Pola Pikir Seseorang yang Layak Disebut sebagai Pakar, yakni Ia yang Mampu Mengatasi Sebentuk Ketakutan Irasional

ARTIKEL HUKUM
Seseorang untuk dapat dikatakan sebagai orang yang hebat / jenius, tidak memenangkan pertarungan dengan pengaruh koneksi pejabat, kekuatan otot (kekerasan atau menyewa aksi premanisme), ataupun kekuasaan uang (money politic); tetapi semata mengandalkan data informasi berharga yang dihimpun olehnya, segenap pengetahuan yang dimiliki, serta keterampilan untuk dipraktikkan sendiri olehnya.
Ketakutan dan yang menjadi sumber ketakutan, hanya dapat terjadi dalam kondisi ketika kita “buta sepenuhnya” atas suatu keadaan yang menuntut kita untuk memulai melangkah dengan meraba-raba di tengah kegelapan atau lampu temaram, dimana segala sesuatunya masih tampak asing bagi kita. Sebagai contoh kedalaman samudera yang penuh misteri dan gelap, membuat imajinasi kita melesat secara liar tentang monster-monster mengerikan bersemayam di bawah kedalaman laut yang dingin dan gelap, lengkap dengan taring-taring mematikan mereka yang ganas dan buas tanpa kompromi, menunggu tangan-tangan kecil kita untuk dimangsa.
Namun ketika tim ekspedisi bawah laut melakukan penyelaman dan membuat terang semuanya, misteri terkuak, penemuan demi penemuan dihasilkan, dan tiada lagi yang perlu kita cemas atau takutkan. Bayangkan, ketika ribuan tahun lampau, ketika umat manusia baru pertama kali berjumpa dengan satwa / hewan seperti cumi-cumi, gurita, kepiting, lobster, ikan paus raksasa, mungkin kita akan mengira makhluk-makhluk tersebut adalah jelmaan iblis bawah laut yang beracun dan ganas serta mematikan, seperti imajinasi kita tentang Dinosaurus T-rex yang bisa jadi sejinak anjing kecil rumahan yang mungil namun hanya nyaring bunyinya.
Akan tetapi, ketika semua itu saat kini telah menjadi terang-benderang, bukan lagi umat manusia yang menakuti mereka, namun mereka yang kini takut terhadap ekspansif umat manusia dalam memburu dan memakan mereka. Selama ini mereka hidup dengan cara berlindung dalam selaput / selubung misteri, sehingga umat manusia tidak berani menyentuh ataupun mendekati tempat mereka berlindung.
Sama seperti ketika kita belum mengenal ataupun memahami suatu keterampilan, kita merasa hal tersebut sangat menakutkan dan tidak ingin bersentuhan terlebih berdekatan dengannya—bahkan membayangkannya saja dapat membuat kita alergi dan menderita mual hingga pingsan. Meski, pepatah lama sudah menyebutkan, practice makes perfect. Ibarat roket pembawa pesawat ulang-aling untuk bisa meluncur ke luar angkasa membawa para astronot kita dari Bumi menuju Planet Bulan, suatu dorongan awal adalah energi terbesar yang dibutuhkan agar pesawat mampu melesat ke angkasa. Namun, pada titik awal itulah banyak diantara kita yang jatuh bertumbangan, padahal kita seringkali belum memulai apapun.
Sama seperti ketika orang awam merasa peradilan adalah tempat yang demikian “angker” dan “sakral” sehingga ditakuti para pencari keadilan, sehingga jasa layanan advokat menjadi demikian “laku” di Tanah Air, tidak lain karena para pengacara memanfaatkan dengan baik ketakutan irasional (ketakutan tidak logis) dari masyarakat kita yang belum apa-apa telah berasumsi bahwa teknikalisasi di pengadilan begitu tidak tersentuh dan tidak terjangkau oleh orang awam seperti mereka—padahal tidak ada satu pun peraturan yang menyatakan bahwa peradilan adalah monopoli kalangan pengacara untuk dapat diakses. Sama seperti kekeliruan umat awam bahwa Kantor Pertanahan / BPN seolah hanya menjadi monopoli tempat “bermain” kalangan Notaris / PPAT.
Padahal, jika kita mau berbicara secara terbuka, tiada yang sakral di ruang pengadilan di Tanah Air, semuanya serba monoton, prosedural, penuh kolusi dan korupsi, pengabaian, arogansi pihak jurusita, penelantaran pihak panitera, hingga terkesan membosankan dan kaku tingkah-polah seremoni / ritual kalangan hakim yang ditandari ciri khas perkataan : “Surat gugatan dan putusan dianggap sudah dibacakan. TOK, sidang ditutup.” Jangan pernah bandingkan dengan apa yang Anda saksikan di televisi, Anda akan kecewa.
Ketika kita telah berkecimpung secara langsung dalam praktik peradilan, kita akan tahu bahwa tontonan yang ada dalam peradilan hanyalah “yang itu-itu saja”. Tidak akan ada, baik penggugat maupun tergugat, yang akan melontarkan debat argumentasi layaknya di film-film, secara seru dan sengit disertai kecerdasan dalil yang diiringi sorak-sorai penonton, karena itu membuang-buang waktu saja di mata kalangan hakim.
Kini penulis mengajak para pembaca untuk membayangkan contoh sederhana ini: Anda berdebat hari ini di depan hakim saat persidangan, berharap fakta terkuak terang-benderang dan membuka borok pihak lawan, namun perkara baru akan diputus hingga enam bulan kemudian, maka saat sang hakim baru akan membuat putusan, apakah si hakim masih akan ingat semua debat Anda tersebut sementara disaat bersamaan sang hakim juga menangani ratusan perkara lain? Asumsi kita seringkali bertolak-belakang dengan kenyataan saat menemui realita di lapangan.
Banyak diantara klien penulis secara pribadi, menyampaikan masalah hukum yang bagi mereka tampak kompleks dan membuat kening mereka mengernyit demikian dalamnya, bahkan membuat kulit wajah mereka berkeriput lebih cepat dari umur mereka, seolah langit ini akan runtuh esok hari ini. Setelah menjalani sesi konsultasi, barulah mereka akan berkata : “Oh, ternyata hanya seperti itu saja masalahnya.”
Sejujurnya pula, hampir seluruh masalah para klien penulis sejatinya hanyalah masalah sederhana yang terbilang sepele—entah karena sang klien yang selama ini terlampau memperumit dalam alam berpikirnya, atau memang karena faktor “practice makes perfect” penulis selaku konsultan hukum spesialis preseden yang dituntut secara profesional telah membaca setidaknya ribuan perkara putusan pengadilan. Bukan hanya sang klien, penulis pribadi sering-kali berujar dalam benak setelah menutup sesi konsultasi : “Oh, ternyata hanya seperti itu saja masalahnya.” Jika memang sesuatunya itu sederhana saja adanya, mengapa juga dibuat tampak demikian rumit dan “njelimet”? Sejujurnya pula, penulis dibayar mahal jasanya memang untuk membuat masalah menjadi tampak lebih sederhana, ibarat mengurai “benang-kusut” sehingga tidak lagi tampak memusingkan.
Seringkali yang membuat sesuatu hal yang sebenarnya sederhana menjadi tampak rumit, tidak lain pikiran liar kita itu sendiri yang berkutat dalam ketakutan dan hal-hal menakutkan yang masih menjadi misteri yang meliputi isi pikiran dan hati kita, akibat berbagai pertanyaan yang menghantui dan membuat penasaran hingga depresi dan putus asa.
Namun setelah menjalani berbagai proses penelitian, penelusuran, eksperimen, hingga pemantauan dan pembelajaran serta pengumpulan data / informasi secara sistematis dan komprehensif, semua menjadi terang-benderang adanya, dan tidak ada lagi yang perlu untuk dicemaskan ataupun ditakuti. Semua akan menjadi tampak semudah dan semulus berselancar di papan ski bersalju, meluncur bebas tanpa banyak hambatan berarti.
Tips tersebut diatas, sejatinya dapat diterapkan setiap orang, siapa saja, dimana saja, kapan saja, untuk masalah apa saja. Memang, penulis tidak memungkiri faktor bakat atau talenta bawaan, namun setidaknya kita tidak “buta-buta amat”. Klien yang sedikit “melek hukum”, tidak akan mudah dibodohi terlebih diperdaya oleh pengacara mereka. Itulah yang kerap penulis temukan saat sesi konsultasi para klien yang merasa kecewa terhadap pengacara mereka sebelum kemudian mencari penulis sebagai konsultan mereka—mengapa juga masyarakat Indonesia baru mencari Konsultan Hukum ketika mereka sudah merasa terbentur “benang kusut”, bukan justru meminta nasehat hukum dari konsultan untuk fungsi preventif dari masalah, sehingga menjadi terbalik alur proses preventif-kuratifnya.
Seperti yang telah penulis kemukakan sejak awal uraian dalam artikel sederhana ini, orang yang benar-benar patut disebut sebagai “hebat” dan “luar biasa” atau bahkan yang layak disebut sebagai “jenius”, bukanlah orang-orang yang mencari jalan pintas lewat pengaruh koneksi, kekuatan otot (kekerasan dan ancaman), ataupun kekuasaan uang (suap-menyuap), namun mereka yang akan berani untuk menghadapi rasa takut mereka secara rasional, mulai menghimpun informasi secara tekun penuh kesabaran, memulai keberanian untuk mempelajari hal-hal baru, terbuka pada kemungkinan dan khasanah / wawasan baru, dan menjadikannya pengetahuan serta keterampilan praktis diri kita sendiri.
Kita akan selalu diliputi ketakutan dan rasa takut, atau bahkan menjadi “mangsa empuk” kalangan pengacara nakal ataupun tukang-tukang nakal profesi lainnya, ketika kita “buta sama sekali” terhadap suatu masalah yang kita hadapi. Orang malas menjadi bodoh, adalah hal yang patut dan wajar. Orang bodoh tidak boleh bersikap penuh iri terhadap mereka yang disanjung karena kecerdasan maupun kesuksesannya. Sama seperti kalangan buruh yang tidak punya hak moril apapun untuk menuntut terhadap kalangan pemberi kerja, karena para buruh tersebut sama sekali tidak akan bersedia melakukan pengorbanan yang sama seperti yang dilakukan pemberi kerja mereka.
Penulis sering menyebutnya sebagai “hipokrit berjubah buruh”—kalangan buruh kerap menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis, menuntut dilayani tanpa mau membayar tarif jasa layanan sementara diri mereka memprotes tidak dibayarkannya upah mereka oleh pihak pengusaha sehingga terjadi sengketa hukum, seolah hanya mereka sendiri yang berhak menerima kompensasi uang atas keringat dan keterampilan mereka sementara disaat bersamaan mereka justru memperbudak profesi penulis selaku konsultan, perilaku yang tak ubahnya dengan pengusaha yang bersengketa dengan mereka sendiri.
Terdapat juga solusi lain, mengingat keterbatasan umur dan waktu kita untuk mempelajari segala sesuatunya, yakni menyewa profesional yang memang spesialis dibidang mereka masing-masing, semisal konsultan bisnis dan keuangan, konsultan pajak, konsultan desain produk, hingga konsultan hukum. Masing-masing diantara mereka dibayar mahal atas jasa profesi mereka, yang telah menjadi ahli dan spesialis lewat pengorbanan waktu serta tenaga mereka sehingga dapat memasuki level ahli dibidangnya.
Bila Anda memiliki penyakit kronik tertentu, apakah Anda akan memercayakan nasib Anda untuk ditangani dokter umum? Tentu saja Anda akan terpanggil untuk menggunakan jasa dokter spesialis, dengan sejumlah kompensasi yang patut tentunya. Sama seperti itulah, masalah hukum mungkin saja ditangani oleh seorang Sarjana Hukum, namun apakah Anda akan mencari seorang Sarjana Hukum Tata Negara untuk mengatasi masalah pertanahan Anda? Anda sendiri sebetulnya sudah tahu jawabannya, sehingga tiada gunanya lagi memungkiri nurani pribadi.
Spesialis artinya pembelajaran seumur hidup. Bersikap profesional artinya berprofesi secara sepenuh hati dan penuh tanggung-jawab terhadap diri kita sendiri dan juga terhadap pihak pengguna jasa. Berbobot artinya memiliki bobot, bukan hanya sekadar membalut tubuh dengan jas dan dasi mengkilap dan rambut tersemir atau sepatu vantofel mengilap dan parfum berbau tajam yang menusuk hidung.
Kejujuran artinya terbuka apa adanya : seekor kura-kura jangan pernah mengklaim mampu untuk terbang dengan sayapnya. Pengetahuan artinya benar-benar tahu dan dapat membawa faedah. Jika “belum tahu”, artinya kita perlu mencari tahu atau setidaknya mencari seseorang yang dapat memberi jasa konsultasi bagi Anda untuk mempercepat kita menjadi “tahu”, bukan berkubang dalam ketakutan yang irasional. Hidupkan lampu untuk menerangi kegelapan, jangan hanya semata mengajukan protes pada kegelapan yang tidak akan ambil hirau terhadap komplain kita.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.