Simalakama Investasi Asing di Indonesia, Modus Penghisapan Devisa oleh Korporasi Asing

ARTIKEL HUKUM
Disebutkan bahwa Indonesia yang miskin ilmu pengetahuan dan modal untuk memutar roda ekonomi (meski disaat bersamaan mengklaim sebagai negara dengan sumber daya alam berlimpah serta “bonus demografi”), maka dibutuhkan peran investor asing untuk menancapkan akar-akar kekuasaan ekonominya di Indonesia. Pemodal asing bak raja di negeri ini, sementara pemimpinnya demikian mudah dibodohi oleh anak buah bawahannya sendiri.
Terlepas dari polemik apakah bandara penerbangan komersiel serta pelabuhan sipil merupakan objek vital strategis negara ataukah bukan, sehingga dapat diserahkan pengelolaannya kepada investor asing, dengan dalil klise “transfer of knowledge” (meski senyatanya tidak ada investor asing yang dengan sebodoh itu akan datang dan berinvestasi untuk sekadar memberi pengetahuan dan keterampilan secara tanpa imbalan), namun seolah tiada Warga Negara Indonesia yang memahami bahaya dibalik dalil “pengelabuan” terselubung semacam itu.
Yang disebut “transfer of knowledge”, parameternya haruslah jelas dan terukur. Perlu semacam “road map”, apakah 5 tahun ataukah 10 tahun investor asing boleh terlibat, dimana setelah itu maka Indonesia harus berdikari dan mandiri serta swadaya, itulah yang benar-benar dapat dikategorikan strategi nasional mengundang investor asing guna “transfer of knowledge”—harus ada batas dan ada akhirnya. Senyatanya tidak ada investor yang sebodoh itu hendak menghamburkan pengetahuan mereka seolah mereka adalah sinterklas tanpa motif tersembunyi (hidden agenda).
Calon pemimpin bangsa yang melulu mendalilkan perlunya “transfer of knowledge” tanpa mau melihat kenyataan betapa kian tahun Indonesia kian bergantung (bahkan hingga taraf mencandu) pada keterlibatan investor asing, ataupun sebaliknya calon kepala negara kompetitor yang melulu menolak masuknya investor asing tanpa mau mengakui bahwa teknologi di Indonesia memang cukup terbelakang, adalah dua contoh sudut pemikiran ekstrem yang penulis nilai kurang cukup bijaksana dan agak membodohi rakyat sendiri.
Transfer of knowledge” tanpa suatu batas waktu yang jelas, merupakan bentuk-bentuk penjajahan terselubung berkedok Penanaman Modal Asing (PMA), yang dapat disebut juga dengan sistem ekonomi liberalisme. The party in Indonesia is never over, kata para investor asing tersebut—jadi siapa bilang mereka benar-benar melakukan “transfer of knowledge”? Sebaliknya ialah, sistem ekonomi proteksionisme yang kerdil dan sama sempitnya dalam memandang dinamika sosial-ekonomi suatu bangsa yang realitanya memang masih dalam tahap berkembang.
Terdapat bahaya dibalik kebijakan “pintu terbuka”—bahkan terkesan mengobral diri agar investor asing sesuka hati masuk dan menghisap kekayaan ekonomi dan sumber daya alam di Indonesia. Lagi-lagi, yang menjadi dalil serta “kambing-hitam”-nya ialah Indonesia perlu investor asing untuk pembangunan, perluasan lapangan kerja, dan memutar roda ekonomi makro, plus iming-iming “transfer of knowledge” tentunya (gimmick yang paling populer bagi seorang kepala pemerintahan bermental ekonomi liberalisme).
Agar ulasan ini tidak menjadi blunder ataupun dituduh provokatif-manipulatif, maka ada kewajiban bagi penulis untuk mengungkap salah satu fakta lapangan berupa modus yang dilakukan secara berjemaah oleh berbagai PT. PMA (penanaman modal asing) yang demikian “betah” dan senangnya mencengkeram erat Bumi Pertiwi, yang disaat bersamaan menghisap seluruh sari-pati kekayaan ekonomi maupun kekayaan sumber daya alam di Indonesia—dan disaat bersamaan disanjung oleh Kepala Negara Indonesia sebagai investor asing yang telah bersumbangsih dan berkontribusi bagi pembangunan di Indonesia. “Perampok” berdasi yang mendapat sanjungan, mungkin hanya terjadi di Indonesia.
Sudah “merampok”, diberi predikat sebagai penyelamat ekonomi Indonesia pula—investor mana yang tidak mau datang dan mendirikan kerajaan ekonomi Grub Usahanya di Indonesia? Tanpa diundang sekalipun, dengan senang hati para investor asing tersebut akan datang dan berkuasa dengan cengkeraman penuh di Indonesia. Jika perlu, bercokol untuk selamanya.
Berdasarkan teori ilmu Hubungan Internasional, para investor asing akan cukup enggan datang ke Indonesia, tidak lain karena tiadanya kepastian hukum di Indonesia, terlebih diperkeruh oleh aksi kolusi-korupsi-premanisme, penerapan Peraturan Daerah berbasis agama yang intoleran terhadap kemajemukan, aksi-aksi demo oleh salah satu kalangan agama mayoritas, sehingga iklim investasi di Indonesia memang jauh dari kata kondusif karena mental aparaturnya yang justru minta dilayani alih-alih melayani.
Telah berbagai ribuan perusahaaan berbasis investor asing (PT. PMA) berdiri dan bercokol di Indonesia selama puluhan tahun, dan setiap tahunnya selalu melaporkan diri sebagai mencetak “rugi” (defisit), alih-alih mencetak laba. Alhasil, tiada kontribusi pajak apapun yang dapat diserap dari para investor asing tersebut. Mengapa tidak kita “tendang” keluar saja perusahaan-perusahaan asing yang sudah jelas-jelas tidak jujur tersebut?
Tanpa kontribusi peran para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri selaku “pahlawan devisa”, kurs Rupiah dapat dipastikan akan terus anjlok terdepresiasi setiap tahunnya meski setiap tahunnya pula investor asing kian membanjiri ke dalam negeri ini. Janganlah menggunakan ketimpangan ekspor-impor sebagai dalil melemahnya nilai tukar Rupiah, karena berbagai barang modal importasi juga pada gilirannya digunakan sebagai faktor produksi oleh para investor asing tersebut.
Sebaliknya, berbagai kekayaan ekonomi di Indonesia terhisap ke luar negeri, dibawa lari ke negara-negara Tax Heaven, mengakibatkan devisa Indonesia terkuras hingga “berdarah-darah”, dan alhasil keadaan ekonomi Indonesia terpaku pada angka valuta kurs Rupiah terhadap Dollar US tidak beranjak diangka Rp. 14.000 hingga Rp. 15.000 sebagaimana zaman kolapnya Orde Baru sejak krisis ekonomi melemahnya kurs Rupiah yang anjlok ke angka Rp. 15.000; yang sejatinya menjadi indikator tidak ada perbaikan berarti dari segi nilai tukar valuta yang merupakan bukti nyata betapa kekayaan ekonomi Indonesia secara nyata-nyata dan secara vulgar terhisap keluar Indonesia akibat ulah para investor asing itu sendiri.
Jatuhnya rupiah ke angka Rp. 15.000 untuk 1 US$, menjadikan Orba tumbang. Namun mengapa pemerintahan di era ini yang tidak berhasil membuat Indonesia keluar dari perangkap investor asing ataupun “kutukan” kurs Rp. 15.000 tidak dikategorikan sebagai kegagalan untuk memperbaiki kondisi ekonomi negeri, dan mengapa juga tidak turut ditumbangkan oleh people power sebagaimana zaman keruntuhannya Orba yang sangat liberalis? Apakah warga negeri ini telah terperdaya oleh strategi “bagi-bagi” sertifikat tanah dan menaikkan gaji serta tunjangan para aparatur sipil negara yang bersumber dari pungutan pajak (alias dibebankan pada rakyat pembayar pajak pula pada akhirnya, namun sang pemimpin negeri ini yang kemudian mendapat kreditnya seolah dirinya penuh kebaikan hati memakmurkan para aparatur sipil negara yang seolah mereka belum cukup gemuk untuk lebih digemukkan).
Gaibnya, kebijakan mengobral murah sumber daya ekonomi dan sumber daya alam Indonesia yang kian rusak dan sakit ini, justru menjadi kebijakan populis para petinggi pemerintahan di Indonesia, tanpa mau menyadari bahaya dibalik segala gembar-gembor eksploitasi oleh investor asing yang diundang masuk ke Indonesia secara mengobral diri demikian murahnya.
Para investor asing tersebut mengaku “merugi” setiap tahunnya di Indonesia, namun mereka terus saja beroperasi dan berekspansi di indonesia dan membawa lari kekayaan ekonomi Indonesia ke negara asal mereka—logisnya, homebase mereka bukanlah di Indonesia, sehingga untuk apa mereka menyimpang “telur emas” (penghasilan) milik mereka untuk “diemari” di Indonesia?
Tidak perlu ekonom yang pakar dibidang ekonomi, untuk mengendus praktik tidak sehat demikian dan membuat analisa sederhana namun menusuk jantung akar masalah. Akal sehat saja sudah cukup untuk membuka kedok para investor asing demikian. Para penyusun kebijakan di negeri ini—terutama para pejabat Kantor Pajak—paham betul polemik demikian, termasuk Menteri Ekonomi kita, namun mengapa seolah mereka bungkam dan tidak mencoba mendobrak budaya tidak sehat petinggi negeri ini?
Salah satu contohnya ialah perusahaan pemasang iklan lowongan kerja secara online, PT. JobsDB Indonesia, yang merupakan PT. PMA yang setiap tahunnya melaporkan diri mencetak rugi (penulis memiliki laporan keuangan tahunan mereka), meski menghasilkan penghasilan miliaran rupiah dari aktivitas ekonominya di Indonesia, ternyata juga turut memanfaatkan modus “transfer pricing” untuk menghisap kekayaan ekonomi di Indonesia tanpa sumbangsih apapun bagi ekonomi negeri ini—selain membayar murah para pegawai mereka. Selebihnya, tiada kontribusi apapun oleh PT. PMA tersebut, menggelontorkan dana untuk Corporate Sosial Responsibility-pun tidak.
PT. JobsDB Indonesia, menyewa server dari perusahaan server di Hongkong, negara “surga pajak” (tax heaven), dengan nilai yang di-“mark up” demikian fantastis diluar kewajaran, yang ternyata perusahaan server yang disewa olehnya merupakan perusahaan “sister company” dari satu Holding Company JobsDB yang bermarkas di Hongkong selaku beneficial owner. Cukup membayar murah beberapa pegawai yang dipekerjakan di indonesia, JobsDB dapat membawa lari devisa ke luar dari Indonesia dengan nilai yang fantastis. PT. PMA mana yang tidak mau?
PT. JobsDB Indonesia memang dari sejak seula dirancang “merugi” setiap tahunnya di indonesia, meski senyatanya selalu memperoleh penghasilan yang sangat besar di Indonesia, untuk kemudian segala devisa (kekayaan ekonomi bersumber dari Indonesia) tersebut dibawa lari ke Hongkong dengan modus “transfer pricing” (profit shifting), yakni semudah mengklaim harga sewa server di Hongkong sangatlah demikian mahalnya, sampai-sampai membuat PT. JobsDB Indonesia mencetak “rugi” demi “rugi” dalam laporan tahunan maupun laporan pajaknya.
Alhasil, pemegang saham minoritas dari Indonesia tidak akan pernah mendapat deviden, dan sumber pemasukan negara hampir dapat dikatakan nihil dari berbagai PT. PMA yang mengklaim merugi demikian. Jika merugi, pajak penghasilan apa yang dapat dihimpun dan ditagihkan olen negara ini? PT. PMA hanya cenderung menggemukkan pundi-pundi kekayaan ekonominya sendiri, atau setidaknya membawa lari kekayaan ekonomi indonesia dengan cara-cara terselubung demikian. Itu barulah salah satu contoh modus dari PT. JobsDB Indonesia, yang pada praktiknya juga dilakukan secara berjemaah oleh berbagai PT. PMA lainnya.
Kita belum berbicara perihal modus-modus canggih lainnya oleh berbagai korporasi asing di indonesia. Apakah betul pemerintah Indonesia kini menjadi pemilik Freeport di Papua ketika telah menjadi pemegang saham mayoritas? Ternyata tidak juga. Dengan ber-euforia dengan demikian bodohnya, seolah memiliki saham 51% maka selesai sudah semua masalah terkait investasi asing. Di luar negeri, Holding Freeport membuat statement bahwa mereka masih menjadi penguasa Freeport di Papua.
Dan, masih saja para penyusun kebijakan negeri ini dengan senang hati dan dengan wajah bodohnya masih mengundang para investor asing lainnya untuk turut menghisap habis berbagai sumber daya alam dan sumber daya ekonomi Indonesia, belum lagi mengobral tenaga dan keringat buruh Indonesia dengan harga murah, ditambah iming-iming pejabat pemerintahan yang mudah untuk disogok dan disuap.
Seakan belum cukup, ditambah pula dengan kebijakan pintu terbuka “obral diri” untuk segala praktik “transfer pricing” dan modus-modus kartel harga hingga monopoli usaha yang canggih dan membuat pemerintah tampak seperti sekumpulan orang-orang bodoh yang primitif tanpa dapat mengenali modus tersembunyi dibalik senyum para investor asing demikian.
Melihat segala kelebihan dan “ladang empuk” demikian, sejatinya investor asing tidak perlu sampai harus diajak masuk ke Indonesia, terlebih kita harus mengemis-mengemis mereka agar mau menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan senang hati mereka akan datang untuk menghisap kekayaan ekonomi dan sumber daya alam di Indonesia. Dengan senang hati, tanpa perlu diundang sekalipun.
Tidak ada investor asing yang dengan sebodoh itu mau melewatkan kesempatan menghisap habis sumber-sumber devisa dari negeri bernama indonesia yang selalu memandang primitif dirinya sendiri sehingga selalu harus berlindung dibalik kedok “transfer of knowledge” seumur hidupnya tanpa mampu berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Terbelakang untuk seumur hidup, sehingga butuh “transfer of knowledge” seumur hidup pula. Hal tersebut menjadi lelucon tidak lucu jika masih dibantah oleh pemerintah incumbent, seakan menjadi berdikari demikian jauhnya untuk dapat dijangkau.
Penulis berani untuk memasang taruhan, bila saja Indonesia tidak demikian ekstreem dalam hal aktivitas suatu kalangan umat agama tertentu, tidak produktif mencetak berbagai Peraturan Daerah (Perda) berbasis suatu agama tertentu yang memungkiri kemajemukan dan keragaman keyakinan dan agama, tidak diwarnai aksi demo-demo suatu pengusung agama tertentu, ditambah dengan penegakan hukum yang pasti dan tidak kenal kompromi terlebih kolutif, maka tanpa diundang masuk sekalipun, Indonesia merupakan negara yang sangat “seksi” menggiurkan untuk dimasuki dan dipenetrasi oleh para investor asing yang haus untuk menghisap devisa dari negeri bermental primitif ini. Ada yang berani memasang taruhan sebaliknya?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.