Tiada Orang ataupun Hal yang dapat Kita Curangi dalam Hidup dan Kehidupan Ini

ARTIKEL HUKUM
BIARKAN HUKUM KARMA YANG MENJADI EKSEKUTORNYA TANPA PERLU DIPERINTAH ATAUPUN DISUAP
Dirugikan sebagai korban tindak pidana maupun kerugian secara perdata, namun gugatan perdata maupun laporan kepada pihak berwajib tidak membuahkan hasil atau bahkan juga sama sekali tidak ditindak-lanjuti, maka apakah itu artinya menjadi akhir dari segalanya? Karena tiada yang dapat kita curangi dalam kehidupan ini, seperti halnya hukum alam yang bekerja sesuai hukumnya sendiri sementara penghuni Bumi ini hanya dapat menyesuaikan diri dengan hukum alam, maka si pelaku pun tidak akan meloloskan diri dari “harga” yang harus ia bayar.
Tidak jarang klien saat sesi konsultasi, mengungkapkan pada penulis bahwa mereka telah menjadi korban, baik secara kerugian materiil maupun immateriil keperdataan hingga juga menjadi korban secara tindak pidana, namun hakim perkara perdata seolah tidak memiliki kepekaan nurani untuk memahami perasaan warga yang dirugikan secara perdata, bahkan melaporkan tindak pidana yang dialaminya berbuntut pengabaian hingga berbagai pungutan liar yang sangat melukai nurani maupun prinsip-prinsip keadilan bangsa beradab—kecuali kita mengakui bahwa bangsa kita memang belum beradab.
Sebenarnya, diakui ataupun tidak, tidak ada yang dapat mencurangi hidup dan kehidupan ini, sehingga menurut Hukum Karma, tidak ada istilah “ada sebab namun tanpa akibat” yang akan menyertainya. Hakim perkara perdata yang tumpul dalam mengadili dan memahami kerugian korban, maupun polisi yang justru menambah perasaan terluka pihak korban pelapor, tidak dimaknai menghapus segala tanggung-jawab si pelaku. Si pelaku sejatinya sedang menggali lubang kubur mereka sendiri, sehingga untuk apa juga melarikan diri dari tanggung-jawab bila memang tiada faedahnya sama sekali dan tetap saja harus membayar “harga” yang harus dibayar olehnya dikemudian hari?
Istilah “tanggung-jawab” terdiri dari gabungan unsur frasa “tanggung” dan “jawab”, begitupula dalam bahasa Inggris yang dikenal dengan frasa “responsibility” yang mengandung unsur frasa “to respond”, artinya akan ada sebentuk “respon” maupun “jawab” yang dapat dituntut dari si pelaku di kemudian hari ketika karma buruknya berbuah secara matang. Bila kita tidak dapat melarikan diri dari Hukum Karma, maka mengapa kita masih berasumsi bahwa kita masih dapat mencurangi hidup dan kehidupan dengan melarikan diri dari tanggung-jawab?
Ketika hakim perkara perdata maupun polisi tidak memberi keadilan yang menjadi hak pihak korban, maka pada gilirannya yang akan mengeksekusi si pelaku ialah Hukum Karma itu sendiri, dimana eksekutornya bekerja secara sendirinya tanpa perlu diperintah dan tanpa perlu diminta, bahkan juga tanpa perlu disuap—dan juga yang terpenting: tidak dapat disuap oleh si pelaku.
Memahami prinsip dasar Hukum Karma ini, sejatinya tidak ada untungnya bagi si pelaku untuk melarikan diri dari tanggung-jawab ataupun respon apapun terhadap sang korban. Ia mungkin lolos dari jerat Hukum Negara yang korup dan aparaturnya yang berkolusi, namun si pelaku kejahatan akan mewarisi buah karma buruk dari perbuatannya sendiri, perbuatan kecil maupun besar, perbuatan itulah yang akan ia warisi, demikian Sang Buddha bersabda.
Ketika kita mampu memaknai kebenaran demikian, maka Anda ataupun kita selaku korban, baik secara perdata maupun pidana, tidak perlu berkecil hati ketika laporan pidana atau gugatan perdata kita tidak disikapi sebagaimana mestinya. Tidak perlu juga kita harus menyuap hakim atau menyuap polisi agar mau menindak-lanjuti aduan maupun gugatan yang kita ajukan—meskipun itu memang hak kita selaku korban untuk menuntut sebentuk tanggung-jawab yang sayangnya diabaikan oleh hakim dan polisi korup.
Eksekutor dari Hukum Karma akan bekerja secara sendirinya tanpa perlu diminta ataupun diperintah, sehingga kita tidak perlu membalas segala akibat perbuatan jahat yang kita alami dengan tangan kita sendiri—itulah yang paling menarik dari Hukum Karma, perbuatan apapun tidak dapat dihapus dari sejarah maupun dari buah karma yang akan berbuah, juga tidak perlu dengan tangan kita sendiri yang mengeksekusinya.
Lebih jauh lagi, menurut Abidhamma Pitaka, bila si pelaku melakukan kejahatan terhadap kita secara gembira dan senang hati tanpa disertai penyesalan sebelum, saat, maupun pasca melakukan kejahatan terhadap diri kita ataupun terhadap properti milik kita, maka buah karma buruk yang akan berkembang akan berbuah berkali-kali lipat menyerupai satu benih butir biji mangga yang tumbuh di ladang yang subur sehingga ketika waktunya masak, satu benih biji mangga yang sebelumnya ditanam akan berbuah menjadi ribuan butir mangga yang suka tidak suka akan dipetik oleh dirinya sendiri—sekalipun itu mangga busuk asam yang beracun.
Hakim yang buruk dan tidak serius memeriksa dan mengadili, artinya telah turut serta melahirkan derita baru bagi pihak korban yang memohon keadilan. Maka, buah karma yang akan dipetik oleh sang hakim di kehidupan yang akan datang ialah sebentuk perilaku pengabaian serupa ketika dirinya diperlakukan secara tidak adil dan menuntut keadilan dari lembaga penegak hukum. Memahami prinsip ini, maka kita tidak lagi perlu mengemis dari seorang hakim agar ia menjalankan kewajiban, peran, dan tugasnya secara bertanggung-jawab, karena lagi-lagi: tidak ada yang dapat mereka curangi dalam hidup ini, bukan hanya kita.
Tidak ada yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup dan kehidupan ini. Semua orang masing-masing mendapat apa yang memang selayaknya bagi dirinya (kembali lagi: karena memang tiada yang dapat kita curangi dalam kehidupan ini). Maling memang layak dimalingi, penipu layak untuk tertipu, pembunuh layak terbunuh, yang hidup dari pedang pun akan mati karena pedang. Si penipu tidak dapat protes ketika dirinya tertipu, karena bagaimana mungkin dirinya merasa berhak untuk menipu sementara disaat bersamaan dirinya merasa tidak memiliki kewajiban menjadi korban penipuan?
Sama juga halnya, polisi yang digaji dari Uang Rakyat pembayar pajak (jangan pernah gunakan istilah “uang negara”, mereka dan para aparatur sipil negara akan berpikir bahwa “bos” pembayar gaji mereka bukanlah masyarakat selaku rakyat yang perlu dilayani), dan bertugas serta memiliki kewajiban melayani masyarakat, yang bahkan merenggut hak masyarakat untuk “main hakim sendiri” dan memonopoli penggunaan senjata tajam ataupun senjata api untuk membalas sebentuk pembalasan, justru menelantarkan aduan warga selaku korban, bahkan memeras sang korban pelapor dengan berbagai pungutan liar demi pungutan liar, akan bernasib lebih buruk ketimbang para warga yang menjadi korban untuk kedua kalinya akibat perilaku polisi yang “makan gaji buta” dan bahkan memeras warga yang telah menggaji dan memberi mereka kewenangan monopoli untuk menyandang senjata dan dilarangnya warga untuk “main hakim sendiri”.
Padahal, sebagaimana juga telah kita ketahui bersama, sebelum terbentuknya lembaga dan aturan hukum negara semacam kepolisian, setiap warga berhak menyandang senjata dan “main hakim sendiri”, bahkan tidak diwajibkan membayar “upeti” kepada negara yang diberi kemasan nama sebagai pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
Penjahat yang bodoh, akan merasa senang dapat melarikan diri dari tanggung-jawab dan lolos dari jerat Hukum Negara. Ibarat berhutang, semakin lama diabaikan untuk dibayar dan dilunasi, semakin besar bunga berbunga dari hutang yang cepat atau lambat dan suka atau tidak suka harus ia bayarkan dan lunasi. Si penjahat bodoh itu berasumsi bahwa segala karma buruk dirinya dapat dihapus semudah menghapus jejak kejahatannya dan memungkiri semudah berkelit dan “bersilat-lidah”.
Penjahat yang (sedikit) lebih pandai, akan merasa takut justru ketika dirinya tidak tertangkap dan tidak dihukum oleh pihak aparatur penegak hukum secara memadai, akan panik ketika ia tidak segera melunasi hutang-hutangnya, akan merasa terdesak untuk segera mempertanggung-jawabkan perbuatannya tanpa pernah berniat untuk melarikan diri.
Sayangnya dan kabar buruk untuk kita, di republik tercinta kita ini, lebih banyak penjahat bodoh ketimbang penjahat yang sedikit lebih pandai. Anda termasuk kategori yang mana? Semua orang pernah melakukan kekeliruan, namun yang membedakan ialah bagaimana respon mereka ketika telah melakukan kekeliruan, bertanggung-jawab atau justru melarikan diri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.