Hukum Tidak Boleh Tunduk pada Aturan Main Sosial yang Irasional, Fair Play Mensyaratkan Penghormatan terhadap Aturan Main

ARTIKEL HUKUM
Baru-baru ini penulis mendapati sebuah fenomena unik yang pastilah sudah sering kita alami sendiri di keseharian. Jalan raya, merupakan potret budaya suatu bangsa, tampaknya pepatah demikian sangat tepat untuk memudahkan kita mengenal lebih dekat cerminan watak budaya masyarakat Bangsa Indonesia—sekalipun kita lahir dan tumbuh besar di Indonesia, tetap saja kita butuh cermin untuk dapat mengamati diri kita sendiri.
Pada suatu waktu penulis dengan berjalan kaki menelusuri suatu jalan umum, yang karena banyak terdapat rerantingan pohon yang dibiarkan merimbun tanpa terpangkas sehingga ranting-ranting pohon pinggir jalan dapat membuat berbahaya bagi mata pejalan kaki yang melintas, berpotensi resiko menggores wajah atau bahkan menusuk bola mata, maka dengan sangat terpaksa penulis agak berjalan tidak persis tepat di tepi jalan lajur kiri jalan.
Sebagaimana kita ketahui, pengendara kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat telah sangat dimudahkan dalam hal dapat mengenakan helm, duduk tanpa menggerakkan kaki sebagaimana letihnya pejalan kaki, dan dapat melaju dengan sangat cepat untuk sampai ke tujuan. Bahkan pengendara roda empat menghabiskan ruang jauh lebih lebar ketimbang pejalan kaki hingga memakan jalan selebar 1,5 meter (sekalipun mungkin penumpangnya hanya 1 orang), tiada resiko terkena terik matahari ataupun diguyur hujan, menikmati Air Conditioner sembari mendengarkan dendang lagu dari perangkat digital di dashbord kendaraan mereka. Pejalan kaki hanya dapat menikmati deru mesin yang mengancam mereka dari sekeliling plus menghirup asap knalpot mereka. Benar-benar diperlakukan sebagai warga kelas dua semata karena menjadi seorang “pejalan kaki”.
Apa yang kemudian terjadi? Pengendara kendaraan bermotor tersebut mengklaksoni penulis dengan sikap arogan, seolah jalan itu adalah jalan miliknya sendiri. Jika mata penulis sampai terkena ranting dan terluka, apakah diri mereka mau untuk bertanggung-jawab? Mereka dapat melihat sendiri kondisi jalan yang di tepinya tumbuh berbagai pepohonan yang rantingnya tidak terpangkas dan berbahaya bagi keselamatan pejalan kaki, namun tetap saja mereka menindas pejalan kaki secara tidak manusiawi.
Akan tetapi, bukanlah itu keganjilan utama yang penulis maksudkan. Tidak lebih dari lima ratus meter jaraknya di depan, diparkir jejeran mobil milik warga perkampungan setempat yang memakan satu lajur jalan, hingga jalan umum itu hanya dapat dilintasi satu lajur. Gaibnya, para pengendara kendaraan bermotor tersebut yang kini menghadapi kondisi jalan “bottle neck” akibat satu lajur jalan tidak dapat dilintasi karena adanya kendaraan mobil yang diparkir di pinggi jalan secara liar demikian, sama sekali tidak mengklakson ataupun menghardik mobil yang dibiarkan teronggok di satu lajur jalan tersebut, dan dengan begitu sabarnya mengantri dan menunggu agar dapat melintasi badan jalan yang hanya tersisa satu lajur demikian. Seekor serigala ganas buas, memang hanya dapat akur dengan sesama serigala, sementara kelinci hanya akan menjadi mangsa empuk taring sadis mereka.
Ternyata, bagi sebagian Warga Negara Indonesia, harkat-martabat nyawa manusia “pejalan kaki” tidak lebih terhomat daripada seonggok benda mati berupa mobil ataupun motor yang diparkir di sembarang tempat dengan memakan badan jalan sehingga begitu seenaknya mereka menghardik dan mengklaksoni pejalan kaki yang juga punya hak atas jalan umum. Mereka sama sekali tidak menghardik mobil atau kendaraan roda dua yang diparkir secara sembarangan di pinggir jalan ataupun mengkritik pemilik kendaraan yang diparkir sembarangan (seenaknya) dengan memakan badan jalan demikian—meski jelas-jelas mereka merampas hak banyak pejalan kaki dan pelintas jalan umum (korupsi oleh warga sipil, sehingga tidaklah tepat pendapat yang menyatakan bahwa hanya Pegawai Negeri Sipil atau pejabat negara yang dapat melakukan korupsi).
Itulah salah satu cerminan sederhana aturan main sosial di tengah masyarakat kita yang tidak menunjukkan suatu sikap adil maupun rasional (alias IRASIONAL), namun sebaliknya sangat bernuansa arogansi serta irasional yang mengemuka dan dipertontonkan tanpa sedikit pun perasaan malu. Begitupula aturan main sosial lainnya yang juga tidak kalah sederhana namun terjadi secara berjemaah dengan demikian irasional, ialah pelaku kejahatan yang bahkan lebih galak ketika ditegur oleh korbannya, atau per0k0k aktif yang menyebarkan asap beracun itu dan mengganggu per0k0k pasif ketika ditegur justru bersifat defensif dan arogan, atau pengguna motor roda dua yang justru mengusir pejalan kaki dari trotoar dan jembatan penyeberangan seolah pejalan kaki sama sekali tidak punya hak untuk berjalan di mana pun.
Pernah juga terjadi, seorang pengendara motor parkir di tepi bahu jalan yang tidak semestinya, sehingga penulis harus berjalan agak ke tengah jalan untuk dapat melintas, namun pengendara motor lain dari arah belakang menghantam tubuh penulis. Alih-alih merasa bersalah, si pengendara motor penabrak justru memaki penulis (mungkin dirinya lebih takut jika motornya rusak ketimbang kerusakan tubuh penulis selaku manusia), dan si pengendara motor yang memarkirkan motornya seenaknya di bahu jalan sama sekali tidak merasa ada tanggung-jawab moril untuk meminta maaf ataupun untuk memperbaiki perilakunya. Namun tidaklah penting apa kata mereka, mengaku bersalah ataupun “ngotot” justru menyalahkan pihak korban, biarlah Hukum Karma yang akan mengeksekusi mereka di kemudian hari.
Adalah kebohongan besar, mengklaim bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah, sopan, religius, alim, santun, bermartabat, beradab, omong-kosong yang mungkin hanya dijadikan hoax untuk menarik minat wisatawan asing datang ke Indonesia. Senyatanya, warga negara asing yang berkunjung ke Indonesia bukanlah untuk menonton dan menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri keramahan warga negara Indonesia, tapi untuk melihat sendiri kebiadaban dan keterbelakangan bangsa ini yang tergolong primitif dalam hal perilaku—ibarat pengunjung datang dari jauh hanya untuk menonton langsung adanya “kera” primitif di kebun binatang.
Lihat saja berita saat terjadi gempa di berbagai wilayah di Indonesia baru-baru ini, para wisatawan benar-benar menyaksikan dengan mata-kepala mereka sendiri bagaimana bangsa Indonesia demikian mementingkan diri sendiri, menjarah berbagai toko tanpa kenal martabat, bersikap egoistik, dan bar-bar (dalam arti yang sesungguhnya).
Namun tidak perlu jugalah bagi kita untuk berpura-pura malu, karena bangsa indoensia tidak pernah mengenal malu bahkan untuk membuang sampah di bantaran sungai depan rumahnya sendiri, justru mungkin itulah yang hendak dilihat sendiri oleh orang asing dari bangsa ini. Bangsa Indonesia merasa bangga dapat membuat negerinya sendiri ibarat tong sampah raksasa, dimana membuang sampah sembarangan dan mer0k0k sembarangan adalah hal yang bagi mereka tidak tercela. Ketika terjadi banjir akibat sumbatan dan sedimentasi sampah yang mereka tabung sendiri, mereka pun mulai menjerit-jerit meminta tolong dan menyalahkan berbagai pihak, untuk kemudian keesokan harinya mengulangi ritual serupa. “Kapok sambal”, begitu kata orang.
Itu barulah segelintir contoh-contoh sederhana yang mencerminkan betapa rusaknya mental dan moral bangsa Indonesia, penulis sama sekali belum menyentuh contoh-contoh yang lebih besar dan lebih irasional lagi tentunya, seperti sudah menipu justru dirinya hendak menggugat korbannya sendiri—dan contoh kasus demikian bukan hanya pernah terjadi untuk satu atau dua peristiwa konkret. Mengapa hal yang sedemikian irasional justru dipertontonkan di depan publik secara masif dan meluas oleh rakyat kita ini yang sebetulnya tidak lagi dapat dikatakan rendah tingkat pendidikannya bahkan juga dikenal sebagai bangsa yang “agamais” lengkap dengan simbol-simbol keagamaannya?
Kini mari kita beralih topik mengenai “aturan main” sebagaimana yang telah disinggung dalam ulasan di atas. Aturan main hanya berlaku bila para pamain saling menghormati dan tunduk pada aturan main. Bagaimana jadinya bila pemain bola dari tim kesebelasan yang satu tak mau ikuti aturan permainan bola? Apakah tim kesebelasan lain yang menjadi kompetitornya tetap diwajibkan untuk tunduk dan memakai aturan main sepak bola sementara lawannya bebas melanggar segala aturan main demikian?
Apa jadinya bila wasit selaku hakim pertandingan sepak bola tersebut hanya akan menegur dan memberi sanksi bagi satu tim kesebelasan yang melanggar aturan main sepak bola, sementara tim kesebelasan lainnya yang menjadi pihak kompetitor justru diberi kebebasan sesuka hati untuk melanggar aturan main yang ada?
Pertandingan sepak bola, barulah menarik bilamana para pihak yang bertanding saling tunduk dan menghormati aturan main persepak-bolaan, TANPA KENAL KOMPROMI. Apa jadinya bila terdapat satu pemain atau satu tim kesebelasan yang dibolehkan mencetak skor dengan menggunakan tangannya saat memasukkan bola ke gawang pihak lawan? Pertandingan atau kompetisi demikian menjadi sama sekali tidak menarik, karena tiada faktor sportifitas dan aturan main yang adil untuk diberlakukan kepada semua pihak tanpa pandang bulu.
Tidaklah rasional bila satu tim kesebelasan diwajibkan tunduk pada aturan main dengan dilarang menyundul bola dengan tangan, sementara pihak tim kesebelasan lawan diizinkan menggunakan tangannya dengan sesuka hati saat menggocek bola atau bahkan dibenarkan untuk bermain anarkhi dengan cara-cara kekerasan atau bahkan seorang keeper dibolehkan terus memakai tangannya untuk memegangi bola meski telah berada di luar daerah gawang.
Sama halnya, permainan catur barulah menjadi menarik dan patut dilakoni, ketika para pemain saling tunduk dan patuh pada aturan main yang telah ditetapkan bersama berupa aturan main di atas papan catur. Apa jadinya bila satu orang pemain dibenarkan atau dibolehkan menggeser bidak catur sesuka hati tanpa menghormati aturan main yang ada? Apakah Anda tertarik untuk terlibat permainan dengan cara-cara diluar aturan main seperti itu? Apanya lagi hal menarik yang tersisa dari tiadanya kepatuhan pada aturan main?
Apakah ada yang hendak bermain sebagai kompetitor atau sekadar sebagai penonton, bila dibenarkan ada satu pemain yang diizinkan menggeser pion kuda selain berbentuk letter L atau pion benteng bergerak secara diagonal sekendak hati si pemainnya? Jika demikian halnya, maka sama sekali tidak ada yang dapat disebut sebagai permainan catur. Sudah dapat ditebak dari sejak semula, bahwa yang melanggar aturan main yang akan keluar sebagai pemenangnya.
Permainan catur barulah ada, ketika ada aturan main yang dipatuhi seluruh stakeholder-nya, dan aturan main demikian dipatuhi oleh segenap pihak yang terlibat. Tidaklah berbeda halnya dengan pertandingan tinju ala boxing, apa jadinya bila satu petinju dibolehkan memakai serangan berupa tendangan kaki, serangan siku tangan, hingga dibolehkan untuk memukul lawan tanpa menggunakan sarung tangan bulat berkapas yang lazim dalam pertandingan tinju?
Dalam skala global, di dunia ini bahkan telah disepakati Hukum Perang seperti Geneva Convention, dimana serangan militer diatur untuk tidak diizinkan menyerang sipil yang tidak bersenjata, tidak diperkenankan menyerang ataupun merusak gedung medis, tidak boleh memperbudak ataupun memerkosa anak-anak dan wanita, menggunakan racun atau secara biologis, hingga aturan main harus mendeklarasikan perang sebelum mengajukan serangan alias tidak boleh serangan tiba-tiba tanpa aba-aba yang diketahui oleh pihak lawan.
Aturan main dibuat harus secara rasional dan berkeadilan, sebagai faktor soko-guru keberlakuannya. Uniknya, hukum acara pidana kita melarang mengumpulkan alat bukti kejahatan seorang warga secara diluar aturan hukum yang ada, sekalipun bukti-bukti yang didapatkan secara ilegal tersebut tidak lagi dapat dibantah telah membuktikan bahwa benar si tersangka telah melakukan tindak kejahatan yang patut dijatuhi hukuman.
Bila si pelaku telah berbuat curang dan mencurangi hukum, maka mengapa aparat penegak hukum dituntut untuk terus mengikuti prosedur aturan hukum ketika menghadapi pihak-pihak pelanggar yang mencoba mencurangi hukum? Bisakah mereka yang mengaku sebagai pakar hukum pidana, untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut?
Itu adalah salah satu logika hukum acara pidana yang tidak pernah dapat penulis pahami hingga saat kini, aparat penegak hukum tetap dituntut “bermain” bersih sementara para pelanggar hukum bebas melanggar dan mengangkangi aturan hukum yang ada dan tidak tersentuh oleh pihak penegak hukum akibat terhambat aturan prosedural dan birokratisasi dalam hukum yang demikian formil—seolah lebih menguntungkan pihak pelanggar aturan main.
Hukum acara pidana kita terlampau sempit untuk memberi kewenangan bersikap “tidak adil” terhadap pelanggar yang telah bersikap “tidak adil”. Salah satu contohnya ialah menangkap dan menggeledah seorang tersangka pengedar obat-obatan terlarang, meski tidak disertai izin ketua pengadilan, dengan alasan “tertangkap basah” atau “tertangkap tangan”. Atau aturan perihal penahanan, hukum melarang kebebasan warga dirampas, namun ternyata aturan hukum acara pidana membolehkan juga aparatur penegak hukum menahan seorang tersangka dengan alasan agar yang bersangkutan tidak melarikan diri dan tidak menghapus jejak kejahatannya dan menghilangkan alat bukti yang mungkin masih tersisa.
Namun, escape clause hukum acara pidana hanya sampai sejauh (atau sebatas) itu saja. Terhadap penjahat “kelas kakap” yang lebih intelek dan lebih tersistematisasi modus kejahatannya, praktis aparat penegak hukum kita tersandera oleh aturan main hukum acara pidana yang sangat membatasi ruang gerak mereka, yang notabene dibuat oleh penyusun kebijakan negara kita sendiri di parlemen, semisal Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang saat ulasan ini ditulis, tidak diizinkan untuk menggeledah kantor tersangka pelaku monopoli usaha atau kartel harga, tidak juga diizinkan untuk menyadap pembicaraaan—meski kita semua ketahui, semua penjahat kerah putih selalu menggunakan cara-cara curang yang melanggar hukum untuk melakukan aksi kejahatannya.
Lalu, mengapa aparatur penegak hukum kita tidak boleh mengumpulkan alat bukti dengan cara melanggar hukum, bila si pelaku kejahatan itu sendiri secara senyatanya diketahui dengan bebasnya melanggar hukum yang ada? Pernahkah juga sempat terbayangkan oleh Anda, apakah mungkin anggota parlemen membentuk undang-undang yang dapat mengancam perilaku korupsi diri para anggota parlemen itu sendiri? Undang-undang tidaklah jatuh dari langit, dan mereka yang membuatnya bukanlah dewa yang suci bersih. Tentu ada conflict of interest, maka motif pembentukan aturan main yang termuat dalam regulasi pun, senyatanya patut kita pertanyakan.
Tidak ubahnya kecurangan para pelaku kejahatan yang menolak dihukum mati, dengan mengatas-namakan atau berlindung dibalik dalil hak asasi manusia, sementara disaat bersamaan dirinya tidak pernah menghormati hak asasi manusia para korbannya dan secara terang-benderang telah melanggar hak asasi para korban-korbannya. Aturan main haruslah dibuat secara equal alias seimbang dan setimpal, antara para pihak yang saling terlibat. Bubarkan saja aturan main yang ada, bila salah satu pihak tidak mau tunduk terhadapnya.
Seorang pengacara senior “beken” sekaliber Otto Cornelis Kaligis atau yang akrab disebut “OC Kaligis” yang termasyur dengan tarif jasa hukum yang selangit nilai nominalnya, memenangkan perkara yang ditanganinya BUKAN dengan cara-cara patuh mengikuti kaedah norma-norma hukum, namun lewat aksi kolusi suap-menyuap. Yang patut kita pertanyakan dari fenomena demikian, apanya yang hebat dari sang pengacara, bila cara mainnya ialah tidak menunjukkan bentuk-bentuk “fair play”, dimana pihak lawannya menggunakan aturan main secara patuh dan penuh hormat, sementara dirinya justru menggunakan cara-cara curang dan menyimpang dari aturan main. Tidak perlu bagi kita untuk memelajari ratusan undang-undang untuk bisa menang dengan cara-cara curang demikian, tidak perlu juga untuk menjadi seorang Sarjana Hukum.
Siapa pun bisa menang dengan cara-cara curang dan tidak mengikuti “aturan main”, tidaklah perlu kita membayar mahal seorang pengacara hanya untuk bermain secara curang, cukup Anda sewa makelar kasus yang tentu lebih handal soal bermain curang untuk membuat Anda menang di pengadilan. Bermain cantik artinya bermain bersih dari segala perilaku curang, dan sepenuhnya tunduk pada aturan main, sehingga sekalipun menang ataupun kalah, semua dapat sama-sama puas dan mendapat keadilan untuk masing-masing sebagaimana mestinya.
Masalahnya, ialah, sangat jarang penulis jumpai warga negara kita yang mau berkomitmen sepenuh hati mengikuti aturan “bermain cantik” ini. Yang penting diri mereka sendiri yang menang, apapun caranya, begitulah cara mereka berasumsi dan berpegang teguh pada pendiriannya. Dari segi kehidupan bisnis, pengusaha dan buruh bermain “kucing-kucingan”, yang satu berusaha untuk menekan dan mengeksploitasi dan mencurangi hak-hak seorang buruh, sementara pihak pekerja selalu mencari-cari kesempatan untuk korupsi waktu, korupsi biaya, dsb.
Tipu-muslihat dan rangkaian kebohongan merupakan salah satu wujud lain dari bermain curang dan tidak menghormati “aturan main”. Contoh paling konkret dapat kita lihat pada tingkah-polah si “pengacara kepala bakpao” Frederick Yunadi, yang membela mati-matian sang klien, Setya Novanto yang telah menyengsarakan seluruh rakyat dengan korupsi program e-KTP, lewat berbagai tipu-muslihat dan pengelabuan yang bertujuan untuk menang tanpa “bermain cantik”, namun “bermain kotor” dan “bermain curang”. Salah satu korbannya ialah penulis itu sendiri, yang harus menghabiskan waktu serta tenaga mengurus penerbitan e-KTP yang tidak kunjung tercetak sekalipun banyak warga pulang-pergi sekadar untuk mendapat kekecewaaan pulang dengan tangan kosong.
Sementara, seperti yang sempat penulis singgung sebelumnya, siapa pun dapat menang bila kita menggunakan cara-cara curang sementara lawan yang kita hadapi kita justru dengan patuh tuntuk pada “aturan main” yang ada. Tidak ada kompetisi yang indah di sini, ibarat satu tim kesebelasan bermain bola dengan tidak mengindahkan kaedah permainan bola yang baik dan jujur, sementara tim kesebelasan lawan patuh sepenuhnya pada tertib permainan sepak bola, kemenangan demikian sama sekali tidak berharga dan tidak patut dipertontonkan karena sama sekali tidak ada yang menarik untuk disuguhkan.
SIAPA PUN DAPAT MENANG DENGAN CARA-CARA CURANG YANG MENODAI SAKRALITAS “ATURAN MAIN”. Tidak harus tim sekaliber Real Madrid ataupun Manchaster United untuk menjadi pemenang Piala Dunia sepak bola bila pemainnya memakai cara sesuka hati memasukkan bola ke gawang lawan meski menggunakan tangan alih-alih menendang dengan kaki sebagaimana aturan permainan sepak-bola. Aturan main para aparatur sipil negara yang semestinya melayani warga dengan segala SOP lembaga mereka yang ada, dengan cara-cara curang mereka mempersulit warga lewat upaya “peti-es” aturan main yan ada, dan baru akan melayani ketika disodorkan “uang pelincin”. Jangan katakan itu isapan jempol, karena artinya Anda bukanlah seorang praktisi bila masih memungkiri realita yang terjadi di negeri ini.
Bukan juga berarti hukum negara kita memiliki aturan main yang fairness. Sebagai contoh, masyarakat diwajibkan membayar pajak dan berbagai pungutan serta retribusi. Namun, yang kemudian terjadi, praktik korupsi dan kolusi para aparatur sipil negara terjadi secara masif, menggurita, tersistematis, meluas, serta berjemaah bahkan dapat juga disebut “teroganisir”.
Ujung-ujungnya, masyarakat kita sendiri yang harus menanggung beban gaya hidup mewah para aparatur sipil negara yang mendapat gaji setiap bulannya (bahkan diberi gaji ke-14 dalam 1 tahun) dari keringat dan darah yang dihisap oleh Kantor Pajak dari rakyat yang menjadi buruh bercucuran keringat dan banjir tetes air mata darah, sementara para pejabat dan aparatur sipil negara tersebut alih-alih melayani masyarakat, justru meminta untuk dilayani.
Yang terlebih ganjil, jelas-jelas kita selaku warga yang membayar gaji mereka, namun kita tidak memiliki kewenangan apapun untuk memecat mereka sekalipun mereka telah menelantarkan dan mengabaikan apa yang menjadi hak setiap warga negara. Itulah yang bagi penulis, paling ironis sekaligus berita miris untuk kita semua.
Ketika kita mengurus perizinan, terjadi pungutan liar, hingga pelayanan yang “separuh hati”, atau bahkan penelantaran dan pengabaian oleh penegak hukum ketika kita melaporkan suatu kejadian tindak pidana yang menjadikan pihak kita sebagai korbannya. Namun, ketika kita masih diwajibkan membayar pajak untuk menggaji para aparatur sipil negara demikian yang justru bersikap layaknya “bos” terhadap rakyat pembayar pajak sumber gaji mereka, itulah sebentuk aturan main hukum negara yang melukai nurani keadilan.
Jika perlu, sang presiden yang hendak merebut hati para pegawai negeri sipil tersebut, berikan mereka gaji ke-24 untuk 1 tahun kerja. Ujung-ujungnya, tetap saja warga sipil pembayar pajak yang harus menanggung keputusan seenaknya dari sang Kepala Negara. Jika sang Kepala Negara yang membuat keputusan demikian, mengapa bukannya sang Kepala Negara itu sendiri saja yang menanggungnya, mengapa justru harus pihak rakyat yang menanggungnya? Bukankah itu adalah aturan main yang picik sekaligus culas?
Ketika seseorang bersikap tidak santun terhadap kita, maka kita pun tidak lagi punya kewajiban bersikap santun terhadap orang tersebut. Sama halnya, bila rekan bisnis atau rekan permainan Anda di papan catur Anda bersikap curang, masih adakah kewajiban bagi kita untuk tetap dengan bodohnya mengikuti aturan main yang ada ketika terus terlibat dengan mereka? Etika komunikasi selalu harus bersifat “dua arah”, dalam artian tiada gunanya lagi bersikap santun bila salah satu pihak menciderai harkat dan martabat lawan bicaranya.
Mungkin tidak banyak di antara para pembaca yang memahami hal ini, namun bila tidak ada yang memulai untuk mengurainya secara gamblang, aoa adanya, tanpa embel-embel ataupun kemasan pemanis, sampai kapan juga kita harus menipu diri kita sendiri, seolah bangsa kita ini adalah bangsa yang beradab dan patut berbangga diri? Bangsa ini kurang memiliki lebih banyak lagi cermin, agar rakyat dan pejabatnya dapat bercermin diri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.