Menjadi Warga Negara yang Otentik dan Original, Sebuah Keniscayaan

ARTIKEL HUKUM
Tidak ada yang lebih membosankan daripada kisah dalam film drama berisi puluhan bahkan ratusan episode berkepanjangan, namun dari sejak awal episode hingga akhir episode, secara berlarut-larut tokoh jahat alias tokoh antagonisnya selalu muncul dan seakan “kebal hukum”, membuat penonton menjadi jemu dan “geregetan”—membuat kita tergoda untuk langsung menyudahi tayangan semacam itu dengan semudah menekan tombol “OFF” pada layar televisi. Akan tetapi, bukanlah itu yang hendak penulis bahas dalam bahasan ini.
Sewaktu masih duduk di Taman Kanak-Kanak, tentunya kita pernah diperdengarkan dongeng mengenai seorang bocah yang sering membuat geger masyarakat desanya, dengan berteriak-teriak “ada seekor macan” yang datang ke desa mereka. Setelah warga dengan panik berbondong-bondong berdatangan, ternyata si bocah hanya bergurau. Warga yang kecewa, hanya dapat menggerutu dan kembali ke ladang atau gubuk mereka masing-masing.
Sekali-dua kali, warga yang dibohongi masih percaya pada teriakan adanya seekor harimau yang menjambangi kampung mereka. Namun ketika kebohongan demikian terjadi untuk kesekian kalinya, lama-kelamaan tidak ada lagi warga yang menaruh kepercayaan pada si bocah. Hingga pada suatu hari, seekor harimau benar-benar tersasar menuju ke kampung mereka. Si bocah menjerit sejadi-jadinya, namun tak ada seorang pun dari kampung mereka yuang menghiraukan. Apa yang terjadi setelah itu, penulis lupa akan kisah selanjutnya, atau mungkin memang tidak ada kisah kelanjutannya dari dongeng klasik tersebut, namun silahkan para pembaca menerka sendiri apa yang kemudian terjadi pada nasib si bocah dan warga kampungnya.
Berikut pengamatan penulis untuk lingkup komunitas tempat tinggal kita sehari-hari, yang mungkin juga fenomena serupa dapat dijumpai sendiri dalam komunitas kediaman para pembaca. Seorang tetangga di seberang kediaman penulis, setiap harinya selalu menjelek-jelekkan sang Ketua Rukun Tetangga di depan umum, dengan suara kencang sehingga terdengar oleh para penghuni pemukiman tersebut. Itu terjadi ketika sang Ketua Rukun Tetangga tidak sedang berada di lokasi.
Namun, ketika sang Ketua Rukun Tetangga mengunjungi tempat tersebut, alangkah berubah 180 derajat perilaku sang tetangga, menjelma penuh hormat dan kehangatan lengkap dengan kata-kata manis dari bibir sang tetangga yang biasanya selalu menghina dan menjelek-jelekkan sang Ketua Rukun Tetangga di “balik punggung”-nya (bagai ular berkepala dua).
Bagi penulis secara pribadi, yang paling bodoh ialah sang Ketua Rukun Tetangga yang selalu termakan oleh “nina-bobo” kata-kata manis sang tetangga, bahkan masuk dalam kandang perangkapnya dengan tanpa pertahanan diri apapun. Kita, sebagai manusia dewasa, seyogianya telah belajar untuk bersikap waspada terhadap mereka yang berkata-kata manis di depan wajah kita—karena siapa tahu dibalik itu wajahnya akan berubah menjadi penghujat utama kita.
Sering terjadi, orang-orang yang melukai kita ialah orang-orang terdekat bahkan orang-orang kepercayaan kita sendiri, mulai dari teman karib yang merebut suami / istri, rekan bisnis yang menipu, karyawan yang menjadi “tikus penggerogot”, teman masa kecil yang pada akhirnya berkhianat, seorang ayah yang melakukan perbuatan asusila terhadap putri kandungnya sendiri, dan masih banyak lagi kejahatan yang terjadi dalam lingkup keluarga dan rumah tangga serta bertetangga maupun komunitas sosial dan kerja.
Penulis menyebutnya sebagai, manusia yang tidak “otentik”. Seorang ayah semestinya berperilaku seperti seorang ayah yang mengayomi dan melindungi, bukan justru mencelakai anak dan keluarga sendiri. Seorang guru semestinya memberi teladan yang baik, bukan justru memamerkan kemunafikan. Seorang tokoh agama semestinya mempertontonkan perilaku beradab dan bebas dari perilaku kotor, alih-alih menjadi agen kepalsuan yang tidak mencerminkan watak kesucian.
Mungkin juga pernah kita temukan, seekor nyamuk yang hingga tidak dapat terbang karena tubuhnya saking gemuknya oleh darah manusia yang mengisi kantung perut mereka. Meski telah “menggembung” gemuk demikian, namun ternyata sang nyamuk tidak pernah kenal puas, dan masih saja mencoba menggigit dan menghisap darah pada mangsa mereka, sampai akhirnya mudah bagi kita untuk menepuk sang makhluk “berdenging” menjengkelkan tersebut saking kesalnya. Jika sudah seperti itu, menjadi salah siapa?
Manusia yang otentik artinya manusia yang asli, tidak memakai “kedok” maupun “topeng”, original apa adanya, tanpa polesan, tanpa “tedeng aling-aling”, tanpa “pemanis” buatan. Manusia yang otentik juga bukanlah manusia yang menyerupai patung porselen maupun boneka manekin yang hanya dapat berdiam diri ketika harkat dan martabatnya dilukai atau dilecehkan—namun akan menjunjung tinggi prinsip penghargaan terhadap martabat orang lain maupun harkat dirinya sendiri. Namun, masalahnya, berapa banyak dari kita yang menyukai sesuatu yang otentik? Tidak sedikit diantara kita yang lebih menyukai minuman “palsu” dengan rasa buah artifisial, ketimbang buah yang asli. Lebih jeruk daripada jeruk.
Manusia yang otentik sudah penuh ke-otentikannya, sehingga tidak akan dirinya melakukan hal tercela seperti menipu penuh tipu-daya, tidak pula akan berubah-ubah bagai seekor “bunglon” yang tidak memiliki pendirian maupun jatidiri yang asli, tidak pula berperilaku seperti serigala yang memakan sesamanya, tidak inferior terhadap orang-orang asing berambut pirang dan bermata biru, memiliki sikap “tahu malu”, tidak “bermental pengemis” yang mendadak miskin guna mengambil keuntungan dengan merampok nasi dari piring orang lain yang bisa jadi jauh lebih miskin daripada dirinya, pandai berbicara perhal hak asasi manusia namun dirinya sendiri justru menjadi aktor pelanggar hak asasi manusia, menipu namun tak bersedia untuk tertipu.
Manusia yang otentik adalah manusia yang asli (genuine), bukan seperti manusia-hewan (bertubuh manusia maupun berwatak seperti hewan yang buas dan tidak kenal malu). Buddhisme mengenal tiga tipikal jenis manusia, yakni: manusia-dewa yakni manusia yang menyerupai sesosok dewa, manusia-manusia yakni manusia yang bermartabat serta manusiawi, serta manusia-hewan yakni manusia dengan mental layaknya seekor hewan meski bertubuh manusia normal. Yang disebut terakhir tersebut, menjadi mayoritas dari masyarakat urban yang hedonis dan hipokrit.
Di dekat kediaman penulis, terdapat seorang tukang bangunan yang setiap hari bekerja menerima upah bertukang. Namun, alangkah terkejutnya penulis, di-“siang bolong” dirinya berani mencuri mangga dari pohon di kediaman penulis dengan menggunakan galah dari tengah jalan umum, tanpa takut terlebih malu, meski dirinya dipergoki oleh penulis, namun dirinya tetap berani dan lancang melanjutkan kegiatannya mencuri—tanpa sedikit pun perasaan takut ataupun malu saat dipergoki.
Bagi penulis, mencuri artinya diam-diam dan sembunyi-sembunyi, namun ketika pelakunya terang-benderang di depan umum dan “siang bolong” bahkan juga dipergoki pemilik rumah akan tetapi tetap melakukan perbuatan tercela tersebut, itulah kategori “perampokan”. Dirinya bukan tidak sanggup membeli buah di pasar, namun karena mental “tukang nyuri” yang mungkin memang menjadi karakter asli diri bersangkutan.
Penulis juga pernah mengenal seorang mantan / pensiunan pejabat instansi pemerintah, yang harta kekayaannya terbilang dapat disebut sebagai seorang milioner dengan memiliki koleksi perhiasan emas hingga berkilo-kilo beratnya, berbagai aset properti yang disewakan, hingga tabungan senilai miliaran rupiah. Sekalipun dirinya kaya-raya, namun mental diri yang bersangkutan dalam keseharian sungguh menyerupai seorang pengemis, alias bermental pengemis—yang bagi asumsi penulis adalah karakter bawaan dirinya selama menjabat sebagai pejabat instansi pemerintah yang gemar menengadahkan telapak tangan (meminta uang pelicin dan uang kolusi), sehingga terbawa ketika sudah pensiun sekalipun, bahkan tanpa malu meminta dari orang-orang yang jauh lebih miskin daripada dirinya.
Sungguh orang yang malang, di mata penulis, meski dirinya sudah terbilang sangat uzur dari segi umur. Semakin beranjak tua, ternyata tidak identik dengan semakin matang dan semakin bijaksana. Manusia yang otentik, semakin bijaksana seiring umur yang bertambah dan rambut yang memutih. Penulis bukan menyebutnya sebagai “post power syndrome”, tapi “post mengemis syndrome”.
Terdapat juga orang-orang yang serasa tidak “hidup” bila tidak merugikan dan menyakiti orang lain. Manusia-manusia berwatak manipulatif dan eksploitatif, bahkan tega merugikan dan mengeksploitasi orang-orang yang lebih lemah dan lebih tidak beruntung daripada mereka. Sebagai contoh ialah pengusaha penipu bernama Eddy Santoso Tjahja dan Liliana Tjia yang menjadi pemilik PT. Auditsi Utama, perusahaan penipu berkedok rekruitmen tenaga kerja, ternyata tega menguras energi tenaga kerja selama ratusan jam, bahkan dengan biaya pribadi sang pekerja, tanpa dibayar SEPERAK PUN.
Semua semata demi kepentingan pribadi para penipu tersebut yang tidak kenal puas dan tidak kenal malu. Penulis menyebutnya sebagai “sudah putus urat malunya”. Penulis pernah menjadi konsultan hukum lepas PT. Auditsi Utama yang dikelola oleh Eddy Santoso Tjahja dan Liliana Tjia, namun alangkah terkejutnya penulis, 200 jam kerja riset regulasi, tidak dibayar SEPERAK PUN, alias tertipu dan penyalah-gunaan kepercayaan yang telah penulis berikan. Untuk itulah penulis berani membuat pernyataan bahwa Eddy Santoso Tjahja dan Liliana Tjia adalah para penipu—alias tidak otentik sebagaimana wajah mereka ketika pertama kali hendak bekerja-sama. Musang berbulu domba, adalah salah satu kriteria anti-otentik.
Mereka yang miskin, harus mau mengakui keadaan atau “kemiskinan” mereka. Bukanlah kemiskinan yang harus dipermalukan, namun “mental miskin” yang semestinya digolongkan sebagai penyakit sosial. Kemiskinan bukanlah alasan untuk melakukan suatu tindak kejahatan seperti penipuan, pencurian, ataupun perampokan, terlebih aksi korupsi yang sejatinya merampok hak dari warga negara lainnya. Sebaliknya, mereka yang berpunya alias kaya secara materi, janganlah bermental “pengemis”, yang justru berperilaku hina dengan merampok nasi dari piring orang-orang yang lebih kurang beruntung daripada diri mereka.
Seseorang yang otentik, artinya memiliki watak yang berkarakter. Tidak menyerupai para pejabat politik kita, yang menyebut demi kepentingan rakyat, membela kepentingan rakyat, bekerja bagi rakyat, mementingkan nasib rakyat, memikirkan kesejahteraan rakyat, mengusung aspirasi rakyat, tapi semua itu hanya jargon yang dipakai justru untuk mengeksploitasi dan mengelabui rakyat konstituennya. Ketika pada gilirannya menjabat, yang ditampilkan justru berbeda dari wajah semula. Pasang-copot wajah, itulah yang disebut tidak otentik.
Mengetahui bahwa bahwa menipu akan dipidana, namun masih juga banyak terdapat orang-orang yang “melek” hukum tetap melakukan kejahatan seperti menipu dan korupsi. Mereka yang “menggali lubang kubur” mereka sendiri, bukanlah manusia yang otentik, karena manusia yang otentik tidak menghianati orang lain, juga tidak menjadi pengkhianat bagi diri mereka sendiri. Menjadi tidak otentik, kita pada gilirannya terjerat oleh hukum, maka dapat dikatakan bahwa diri mereka sendiri yang telah menjermuskan dan menjebloskan diri mereka ke dalam sel jeruji penjara yang kita namakan “hotel prodeo”.
Hukum hanya melindungi mereka yang menjadi warga negara “otentik”. Hukum yang otentik memiliki kewajiban untuk melindungi warga negara “otentik” dari mereka yang ingin merusak ke-otentikan dari jati diri bangsa dan negara. Menjadi otentik adalah suatu keniscayaan, selama kita tidak menjadi aktor pengkhianat negara maupun jati diri kita sendiri. Menjadi otentik adalah suatu keutamaan, bukan suatu asesoris belaka. Mereka yang “otentik”, tidak membutuhkan polesan kosmetik ataupun “gincu” tebal apapun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.