Aspek Hukum SOMASI / Surat Teguran / Peringatan Konteks Perdata

ARTIKEL HUKUM
Sebelum kita membahas lebih dalam perihal seluk-beluk “SOMASI”, tepat kiranya untuk kita pahami terlebih dahulu fungsi serta tujuan dari sebuah “Surat Peringatan” yang kerap disebut juga dengan istilah hukum sebagai “Somasi”. Fungsi dari sebuah Somasi ialah sebagai sarana / alat untuk menyampaikan informasi secara legal formil, bahwa telah terjadi pelanggaran hukum keperdataan yang telah dilakukan oleh pihak penerima somasi, dibuat serta diberikan oleh pihak-pihak yang hak-hak keperdataannya telah dirugikan, baik kerugian secara nyata maupun secara “laten”.
Adapun tujuan dari pemberian sebuah Somasi, ialah tidak lain sebagai sarana pengingat agar yang bersangkutan tidak melalaikan apa yang menjadi beban kewajiban maupun tanggung-jawabnya, agar diindahkan, dipatuhi, dijalankan, dipenuhi, serta dihormati. Namun, apakah artinya sebuah Somasi adalah kewajiban untuk dibentuk dan diberikan, barulah para pihak memiliki dampak hukum yang bersifat mengikat untuk dapat ditagih dan dituntut pemenuhannya?
Secara yuridis, tidak terdapat pengaturan secara hukum keperdataan untuk membuat dan memberikan sebuah Somasi—kecuali dalam konteks pelanggaran hubungan industrial (perkara-perkara ketenagakerjaan) seperti berbagai Surat Peringatan satu yang menyusul Surat Peringatan lainnya sebelum dapat diambil tindakan tegas seperti pemutusan hubungan kerja karyawan penerima Surat Peringatan bersangkutan oleh pihak pemberi kerja.
Khusus untuk keperluan internal perusahaan, Surat Peingatan dapat cukup diberikan oleh penanggung-jawab atau kepala divisi masing-masing. Sebagai contoh, untuk memberikan Surat Peringatan bagi seorang karyawan, cukup Kepala Divisi Sumber Daya Manusia perusahaan yang menerbitkannya, tidak perlu oleh seorang Top Manajemen sekelas direksi suatu perusahaan.
Terkecuali, Somasi yang ditujukan bagi kalangan di luar / eksternal badan usaha, maka yang berwenang mewakili dan bertindak untuk serta atas nama badan hukum, ialah seorang direksi—kecuali stafnya telah diberikan surat kuasa untuk mewakili perusahaan dalam urusan pemberian Somasi.
Somasi, sejatinya hanya relevan dalam kasus-kasus sengketa perdata berjenis “perbuatan melawan hukum”. Sementara dalam kasus-kasus sengketa perdata dengan kriteria “wanprestasi” (ingkar / cidera janji), sejatinya sebuah Somasi bukanlah prasyarat mutlak, sehingga ketika perikatan-perikatan di dalam sebuah perjanjian telah terjadi kelalaian atau bahkan pelanggaran oleh salah satu pihak, maka hak gugat “wanprestasi” telah lahir secara sendirinya dan dapat saja diajukan gugatan ke hadapan pengadilan sekalipun tanpa didahului oleh sebuah Somasi.
Menilik kembali fungsi dan tujuan Somasi, tidak lain semata untuk menjadi sarana “pengingat” bagi pihak penerima Somasi (sesekali lalai adalah manusiawi, jangan sampai hubungan bisnis rusak hanya karena kita bersikap terlampau keras), agar segera mengindahkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, dengan harapan segala bibit sengketa dapat dimitigasi di kemudian hari tanpa harus masuk dalam sengketa gugat-menggugat yang berlarut-larut dan cenderung kontra-produktif.
Akta, perjanjian, ataupun kontrak yang baik, terutama terkait perikatan hutang-piutang, seringkali mencantumkan klausula yang berbunyi kurang lebih sebagai berikut: “Dengan lewatnya waktu sebagaimana berbagai syarat dan ketentuan yang tercantum secara tersurat dalam perjanjian ini, diartikan sebagai suatu perbuatan wanprestasi yang dapat dituntut pemenuhannya secara seketika dan sekaligus tanpa diwajibkan adanya terlebih dahulu pemberian surat peringatan apapun, karena para pihak dinyatakan telah mengerti dengan baik seluruh perikatan yang termuat dalam perjanjian ini untuk tidak dilalaikan ataupun dilanggar keberlakuannya.”
Ketika para pihak saling mengikatkan diri dalam suatu kontrak, maka para pihak telah mengerti dan memahami dengan baik seluruh isi perikatan yang tertuang didalamnya sebelum disepakati dan ditanda-tangani, sehingga segala Somasi apapun sejatinya tidak lagi dibutuhkan, karena segala sesuatunya telah secara tegas dan tersurat termuat di dalamnya. Sehingga, pada prinsipnya, pemberian Somasi dalam kasus-kasus kontraktual, semata merupakan wujud itikad baik dari pihak pemberi Somasi, agar hubungan hukum diantara mereka dapat terus berlangsung secara harmonis tanpa ada penyimpangan terhadap isi dalam kontrak.
Somasi membuka harapan kerja-sama jangka panjang, oleh karena itulah menerbitkan sebuah Somasi bukan suatu hal yang perlu ditabukan oleh kalangan pelaku usaha. Yakni, cukup semudah mengubah judul surat dari “SOMASI” menjadi “Surat Pengingat”, dengan bunyi pembuka surat bukan untuk menegur atau memberi peringatan, namun : “Dengan ini kami hendak mengingatkan kembali, bahwa sesuatu kesepakatan dalam perjanjian... bahwa ... agar ... . Untuk itu kami harap agar Bapak / Ibu dapat segera menindak-lanjutinya, mengingat ...
Hal sebaliknya terjadi dalam konteks sengketa “perbuatan melawan hukum”, dimana tidak terdapat kontrak apapun antara para pihak yang saling bertikai, namun semata perikatan yang timbul dari perlindungan hukum perdata yang diberikan oleh undang-undang (seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dsb), dimana Somasi dapat mencantumkan apa yang menjadi pokok tuntutan dari pihak penerbit Somasi agar dipenuhi tanggung-jawab perdatanya oleh pihak penerima Somasi. Semisal agar seorang pengemudi kendaraan bermotor yang menabrak korban pejalan kaki, dapat mengganti-kerugian biaya berobat sang korban.
Selanjutnya SHIETRA & PARTNERS akan mengupas perihal batas / jangka waktu Somasi, siapa yang berhak mengeluarkan / menerbitkan somasi, dan apakah harus terlebih dahulu menunggu timbulnya kerugian bagi salah satu pihak untuk dapat menerbitkan somasi? Apa jugakah langkah yang patut ditempuh setelah Somasi?
Perihal batas / jangka waktu somasi, sangatlah bergantung pada isi dalam Somasi, atau tergantung isi dalam kontrak yang sedang ditegur lewat somasi. Sebagai contoh dalam sebuah Perjanjian Jual-Beli, pihak penjual menjanjikan dan mengikatkan diri di dalamnya bahwa objek jual-beli akan diserahkan sampai ke tempat pembeli, paling lambat 1 minggu setelah Down Payment harga jual-beli efektif dibayarkan oleh pihak pembeli. Namun ketika telah lewat waktu 1 minggu sebagaimana kesepakatan dalam perjanjian, barang belum juga diserahkan oleh pihak penjual, maka dapat saja Somasi mencantumkan barang sudah harus dikirimkan seketika itu juga saat surat Somasi diterima oleh pihak penerima Somasi.
Terdapat beberapa kontrak di tengah masyarakat, yang kandungan substansi yang termuat di dalamnya kuranglah sempurna. Sebagai contoh, dalam kontrak pengadaan barang, pernah SHIETRA & PARTNERS jumpai tidak terdapat ketentuan perihal kapan harga pembayaran harus diserahkan oleh pihak pengguna barang. Untuk itu Somasi menjadi penting untuk memuat tuntutan yang rasional oleh pihak penerbit Somasi, semisal agar seluruh biaya terkait kerja-sama pengadaan barang tersebut agar segera dapat dilunasi paling lambat sekian bulan / minggu kemudian, sebagai contoh.
Yang patut menjadi perhatian terkait “batas waktu”, ialah jangka waktu yang rasional bagi ia yang diberi peringatan untuk memperbaiki diri secara wajar dan patut. Dalam hukum ketenagakerjaan, sebagai ilustrasi, terdapat ketentuan imperatif perihal “masa berlaku” Somasi, yakni bersifat berjenjang untuk tiap 6 bulan kedepannya. Menurut praktik peradilan di Pengadilan Hubungan Industrial, jarak antara satu Surat Peringatan Kesatu dan Surat Peingatan Kedua dan Ketiga, jeda waktunya haruslah wajar dan patut memberi kesempatan bagi si pekerja / buruh untuk membina diri.
Lalu, siapakah yang berhak mengeluarkan / menerbitkan Somasi? Pihak-pihak dan setiap warga negara maupun korporasi yang telah atau akan dapat dirugikan hak-hak keperdataannya, memiliki hak untuk menerbitkan sebuah / serangkaian Somasi. Namun yang patut diperhatikan, ialah pihak penanggung-jawab atau pihak yang paling berwenang menerbitkan Somasi. Sebagai contoh, bila pihak penerbit Somasi ialah suatu korporasi badan hukum seperti Perseroan Terbatas, maka perlu dipastikan surat Somasi ditanda-tangani oleh pihak direksi / pengurus badan hukum bersangkutan.
Apakah harus menunggu rugi terlebih dahulu, barulah hak untuk menerbitkan Somasi dapat diberikan? Itulah salah-kaprah yang kerap terjadi dalam praktik, seolah setiap warga negara atau subjek hukum harus terlebih dahulu bersikap pasif menunggu terjadinya kerugian, barulah menerbitkan somasi. Hukum yang ideal bersifat preventif, bukan kuratif. Bila tujuan gugatan ialah untuk mencegah kerugian, maka Somasi pun memiliki dasar falsafah yang sama : untuk mencegah terjadinya kerugian atau untuk meminimalisir kerugian yang berpotensi terjadi karena lalainya suatu pihak.
Kita tidak dapat menutup mata, banyaknya Somasi yang tidak diindahkan oleh pihak penerima Somasi. Untuk itu, surat Somasi yang sekadar hendak mengingatkan untuk mengindahkan isi-isi dalam perjanjian yang dahulu telah disepakati bersama, atau agar suatu pihak yang diberikan Somasi agar lebih memerhatikan komplain pemberi Somasi, agar kerugian tidak terjadi guna menghindari sengketa.
Sebagai contoh, warga suatu desa secara serempak menanda-tangani surat Somasi yang ditujukan kepada suatu pengusaha yang hendak membangun pabrik penambangan pasir dan mineral di desa mereka. Warga yang menolak pembangunan instalasi pabrik, merasa khawatir kelestarian lingkungan desa mereka dapat terancam. Ketika kerusakan lingkungan telah terjadi, barulah Somasi diberikan, segala sesuatu cenderung dapat dikatakan “telah terlambat”, karena pemulihannya dapat sangat sukar dalam tataran eksekusi maupun implementasinya. Disini, fungsi Somasi ialah sebagai sarana untuk mencegah dan mengantisipasi.
Apa yang menjadi langkah selanjutnya, setelah diterbitkan Somasi? Pertanyaan tersebut mungkin lebih tepat dijawab dengan sebuah pertanyaan lainnya, yakni apakah penerbit Somasi masih bersedia menunggu itikad baik pihak penerima Somasi untuk mengindahkan isi Somasi, ataukah seketika itu juga menempuh langkah hukum dengan mengajukan gugatan perdata ke hadapan pengadilan?
Tidak terdapat kewajiban yuridis formil untuk menerbitkan Somasi hingga untuk ketiga kalinya. Terkadang, satu buah Somasi sudah lebih dari cukup. Mereka yang cenderung meremehkan, tidak memberi respons, dan tidak mengindahkan surat Somasi Kesatu, cenderung juga akan meremehkan dan tidak menghiraukan surat Somasi berikutnya—suatu hal yang sangat logis sehingga kita tidak lagi perlu untuk membuang-buang waktu.
Kita perlu pahami bersama, bahkan surat gugatan ialah juga berfungsi sebagai surat Somasi itu sendiri, karena bila pihak tergugat seketika memenuhi segala kewajibannya, maka gugatan dapat dicabut oleh pihak Penggugat, atau bahkan dapat mengikatkan diri dalam suatu Akta Perdamaian “Van Dading” di hadapan pengadilan.
Apakah surat Somasi harus berisi panjang-lebar, atau cukup singkat saja? Tidak ada aturan yang mengatur limitasi ataupun batasan perihal panjang atau pendeknya substansi bahasan dalam sebuah Somasi. Terkadang, surat Somasi yang ringkas namun padat, tepat sasaran, lugas serta eksplisit kandungan tegurannya, masih jauh lebih efektif ketimbang Somasi yang berpanjang-lebar namun membiaskan fokus gagasan yang hendak disampaikan penerbit Somasi.
Seperti yang dikatakan oleh seorang tokoh: tidak penting kucing bewarna putih ataupun kucing bewarna hitam, yang penting kucing itu dapat menangkap tikus. Tidaklah terlampau penting format sebuah Somasi, yang terpenting ialah dapat mengetuk “pintu hati” penerima Somasi, sekaligus menyadarkan dan mengingatkan pihak mereka agar mengindahkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, tanpa harus benar-benar merusak tali hubungan dengan bersengketa di ruang peradilan.
Apakah Somasi juga dapat diberikan untuk konteks pidana? Bisa saja sebuah surat Somasi dikirimkan oleh seorang warga yang memiliki hak lapor ke hadapan pihak berwajib, sepanjang itu adalah konteks “delik aduan”. Bila memang penerima Somasi dengan itikad baik menyikapi teguran, dan berkomitmen memulihkan hak-hak dan kerugian pihak penerbit Somasi, maka para pihak dapat saling berdamai dan menyelesaikan sengketa pidana tersebut secara kekeluargaan, tanpa harus memasuki ranah tuntutan maupun laporan ke hadapan pihak berwajib.
Somasi dapat menjadi sarana yang efektif menyampaikan tuntutan, teguran, peringatan, gagasan, aspirasi, hingga “curahan hati”. Keuntungan kedua penerbitan Somasi, ialah pihak penerima Somasi masih merasakan kemungkinan hubungan mereka dapat saling terjalin secara berkesinambungan, karena Somasi yang diberikan mengindikasikan bahwa pihak bersangkutan masih berminat agar hubungan mereka masih dapat tetap terjalin untuk jangka panjang.
Somasi merupakan langkah awal menuju “amicable solution”. Seorang penyusun rumusan Somasi yang terampil, dapat menghindari banyak kerugian yang mungkin dapat timbul jika sengketa berkembang memasuki ranah gugat-menggugat, karena seluruh konflik dan sengketa dapat diredam dan dimitigasi dengan baik ketika menyusun kata-kata serta rumusan yang efektif di dalam surat Somasi yang mudah dipahami dan dapat diterima oleh seluruh pihak. Untuk itu SHIETRA & PARTNERS juga menyediakan jasa layanan penyusunan Somasi yang efektif dan tepat guna sesuai kepentingan pengguna jasa.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.