Hukum yang Melampaui Segala Hukum, Hukum Diatas Hukum

ARTIKEL HUKUM
Jika Anda bertanya kepada penulis, adakah hukum yang lebih tinggi daripada hukum? Para Sarjana Hukum lain pastilah akan mengatakan bahwa “asas hukum” dan “ide hukum” yang abstrak adalah bersifat lebih tinggi daripada norma hukum yang konkret, seperti yang tertulis dalam buku teks teori ilmu hukum yang kaku dan cenderung “kering”.
Namun “asas hukum” hanyalah “makanan” untuk “orang hukum”, bukan santapan untuk orang-orang “awam hukum”. Sesuatu yang abstrak tidak dapat dimakan, karena ia bukanlah barang konkret. Tidak ada gunanya berbicara tentang hal abstrak, terutama bagi orang-orang yang sedang menderita kelaparan. Mari kita berbicara perihal “law in concreto”, bukan bergenit-ria dalam “law in abstracto”.
Penulis secara pribadi juga akan mengatakan “Ya, ada, hukum diatas hukum”, meski penjabarannya akan cukup berbeda dari yang lazim dijumpai dalam teks ilmu hukum, yakni: JANGANLAH TERLAMPAU SERAKAH (greedy). Jika saja masing-masing di antara kita memahami prinsip sederhana tersebut, maka tiada pernah akan kita jumpai sengketa hukum di pengadilan. Gedung pengadilan akan menjelma menjadi tempat yang sepi dan sunyi. Untuk yang satu ini, siapa pun dapat memahami dan mencerma maksudnya, tanpa perlu mengernyitkan kening. Sesuatu yang dapat memberi pemahaman, seharusnya diurai secara sederhana saja untuk masyarakat umum, tanpa harus disertai embel-embel “kegenitan” intelektual terminologi hukum yang “centil”.
Dalam Buddhisme, Sang Buddha mengajarkan agar kita melepas “kemelekatan” (attachment) untuk bisa hidup secara bebas dari dukkha. Segala nafsu, keinginan yang tak akan pernah terpuaskan, segala niat buruk, itikad jahat, ketidak-jujuran, intrik busuk, dan berbagai bentuk kejahatan lain yang dapat kita sebutkan satu per satu, bersekutu dengan obsesi kita pada “kemelekatan”, alias “melekat pada kemelekatan”. Diperbudak, namun merasa menjadi tuan atas segala keinginan dan obsesi diri kita sendiri tersebut. Antara memperbudak dan diperbudak, menjadi tidak lagi dapat dibedakan secara kontras, terbutakan.
Tidaklah heran, bila kemudian kita mengenal sabda Sang Buddha yang terkenal itu, bahwa tidak ada yang perlu dibanggakan bila kita mampu menang dalam seribu pertempuran melawan orang lain. Yang terhebat ialah ia yang mampu menaklukkan dirinya sendiri. Benih ke-Buddha-an ada di dalam diri, dan benih “kekotoran batin” (Mara) juga ada di dalam diri kita sendiri, masing-masing membawa benih potensi itu.
Analogi sederhana yang dapat penulis berikan sebagai contoh konkret adalah sebagai berikut. Dengan memiliki properti dan melekat padanya sebagai kepemilikan “milik AKU”; maka, ketika terjadi bencana alam yang mengakibatkan properti “milik AKU” tersebut musnah seperti yang terjadi pada daerah Porong dan Sidoarjo akibat luapan lumpur dari dalam perut bumi, atau ketika terjadi sengketa pertanahan hingga aksi pidana penyerobotan tanah, maka kita akan merasa terluka, sama sakit rasanya dengan ketika tangan kita diputuskan dan terluka.
Padahal, kita tahu bahwa tangan kita hanya ada dua, namun dengan memiliki berbagai properti yang tersebar di berbagai tempat tersebut, seolah tangan kita menjadi lebih dari dua, bertambah sebanyak jumlah properti “milik AKU”, sehingga bila properti tersebut rusak atau bahkan dirampas oleh pihak lain, seolah tangan kita ikut teramputasi dan terluka, berdarah dan perih menyesakkan, sehingga batin kita menjadi rentan ikut terluka dan terguncang demikian hebatnya.
Tubuh dan perasaan “AKU” seolah bertambah besar sebanyak properti yang kita miliki (tempat kemelekatan melekat dengan lekat), sehingga kita menjadi semakin rentan dan mudah untuk dilukai dan terluka. Ketika properti tersebut diganggu sedikit saja, kita menjadi lekas murka dan emosi, seolah tubuh dan perasaan kita yang dilukai dengan diganggunya properti milik kita tersebut.
Namun bukan berarti kita akan dengan bodohnya hanya menampilkan wajah penuh senyum, ketika orang lain menyerobot properti kita. Seperti yang dikatakan oleh Ajahn Brahm, bahwa “Orang suci sekalipun masih butuh menunjukkan taringnya, agar tidak mati konyol di-bully orang-orang nakal.” Tidak ada aparat penegak hukum yang tampil bak malaikat yang lembut, lengkap dengan lingkaran cahaya di atas kepala dan sayap merpatinya.
Bandingkan dengan mereka yang sama sekali tidak memiliki properti, sekalipun gempa mengguncang seluruh kota dan daerah di muka Bumi ini, tiada panik, karena tiada properti “milik AKU” yang rusak, sehingga tiada batin yang tergoyahkan, karena memang tiada “kepemilikan AKU” untuk dilekati kemelekatan. Jarang ada seseorang yang memiliki “milik AKU”, tidak turut terguncang jiwanya ketika “milik AKU” tersebut rusak atau hilang.
Cat mobil Anda yang tergores saja, sama sakitnya dengan perasaan Anda yang terluka ketika kulit Anda tertusuk duri, padahal jelas-jelas bahwa mobil adalah benda mati yang bukan bagian dari tubuh Anda—namun begitulah cara kerja kemelekatan yang melekat pada Anda karena Anda lekati lekat-lekat. Tidak akan ada orang yang memiliki dinasti kekayaan yang akan meninggal secara rela melepas seluruh harta kekayaan yang sepanjang hidupnya dikumpulkan untuk ditinggalkan begitu saja.
Harta kekayaan begitu membuat kita tergoda dan melekat dengan amat sangat lekat—bukan hanya bagi almarhum, namun juga bagi ahli warisnya yang seringkali bertikai memperebutkan harta warisan, entah berkah atau sebagai kutukan: tali persaudaraan rusak hanya semata karena memperebutkan harta peninggalan. Sengketa dan konflik, mungkin itulah yang turut diwariskan oleh sang almarhum dibalik warisan harta.
Namun bukan berarti juga Sang Buddha mengajarkan kita untuk hidup secara miskin dan menjadi penyakit sosial akibat “melekat pada kemiskinan dan kebodohan”, itu sama-sama pola paradigma berpikir yang ekstrim yang tidak dibenarkan oleh Buddhisme yang menekankan para praktik latihan “jalan tengah” (moderat), alias hidup secara tidak berlebihan.
Lalu bagaimana, agar kita dapat terbebas dari segala kemelekatan? Bebas dari kemelakatan bukan berarti kita tidak boleh punya rumah ataupun kebutuhan dasar pokok untuk bertahan hidup. Dapat kita mulai dengan mencoba memahami sabda Sang Buddha berikut ini: “Apa pun yang muncul, semua itu pasti berlalu.” (Sayutta Nikâya 56.11)
Terdapat ulasan yang sangat jernih menerangkan fenomena unik ini, sebagaimana telah diuraikan secara lugas oleh seorang Bhikkhu bernama Ajahn Chah, dalam ceramahnya yang dihimpun oleh Paul Breiter dalam buku berjudul “Ini Pun Akan Berlalu” (judul asal “Everything Arises, Everything Falls Away”), penerjemah: Nafta S. Meika, Penerbit Ehipassiko Foundation, Cetakan ke-3: Januari 2011, Jakarta, dengan uraian yang menarik perhatian sebagai berikut: (dikutip dari hlm. 196—204)
Sang Buddha mengajarkan Dhamma agar orang-orang dapat melampaui dukkha, untuk hidup bebas dari dukkha. Jika tidak ada dukkha, bagaimana jadinya ya? Tidak akan ada diri, tidak ada aku maupun milikku. Namun harus ada kebijaksanaan yang bekerja dalam “tanpa aku dan milikku” ini, agar manfaat bisa muncul.
Misalnya, kita mengatakan, “Tubuh ini bukan milikku,” dan kemudian mengambil senjata untuk menghancurkan tubuh, itu tidak membawa manfaat apa pun. “Cangkir dan piring ini bukan milikku, jadi aku lebih baik memecahkan dan menyingkirkan mereka semua.”—itu adalah jenis orang yang paling dungu. Atau ketika Anda merasa terbebani karena punya anak, Anda mungkin berpikir, “Nah, ajaran mengatakan bahwa anak-anak ini bukan benar-benar milikku, jadi aku bisa meninggalkan mereka.” Jangan lakukan itu!
Jika tidak ada diri, maka bagaimana bisa ada apa pun yang menjadi milik diri? Pikirkan ini baik-baik. Seharusnya jelas, jika ada “aku”, maka ada hal-hal yang menjadi milik-“ku”. Gelas ini kemudian menjadi milikku. Jika tidak ada aku, maka gelas ini bukan milikku. Jika tidak ada saya, maka gelas ini bukan milikku. Ketika sesuatu memecahkannya, atau gelas ini hilang, ini seakan-akan Anda menyaksikan barang milik orang lain pecah atau hilang, dan tidak ada tingkat kesedihan yang akan Anda rasakan seperti seandainya gelas ini milik Anda.
Ini semua bergantung pada apakah ada atau tidak ada konsep diri yang terlibat. Jadi kita diberitahu untuk menghancurkan gumpalan diri ini, menghancurkannya dengan kebijaksanaan—kita tidak bisa menghancurkannya dengan menikam atau menguburnya. Tujuan Sang Buddha adalah mengetahui dunia dengan sepenuhnya. Jika kita mengenalnya dengan baik, maka tidak akan ada kesulitan, karena kita tidak akan menggendong dunia. Tapi tanpa pengetahuan, kita mutlak menggendong segalanya.
Orang-orang pada zaman sekarang ini seperti seseorang yang berupaya mengisi gentong air tanpa menuangkan air ke mulut gentongnya. Mereka menuang air di sekitar gentong, sehingga air tidak masuk untuk mengisi gentong itu. Mereka bisa menuang air dengan cara ini selama setahun atau seumur hidup tanpa mengisi gentong itu. Nafsu orang-orang pada masa kini adalah seperti itu. Mereka senantiasa mencari lebih dan tak pernah terpuaskan.
Orang miskin penuh dengan nafsu, mendambakan lebih. Orang kaya juga penuh nafsu dan mendambakan lebih. Hal ini telah sampai ke titik di mana kita tidak bisa lagi menemukan orang kaya satu pun; setiap orang menjadi miskin oleh nafsu mereka (sehingga mereka merasa belum cukup dan masih ingin yang lainnya karena belum penuh). Mendambakan (ternyata) membawa begitu banyak duka bagi kita. ini adalah sesuatu yang benar-benar seharusnya kita selidiki dan renungi.
Kini saya telah mengajar dan melatih orang hampir tiga puluh tahun lamanya. Saya merasa yang paling pokok adalah orang-orang setidaknya menyadari Dhamma, melepas beban mereka, dan tidak tinggal dalam samsara terlalu lama. Jika setidaknya Anda bisa memasuki arus (Sotapanna) menuju pencerahan dan terjamin tidak akan ada lagi kelahiran ulang kedelapan, itu akan bagus sekali. Jangan biarkan dirimu terlahir kembali dalam wujud yang menyedihkan seperti lalat dan kutu, atau sebagai kura-kura, babi, dan anjing, sebagai orang yang buta dan tuli, atau jenis makhluk malang lainnya. Kita tidak tahu di mana kita akan terlahir jika kita tidak meloloskan diri sekarang.
Tujuan dari pembelajaran dan praktik kita hanyalah agar kita tidak harus menderita. Tanpa duka, ini berarti duka tidak bisa menemukan kita. Penguasa Kematian tidak bisa menemukan kita.
Ada wujud jasmani, perasaan, pencerapan, pikiran, dan kesadaran. Mereka muncul dan lenyap, tidak ada orang di sana (yang ada hanyalah konvensi), hanya fenomena yang tidak tetap dan tidak bisa diandalkan. Jika Anda berpikir bahwa Anda mati, maka Anda akan terlahir ulang di sini dan di sana, berulang kali. Anda akan menderita tanpa akhir, karena itu belum tuntas.
Sang Penakluk (Sang Buddha) adalah orang yang telah tuntas. Tuntas dalam segala hal, tuntas dengan setiap hal. Jika kita bicara mengenai “tuntas”, orang-orang merasa tidak nyaman. Mereka pikir tidak ada tempat untuk mereka hidup lagi. Mereka mendengar pembicaraan penutupan, usai sudah, tiada apa pun, dan tidak paham, mereka tidak bisa melihat bahwa itu adalah kondisi kebahagiaan dan kenyamanan (tidak lagi harus hidup dalam spekulasi masa yang akan yang penuh ketidak-pastian dan ketidak-tetapan).
Ini sesuatu yang sulit untuk disampaikan. Kita bicara mengenai yang adiduniawi, yang melampaui dunia—melampaui semua kebiasaan, pandangan, pemikiran, dan perasaan orang-orang di dunia. Dunia berarti makhluk penghuni dunia. Apa pun yang bisa kita peroleh atau raih di dunia, hal itu tetap saja duniawi dan dapat terkena kelapukan dan kehilangan, jadi jangan terlampau terhanyut oleh dunia.
Ini seperti kumbang yang menggaruk-garuk tanah. Dia bisa menggaruk hingga muncul gundukan yang jauh lebih besar dari dirinya, tapi itu tetap saja seonggok tanah. Jika kumbang itu bekerja keras, dia bisa menghasilkan lubang yang dalam di tanah, namun itu hanyalah lubang di tanah. Jika sapi membuang setumpuk kotoran di sana, kotoran itu akan lebih besar dari setumpuk tanah milik kumbang itu, namun masih bukan sesuatu yang bisa mencapai angkasa. Semua itu hanya kotoran. Prestasi-prestasi duniawi adalah seperti ini. Tak perduli betapa kerasnya kumbang bekerja, mereka hanya berurusan dengan kotoran, bikin lubang, dan gundukan.
Orang yang punya karma duniawi yang baik memiliki kecerdasan untuk sukses dalam dunia. Namun tak peduli seberapa suksesnya mereka, mereka masih hidup di dunia. Semua yang mereka lakukan adalah duniawi dan punya batas, seperti kumbang yang menggaruk tanah. Lubangnya mungkin saja dalam, namun itu berada di dalam tanah. Gundukannya mungkin saja tinggi, namun itu cuma gundukan tanah. Sukses, meraih banyak, kita cuma sukses dan meraih banyak di dunia.
Pengetahuan dan pencapaian duniawi pada taraf apa pun masih akan membuat Anda berada di alam dukkha. Apa pun kebahagiaan yang muncul di sana bergantung pada hal-hal eksternal. Ini bukanlah kebahagiaan keterbebasan, kebahagiaan yang tidak bergantung pada apa pun yang eksternal.
Kita bergantung pada apa? Kita bergantung pada harta milik, pada kenikmatan, pada pamor, pada pujian, pada kekayaan. Kita bersandar pada semua hal ini, seperti bersandar pada batang pohon tua yang lapuk. Setelah kita bersandar terlampau lama, batang itu akan rusak dan tumbang, dan kita ikut tumbang bersamanya. Begitulah kebahagiaan duniawi. Namun Sang Buddha ingin kita mengetahui mengenai hal ini. Anda hidup di antara hal-hal ini, jadi sadarilah apa mereka itu.
Racun itu berbahaya jika kita menelannya. Jika tidak, tak peduli betapa kuatnya racun itu, itu bukanlah bahaya bagi orang yang mengetahui apa itu dan tidak menelannya.
Orang yang membuat racun merasa itu produk bagus—namun itu bagus dalam cara yang buruk. Dia ingin menjualnya, jadi dia harus mempromosikannya:
“Ramuan ini dijamin bagus sekali! Jika kamu berikan ke tikus, tikus akan mati. Berikan ke anjing, dan anjing akan mati. Ramuan ini membunuh apa pun yang meminumnya. Ramuan ini bisa membunuh ayam, bebek, dan bahkan orang! Itulah bagaimana bagusnya produk saya!”
“Kalau itu begitu bagus, mengapa kamu tidak meminumnya?”
“Oh tidak, aku tidak akan meminumnya.”
“Mengapa tidak?”
“Itu baik untuk membunuh orang dan hewan. Itu bukan untuk kuminum.”
‘Baik’ yang di luar Dhamma adalah seperti itu, hanya baik sampai sejauh itu. Orang yang mempromosikan racunnya sebagai produk yang hebat tidak akan meminumnya sendiri. Dia bicara mengenai sesuatu yang benar-benar bagus, namun dia tahu bahwa racun itu membunuh, dan dia mencintai hidupnya sendiri.
Ada banyak hal yang orang-orang sebut bagus. Namun Dhamma Sang Buddha adalah sesuatu yang komplit dan tanpa merugikan. Dhamma Sang Buddha dibabarkan dengan baik dan penuh akal sehat. Masih saja, ketika orang-orang bertemu dengannya dan mencoba untuk memahami, mereka menemui kesulitan, karena mereka terhalangi oleh cengkeraman-diri. Namun jika Anda bisa melepasnya seperti yang telah kita bicarakan, maka beban nafsu, amarah, dan khayalan dalam hidup Anda akan menjadi lebih ringan.
Jika Anda dapat menyadari bahwa ini hanyalah gugus-gugus dan unsur-unsur, dan bahwa ‘seseorang’ hanyalah disematkan pada mereka, jika Anda benar-benar melihat hal ini dengan jernih, maka apa pun yang orang katakan, itu tidak akan berarti banyak bagi Anda. Jika Anda difitnah atau dihina, Anda akan baik-baik saja. Namun seseorang yang tidak paham tidak akan merasa baik-baik saja terhadap hal itu. Ia akan harus mengertakkan giginya dan benar-benar berjuang keras untuk mengendalikan dirinya.
Jika kita benar-benar menerima Dhamma seperti ini, maka kita tidak akan terdera oleh masalah. Kita tidak perlu memecahkan masalah; masalah akan tuntas sendiri. Mengapa dunia ini adalah tempat yang sukar? Ini karena kita hendak mengikuti kecenderungan kita dan mendapatkan segala sesuatu sesuai kemauan kita, dan kita menginginkan segala sesuatu jadi begitu. Namun segala sesuatu tidak selalu bisa seperti yang kita maui; sesuatu itu ya begitu saja. Kita bergagasan mengenai bagaimana seharusnya orang-orang dan situasi. Makanya kita jadi repot dan tersinggung oleh berbagai hal.
Suami dan istri tidak memiliki kedamaian batin karena mereka merasa terepotkan dan terkecewakan anak-anak mereka. Mereka merasa terganggu satu sama lain. Mereka merasa terganggu oleh anjing dan kucing. Mereka terganggu oleh pekerjaan mereka. Mereka terganggu oleh teman-teman dan tetangga. Dengan perasaan terganggu ini, ketakutan dan keresahan selalu ada. Dan demikianlah mereka menderita.
Di manakah anda akan hidup? Jika Anda ingin ucapan dan perilaku setiap orang menyenangkan, di mana Anda bisa tinggal di dunia ini? Semua yang akan Anda dapatkan dengan sikap seperti itu adalah menjalani kematian dalam dukkha tiada akhir. Jika kita bergantung pada orang lain untuk bicara dan bersikap dalam cara-cara yang selalu menyenangkan bagi kita, akan pernahkah kita bahagia?
Bahkan bagi satu pasangan yang hidup bersama setiap hari, mereka akan memiliki beberapa perselisihan dan kekecewaaan satu sama lain, jika tidak banyak, ya sedikit. Jika Anda pikir jalan menuju kebahagiaan adalah tak seorang pun mengucapkan hal yang tak menyenangkan kepada Anda, Anda tidak akan menemukan tempat untuk tinggal di mana pun di dunia ini. itu menjalani kematian, kita akan bertemu dengan dukkha hari demi hari. Kita ingin bahagia, tapi bagaimana kita akan menemukan kebahagiaan jika cara pandang kita tidak selarang dengan kenyataan?
Jadi ke mana kita bisa kabur dari dukkha? Saya akan memberikan ini kepada Anda semua sebagai pekerjaan rumah. Renungi dengan saksama. Anda mengayuh perahu menyeberangi sebuah sungai. Anda harus mendayung kuat-kuat untuk bisa menyeberang, namun ketika Anda telah menyeberang, perjuangan masih belum selesai jika Anda tidak pintar. Jika Anda masih memikul perahu ketika Anda menembus hutan, Anda akan menabrak pepohonan.
Saya menawarkan hal ini kepada Anda untuk memperindah pemahaman Anda. Mereka yang tidak menyadari Dhamma, meski mereka memelajari Dhamma dan memahami Dhamma, masih belum bebas. Jika Anda hanya belajar, memahami, dan mempraktikkan Dhamma, jangan mulai berkhayal bahwa Anda sudah tuntas; air mata Anda masih akan mencucur. Jika kita adalah Dhammma, maka kita hanya melihat gugus tanah, air, api, dan udara. Nah, kita masih cukup jauh dari hal ini bukan? Ini bukan sekadar gurauan.
Saya mengatakan hal-hal ini bagi Anda yang ingin mendapatkan intisari Dhamma. Intinya bukan hanya memiliki kehidupan nyaman sebagai imbalan atas kerja yang baik. Dengan cara itu Anda masih membangun jembatan dan jalan untuk terlahirkan ulang di sana-sini. Cara itu masih penuh masalah. Hari ini saya bicara blak-blakan dan keras. Siapa pun yang tidak memiliki Pandangan Benar akan merasa lehernya seperti dipatahkan. Inilah Dhamma untuk orang yang dewasa.
Orang memiliki begitu banyak nafsu. Namun pada akhirnya, tempat yang harus kita tuju adalah tempat setiap hal tuntas, selesai, disingkirkan. Kita tidak mengenyahkannya dengan membuangnya ke sungai; kita menyelesaikannya dengan kebijaksanaan. Kemudian kita hidup dengan bahagia dan tenteram, tanpa menderita.
Kita tidak menderita dalam pekerjaan kita, kita tidak menderita dalam hubungan kita dengan orang lain. Kita tidak menderita ketika kita jatuh sakit—kita tahu bahwa yang ada hanyalah paduan penyusunan dari unsur tanah, air, api, dan udara yang sewaktu-waktu dapat terurai. Tidak ada masalah dan tidak ada yang memecahkan masalah. Tuntasnya yang seperti itu.
Adalah keliru bila kita berasumsi bahwa mereka yang bersengketa di pengadilan adalah orang-orang yang hidup “pas-pas”-an. Kerap penulis jumpai, sengketa di hadapan pengadilan perkara perdata diajukan berdasarkan nuansa motif nafsu dan keserakahan belaka pihak penggugat. Tujuannya, tidak lain untuk memakan hak dan kepemilikan warga negara lain dengan memakai tangan-tangan lembaga peradilan.
Begitupula perkara pidana, sebagian besar terdakwa pencurian dan penggelapan, bukan dilandasi oleh motif ekonomi perut yang kepalaran, namun lebih bernuansa semangat pragmatisme hendak menjadi kaya-raya secara instan tanpa mau melewati proses kerja keras, atau bahkan demi gaya hidup mewah sang pelaku.
Kurang apakah, dari segi kekayaan ekonomi, pangkat, kedudukan, maupun kekuasaan dari seorang Setya Novanto yang menjaid ketua Partai Politik hingga menjadi Ketua Parlemen RI, namun masih saja merampok hak-hak rakyat kecil yang jauh lebih miskin daripada dirinya lewat mega-korupsi pengadaan e-KTP. Kerap kali, niat dan itibad buruk timbul bukan karena faktor kebutuhan primer, namun demi memuaskan kebutuhan tersier belaka.
Sebagian besar sengketa di pengadilan, menurut hemat penulis, merupakan jenis-jenis sengketa yang sebetulnya tidak perlu ada bila saja salah satu atau para pihak saling menyadari hak dan kewajibannya masing-masing, tanpa mencoba bersikap curang dengan mengambil lebih banyak hak dan hendak memungkiri kewajiban untuk ditunaikan. Sengketa-sengketa tersebut tidak perlu sampai terjadi, bila saja masing-masing warga negara mampu “mengerem” hasrat keserakahan hewani diirnya sendiri—meski, seekor harimau pun akan berhenti memangsa buruan ketika perutnya telah kenyang.
Sayangnya, umat manusia kerap kali tidak pernah mengenal kata “puas” ataupun “cukup”. Ibarat menekan laju pedas “gas akselerasi” dalam kecepatan penuh tanpa pernah mau menekan pedal “rem guna deselerasi”, pada akhirnya bukan hanya mencelakai diri sendiri, namun juga dapat mencelakai orang-orang lainnya yang bahkan sama sekali tidak tahu-menahu. Aturan norma hukum negara tidak akan pernah dibutuhkan, jika saja masing-masing dari setiap warga negara mampu untuk mengontrol diri dan pikiran dirinya sendiri.
Bila Anda merasa peraturan perundang-undangan di negeri ini belum cukup menyerupai “hutan rimba belantara”, maka Anda perlu mempertimbangkan satu fakta berikut : bahkan seorang Sarjana Hukum sekalipun, sudah mulai merasa seperti kian tercekik oleh mengguritanya peraturan perundang-undangan yang setiap harinya dicetak dan direproduksi. Bila saja bangsa kita tidak dapat membendung ego hasrat-nya, tidak akan terbayangkan banyaknya undang-undang yang harus kita pikul ke mana pun kita melangkah sebagai subjek hukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.