Hendaknya Kita Tidak Menantang Hukum

ARTIKEL HUKUM
Janganlah menantang maut, nanti Anda bisa mati “konyol” atau akan berakhir dengan menyalahgkan diri Anda sendiri bila tetap mencobanya. Sering kita dengar “nasehat” kurang bijak, yang menyebutkan bahwa sekalipun kita mencoba menlompat ke jurang, bila belum saatnya atau belum waktunya kita untuk TAMAT “the end”, maka kita tidak akan mati.
Ya, betul, mungkin saja kita akan selamat, tapi menderita dalam sekarat! Anda pilih yang mana? Anda hanya akan merepotkan dan menjadi beban bagi orang lain, bila Anda selamat namun sekarat atau bahkan lumpuh dan cacat seumur hidup. Cobalah Anda telan obat pembunuh serangga, apakah Anda akan tewas malam ini atau tidak seperti serangga-serangga itu, bila memang Anda sudah tidak sayang lagi dengan nyawa Anda.
Anda tidak perlu khawatir, Anda tidak akan mati bila memang Anda belum ditakdirkan untuk tewas dalam eksperimen pribadi ini. Bila Anda benar-benar yakin dan percaya perihal nasib dan takdir, mengapa Anda tidak berani mencobanya? Itu karena akal sehat Anda yang menghentikan niat “tidak waras” Anda.
Jika memang benar demikian adanya, kita tidak akan tewas bila nasib berkata lain, mengapa tidak ia coba untuk memotong lehernya sendiri dengan sebilah belati, atau menusuk tepat ke arah jantung, untuk membuktikan apakah nasib dirinya memang sedang mujur ataukah tidak. Dapat dipastikan, tidak akan ada baginya untuk “episode berikutnya” ataupun istilah “to be continued”.
Sang produser gigit jari, dan penonton pun akan kecewa. Tidak ada “jagoan” yang mengakhiri hidupnya sendiri secara terlampau dini. Bila si tokoh antagonis “penjahat”-nya saja terus hadir di setiap episode yang berlarut-larut, mengapa si “jagoan” justru ingin mengakhiri hidupnya sendiri? Bagaimana dengan si puteri salju yang dibiarkan terlantar, jika si pangerannya sibuk mengakhiri hidupnya sendiri? Mungkin si penulis skenario kurang kreatif ketika merampungkan naskahnya. Itulah yang tepat terjadi dalam panggung kehidupan ini.
Terdapat sebuah “jingle” iklan obat cacing sewaktu penulis masih kanak-kanak, yang menggambarkan sang ibu memegangi si kecil buah hatinya yang sehat bugar kembali setelah diberikan obat cacing karena mengalami “cacingan’, sambil berkata kepada pemirsa di layar kaca dengan nada keibuan namun penuh ketegasan, “Untuk anak sendiri, kok dicoba-coba?!” Penggambaran demikian sangat tepat sekaligus menohok, membuat pariwara singkat tersebut terus berkesan hingga penulis beranjak dewasa. Untuk anak sendiri, kok dicoba-coba?
Jika memang nasib demikian berjarak dari kita, alias bukan berada di tangan kita sendiri masing-masing, maka cobalah untuk mengelabui diri Anda sendiri dengan berkata sebagai berikut: Biarlah aku duduk-duduk seharian saja setiap harinya di rumah, bila nasib aku memang buruk, maka bekerja dan berkeringat “panas-panas” di bawah terik matahari sekalipun, aku tak akan mendapat sepeser pun uang untuk membeli nasi buat makan keluarga di rumah.
Bila ternyata Anda begitu mujurnya punya harta warisan yang tidak akan habis untuk dihabiskan “tujuh turunan”, bahkan Anda dapat membeli satu gedung restoran untuk memberi Anda makan setiap harinya, tetap saja Anda butuh menyuapkan nasi itu ke mulut Anda dan mengunyahnya untuk diri Anda sendiri—kecuali Anda mau menggaji seorang suster untuk membantu mengunyahkannya bagi Anda. Tidak ada orang yang berumur panjang cukup dengan mendapat asupan nutrisi dari selang infus sepajang hidupnya. Tetap saja seseorang butuh keterlibatan aktif untuk bisa bertahan hidup.
Bila memang seseorang yang dari sejak awal ditakdirkan untuk berumur panjang, maka untuk apakah pemerintah kita membentuk tim SAR (Search and Rescue) atau seperti pasukan Pemadam Kebakaran, ambulan lengkap dengan P3K-nya, Pasukan Anti Teror, kepolisian, ketentaraan, dan pasukan khusus lainnya untuk menyelamatkan seorang warga yang tertimpa bencala alam ataupun bencana sosial?
Bila memang si korban ditakdirkan berumur panjang, tanpa semua pasukan itu pun, atau bahkan ditelantarkan dan diabaikan sekalipun, dirinya tetap akan selamat. Sebaliknya, bila sudah ditakdirkan bahwa si korban akan mati pada usia muda, maka dokter maupun pasukan satu markas sekalipun diterjunkan untuk misi penyelamatan, tidak akan membuahkan hasil. Bila memang kesemua nasehat yang menyerupai “mitos” tersebut benar adanya, mengapa kesemua pasukan tersebut tidak dibubarkan saja dari negeri ini selain hanya berfungsi sebagai “penggembira” carut-marut kehidupan ini?
Janganlah bermain-main, mencoba-coba, terlebih menantang maut, seperti yang telah penulis ulas sejak mula pembahasan kita dalam kesempatan ini. Ketika kita melihat seorang anak di tengah jalan raya, segera selamatkan agar dirinya tidak tertabrak—namun pastikan juga Anda sendiri tidak menjadi korbannya. Jangan pernah katakan bahwa bila memang nasib si anak mujur, maka tiada truk tronton mana pun yang mampu menyentuh tubuh si anak, bulletproof! Atau sebaliknya, bila si anak memang ditakdirkan mati muda, maka merepotkan diri sendiri untuk menolong pun tiada gunanya.
Jangan menantang maut, dan jangan “mengkambing-hitamkan” nasib ataupun takdir. Penulis selalu percaya bahwa nasib ada di tangan kita sendiri masing-masing, bukan di tangan makhluk lain di luar sana. Semisal dua tim basket yang saling bertanding dalam kompetisi bola basket, pelatih tim yang keluar sebagai juara akan menyatakan itu sebagai anugerah dari suatu makhluk adikodrati (seolah bukan karena kerja keras tim anak asuhnya sendiri). Sebaliknya, pemain dari tim lawan akan berkilah, mereka kalah bukan karena tidak layak bermain, namun karena makhluk adikodrati belum mengizinkan mereka untuk menang.
Namun juga apakah betul, si “makhluk adikodrati” sampai harus merepotkan diri menjadi sosok pengatur skor pertandingan? Dimana letak sportifitasnya bila memang demikian? Bukankah segala bentuk intervensi pengaturan skor pertandingan, adalah suatu bentuk tindak pidana seperti skandal kasus pengaturan skor pertandingan sepak bola yang sempat menyeret pejabat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) beberapa waktu lampau?
Apakah memang demikian adanya, ataukah semua itu hanyalah pembenaran diri dan pengelabuan diri belaka? Apapun itu, singkat katanya: janganlah kita mencoba menantang maut. Berani bermain api, harus berani terbakar, itulah pepatah yang lebih bijaksana. Wacana ini, penulis tutup. Kini mari kita beralih pada topik sejenis yang juga memiliki relevansi.
Mungkin mereka yang awam hukum, merasa asing terhadap jargon hukum seperti istilah “asas legalitas” sebagaimana yang disebutkan secara tegas dan eksplisit dalam hukum pidana, begitupula yang berlaku dalam hukum perdata. Segala peraturan yang mengikat publik dan dapat dieksekusi sifatnya, wajib terlebih dahulu dipublikasikan kepada khalayak ramai, publik sebagai subjek hukum pengembannya, agar setiap anggota masyarakat menjadi mafhum, patuh dan tunduk terhadap peraturan peraturan perundang-undangan tersebut.
Asas legalitas demikian merupakan “jaring pengaman” (safety nett) bagi rakyat dari sifat diktatoriat kalangan raja-raja yang seringkali ucapan raja menjadi hukum itu sendiri, sehingga tiba-tiba saja rakyat yang tidak disukai oleh raja, dihukum pancung semata karena si raja tidak merasa perlu terlebih dahulu menetapkan “aturan main” untuk dipublikasikan kepada para rakyatnya untuk diikuti—namun “mulut dan lidah” dari sang raja itu sendirilah hukumnya, sehingga “selera” dan “mood” dari sang raja menjadi demikian sukar diprediksi oleh rakyat. Alhasil, masyarakat menjadi tidak dapat mengetahui secara pasti, manakah yang dilarang, dibolehkan, dan mana yang diperintahkan kepada mereka.
Ketika terdapat seorang anggota masyarakat yang telah diberi tahu suatu aturan yang bersifat melarang, namun juga tetap dilanggar atau bahkan “diterobos” oleh yang bersangkutan, maka sanksi layak diberlakukan secara tegas, yang dalam hukum pidana disebut sebagai penghukuman berupa vonis, atau yang dalam hukum perdata dikenal dengan istilah penghukuman sejumlah “ganti-rugi” sesuai kontrak yang berlaku sebagai “undang-undang” bagi para pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian.
Aturan hukum, menyerupai sebuah “aturan main”, sifatnya wajib diindahkan oleh setiap anggota komunitas warga negara. Ketika suatu anggota masyarakat menjelma menjadi pelanggar, maka adalah wajar dan patut bila otoritas negara menerapkan sanksi bagi warga pelanggar yang tidak, patuh demi melindungi anggota masyarakat lain yang patuh terhadap hukum. Aturan hukum, dalam sudut pandang lainnya, adalah sebentuk “aturan main” tertib sosial dan tertib bernegara. Tidak akan ada pernah permainan basket tanpa terlebih dahulu pernah ada disepakati dan diumumkan aturan-aturan permainan tersebut.
Para pelanggar yang tetap melanggar, adalah wajar dan patut mendekam di penjara. Mereka menyadari dan tahu betul, perbuatan-perbuatan terlarang seperti membunuh, mencuri, merampok, menganiaya, merusak, mengancam dengan senjata tajam, dan berbagai kejahatan lainnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai contoh, memiliki “norma primair” berupa aturan-aturan yang melarang dan mewajibkan, disertai “norma sekundair” berupa sanksi-sanksi yang dapat diterapkan bagi pelanggaran yang terjadi.
Ketika si pelanggar tertangkap dan diadili, kemudian “dijebloskan” ke sel tahanan, maka kita tidak dapat lagi berbicara perihal sikap “manusiawi” terhadap para tahanan tersebut. Mereka tahu belum mereka telah melanggar, sehingga sejatinya mereka sendiri yang telah mencabut hak istimewa untuk diperlakukan secara manusiawi ketika melakukan pelanggaran tersebut. Mereka tidak berhak menuntut terlampau banyak, sebab mereka telah “menantang” hukum.
Hukum bukanlah ajang untuk mencoba-coba, jika tidak tertangkap maka bebas berkeliaran dan menjadi “penyakit sosial”, sementara bila tertangkap maka akan menjerit-jerit perihal hak asasi manusia seolah perilakunya selama ini terhadap para korban mereka bersifat manusiawi dan beradab. Si penjahat tidaklah dapat berdalih di depan persidangan saat dihadapkan kepada jaksa dan hakim, dengan mengatakan bahwa bila saja nasib si korban memang mujur, maka ia tidak akan berhasil ditipu. Sebaliknya, bila si korban berhasil tertipu, maka ia sedang tidak beruntung, alias menjadi kesalahan pihak si korban itu sendiri. Hal demikian adalah pembenaran diri yang tidak pernah dapat ditolerir oleh praktik penegakan hukum di sebuah negara yang mengaku “beradab” ini.
Hendaknya kita tidak mencoba-coba untuk menantang hukum, karena ancaman sanksinya dapat diberlakukan ketika hukum “benar-benar” ditegakkan—terlepas dari fakta empirik sosial-politis, begitu parsialnya praktik penegakan hukum oleh aparat penegak hukum di Tanah Air, terkesan “tebang pilih” yang bukan lagi mitos ataupun “hisapan jempol” belaka. Namun yang hendak penulis kemukakan ialah: Mereka yang berani bermain api, harus siap untuk terbakar.
Fakta empirik yang juga kerap penulis jumpai dengan mata-kepala sendiri setiap harinya saat berprofesi sebagai Konsultan Hukum pengelola website hukum komersiel ini, sekalipun sudah jelas-jelas demikian tegas bahwa penulis berprofesi mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum (konsultasi), serta terdapat ketentuan tarif konsultasi, hingga peringatan tegas bahwa setiap penyalah-guna nomor kontak kerja penulis akan diberikan sanksi, namun tetap saja anggota masyarakat Indonesia berjemaah melakukan pelanggaran demi pelanggaran terhadap aturan main serta peringatan-peringatan tersebut, dengan berani dan lancang menghubungi penulis hanya untuk “memperkosa” profesi penulis (dalam arti yang sesungguhnya)—entah karena mereka sudah tidak waras atau memang “sudah putus urat malunya”.
Mulai dari masalah tanah bernilai miliaran rupiah, masalah ketenagakerjaan, masalah keuangan finansial kredit, masalah rumah tangga, masalah pidana, sengketa kontraktual wanprestasi, namun mereka “mendadak miskin” dan mengharap dilayani setelah mereka “memperkosa” profesi penulis atas masalah mereka yang notabene “bukanlah urusan penulis”. Tidak ada suatu pengharapan yang lebih konyol daripada harapan naif serta picik semacam itu. Mereka bahkan tidak punya hak untuk mengganggu penulis dan tiada kewajiban bagi penulis untuk diganggu oleh para manusia “sampah” demikian.
Menuntut diberi waktu serta ilmu pengetahuan hasil pengorbanan penulis, namun tidak bersedia SEPERAK PUN membayar tarif sebagai kompensasinya, bahkan tidak jarang mereka memakai tipu-daya seolah-olah hendak menjadi klien, muaranya ialah ID mereka dimasukkan dalam laman BLACKLIST yang dipublikasikan sebagaimana ancaman sanksi demikian telah mereka sadari betul ketika menyalah-gunakan nomor kerja maupun email kerja profesi penulis—namun tetap saja mereka langgar dan “kangkangi” secara bangga dan penuh percaya diri.
Sehingga, “you ask for it!”, dan kalimat teguran moril dari penulis berikut: “Anda lebih hina daripada pengemis. Pengemis tidak mencari makan dengan merampok nasi dari piring orang lain. Seorang pengemis tidak pernah punya masalah hukum, terlebih masalah tanah ataupun sengketa kontrak dan perburuhan. Konsultan mana lagi yang hendak Anda perkosa profesinya?” Konsultan mana yang tidak akan murka, bila disuruh menjadi budak, dan disaat bersamaan disuruh untuk memakan “BATU”?
Melanggar, semestinya menjadi hal yang ditabukan (memalukan), alih-alih suatu hal yang patut dibanggakan terlebih dipertontonkan secara demikian vulgar tanpa “kenal malu”, bahkan seringkali mereka tidak takut untuk melanggar apapun sanksi yang telah diberitahukan kepada mereka. Mental menipu, mental merampok, dan mental mengemis, itulah tiga mental paling mendasar yang kerap terlihat jelas dari orang-orang yang gemar atau memiliki watak untuk melanggar.
Jangan pernah katakan berspekulasi di sebuah meja hijau ruang kasino adalah suatu pelanggaran hukum maupun norma sosial bahkan norma agama, namun disaat bersamaan terjadi “bias standar” yang menyatakan seolah-olah berspekulasi dengan melanggar hukum “mungkin” tidak akan terkena sanksi, adalah sah dan bukan suatu hal yang perlu ditabukan. Semua itu adalah bentuk-bentuk spekulasi yang sama, antara apa yang telah kita bahas pada bagian pembuka bahasan ini, perihal perbuatan yang melanggar hukum, hingga dengan sengaja melanggar “aturan main” website ini.
Jangan pernah bermain-main dengan nasib Anda, terlebih mencoba-coba melanggar hukum, ataupun melecehkan profesi orang lain. Ketika Anda masih juga berhasrat untuk berspekulasi, maka “you ask for it!” dan janganlah juga bersikap “cengeng” ketika sanksi benar-benar diberlakukan terhadap Anda.
Kita tidak memiliki hak untuk dan tak dapat menghapus apa yang telah tercatat dalam buku sejarah, rekam jejak, bahkan sidik jari dan jejak langkah kaki hidup kita sendiri. Anda mungkin bisa mengingkari apa kata hati Anda, tapi tidak bagi “hukum karma”. Seorang pelanggar, memang layak disebut sebagai sampah dan penyakit masyarakat, sudah selayaknya dihukum dan mendapat hukuman setimpal. Berkelit dari kesalahan, sama artinya melakukan dua kali kesalahan dengan kesalahan baru berupa mengingkari kenyataan. You ask for it!
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.