Seri Praktis Seni Argumentasi yang Melampaui Teknik Debat Konvensional

ARTIKEL HUKUM
Teknik Argumentasi Paling Konyol, Mengelabui Orang Bodoh
Terdapat seorang akademisi hukum dari Universitas Negeri di Depok yang pernah melontarkan sebuah ajaran, seolah itu adalah ilmu hukum yang patut dibanggakan alih-alih untuk ditabukan, yakni : “Salahkan terlebih dahulu orang itu, sebelum orang itu menyalahkan kita, sekalipun benar kita yang sebenarnya kita sendiri paling bersalah.” Itu bukanlah seni berdebat ataupun teknik argumentasi, namun suatu pengelabuan terhadap orang lain dan sekaligus sebagai pembohongan terhadap diri sendiri.
Seni berdebat dan argumentasi, berpangkal pada etika moril untuk menyampaikan opini dan fakta secara jujur dan transparan, tidak dikemas dalam motif untuk manipulasi maupun memelintir fakta realita. Seni berdebat yang baik tidak membiaskan apa yang salah menjadi benar, atau sebaliknya yang benar menjadi salah. Dalam bahasan artikel sebelumnya, penulis telah menguraikan betapa siapa pun bisa menang dengan menggunakan cara-cara curang, sehingga tiada hal yang patut dibanggakan dari bersikap penuh pengelabuan.
Ketika Anda memarahi seseorang sebelum orang tersebut memarahi Anda, tidak menghapus fakta bahwa Anda yang sebenarnya sebelum ini telah bersalah kepada orang bersangkutan. Jika orang tersebut yang sebenarnya memiliki hak untuk memarahi Anda dan Anda punya kewajiban untuk menelan kemarahan dan makian orang tersebut, akan tetapi Anda justru mempertontonkan perilaku sebaliknya, maka Anda patut disebut sebagai pelaku perilaku abnormal yang tidak wajar untuk ukuran bangsa beradab.
Anda tidak akan lolos dari kesalahan yang harus Anda pertanggung-jawabkan dengan mencoba menyalahkan orang lain terlebih dahulu. Teknik “sesat” dengan terlebih dahulu mengambil inisiatif menyalahkan dan memarahi orang lain, hanya efektif mengelabui dan memanipulasi orang-orang bodoh yang cenderung bersifat lugu dan pasrah-pasif. Itu adalah sikap pengecut yang tidak patut dipertunjukkan di depan umum. Seseorang seharusnya merasa malu mengandalkan cara-cara “tidak jantan” semacam itu.
Apa yang dapat kita banggakan dengan berhasil menang atau berhasil lolos dari tanggung-jawab dengan cara-cara terlebih dahulu memarahi dan menyalahkan orang-orang lugu yang bodoh? Cara-cara semacam itu membuat si pelakunya melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, alih-alih memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan sebelum ini.
Ketakutan irasional untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan kita, cenderung membuat kita melarikan diri dengan memakai cara-cara manipulatif, tidak lain dengan seni “mengelabui” dan “terlebih dahulu menuntut sebelum dituntut”. Namun, janganlah lupa, selalu ada harga yang Anda pertaruhkan ketika Anda membuat taruhan berbahaya semacam itu.
Jika Anda kalah pada akhirnya dalam pertarungan adu argumentasi demikian, maka sejatinya Anda sedang mencoreng wajah Anda sendiri. pada saat itulah, Anda akan paham maksud dibalik peribahasa “mulut-mu adalah harimau-mu.” Dalam bahasan sebelumnya, penulis juga sempat mengurai perihal anomali sosial dalam ruang pengadilan berupa gugatan demi gugatan oleh pihak-pihak yang sebetulnya paling patut digugat oleh pihak tergugat, berbuntut “digugat-balik” dan justru membuka aib pribadi kepada publik—suatu langkah kontra-produktif yang bahkan membuat terkejut pihak penggugat itu sendiri. Dirinya berasumsi, bahwa terlebih dahulu menggugat akan lebih menguntungkan kedudukan dan posisi hukumnya, hanyalah sekadar asumsi belaka—yang terbukti fatal akibatnya.
Sampai sejauh ini, penulis telah beberapa kali menemui keadaan dimana lawan bicara memakai teknik “serang dahulu sebelum diserang” meski sebetulnya mereka telah melakukan kesalahan yang dapat penulis mintakan pertanggung-jawaban dari mereka. Tentu saja, yang disebut dengan tanggung-jawab bukan artinya hanya sekadar gimmick akan bertanggung-jawab atau sekadar “lip service” seolah dirinya akan bertanggung-jawab, namun realisasi konkretnya ialah tanggung-jawab itu sendiri—tanpa perlu harus mengumbar ucapan “akan bertanggung-jawab”. Dalam praktik di lapangan, orang yang betul-betul berintegritas hendak bertanggung-jawab, sangat hemat dalam berbicara, namun kaya dalam aksi nyata.
Seseorang tidak pernah butuh mendengar mereka untuk berkata akan bertanggung-jawab, namun realisasi nyatanya. Melakukan kesalahan, lalu hanya membual dengan menyatakan akan bertanggung-jawab, artinya diri yang bersangkutan telah melakukan dua kesalahan besar—penulis menyebutnya sebagai “sebuah kejahatan yang sempurna luar dan dalam” yang bersifat “no point to return”: ibarat melaju bebas hambatan di jalan tol, menuju neraka.
Ketika seseorang membuat lontaran pernyataan yang irasional sebagai respons terhadap argumentasi logis penulis, maka sejatinya mereka sedang membuka celah yang bisa dimasuki secara telak dan mutlak mengenai bidang vital mereka. Tidak ada pemain debat yang lebih ceroboh daripada membuka celah dirinya sendiri untuk diberikan “serangan balik” secara telak dan menohok. Biasanya hanya dalam beberapa ronde, yang bersangkutan sudah tumbang dan roboh akibat ketidak-mampuan mengekang lidah di dalam mulutnya sendiri.
Ketika lawan bicara kita justru menyerang kita terlebih dahulu, meski sebelumnya mereka telah melakukan kekeliruan terhadap kita, dengan harapan di benak mereka seakan mereka bisa lari dari tanggung-jawab yang dapat kita tagih dari mereka, maka ada beberapa opsi untuk meng-counter perilaku “putar balik fakta” demikian.
Yang pertama ialah gunakan / serap (absorb) “permainan” logika pihak penyerang untuk menyerang balik pihak penyerang dengan memakai logika berpikir mereka sendiri, sehingga seolah mereka sedang bercermin dan melawan seseorang yang mencerminkan perilaku dan logika dirinya sendiri. Dan, tentu saja, logika mereka yang kita serap dan adopsi untuk melawan pemilik logika itu, kita adaptasi dengan sedikit-banyak penguatan layaknya perangkat amplifier, sehingga mereka akan jenuh dan terhenyak oleh logika milik mereka sendiri yang dilontarkan kembali kepada diri mereka. Tidak butuh banyak waktu untuk melatih keterampilan dasar seni argumentasi ini.
Opsi pilihan lainnya, ialah biarkan mereka terus melontarkan pernyataan-pernyataan absurd, yang kemudian kita jadikan itu sebagai “jebakan” atau “perangkap” (yang bila perlu sengaja kita pasang untuk dirinya) untuk menyerang balik si pembuat lontaran kata-kata absurd. Semakin dirinya gencar membuat kata-kata atau pernyataan yang absurd, maka semakin mudah bagi kita untuk pada akhirnya menjungkalkan dirinya yang sejatinya telah terjungkal separuh akibat lontaran-lontaran absurd-nya sendiri.
Semakin dirinya membuat lontaran absurd, semakin tercekik sendiri lehernya. Ketika ia sudah terjebak dalam perangkap yang kita buat dari susunan kata-kata absurd miliknya sendiri, maka kita akan mendapati diri mereka bagai anak ayam yang tidak berdaya kehilangan induknya. Ciutannya yang semula nyaring bagai gonggongan anjing, menjelma menjadi nyaris hampir tidak terdengar. Tidak ada “mantra” yang lebih sakti dan lebih manjur daripada seni yang satu itu, sebagaimana biasanya selalu penulis gunakan secara efektif dan efisien.
Opsi ketiga, ialah melakukan sindiran agar dirinya lebih berbangga diri. Semisal ketika seorang warga setempat mengendari kendaraan bermotor dengan knalpot “racing” yang berisik mengganggu ketenangan lewat “polusi suara” kendaraan motornya di lingkungan pemukiman yang padat penghunian, maka kerap kali teguran seperti “harap tidak berisik”, tidak membuahkan hasil. Cobalah seruan satu ini yang terus direpetisi: “KURANG, KURANG KENCANG BUNYINYA, LEBIH KERAS LAGI, LEBIH KERAS LAGI SUARA KNALPOT-NYA!” Tentu saja, mereka yang berkulit badak resisten terhadap trik-tips satu ini.
Opsi lainnya, tentu saja, tidak lain tidak bukan, ialah menyodorkan dan menampilkan seluruh fakta-fakta yang ada, untuk si penyerang kita “kuliti hidup-hidup”, sebuah kiasan yang secara tepat menggambarkan nasib dari si penyerang yang menggunakan teknik argumentasi yang mencoba dengan lancang melawan fakta demikian. Jangan pernah melawan fakta, itulah gambaran nasibnya. Melawan fakta, sama artinya dikodratkan untuk jatuh terjungkang menghadapi mereka yang kuat dalam hal informasi dan data.
Satu pembelajaran penting untuk kita bersama, mereka yang menguasai fakta secara lengkap dan data yang akurat, adalah seorang “invincible” alias unbeatable, tak terkalahkan—jangan pernah tergoda untuk menantang mereka, sekuat apapun permainan logika Anda, karena Anda akan terjebak dalam permainan logika Anda sendiri yang merasa frustasi membentur fakta tanpa dapat mengubah keadaan apapun, sehingga terpancing untuk memelesetkan fakta milik lawan. Akan tetapi, jangan pernah lakukan itu.
Singkat kata, sebagai nasehat dari penulis dengan penuh kerendahan hati, tentunya, agar kita jangan pernah menggunakan teknik-teknik argumentasi apapun bentuknya yang bertentangan dengan sendi-sendi bangsa beradab, yakni moralitas yang dijunjung tinggi dan kejujuran akan fakta sebagaimana adanya. Melanggar prinsip mendasar ini, sama artinya Anda sedang membuka diri untuk dipermalukan dan hanya akan ditertawakan ketika Anda menghadapi lawan yang tidak sepolos dan tidak selugu yang Anda duga dan bayangkan.
Sebagai penutup, tahukah Anda arti makna kata dalam Bahasa Inggris “absurd” ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia? Menurut Thesaurus, “absurd” merupakan kata sifat (adjective) yang dimaknai sebagai sebentuk ide, sugesti, susunan pemikiran, lontaran kata-kata, opini, ataupun pernyataan yang sifatnya tidak masuk akal, tidak logis, konyol, tidak beralasan, dan TIDAK PATUT.
Sehingga, jangankan berdebat atau berargumentasi dengan menggunakan teknik “salahkan terlebih dahulu pihak lawan sebelum disalahkan lawan”, memiliki ide atau pemikiran untuk melakukan hal tidak bermoril seperti itu saja sudah merupakan suatu hal yang layak untuk kita sebut sebagai pola pikir yang “absurd”.
Satu tips terakhir, sebagai opsi terakhir tentu saja, bila si penyerang memiliki perangai “tidak tahu malu” demikian agresif yang sudah “putus urat malunya”, sehingga bersikukuh untuk terus menyerang dan menyalahkan Anda yang sejatinya merupakan pihak yang paling berhak untuk mempermasalahkan si penyerang, ialah menggunakan teknik “record and repeat”.
Tiru pernyataan yang dibuat olehnya, dan lontarkan pernyataan yang sama kepada dirinya. Kita hanya perlu menunggu, siapa yang akan terlebih dahulu letih dan jenuh, dan yang paling terakhir bertahan maka ialah yang menang. Beruntunglah, karena hingga kini penulis belum terlalu sering masuk hingga sampai ke tahap yang paling meletihan sebagaimana disebut pada bagian terakhir ini.
Semoga kita hanya menjadikan opsi terakhir tersebut sebagai teknik cadangan, karena sangat menguras energi dan waktu. Lagipula mengapa banyak kalangan Sarjana Hukum demikian suka untuk berdebat dan mendebat, bahkan mendebatkan hal-hal yang tidak perlu untuk diperdebatkan? Apakah hemat berkata-kata adalah sebuah dosa? Sejak kapan, banyak bicara dianggap sebagai perilaku intelek?
Bukankah pepatah sudah mengatakan: Tong kosong, nyaring bunyinya? Semoga pembahasan sederhana ini, bermanfaat untuk siapa pun yang membaca dan mempraktikkannya. Practice makes perfect! Namun tetap saja, pepatah lain berkata: DIAM ADALAH EMAS! (be Silence is Gold!)
Anda memiilih menjadi yang manakah? Ingatlah betul-betul satu pesan berikut dari penulis, suatu saat, Anda akan mencapai tahap dimana Anda akan letih untuk berdebat dan mendebat—karena memang tiada hal lagi yang perlu didebatkan kecuali berdebat menghadapi diri Anda sendiri, lawan terbesar Anda. Ketika Anda telah mencapai tahapan ini, maka disitulah Anda baru benar-benar layak menyandang sebagai bergelar “seorang Maestro”. Kemampuan berkomunikasi yang melampaui keheningan maupun kata-kata.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.