Hukum yang Baik Mengakomodasi Falsafah Hidup, Bukan Memungkiri Tujuan Pembentukan Hukum itu Sendiri

ARTIKEL HUKUM
HUKUM NEGARA TIDAK AKAN PERNAH EKSIS DI TENGAH KEHIDUPAN ANTAR WARGA NEGARA YANG BAIK, KARENA MEMANG TIDAK DIBUTUHKAN
Baru-baru ini ketika penulis sedang melakukan bersih-bersih pada halaman kebun kediaman penulis, terdapat sebuah pembelajaran yang dapat penulis petik untuk kemudian penulis kisahkan dalam kesempatan ini karena mengandung falsafah hidup yang sangat penting untuk kita dalam menjalani hidup bersosial. Banyak pembelajaran yang dapat kita jadikan pelajaran berharga, dari hal-hal sederhana di seputar keseharian kita—sepanjang kita mau membuat diri kita lebih peka dan penuh perhatian.
Terdapat tumbuhan gulma yang sebelum ini hanya penulis pangkas pada bagian pucuk dan batang kayunya, tanpa mencabut hingga ke akar-akarnya. Dari tampak di permukaan, sepertinya ini sudah cukup untuk mengatasi masalah, setidaknya pada saat itu. Seiring berjalannya waktu, tumbuhan yang masih bercokol karena akarnya masih mencengkeram erat tanah tempatnya berpijak, kembali tumbuh, dan seperti menjelma ritual rutin, setiap bulannya penulis harus kembali memangkas pucuk dan pangkal batangnya.
Merasa letih, dibebani oleh ritual yang hanya membuang waktu demikian, penulis mengambil keputusan untuk mencabut tumbuhan gulma tersebut hingga ke akar-akarnya. Apa yang terjadi kemudian, sungguh mengejutkan penulis. Gulma yang biasanya mudah dicabut, kini amat sangat sukar dicabut, oleh sebab akarnya telah tumbuh mengakar dengan tertanam melebar dan menguat jauh ke dalam tanah, sehingga cengkeraman akar-akarnya yang telah mantap tersebut mempersukar upaya penulis untuk mencabut pohon tersebut hingga ke akar-akarnya.
Tidak terbayangkan betapa merepotkannya bila tanaman gulma tersebut bertahun-tahun kemudian tumbuh menjadi pohon yang besar, maka dapat dipastikan akarnya jauh lebih kuar daripada tenaga dua orang manusia dewasa. Tebang pada saat ia masih kecambah. Kita harus senantiasa waspada dan siaga, agar mampu mendeteksi manakah benih-benih benalu dan mana yang merupakan benih-benih yang layak untuk dirawat. Bahkan untuk seukuran rumput liar sekalipun, ketika ia telah tumbuh cukup lama, sangat sukar untuk tangan kita mampu mencabut akarnya dengan mudah.
Ternyata sama seperti itu jugalah watak seorang manusia, tidak jauh berbeda dengan analogi tumbuhan gulma dengan akarnya yang menakutkan. Atau seperti membangun sebuah gedung, dari berbahan dasar semen, pasir, dan air yang fleksibel untuk dibentuk dan disusun, namun ketika telah terbentuk dan mengeras, gedung tersebut menjadi demikian rigid tanpa lagi dapat dibengkokkan ataupun ditekuk. Mental seorang manusia, ternyata sangat menyerupai konstruksi sebuah bangunan.
Ketika masih balita dan usia anak Sekolah Dasar hingga memasuki usia anak kuliahan, membentuk dan memperbaiki watak anak-anak serta remaja tidaklah semustahil memperbaiki dan membentuk watak orang-orang dewasa. Memahami akan fakta ini, maka menjadi patut bila kita mulai pertanyakan falsafah dibalik stelsel hukum pemidanaan yang selama ini menghiasi praktik di ruang peradilan, seolah sanksi pidana hukuman penjara ialah semata-mata untuk memperbaiki perilaku pelanggar hukum, sebagai sarana edukasi bagi terpidana yang bersangkutan untuk memperbaiki diri.
Sayangnya, dan sekaligus sebagai kabar buruknya, itu adalah hal yang mustahil. Terpidana yang telah mencapai usia dewasa, memiliki karakter dasariah yang sudah tidak mungkin dapat diubah sekalipun dengan pidana perampasan kemerdekaan semacam kurungan maupun penjara.
Satu-satunya alasan paling relevan dan paling rasional untuk menjebloskan mereka dalam tahanan, ialah agar mereka tidak lagi membuat ulah atau bahkan menjatuhkan korban-korban baru. Semata itu saja, tidak perlu lagi Majelis Hakim perkara pidana membuat pertimbangan yang meringankan hukuman seolah vonis hukuman ialah guna si terpidana dapat memperbaiki perilaku dan siap kembali diterjunkan ke tengah masyarakat.
Janganlah kita katakan bahwa memenjara pelaku kejahatan hanya membebani anggaran negara yang membiayai mereka makan dan tempat tinggal. Warga negara perlu dilindungi dari para penjahat dewasa yang sudah tidak mungkin lagi “memperbaiki diri”. Terlagi pula, vonis dari luar diri si terpidana hanyalah upaya “diperbaiki” secara paksa, sementara bila tiada motivasi internal diri si terpidana untuk “memperbaiki diri”-nya sendiri, maka tiada hasil positif yang dapat diharapkan. Kebenaran hipotesis ini ternyata juga mendapat afirmasi dari segi ilmu psikologi, tampak dari contoh para per0k0k yang ternyata tetap melanjutkan aktivitas mer0k0k meski dirinya telah divonis dokter sebagai telah mengidap kanker akut.
Jika Anda pikir (asumsikan), orang dewasa masih mengenal kata “jera” dalam kamus hidup mereka, maka Anda perlu meninjau ulang asumsi Anda. Ketika asumsi berbenturan dengan fakta, maka asumsi tersebut wajib digugurkan. Revidivis tidalah merupakan sesuatu yang mengherankan dalam khasanah ilmu psikologi perilaku maupun ilmu kriminologi klasik. Akar yang menjadi sumber perilaku mereka telah tumbuh hingga ke perut Bumi, tidak lagi niscaya untuk dicabut dan dipindahkan.
Alasan peringan hukuman berupa fungsi pemidanaan untuk memperbaiki perilaku pelaku pelanggar, hanya cocok diterapkan dalam konteks pemidanaan terhadap “pelaku anak” yang masih dibawah umur, dimana mereka masih bisa dibentuk dan diperbaiki lewat mekanisme “reward and punishment”.
Hal itulah yang baru dapat benar-benar disebut fungsi preventif dalam stelsel pemidanaan, mencegah terbentuknya warga negara dewasa yang memiliki watak kriminil dikemudian hari. Bila mereka menapak usia dewasa tanpa adanya pembenahan perangai sejak usia dini, maka pemidanaan tidak lagi memiliki peran efektif untuk merubah perilaku dan mental si terpidana.
Penulis anggap wacana di atas telah sangat jelas, tidak lagi perlu diurai lebih lanjut. Kini, mari kita beralih pada pokok pikiran lainnya. bila Anda ingin tahu apakah Anda merupakan warga negara yang baik ataukah tidak, ajukanlah pertanyaan berikut kepada diri Anda sendiri sebagai “permainan” introspektif diri. Hal ini cukup berguna, karena warga negara yang baik tidak butuh banyak aturan hukum negara untuk mengatur perilaku mereka:
1. Apakah ada bedanya, antara bila diri saya ini pernah terlahirkan ke muka Bumi ini, dengan bila diri ini sama sekali tidak pernah terlahirkan?
2. Apakah ada baiknya bagi dunia ini, bila diri saya ini sama sekali tidak pernah eksis di dunia ini?
3. Apakah keberadaan diri saya ini, membawa manfaat demi kebaikan banyak makhluk di dunia ini, ataukah sebaliknya, justru membawa petaka dan bencana bagi banyak orang akibat perbuatan-perbuatan diri saya ini?
4. Apakah yang dapat diri saya bawa setelah kematian dan apakah yang sama sekali tak akan dapat dibawa setelah ajal menjelang?
5. Apakah bila berat-ringannya ditimbang, lebih banyak perbuatan baik ataukah justru perbuatan buruk yang telah diri saya ini perbuat semasa hidup?
6. Apakah keberadaan diri saya ini menjadi berkah bagi semesta, ataukah justru menjadi sumber petaka bagi banyak orang maupun bagi kelestarian alam?
7. Apakah diri saya ini betul-betul berguna hidup demikian panjang lamanya, atau justru hanya sekadar menambah tumpukan sampah, menjadi beban, atau bahkan telah melakukan berbagai perilaku yang melukai hidup dan kehidupan orang lain maupun makhluk hidup lainnya?
8. Apakah dunia ini akan menjadi dunia yang lebih baik bila dari sejak semula diri saya ini tidak pernah ada di dunia ini?
9. Apakah kebaikan yang saya wariskan bagi seluruh generasi penerus bangsa ini, ataukah justru hanya mewariskan berbagai derita dan luka bagi banyak orang lainnya?
10. Apakah lebih banyak orang yang telah diri saya ini tolong, ataukah sebaliknya, lebih banyak orang yang celaka akibat tangan diri saya ini?
11. Apakah umur panjang saya ini justru membawa berbagai kerusakan dan kerugian bagi orang lain, atau justru membawa manfaat bagi banyak orang lain?
13. Apakah diri saya ini betul-betul lebih baik pernah eksis di dunia ini, ataukah sebaliknya, dunia ini akan lebih baik bila diri saya ini sama sekali tidak pernah ada di dunia ini, dimana dunia ini tidak akan merasa kehilangan apapun sekalipun diri saya ini tidak pernah ada.
14. Apakah sepanjang hidup diri saya ini, lebih banyak orang-orang yang mendoakan dan memberi saya doa baik karena membawa anugerah bagi banyak orang lain di luar sana, atau justru sebaliknya, memanen banyak kutukan dan sumpah-serapah orang lain sepanjang hidup saya ini?
Untuk apakah kita ada dan eksis di dunia ini, bila hanya membawa kerugian dan luka bagi orang-orang dan makhluk hidup lainnya? Eksistensi diri kita adalah berhak ataukah beban bagi dunia ini? itulah tepatnya, yang kerap penulis rasakan dan terpikirkan, atas perilaku orang-orang yang mempertahankan hidupnya, namun senantiasa mengisi hari dan memperpanjang umurnya dengan cara-cara yang merugikan dan melukai orang lain, semisal demi kepentingan dirinya sendiri, tetangga dirugikan. Atau seperti hendak memiliki hidup makmur, namun dengan cara mencuri nasi dari piring milik orang lain.
Selalu terpikirkan oleh penulis, alangkah baiknya bila saja mereka tidak pernah eksis di dunia ini. Toh, tiada ada bedanya bila mereka tidak pernah dilahirkan, atau bahkan dunia sama sekali tidak merugi bila mereka tidak pernah ada, dan bahkan juga menjadi berkah bagi semesta bila mereka tidak pernah eksis dari sejak awal. Dunia ini tidak akan meneteskan air mata, sekalipun seandainya mereka tidak pernah ada di muka Bumi ini. Apakah belum cukup banyak, tumpukan sampah yang kita produksi demi kelangsungan hidup diri kita sendiri ini? Bahkan Planet Bumi ini telah menjelma bak tong sampah raksasa.
Bila sekadar untuk hidup, tumbuh besar, menjadi dewasa, menikah, memiliki anak, beranak-pinak, namun semua itu dibangun dengan berbagai penderitaan orang-orang lainnya di sekitar ktia, maka untuk apakah semua itu dibangun dan dipertahankan? Lantas, apa bedanya antara semua perilaku dangkal-rendahan demikian, dengan hidup seekor hewan? Bahkan seekor hewan sekalipun mampu beranak-pinak tanpa harus merugikan makhluk lain.
Sebetulnya apa makna dan tujuan hidup kita, secara sederhana dapat terjawab oleh diri kita sendiri dengan menjawab seluruh panduan pertanyaan diatas yang penulis rancang khusus untuk memudahkan kita menentukan tujuan dan makna hidup kita masing-masing. Mereka yang memilih untuk menjadi manusia “tidak berguna”, akan menjadi manusia “tidak berguna”. Mereka yang memilih untuk menjadi manusia yang berfaedah, akan membawa faedah bagi dirinya sendiri dan bagi banyak orang lainnya.
Seringkali, semata karena faktor “gengsi” yang terlampau memedulikan “apa kata / isi pikiran orang lain”, kita cenderung dengan bodohnya / ceroboh menyakiti dan merugikan diri kita sendiri. Hal itu merupakan hal paling sederhana yang paling dapat kita amati dikeseharian dari perilaku diri kita sendiri, betapa kita dibelenggu oleh “kekotoran dan kebodohan batin”. Jika sudah seperti itu, kita hanya dapat menyesali diri sendiri dan hanya berhak untuk menggugat kecerobohan maupun kebodohan diri kita sendiri.
Mulaikan untuk belajar berdiri diatas pikiran dan kehendak bebas diri kita sendiri secara mandiri dan berdaya. Percaya diri dan berani untuk “berdikari” (berdiri di atas kaki kita sendiri). Caranya, yakni dimulai dengan cara mengambil-alih SELURUH tanggung-jawab atas hidup diri kita sendiri.
Mereka yang layak untuk disebut sebagai “kuat”, bukanlah seseorang yang mampu mengalahkan 10 orang karateka sabuk hitam dalam satu event pertandingan serentak, namun yang mampu untuk menentukan pilihan hidup kita sendiri mulai dari sendi-sendi yang terkecil sekalipun, hingga berupaya untuk tidak menghianati diri kita sendiri, tidak menyakiti diri kita sendiri, dan tidak membiarkan diri didikte oleh komentar ataupun isi pikiran orang lain (yang belum tentu mereka memiliki itikad baik terhadap kebaikan kita). Berdirikari mensyaratkan kita untuk berdaya diatas pikiran kita sendiri. Untuk mampu bertangung-jawab bagi dunia luar, pertama-tama kita harus mampu bertanggung-jawab atas diri kita sendiri.
Mereka yang hidup dan eksis hanya untuk membuat luka dan derita bagi orang lain, sama artinya hidup hanya untuk menabung “karma buruk”, yang akan ia bawa setelah kematian—semata karena kegalalannya memahami prinsip paling mendasar dari tanggung-jawab. Hidup ini bukan sekadar anugerah, tapi ada sebentuk tanggung-jawab yang melekat dibaliknya, yakni kewajiban untuk berbagi “ruang nafas” dan “ruang gerak” bagi orang-orang dan makhluk hidup lainnya, secara tenang dan damai tanpa gangguan maupun “polusi” bentuk-bentuk apapun.
Ada hak, ada kewajiban, seperti yang sudah sering penulis ingatkan dalam berbagai kesempatan sebelumnya. Ada hak untuk hidup dan bernafas menghirup oksigen, maka kita tidak boleh lupa atas apa yang menjadi kewajiban kita, yakni: menghadirkan kontribusi positif bagi kehidupan di muka Bumi ini.
Sehingga, siapa bilang kita tidak memiliki tanggung-jawab terhadap kehidupan di dunia ini setelah sedemikian panjang kita hidup dan merenggut banyak hal dari Bumi ini. Bila mereka hanya menghasilkan tumpukan demi tumpukan sampah baru, maka mereka memang layak dimasukkan ke dalam “tong sampah”. Merendahkan harkat dan martabat diri sendiri, ialah dengan melangsungkan hidup hingga umur yang panjang, dengan cara-cara yang merugikan hidup orang lain.
Siapa kita sekarang ini lengkap dengan segala perilaku semasa hidup diri kita, menentukan ke mana kita akan berakhir. Tidak segala hal ditentukan oleh Hukum Negara, terdapat juga Hukum Alam, Hukum Pikiran, dan Hukum Karma yang bekerja dibalik semua ini. Adalah terlampau sempit, bila kita berpikir bahwa hidup ini hanya melulu berbicara dan diatur oleh Hukum Negara yang seringkali korup dan membawa kekecewaan baru.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.