Memasuki Alam Pikir seorang Hakim di Indonesia yang Tergiur untuk Korup, Menyalahgunakan Kewenangan Jabatan dalam Memutus Perkara di Pengadilan

ARTIKEL HUKUM
Tertangkapnya kalangan hakim dalam operasi tangkap-tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukanlah isu baru, namun berita basi yang sayangnya terus terulang bagai “lagu lama” yang terus saja dinyanyikan bagai “kaset rusak”. Terlampau jamaknya kalangan profesi hakim maupun panitera pengadilan yang tersandung perkara kolusi bersama-sama kalangan pengacara yang “katanya” officium nobile (profesi terhormat), menjadikan berita demikian tidak lagi sensasional mengejutkan, namun suatu aib yang harus kita akui meski cenderung memuakkan, oleh sebab kalangan jabatan hakim dan aparatur peradilan yang masih belum tertangkap, diyakini masih lebih masif melampaui apa yang kita perkirakan.
Setiap kali anggota hakim tertangkap-tangan melakukan kolusi, pihak otoritas dari Mahkamah Agung RI selalu bersikap reaktif dan bersikap selayaknya “kebakaran jenggot”, lalu sesumbar menyatakan bahwa Mahkamah Agung RI “serius” dalam menegakkan integritas dan Kode Etik Jabatan Profesi Hakim.
Jika memang serius dan berkomitmen menegakkan Etik Jabatan Hakim, mengapa kasus tertangkapnya kalangan hakim karena melakukan kolusi, terus saja terjadi dalam selang waktu yang saling berdekatan antara tertangkapnya hakim satu dengan hakim yang lainnya, seolah tiada efek jera ataupun pembelajaran dan penegakan etik yang benar-benar serius oleh pihak Mahkamah Agung RI selaku kepala lembaga kehakiman?
Tidak terkecuali Komisi Yudisial, yang seyogianya dibentuk dengan semangat untuk mengawasi etik kalangan jabatan kehakiman, justru hanya sekadar menjadi “pajangan” yang menyerupai “macan ompong” yang “impoten”, lebih sibuk membela wajah lembaganya sendiri bagai malaikat bersih yang dibutuhkan masyarakat, namun sedakar berkoar-koar bahwa integritas kalangan hakim harus dibenahi, dan terus saja mengutarakan pernyataan yang sama tanpa makna setiap kali terjaring “razia” kalangan hakim nakal. Menurut hemat penulis, sudah saatnya Komisi Yudisial RI dibubarkan, karena memang tiada faedahnya selain hanya memboroskan anggaran APBN yang bersumber dari pajak yang dibayar oleh warga masyarakat. Tiada signifikansi apapun peran dan fungsi lembaga satu itu.
Tidak bosan-bosannya penulis menguraikan, faktor kebebasan hakim saat memutus yang diberikan “blangko kosong” dalam menuangkan isi putusan, alias kebebasan yang sebesar-besarnya, merupakan faktor pencetus “godaan” bagi kalangan hakim untuk menyalah-gunakan kewenangan jabatannya sebagai hakim pemutus suatu perkara.
Saat ulasan ini penulis susun, kembali terjaring anggota hakim yang kali ini justru melakukan kolusi secara aktif—dimana disinyalir keberanian untuk berkolusi secara aktif meminta suap demikian adalah cerminan kebiasaan hakim yang bersangkutan “bermain mata” dengan para pihak yang bertikai di lembaga peradilan.
Pada mulanya, saat masih memulai karir sebagai hakim, sang hakim sekadar mencoba-coba menerima suap yang ditawarkan oleh salah satu pihak yang berperkara di pengadilan, kemudian menjadi terbiasa, sampai akhirnya menjadi karakter dari sang hakim itu sendiri, yang pada gilirannya mendorong hakim bersangukan untuk berani meminta suap dengan suatu iming-iming amar putusan yang “disponsori” sesuai kesepakatan dengan pihak “sponsor”. Sama halnya seperti seorang pendusta, pastilah dipastikan juga dirinya telah terbiasa dengan rangkaian kata-kata bohong alias berbohong.
Biasanya hakim korup yang melakukan kolusi, dalam perkara pidana, akan bermain dalam ranah besar dan ringannya (disparitas vonis antar putusan) amar putusan penjara bagi terdakwa yang “bermain mata” dengan sang hakim, lewat perantara pengacara terdakwa yang menjelma “calo” alias “makelar kasus”. Namun kali ini terjadi kolusi yang lebih ekstrim lagi, yakni memutus bebas terdakwa pemalsuan akta.
Tidak mengikatnya preseden ataupun yurisprudensi putusan-putusan peradilan sebelumnya atas perkara dengan karakter spesifik serupa, menjadi celah pintu masuk “bermainnya” kalangan hakim “nakal” untuk menjadikan perkara pidana maupun perdata sebagai ladang bisnis yang empuk. Cukup semudah berlindung dibalik “tameng” tidak terikatnya hakim dalam memutus atas preseden yang ada sebelumnya, hakim bebas sebebas-bebasnya. Apa juga jadinya, hanya disediakan “pedal akselerasi” tanpa “pedal deselerasi”?
Kurang-lebih seperti berikut inilah konstruksi alam pikir seorang hakim yang terjerumus dalam permainan spekulatif dalam api yang membara. Pepatah menyatakan, berani bermain api, maka harus berani terbakar resikonya. Namun, dalam membuat amar putusan, tiada resiko apapun bagi kalangan profesi hakim. Toh, hakim bebas sebebas-bebasnya dalam memutus tanpa dapat diintervensi sekalipun oleh seorang Ketua Mahkamah Agung RI.
Yang sudah jelas-jelas memalsukan surat adalah tindak pidana yang sudah pasti akan dijatuhi vonis pemidanaan berupa penjara, namun sang hakim peminta dan penerima suap yang terjaring operasi tangkap-tangan KPK, berani untuk membuat amar putusan “melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum”, alias dilepaskan dari tahanan, sebagaimana amar “pesanan” dari terdakwa yang ditawari suap-menyuap dengan sang hakim—dan, tentu saja, sang pengacara terdakwa menjadi makelarnya, yang mungkin juga sudah menjadi makanan sehari-hari diri yang bersangkutan.
Berikut yang menjadi pertanyaan introspeksi dari penulis bagi seluruh warga masyarakat yang awam hukum sekalipun : Bila saja KPK gagal mengendus praktik kolusif sang hakim, maka apakah Mahkamah Agung RI dapat mendeteksi dan menerapkan sanksi hukuman pidana penjara ataupun administratif bagi sang hakim dimaksud?
Saat ini, sistem hukum di Indonesia yang hanya sebatas menganut asas “persuasive binding of precendent”, hakim yang menyimpangi preseden yang telah ada sebelumnya, secara vulgar sekalipun, tidak memiliki resiko atau konsekuensi apapun bagi hakim pemutus yang bersangkutan. Maka dari itu, kaedah hukum bentukan preseden maupun yurisprudensi tidak menjadi tolak-ukur untuk menjadi indikator mutlak apakah sang hakim telah melakukan korupsi / kolusi ataukah tidak.
Sehingga, di negeri ini, untuk menyatakan seorang hakim telah melakukan kolusif ialah semata-mata bertopang atau mengandalkan dengan telah ditangkapnya sang hakim oleh KPK. Bila seorang hakim yang hingga sampai dirinya pensiun tidak pernah terjerat oleh KPK, maka sekalipun dirinya semasa menjabat sebagai hakim telah banyak membuat amar putusan yang secara terang-benderang menyimpangi preseden, baik karena faktor kolusi ataupun karena jiwa pemberontak hakim bersangkutan, maka sang hakim tidak akan dapat dinyatakan sebagai hakim yang kolutif. Hakim bebas saat memutus dan bebas dalam membuat amar putusan. Sepanjang tidak pernah terjaring oleh KPK, artinya sang hakim adalah “bersih” tanpa noda cacat apapun dalam profesinya sebagai hakim.
Dengan demikian, tanpa ada bukti rekaman pembicaraan maupun barang bukti uang suap, sukar untuk menyatakan bahwa sang hakim telah melakukan kolusi, sekalipun jelas-jelas amar putusannya melanggar kaedah hukum bentukan preseden—jika perlu diputus secara bertolak-belakang dari preseden yang telah ada. Sekali lagi, tanpa pernah dijeratnya hakim bersangkutan oleh KPK, maka sama artinya sang hakim tidak pernah kolusi.
Sekadar untuk kita bayangkan bersama, seandainya sang hakim maupun hakim-hakim seperti Akil Mochtar tidak pernah tertangkap oleh KPK, mungkin sampai kini para hakim tersebut akan dikenang jasa-jasanya sebagai hakim yang berprestasi, tanpa noda cacat apapun, akan pensiun dengan berbagai medali kehormatan, bahkan bila perlu diberi gelar “Doktor Honoris Causa” dari berbagai perguruan tinggi.
Hal tersebut dapat terjadi, karena preseden tidak dikukuhkan sebagai barometer untuk mengindikasikan apakah sang hakim telah melakukan tindak pidana kolusi atau tidak. Sepanjang tiada alat bukti rekaman pembicaraan hasil sadapan KPK maupun barang bukti berupa uang suap, hampir bisa dikatakan mustahil untuk menjerat sang hakim nakal yang mempermainkan amar putusan demi kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, sepanjang sang hakim berkolusi dengan menutup rapat-rapat jejak perilaku kolutifnya, dengan membuat pembicaraan serahasia mungkin bebas dari sadapan, pemberian suap secara uang tunai secara terselubung, maka sang hakim akan bebas sebebas-bebasnya membuat amar putusan yang korup, tanpa resiko hukum apapun.
Janganlah kita berasumsi bahwa hanya oknum hakim-hakim itu saja yang telah melakukan tindak pidana kolusi, semata karena sedang “sial” atau “apes” tertangkap oleh KPK. Seperti yang telah penulis sampaikan di muka, sekalipun membuat amar putusan yang korup sekalipun, yang jelas-jelas melanggar kaedah hukum bentukan preseden, sepanjang tidak ditemukan rekaman suara sadapan yang berisi pembicaraan modus yang berlangsung, ataupun tiada ditemukan barang bukti berupa uang suap, maka sang hakim akan selamat sehat sentosa dan pensiun dengan gelar jabatan penuh kehormatan, atau bila perlu menjadi dosen pasca pensiun dan berbicara omong-kosong perihal idealisme di depan mahasiswa.
Nampak kontras ketika kita bandingkan dengan sistem hukum Common Law negara-negara yang tergabung dalam sistem keluarga hukum Anglo Saxon, dimana kalangan hakim di negara-negara tersebut tidak akan pernah berani bermain api ataupun sekadar mencoba-coba menyimpangi preseden, karena hakim terikat oleh blangko bernama preseden saat memutus suatu perkara yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diputus.
Kini, menyadari kelemahan fatal sistem hukum seperti yang dianut Indonesia, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) telah secara resmi menyatakan berpinadh kiblat kepada sistem hukum Common Law yang mengakui daya ikat preseden terhadap profesi hakim di Belanda. Indonesia yang berkiblat pada sistem hukum yang diadaptasi dari sistem hukum Belanda, berdasarkan asas konkordansi peralihan pemerintahan kolonial-Belanda ke pemerintah Republik Indonesia, justru masih menerapkan kebijakan orthodoks meski Hoge Raad telah resmi berpindah haluan.
Berhubung indikator korup atau tidaknya hakim di negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Inggris, bukan ditentukan dari ditangkap atau tidaknya sang hakim oleh lembaga semacam KPK, maka ditemukannya bukti berupa putusan hakim bersangkutan yang menyimpangi preseden, sudah merupakan bukti yang cukup untuk menjatuhkan vonis bagi hakim yang bersangkutan sebagai telah melakukan pelanggaran etik sekaligus menjadi bukti permulaan yang cukup mengusut sang hakim secara lebih lanjut ke ranah hukum seperti pidana untuk menemukan motif atau maksud dibalik aksi sang hakim yang berani menerobos sifat mengikatnya preseden yang bersifat “the binding force”.
Pertanyaan filosofis berikutnya, mengapa juga warga negara di Indonesia sampai berani untuk mendekati bahkan untuk menyuap seorang hakim agar membuat amar putusan yang menyimpang dari preseden, atau bahkan bertolak-belakang dari preseden jika perlu? Jawabannya ialah semudah petunjuk yang diselipkan dalam pertanyaan di atas itu sendiri, karena di Indonesia sebuah preseden dapat serta “boleh” disimpangi dengan “bebas”, bahkan jika perlu dilecehkan dan “diinjak-injak” tanpa resiko hukum apapun.
Hakim pun, pada gilirannya akan tergoda untuk “bermain” dan menyalah-gunakan kewenangan yang melekat dalam jabatannya selaku hakim. Simbiosis-mutualisme antara makelar kasus (yang sering kali berkedok kantor pengacara) bersama hakim nakal inilah, yang pada gilirannya berujung / bermuara pada “penistaan” demi “penistaan” terhadap preseden.
Samuderanya, tidak lain ialah tiadanya tercipta sebentuk kepastian hukum apapun untuk ditawarkan kepada rakyat di Indonesia selaku subjek hukum sekaligus pengemban hukum. Ketika tiada apapun dari hukum yang dapat dipegang erat oleh warga negara sebagai hukum yang bersifat melindungi sebagai jaminan keamanan pribadi setiap warga negara oleh negara, maka tiada lagi fungsi perlindungan dari hukum daripada sekadar jargon belaka. Pada gilirannya, makelar yang akan menunggangi hukum, dan pengaruh uang yang akan menjadi panglimanya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.