ARTIKEL HUKUM
Jika kita hendak untuk memilih “golput” (golongan putih) saat proses pemilihan umum Kepala Daerah maupun Kepala Negara, dengan kondisi telah mendapat surat undangan atau surat pemberitahuan untuk ikut men-“coblos” karena nama kita telah tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Tempat Pemasukan Suara (TPS), kita akan merelakan suara kita tidak diberikan pada satupun calon yang dimajukan ke hadapan kita.
Dua telur busuk disodorkan kepada kita untuk dipilih, maka tetap saja tidak ada telur yang baik mutunya untuk dipilih. Telur mana pun dari kedua telur itu yang akan terpilih secara mayoritas perolehan suara pada akhirnya, tetap saja tidak dapat disebut sebagai “telur terbaik”. Hanya membuat perbandingan telur itu dengan satu telur buruk lainnya, sama-sama telur busuk. Memilih “golput”, adalah salah satu aspirasi kekecewaan karena hanya disodorkan dua telur busuk. Adalah suatu pemborosan yang mubazir, disebut “pesta rakyat” namun rakyat “tersandra” suaranya hanya dapat memilih satu diantara dua telur busuk.
Meski demikian, dalam bahasan singkat ini, penulis tidak hendak menyinggung perihal hukum tata negara terkait “dua telur busuk untuk dipilih”. Namun bagaimana jika yang terjadi adalah seperti berikut ini. Sekalipun sejak semula hingga detik-detik terakhir, kita telah menetapkan hati untuk memilih “golput” (siapa bilang memilhi “golput” bukanlah pilihan itu sendiri? Menjadi negara “nonblok” saja sudah merupakan suatu bentuk pilihan itu sendiri), akan tetapi tidak pernah mendapat surat undangan untuk ikut men-“coblos”, maka pastilah kita tidak akan merelakan suara kita tidak bisa digunakan, dan akan melakukan serangkaian aksi unjuk-rasa.
Itu adalah kekecewaan yang sangat wajar, karena meski kita memang hendak memilih untuk tidak memilih, tetap saja status kondisinya suara kita menjadi tersandera dalam keadaan tidak dapat memilih—meski kita tahu bahwa memilih untuk tidak memilih adalah sebuah pilihan itu sendiri.
Menurut Anda, memang adakah beda, antara: 1.) menjadi “golput” tanpa dapat memilih untuk “tidak golput”; dan 2.) menjadi “golput” karena kehendak bebas dan bebas untuk memilih untuk menjadi “golput”? Senyatanya, beda antara keduanya sangat kentara dan kontras sekali, tanpa dapat kita pandang sebelah mata.
Ada sebentuk opsi yang dapat dipilih dan diambil sikapnya oleh masing-masing warga negara, merupakan syarat vital untuk dapat merasa berdaya sebagai seorang subjek hukum yang setara dalam harkat dan martabat dengan warga negara lainnya, di mata hukum dan prinsip dasar keadilan sosial.
Seseorang dapat saja memilih untuk menikah atau memilih untuk hidup secara selibat. Sekalipun dirinya memilih untuk hidup selibat, tanpa menikah untuk seumur hidupnya, tetap saja dirinya telah memilih dan mengambil pilihan hidupnya sendiri secara berdaya dan mandiri. Tiada penyesalan disitu, karena pilihan ada di tangan dirinya sendiri untuk hidup secara selibat, dan dirinya sendiri yang paiing bertanggung-jawab atas konsekuensi dari pilihan hidupnya sendiri.
Masing-masing, antara hidup berumah-tangga dan hidup secara selibat, memiliki konsekuensi serta tanggung-jawabnya masing-masing. Namun esensinya ialah terletak pada pilihan bebas untuk membangun rumah-tangga ataukah untuk hidup secara selibat. Berbeda konteks bila sang suami hendak berpoligami, karena hal ini tidak lagi tersangkut paut pilihan bebas untuk berpoligami karena adanya suatu ikatan “kontraktual batin” bernama hak istri untuk juga memilih untuk tidak “di-madu”. Ketika dua hak dari dua subjek hukum berbeda saling tarik-menarik, hak opsi itu menjadi berhenti sampai sejauh itu saja.
Setiap anak diberi kesempatan dan hak untuk menempuh pendidikan di jenjang pendidikan formil di sekolah. Namun bagaimana jika seseorang memilih untuk keluar dari sekolah untuk membangun kerajaan bisnisnya sendiri, seperti banyak kisah-kisah para pengusaha sukses yang terkenal di mancanegara yang kisah hidupnya menyerupai “mitos nyata” dan legenda, seakan-akan “keluar dari arus mainstream”? Namun bukan artinya kita merasa berhak untuk tidak bersekolah dari SD sampai SMU, karena ada hak opsi orang tua untuk melihat anak kita tumbuh dewasa dengan bekal pengetahuan serta keterampilan yang cukup memadai sebagai bekal sang anak menghadapi hidup yang kian kompetitif ini. Kecuali sang orang tua dan sang anak memang sama-sama menghendaki menjadi bodoh—suatu kemungkinan yang jarang dapat kita jumpai dalam realita.
Dari contoh sederhana demikian, kita mulai dapat memahami sebentuk alam pikir manusia yang sangat sensitif dalam ini. terdapat sebuah tipe “keadilan yang menawarkan pilihan”, sehingga warga merasa berdaya karena ada kemampuan dan diberi kesempatan untuk memilih—apapun pilihannya pada akhirnya, sekalipun memilih untuk tidak ikut memilih.
Penulis menamakannya atau memberinya sebutan sebagai tipe “keadilan yang menawarkan pilihan”, karena tidak lain pilihan dalam menjalankan berbagai opsi dalam kehidupan masing-masing individu subjek hukum, merupakan faktor yang paling esensial dan primer dalam kehidupan umat manusia disamping hak untuk bernafas. Ia sejajar dengan hak untuk menyampaikan aspirasi dan menentukan nasib sendiri (the right to self-determination).
Penulis tidak bermaksud untuk berkepanjangan dalam membabas hal yang sejatinya memang cukup sederhana ini, tapi bukan berarti mengurangi daya penting dan daya genting dari jenis keadilan satu ini. Katakanlah menurut hukum yang diatur pada satu negara, sebut saja Negara Antah Berantah, setiap anak diwajibkan untuk memakan suatu jenis sereal yang membuat tubuh mereka tumbuh besar dan kekar berotot tanpa perlu banyak berlatih angkat barbel.
Para menteri kesehatan di Negeri Antah Berantah super jenius penemu sereal ajaib tersebut, mensugensi sang raja agar membuat peraturan agar setiap anak yang lahir di negeri tersebut, diwajibkan memakan sereal demikian, agar mereka tumbuh besar dan kuat, demi kebaikan mereka sendiri, demikian imbuh mereka, merasa sudah menjadi bak pahlawan bagi Negeri Antah Berantah.
Alhasil, karena sifatnya ialah suatu “kewajiban” yang dilandasi “perintah” dari negara, maka siapa saja yang membantah, menentang, lalai dengan tidak menuruti dan mengikuti perintah, atau bahkan membangkang, akan mendapat ancaman sanksi hukuman dari otoritas penegak hukum dan eksekutornya.
Apa yang kemudian paling mungkin dapat terjadi pada Negeri Antah Berantah? Itulah tepatnya genosida yang dilakukan oleh rezim Nazi di Jerman diera kepemimpinan Hitler, sang diktator. Mereka berpikir pemurnian ras dapat dilakukan lewat cara-cara pemaksaan, bukan dilandasi oleh suatu pilihan bebas warga negaranya sendiri untuk membuat seleksi alam yang natural sesuai semangat bangsanya mereka masing-masing. Bahkan ada sebagian kalangan wanita, yang merasa pria kurus demikian “seksi”. Belum pernah penulis jumpai, kalangan gadis yang merasa tokoh Spiderman diperani oleh tokoh seber-otot pemeran film The Terminator. Spiderman merupakan tokoh fiktif yang elegan, sehingga disukai para pemujanya, bukan seorang “tukang pukul” dengan otot bak binaragawan untuk dipertontonkan.
Setiap orang berhak untuk memilih untuk menjadi pegawai, atau menjadi wirausaha yang membuat dan membuka usaha sendiri, meski dalam skala “kecil-kecilan”. Dari sudut pandang itulah, penulis merasa kurangla elok ketika kaum buruh selalu berdemo menuntut “ini” dan menuntut “itu”. Padahal, sebagaimana yang juga telah kita ketahui bersama, mereka selalu memiliki pilihan bebas untuk membuat penentu hidup mereka sendiri.
Kaum buruh seringkali mendramatisasi keadaan, dengan sikap seolah “bila mereka tidak menjadi buruh, maka langit akan runtuh”. Persepsi demikian terlampau dangkal sekaligus ekstrim yang kekanakan, dalam hemat penulis. Entah karena lupa atau karena memang dilandasi suatu kepicikan dan kekerdilan daya pikir, mereka bersikap seolah mereka tidak punya pilihan lain selain menjadi “buruh” untuk kemudian mengkambing-hitamkan dan selalu lebih pandai untuk menyalahkan kalangan pengusaha pemberi kerja, seolah mereka kurang mendapat gaji dan syarat kerja yang memadai—padahal faktanya tidak ada yang pernah memaksa mereka untuk menjadi seorang buruh.
Visi utama dari dituliskan bahasan dan ulasan singkat sederhana ini, tidak lain untuk mengingatkan kembali diri kita bersama, bahwa hukum tidak boleh mengekang hak opsi untuk memilih bagi setiap warga negaranya, apapun pilihan yang mereka pilih pada akhirnya. Negara hanya berhak untuk melakukan pendekatan dan edukasi, disamping (sebatas) persuasif, agar masing-masing dari warga negaranya dapat membuat pilihan secara cerdas, arif, serta bijaksana, sekaligus menjadi pengingat bahwa kita masing-masing memiliki pilihan bebas dan tanggung-jawb atas pilihan hidup kita masing-masing. Apa jadinya bila hari Minggu dijadikan hari yang WAJIB berlibur, sekalipun Anda tidak menghendaki untuk berlibur?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.