainnya.
Dalam Buddhisme, yang disebut sebagai perbuatan baik, artinya ialah tidak menyakiti orang lain, juga tidak menyakiti diri kita sendiri. Maka menjadi keliru, ketika kita mengidentikkan pengorbanan diri sebagai suatu yang mulia, positif, altruistik, atau sesuatu yang suci. Antara “pengorbanan diri” dan “penyia-nyiaan diri”, kadang sukar dibedakan ketika kita belum memiliki definisi yang benar perihal perbuatan baik, namun yang jelas ialah: penyia-nyiaan diri bukanlah sebentuk perbuatan baik.
Albert Einstein pernah menyebutkan, dengan kita telah berhasil mendefinisikan suatu permasalahan, maka separuh tantangan terbesar dari masalah tersebut sejatinya telah berhasil kita atasi. Oleh karenanya, memiliki pemahaman / pemaknaan yang tidak keliru, menjadi faktor krusial yang tidak boleh luput dari perhatian kita. Ketika kita memiliki suatu pendefinisian yang keliru, maka kita pun akan dituntun menuju konotasi dalam perspektif yang juga sama kelirunya.
Pengorbanan diri, barulah mungkin akan menjadi sesuatu hal yang positif, ketika panduan berikut ini terpenuhi, yakni : pengorbanan diri tidak diberikan bagi orang-orang berwatak egois, tidak diberikan bagi orang-orang yang tidak mengenal kata “puas”, tidak diberikan bagi orang-orang yang membalas “air susu dengan air tuba”, tidak diberkan bagi orang-orang yang justru akan memanfaatkan dan mengekspolitasi kebaikan hati kita hingga kita menjelma “kering-kerontang”, tidak diberikan bagi orang-orang yang manipulatif, tidak diberikan bagi orang-orang yang tidak tahu berterima-kasih, dan tidak diberikan bagi orang-orang yang sejatinya jauh lebih kuat dan lebih beruntung atau lebih makmur daripada hidup kita sendiri. Mari kita kupas, satu per satu.
Visi dan misi hidup kita, bukanlah untuk berkorban dan mati secara konyol alias mati “sia-sia”, karena itu artinya tidak bertanggung-jawab terhadap diri kita sendiri. Terkadang, kita perlu bersikap egois (sepanjang tidak merugikan orang lain), ketika memang tiada yang layak untuk mendapat kebaikan hati kita, kecuali kebaikan hati kita bagi diri kita sendiri yang juga perlu mendapat perhatian dan kebaikan hati oleh diri kita sendiri. Jadilah lawyer bagi diri Anda sendiri. Bersikaplah adil terhadap diri kita sendiri, sebelum kita bersikap adil dan baik hati terhadap orang-orang lainnya.
Tidak dapat kita pungkiri, beragamnya corak karakteristik manusia. Terdapat orang-orang yang memiliki dasariah watak bagai “black-hole” si “lubang hitam penghisap”, menghisap dan memakan apapun yang ada didekatnya tanpa kenal puas, bahkan jika perlu mengorbankan hidup orang lain demi kepentingan dan kesenangan dirinya sendiri. Namun ada juga segelintir orang-orang yang memiliki pembawaan yang juga agak menyimpang, yakni suka mengorbankan kepentingan dirinya sendiri—secara teoretik, sikap tendensi semacam yang disebut terakhir tersebut, juga termasuk penyimpangan mental.
Sebelum itu perlu kita pahami, hukum negara memberi kita perlindungan dari orang-orang yang terlampau tampak menjelma layaknya predator yang gemar memangsa hidup orang lain. Namun hukum negara tidak memberi perlindungan bagi orang-orang yang terlampau bodoh untuk mampu menghargai kehidupannya sendiri.
Disebutkan, bahwa bukanlah suatu kebijaksanaan, berkorban untuk seseorang yang tidak mampu menghargai pengorbanan orang lain bagi dirinya, karena itu sama artinya hanya menyakiti diri kita sendiri. Terdapat jenis-jenis orang yang layak untuk ditolong, dan juga terdapat jenis-jenis manusia yang tidak patut untuk ditolong, bahkan tidak boleh ditolong. Untuk itu kita pun perlu pandai dalam “memilih-milih” dalam memberikan kebaikan hati kita. Sadari dan amati betul faktor bibit, bebet, dan bobot mereka sebelum kita berkorban diri, sebelum kita benar-benar “dikorbankan”—bisa berupa berkorban tenaga, berkorban waktu, berkorban secara finansial, dsb.
Pernah suatu ketika, dengan tulus penulis mencoba memberi bantuan hukum kepada seseorang, yang ternyata membalas “air susu dengan air tuba” dengan justru “menusuk dari belakang”. Ketika penulis menyinggung kembali tentang bantuan hukum yang pernah penulis berikan, sekadar untuk “flash back”, inilah respon yang bersangkutan: “Kamu sendiri yang dengan senang hati kasih bantuan.” Tidak ada orang yang dengan senang hati “dibodohi”, kecuali orang yang benar-benar bodoh.
Penulis menyebutnya sebagai, menyalah-gunakan kebaikan hati seseorang. Tipe orang semacam tersebut di atas, jangan pernah diberikan kebaikan hati, sekecil apapun—tipe manusia yang tidak tahu berterima-kasih, sama sekali tidak menghargai pengorbanan yang telah penulis lakukan. Penulis tidak menuntut pamrih, namun ketika yang terjadi kemudian ialah “balas air susu dengan air tuba”, maka itu menjadi pembelajaran bagi kita bersama agar kita harus penuh pamrih ketika hidup di tengah komunitas masyarakat yang tidak memiliki hati nurani.
Penulis juga sempat menjalin kerja sama rekanan profesi ketika merintis usaha bersama dibidang hukum. Alangkah mengejutkan, yang terjadi kemudian ialah praktik “perbudakan” (dalam arti yang sebenarnya) oleh seseorang yang semestinya saling bekerja sama dan berkorban bersama-sama selaku sesama rekan yang setara posisinya dalam membangun usaha bersama, bukan perbudakan satu oleh yang lainnya. Merasa telah dieksploitasi secara tidak berimbang, tanpa adanya prinsip resiprositas bertimbal-balik, demi mencegah kerugian biaya dan waktu yang lebih besar lagi, hubungan tersebut penulis akhiri sesegera mungkin.
Pernah juga terdapat seorang “teman” sesama sarjana hukum yang selama ini menjadi benalu bagi penulis, yang baru akan menghubungi penulis “jika ada maunya” bagai lintah penghisap darah pada inangnya. Ketika penulis menyampaikan suka dan duka menjadi konsultan hukum dimana banyak pihak-pihak yang mencoba “memperkosa” profesi penulis, dirinya menyebutkan bahwa memang begitulah watak karakter “orang Indo”. Namun, unik dan gaibnya, dirinya sendiri selalu menjadi “benalu” yang tanpa malu hanya terus mencoba “menghisap dan menghisap”. Sampai akhirnya penulis sudahi, dan nyatakan bahwa lebih baik tidak memiliki seorang pun sahabat daripada dikelilingi oleh sahabat-sahabat “benalu” yang tidak punya malu.
Pernah juga terdapat kalangan pengacara tidak dikenal yang menghubungi penulis, mengutarakan niatnya untuk berjumpa tatap-muka dengan penulis setelah dirinya menyatakan telah sangat banyak terbantu dan menikmati berbagai publikasi karya tulis penulis dalam website ini. Namun ketika penulis tanyakan apa faedahnya bagi penulis mengorbankan waktu untuk mengikuti kemauan dirinya guna saling berjumpa, dirinya tidak berani menjawab. Sampai pada akhirnya, penulis tanyakan kepada sang pengacara bersangkutan: “Anda itu seorang pengacara, ataukah seorang pengemis yang hanya pandai meminta mengambil dan meminta?” Tidak ada yang lebih bodoh, daripada berkorban waktu hanya demi orang-orang “kanibal” semacam demikian.
Yang paling menyakitkan serta menyedihkan penulis ialah, telah begitu banyak pengorbanan waktu, energi, perhatian, serta biaya penulis kerahkan demi hadirnya website ini. Namun alih-alih berterima-kasih pada penulis, telah ribuan orang secara lancang berani menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis hanya semata untuk “memperkosa” profeni penulis : meminta dilayani namun tidak bersedia membayar kompensasi SEPESER PUN!
Entah mereka selama ini melakukan praktik perbudakan manusia (penjajah), ataukah memang “sudah putus urat malunya”. Orang-orang semacam mereka, bila bermasalah dengan hukum, memang sudah sewajarnya dan sepatunya. Tidak ada yang lebih konyol dikorbankan oleh manusia yang berwatak layaknya binatang tidak punya malu. Tidak bersedia membayar sepeser pun namun menuntut dilayani, apanya lagi yang perlu dinegosiasikan dengan makhluk-makhluk “urat malu putus” semacam itu?
Memiliki aktivitas sosial seperti menjadi sukarelawan dan donatur di tempat ibadah, sah-sah saja dan boleh-boleh saja. Namun, ketika kita berpikir bahwa segala dana dan tenaga kita tidak akan disalah-gunakan oleh pejabat dan oknum-oknum tempat ibadah, asumsi demikian pada gilirannya menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Sikap naif, akan membuat kita menjadi “mangsa empuk”.
Berbuat baik, banyak ragam dan caranya. Ada seribu satu jalan menuju Roma. Jangan paksakan diri pada satu jalan, cari jalan alternatif lainnya. Sejak saat itulah, penulis memilih untuk berbuat sosial dengan berdana bagi penerbit buku-buku agama yang lebih terbukti kredibel ketimbang embel-embel tempat ibadah ataupun embel-embel pejabat tempat ibadah yang mengenakan jubah “suci” yang belum tentu lebih suci daripada kita.
Terdapat juga tipikal orang, yang sebanyak apapun pengorbanan diri sesuai kemampuan terbaik diri kita masing-masing yang dapat kita kerahkan, namun respon yang selalu kita dapatkan ialah: BELUM CUKUP! Sebanyak apapun pengorbanan kita lakukan, selalu yang kita temui responnya ialah “Belum Cukup!” Mendapati orang-orang semacam itu, pada akhirnya penulis buat sikap tegas: “Cukup, saya sudahi sampai di sini saja. Biarlah Anda dan saya berjalan sendiri-sendiri sesuai jalan masing-masing.”
Pernah juga suatu ketika, dilandasi kepercayaan, penulis bersedia menjadi konsultan hukum suatu pihak, berkorban waktu selama 200 jam kerja dengan biaya pribadi, namun ternyata kepercayaan yang penulis berikan telah disalah-gunakan dan benar pada akhirnya penulis “dikorbankan” oleh pihak-pihak yang seakan hidup hanya untuk mengeksploitasi tenaga orang lain alias mencari makan dengan merampok nasi dari piring profesi orang lain.
Berkorbanlah dengan cara yang cerdas, jangan terjebak ataupun tersandera oleh berbagai stigma-stigma yang selama ini didengung-dengungkan di tengah masyarakat kita. Sebagai contoh, terdapat persepsi di tengah masyarakat kita, bahwa seorang anak wajib berbakti terhadap orangtuanya. Namun apakah artinya seorang anak harus dikorbankan bagi kepentingan ego orangtua? Apakah tidak mungkin, orangtua bersikap egositik terhadap anak-anak mereka? Mengapa kita merasa perlu untuk menutup mata, perihal fakta yang penulis sebutkan terakhir tersebut?
Stigma “anak durhaka” hanya menguntungkan bagi kepentingan kalangan berbagai orangtua yang dapat memanfaatkan dengan baik, bahkan mengeksplotasi kebaikan hati anaknya sendiri yang hendak untuk menunjukkan sikap baktinya. Bedakan antara “mengorbankan diri” dan “dikorbankan”, keduanya sangatlah bertolak-belakang dan kontras perbedaannya sekalipun kerapkali kalangan orangtua tidak akan bersikap jujur mengakui adanya “penumbalan” anak demikian.
Seorang anak, bukanlah seorang “budak” yang tersandera. Orangtua yang memposisikan anak mereka sebagai layaknya seorang “budak”, tidak layak disebut sebagai seorang orantua. Bahkan, seorang pembantu rumah tangga pun masih berhak untuk diberikan gaji / upah, seorang anak yang dapat didudukkan sebagai “babu” yang harus dipaksa juga membiayai gaya hidup mewah orangtuanya. Ambil tanggung-jawab atas hidup kita sendiri, berkorbanlah secara cerdas tanpa sampai masuk terlampau jauh ke ranah “dikorbankan”.
Kita perlu mengingat hal berikut ini baik-baik, sekalipun kita memiliki dana untuk didanakan di saku kantung kita, namun kita harus bersikap sangat selektif dan pemilih dalam menjatuhkan pilihan kepada siapa kita akan jadikan sebagai “ladang menanam jasa baik”. Perhatikan betul kualitas manusia yang hendak kita berikan bantuan dana / donasi. Menyumbang bagi manusia berwatak penuh cela dan tercela, sama artinya Anda hanya membuang uang Anda ke dalam tong sampah yang kotor, sama sekali tidak membawa faedah demi kebaikan bagi siapapun.
Termasuk juga kalangan pengemis di jalan-jalan yang bahkan pernah dikabarkan terdapat seorang pengemis di Bogor yang memiliki rumah mewah, dua istri, dan memiliki usaha angkutan umum, bahkan pulang pergi ke tempat mengemis dengan mengenakan mobil mewah. Selektiflah dalam mengulurkan tangan, agar kita betul-betul dapat menghargai jirih-payah kita saat mengumpulkan dan mencari nafkah serta penghasilan yang dikumpulkan seperak demi seperak secara susah-payah.
Yang terakhir, namun bukan yang paling akhir, hanya berkorban bagi mereka yang lebih lemah dan lebih kurang beruntung daripada kita. Sering kita jumpai sandiwara di televisi, bahwa seorang serdadu bersedia mati dengan sang raja—bahkan digambarkan menawarkan dirinya untuk itu. Bagi penulis secara pribadi, tidak ada orang yang lebih konyol daripada mengorbankan diri sendiri demi orang yang notabene jauh lebih beruntung dan lebih kuat daripada diri kita sendiri.
Orang-orang dengan kecenderungan “bodoh” demikian memang sudah selayaknya sekadar menjadi “figuran” dalam hidup dan “panggung kehidupan” yang keras ini—tanpa harus berkorban nyawa pun, kita mungkin akan telah dimakan dan dimangsa hidup-hidup oleh sesama manusia sebangsa dan se-Tanah Air. Demikianlah kita patut melakukan refleksi sikap kita terhadap diri kita sendiri.
Sebagai penutup, sekadar candaan ringan, cobalah perhatikan baik-baik, tidak ada tokoh utama pada sandiwara mana pun, yang terlampau bodoh mengorbankan diri sendiri—karena jika memang demikian, maka si tokoh utama sudah habis riwayatnya bahkan di episode pertama tanpa harus menunggu adegan berikutnya. Tamat secara prematur, demikian kita dapat menyebutnya.
Tidak ada tokoh besar yang demikian tidak egoistik, sementara mereka menjadi penguasa dan termasyur duduk di kursi kekuasaan yang empuk dan menjadi selebritis, sementara para serdadu mereka mati di medan tempur tanpa pernah sempat dicatat nama mereka dalam buku sejarah. Jika ada pengusung suatu penguasa yang rela mati demi sang calon penguasa, seperti yang terjadi baru-baru ini saat ulasan ini disusun, maka mereka memang sudah selayaknya punah dari muka Bumi ini, bukankah demikian?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.