ARTIKEL HUKUM
Janganlah menuntut terlampau banyak. Seorang hakim memang harus kejam dan “berdarah dingin” terhadap pelaku kejahatan (kriminil) “berdarah dingin”. Seorang algojo selaku eksekutor hukuman mati, juga haruslah seorang yang “berdarah dingin”. Para legislator pembentuk undang-undang lengkap dengan pasal-pasal pemidanaan penjara dan ancaman hukuman mati yang diatur didalamnya, juga merupakan orang-orang “berdarah dingin”. Janganlah menuntut terlampau banyak, itulah saripati dari apa yang akan kita bahas bersama dalam kesempatan kali ini.
Saat ulasan ini disusun oleh penulis, media massa sedang menggaungkan perbincangan kerusuhan yang terjadi di sebuah Lembaga Pemasyakatan (Lapas), akibat seorang narapidana kedapatan menyimpang obat-obatan terlarang oleh petugas Lapas, yang kemudian narapidana bersangkutan diamankan oleh pihak petugas untuk diinterogasi oleh atasannya yang lebih berwenang, namun sesama narapidana kemudian menghendaki agar rekan narapidana tersebut tidak ditindak, dan berakhir ricuh dimana keributan dan aksi anarkhis para penghuni Lapas tidak terhindarkan, sehingga tercipta kekacauan dan kerusakan (chaos), dimana keadaan kacau-balau tersebut dimanfaatkan sebagian besar narapidana untuk melarikan diri.
Penulis menyebutnya sebagai, berita sensasional yang tidak istimewa. Tragedi-tragedi semacam kejadian di atas pada ribuan Lapas yang tersebar di berbagai penjuru kota dan wilayah di Tanah Air, terbilang sangatlah minim dari segi perbandingan jumlah Lapas dan statistik. Kejadian semacam tragedi kerusukan dan konflik sosial hingga konflik komunal di luar Lapas, diyakini lebih banyak lagi dijumpai di tengah-tengah komunitas masyarakat kita sendiri, belum lagi terhitung para pelaku kejahatan yang “kebal hukum” maupun yang “tidak tersentuh” oleh hukum.
Ibarat berita sensasional kecelakaan yang dialami maskapai / pesawat udara komersiel pengangkut penumpang, disiarkan dengan berbagai reduplikasi konten dan pengulangan bahasan bertubi-tubi yang menghiasi mulai dari halaman pertama pada kolom surat kabar, headline berita televisi, hingga kasak-kusuk dalam siaran radio dan diperbincangkan seolah menemukan benda luar angkasa tidak dikenal yang jatuh ke Bumi.
Meski, yang cukup ganjil dari semua ini, sebagaimana kita ketakui bersama, dari segi statistik jumlah kecelakaan yang berhubungan dengan kendaraan bermotor di jalan raya masih jauh lebih tinggi prevalensinya ketimbang kecelakaan yang tersangkut-paut dengan pesawat udara. Seperti yang sempat disinggung oleh seroang tokoh rezim diktatoriat era Perang Dunia, satu kejadian adalah tragedi namun jutaan kematian menjadi sekadar statistik belaka yang kehilangan makna sakralnya.
Entah kekurangan berita atau karena masyarakat kita jenuh dengan berita kecelakaan kendaraan bermotor yang “itu-itu saja”, maka di-gembar-gembor-kanlah berita-berita yang jarang terjadi seperti kejatuhan pesawat terbang komersiel berpenumpang hingga peristiwa-peristiwa seperti kerusuhan di Lapas. Apakah suatu kerusuhan di Lapas, merupakan suatu hal yang aneh? Bagi penulis secara pribadi, Lapas yang hening sunyi tanpa kegaduhan, itu barulah berita besar!
Kita sebenarnya mafhum dan tahu betul, Lapas merupakan “sarang penyamun”, dimana para penjahat berkumpul menjadi satu dan duduk bersama, menjadi pusat “dunia kejahatan” yang paling berbahaya di dunia ini. Penjahat dengan keterampilan jahat dan pikiran jahat apa saja ada di “markas” mereka tersebut.
“Sarang penyamun” yang damai, khusuk, dan khidmat, tidak akan pernah kita temukan di negara pengusung konsep hak asasi manusia manapun, termasuk di Amerika Serikat yang justru memiliki Lapas-Lapas khusus penjahat berat dengan Maximum Security yang benar-benar ketat dan “kejam” terhadap narapidana mereka.
Seperti yang sempat kita singgung sebelumnya, Lapas merupakan “sarang penyamun”, maka pemandangan apakah yang hendak kita harapkan selain konflik antar sesama napi, seteru antara napi dan petugas Lapas, “perang dingin”, hingga “adu jotos” dan kekerasan dan pengrusakan berdarah di dalamnya sebagai “menu” sehari-hari.
Bila Anda hendak hanya melihat pemandangan kehidupan damai, maka janganlah masuk sebagai penghuni Lapas. Seseorang yang mendatangi dan memasuki tempat permainan “spekulasi” seperti kartu remi, papan roullete, dan sebagainya dengan taruhan sejumlah dana, maka orang tersebut sejatinya sejak awal sudah harus siap kehilangan uang miliknya, karena bila seorang pemain “spekulasi” memang bisa mengharap mendapat untung dengan mendatangi tempat semacam itu, maka tempat itu sudah akan lama “gulung tikar”.
Sama seperti ketika seorang kriminil melakukan tindak pidana seperti kejahatan, maka sama artinya diri yang bersangkutanlah yang telah menjebloskan dirinya sendiri ke dalam Lapas. Maka menjadi sama halnya, seorang pengedar obat terlarang, sama artinya dirinya yang meminta kepada otoritas penegak hukum agar dirinya dieksekusi hukuman mati—dengan demikian bukanlah negara sebagai “tokoh jahatnya”, namun si pelaku itu sendiri yang memintanya (“You asks for it!”).
Karena kini kita telah menjadi mafhum sepenuhnya bahwa Lapas bukanlah tempat yang patut kita harapkan untuk menjadi tempat dengan penuh kedamaian dan tertib, maka janganlah menuntut “terlampau banyak” agar petugas Lapas bersikap “humanis” kepada para “berandal” yang menjadi penghuni Lapas. Orang-orang baik dan “malaikat” tidak akan memasuki Lapas, maka menjadi petugas yang “humanis” di dalam Lapas adalah sebuah “kesalahan besar”!
Dari segi ilmu psikologi perilaku, bentuk-bentuk komunikasi, postur perawakan, nada suara, gestur tubuh yang lemah dan lembut, sama artinya mengantarkan diri kita sebagai “kambing lugu” (mangsa empuk) ke dalam pusat “kandang buaya yang ganas dan siap memangsa korban / buruannya”. Tidak akan pernah Anda jumpai seorang pun “malaikat” di Lapas, dan kalaupun pernah ada maka para “malaikat” itu hanya tinggal tulang-belulang atau bulu-bulu sayapnya yang berguguran di tanah—sayapnya telah menjadi “sayap goreng”.
Begitupula pemberitaan seperti Partai Politik (Parpol) satu mendeklarasikan sebagai partai koalisi Parpol lainnya, namun tidak lama kemudian bermanuver tanpa etika apapun menjelma partai oposisi dari partai yang dulu didekati olehnya. Itu bukanlah berita baru, namun berita basi! Tidak ada istilah “etika politik” dalam dunia politik, karena politik itu sendiri dapat dimaknai sebagai “upaya terselubung dalam mencapai tujuan” atau “dengan segela upaya meraih tujuan yang dikemas secara apik dengan menutupi borok”, sebab bila politik diwarnai semangat “kejujuran” dan “keterbukaan”, maka tidak akan pernah negeri kita ini mengenal istilah Partai Politik manapun untuk pernah eksis hingga hari ini.
Kembali para topik utama bahasan kita, di luar Lapas, di tengah-tengah komunitas dan tempat berkegiatan kita sendiri, mulai dari sekolahan, kantor, komunitas tempat berkumpulnya Rukun Warga, hingga ruang peradilan, dapat dengan mudah dijumpai aksi-aksi anarkhis, tawuran, vandalisme, kerusuhan antar superter tim kesebelasan sepak bola, begal, demonstrasi dengan mengancam akan melakukan kekerasan bila tuntutan pendemo tidak dipenuhi, dan aksi-aksi kriminil lainnya secara jamak dan dapat bukan lagi “berita” baru untuk disiarkan ke media sosial (medsos). Adakah seorang diantara kita yang belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, atau bahkan menjadi korban atau mungkin juga sebagai pelaku, aksi-aksi kekerasan dan anarkhis demikian?
Sebuah Lapas memang sudah semestinya menjadi tempat yang “keras”, karena bila tidak, maka masyarakat akan berasumsi bahwa Lapas merupakan tempat yang ideal untuk dapat tempat tinggal dan makan yang bahkan dibiayai oleh negara tanpa harus bersusah-payah bekerja dan mencari nafkah untuk membiayai makan diri sendiri ataupun untuk membiayai sewa kontrakan rumah untuk tempat tinggal dan tidur. Bila Anda hendak memasuki kamar yang nyaman, pergilah ke hotel, bukan dengan menjadi penghuni Lapas. Jangalah menuntut terlampau banyak. Jangan sampai masyarakat berasumsi, melakukan perilaku kriminil akan diganjar kamar senyaman kamar hotel—ini baru tidak mendidik.
Lapas yang kondisinya yang tidak manusiawi, memang sudah sepatutnya demikian—dikondisikan agar masyarakat takut melakukan tindak pidana. Lapas yang penghuninya liar dan tidak tertib, memang sudah sepatutnya demikian, dan janganlah kita merasa heran. Lapas dengan petugasnya yang tegas dan keras “bertangan dan berhati besi”, memang sudah sepatutnya demikian, tanpa dapat kita pungkiri pentingnya bersikap demikian. Bila Anda mengharap petugas “bertangan lembek”, maka jadilah petugas panti sosial.
Perlu juga untuk mulai kita sadari, di luar Lapas sekalipun, seorang polisi dapat menembak mati seorang pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan publik—apakah itu bukan sebentuk perbuatan keras dan penuh ketegasan bahkan dapat disebut sebagai tidak manusiawi karena merampas nyawa seorang manusia? Mengapa kita tidak pernah mengkritik aksi tembak mati penjahat demikian yang mungkin saja terjadi di daerah pemukiman kita tinggal, namun justru mengkritik secara tidak rasional terhadap pengelola Lapas.
Yang patut kita awasi, kawal, dan kritisi, ialah justru sifat LUNAK dan TOLERAN penuh KOMRPOMI dari para aparatur Lapas terhadap para narapidana, mulai dari kolusi mengizinkan para penghuni sel di Lapas untuk memiliki telepon seluler genggam, memiliki dan mengkonsumi obat terlarang, “jalan-jalan keluar sel hingga keluar Lapas”, makan di Restoran Padang, kamar istimewa semewah ruang Gym dan Karaoke, bagi narapidana konglomerat. Hal tersebut melukai perasaan napi miskin yang hanya bisa “gigit jari”—salah satu bentuk ketidak-adilan bagi kalangan napi tidak berpunya.
Yang patut kita awasi, kawal, dan kritisi, ketika aparat penegak hukum pidana yang memonopoli hak / kewenangan untuk menangkap, menahan, menembak dengan senjata api, untuk memidana pelaku kejahatan, justru menelantarkan dan mengabaikan laporan dan aduan korban pelapor, atau bahkan tidak hadir saat dibutuhkan. Sebuah penjara, secara falsafah, sejatinya hanya memindahkan sarang penyamun-sarang penyamun tersebut agar menjadi terpusat dan mudah diawasi serta dikontrol oleh aparatur penegak hukum negara, daripada dibiarkan berkeliaran tanpa pengawasan atau kontrol apapun di tengah-tengah masyarakat.
Itulah yang lebih penting dan urgen sebagai wacana untuk kita bahas dan kaji bersama, daripada menyibukkan diri dan membuang waktu-waktu produktif kita demi polemik-polemik yang hanya sedap untuk di-“goreng” namun tidak sarat makna, karena pemberitaan demikian akan terus berulang tanpa kenal letih—justru kitalah yang sudah mulai sepatutnya untuk letih dengan semua polemik tak berfaedah demikian, kecuali bila Anda memang seorang penikmat “berita basi” seperti liputan kemacetan di suatu ruas jalan yang memang setiap harinya sejak dahulu kala dikenal selalu macet di ruas jalan tersebut, sehingga pemberitaan demikian sama sekali bukan “cerita baru” yang layak untuk diperdengarkan terlebih untuk disinggung-singgung setiap harinya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.