Hukum Hanya Mengakomodir Harapan Warga yang Rasional dan Relevan

ARTIKEL HUKUM
Hendaknya sebuah “harapan” atau aktivitas “mengharap”, ditempatkan secara proporsional. Tidak memiliki ataupun menaruh harapan, adalah perilaku fatalistis dan pasif-pasrah yang mencerminkan tidak dimilikinya penghargaan terhadap harkat dan martabat dirinya sendiri—maka dirinya tidak akan mendapat perlindungan hukum apapun, selain menang secara moril semata, mengingat Hukum Negara kental nuansa prosedural dan birokratisasi, namun mungkin itu jugalah alasan mengapa sebagian warga memilih untuk menjadi demikian pasif-pasrah ketika mengalami tindak kejahatan.
Hukum negara hanya aktif ketika kita proaktif menjamah dan memakai instrumen penegakan hukum, seperti tanpa gugatan maka tiada putusan perdata yang akan dijatuhkan hakim di pengadilan, ataupun delik “pidana aduan” yang baru akan dapat ditindak-lanjuti pihak berwajib ketika terdapat aduan warga korban pelapor. Kecuali bila kita bicara perihal delik pidana umum non-aduan maupun perihal Hukum Karma yang selalu aktif sekalipun sang korban bersifat pasif.
Sebaliknya, membuat harapan yang terlampau tinggi, akan berpotensi memetik kekecewaan bila harapan demikian tidak kunjung terealisasi dikemudian hari. Hukum hanyalah sarana mencapai ketertiban sosial, kepastian hukum, serta keadilan, bukan “alat pemuas nafsu” suatu warga yang mengharap. Harapan yang terlampau irasional, bahkan cenderung membentur dan melawan hukum, adalah sebuah harapan yang mengandung muatan “racun” berbahaya, bagi dirinya sendiri maupun bagi warga negara lainnya.
Sebagai contoh sederhana, sebagian besar mahasiswa Fakultas Hukum hingga lulusan Sarjana Hukum, menaruh seluruh minat dan perhatian mereka untuk dapat menjadi seorang pengacara—yang dinilai menawarkan kemakmuran dari segi prestise hingga secara finansial. Padahal, jika kita mau bersikap rasional, berapa banyak diantara mereka yang pada akhirnya benar-benar menjadi pengacara terkenal, dan bahkan memetik kekecewaan demi kekecewaan? Pengacara pengangguran yang “membuat-membuat acara” dapat dengan mudah kita jumpai di berbagai pelosok kota.
Bila saja mereka mau bersikap lebih rasional dalam paradigma mereka terhadap profesi hukum, maka mereka akan menyadari banyak profesi lain bagi seorang Sarjana Hukum diluar profesi advokat. Sudah begitu banyak kalangan Sarjana Hukum jatuh bertumbangan, menjadi korban dari obsesi membuta dan “mata kuda” mereka sendiri dalam memandang profesi hukum, seolah “bila tidak menjadi pengacara, artinya tanpa profesi apapun untuk dilakoni”—sangat disayangkan itulah yang menjadi cerminan benak kalangan Sarjana Hukum muda di Tanah Air.
Sama seperti keadaan yang “aneh namun nyata”, dan tidak sedikit telah penulis jumpai pada praktik di persidangan, pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi maupun suatu “perbuatan melawan hukum”, justru menggugat pihak lain yang sebelumnya telah dirugikan olehnya, dengan “harapan semu” seolah instrumen gugatan dapat memutar-balik keadaan dari “bersalah” menjadi “tidak bersalah”, yang mana seolah selalu lebih menguntungkan pihak penggugat.
Alhasil, yang kemudian terjadi ialah digugat-balik (rekonpensi), dimana pihak penggugat membuka aibnya sendiri kepada publik, disertai penghukuman untuk membayar sejumlah ganti-rugi bagi pihak tergugat yang mengajukan gugatan-balik. Mungkin saja sejak semula pihak tergugat tidak mau mempermasalahkan sengketa mereka, namun karena dipicu oleh gugatan penggugat, maka sudah saatnya pihak tergugat menunjukkan “taring” dengan mengajukan gugatan-balik pada momen tersebut.
Hukum, pada dasariah dan falsafahnya, dibentuk oleh pembentuk undang-undang untuk memberi harapan bagi setiap warga negara untuk berdaya dan dilindungi. Suatu negara tanpa hukum, maka tidak akan ada peradaban, karena masing-masing warga negara akan menjelma serigala bertaring setajam belati, yang saling memakan satu sama lainnya—dalam arti yang sesungguhnya.
Sesungguhnya, hukum negara dibentuk untuk mengekang sifat hewani dalam tubuh dan pikiran seorang manusia yang menjadi warga negara komunitas suatu bangsa dan negera, agar tercipta tertib-sosial (social order) disamping keadilan. Begitu pula, tiada kepastian apapun bilamana hukum negara tidak menunjukkan supermasinya, tidak menyerupai wajah hukum kontemporer di Tanah Air, dimana hukum demikian tajam tanpa kenal kompromi terhadap pihak yang lemah, sebaliknya akan menjelma tumpul ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang berkuasa secara keuangan maupun secara politik.
Tanpa adanya hukum negara, maka yang kuat akan selalu menindas warga yang lebih lemah. Dengan hadirnya hukum negara, maka tiada lagi legitimasi bagi yang kuat untuk menekan pihak yang lemah. Bagi hukum negara, setiap warga negara sama dalam kedudukannya di mata hukum, dan jika perlu pihak yang lebih diberi keuntungan tersendiri guna menyeimbangkan, agar setiap warga negara menjadi sejajar dalam harkat dan martabat.
Harapan yang rasional, membuat kita juga paham, agar kita pun tidak menaruh terlampau banyak harapan terhadap Hukum Negara yang korup, karena dibentuk oleh anggota parlemen yang korup, ditegakkan oleh aparat penegak hukum yang korup, hingga jurusita dan oknum sipir yang korup. Harapan yang rasional membuat kita tetap mau memperjuangkan apa yang menjadi hak dan kewajiban kita masing-masing, namun tidak terobsesi terhadapnya, karena yang terpenting ialah telah berusaha semampu yang kita jangkau. Selebihnya, biarlah Hukum Karma yang mengambil-alih sebagai hakim sekaligus eksekutornya, tanpa perlu diminta dan tanpa perlu disuap.
Harapan yang rasional tidak membuat kita terjebak dalam pola pikir “positive thinking” maupun “negative thinking”. Rasional artinya “realistic”, maka berpikir dan mengharap secara rasional artinya berpikir dan mengharap secara realistis. Para pelanggar hukum yang terlampau “positive thinking” akan berpikir bahwa dirinya tidak akan celaka sekalipun sedang menggali “lubang kubur” untuk dirinya sendiri.
Bila Anda tidak percaya, cobalah Anda cari tahu apa itu “manfaat negative thinking” dan “bahaya dibalik positive thinking berlebih”. Pepatah klasik berkata : yang manis jangan langsung kita telan. Sebaliknya, yang pahit, jangan langsung kita buang dan kesampingkan. Itulah soko-guru pola pikir bijaksana manusia berakal-sehat.
Harapan adalah sumber motivasi, pembentukan semangat, serta bibit pertumbuhan visi dan misi hidup ataupun profesi karir yang sedang kita rintis dan tapaki. Begitu pula dari sudut pandang hukum negara, hukum negara yang baik menawarkan harapan yang realistis bagi setiap warga negaranya. Namun, sebagaimana kita jumpai sendiri dalam kenyataannya, banyak regulasi berisi norma “macam ompong” atau yang justru PHP (pemberi harapan palsu).
Ketika kita menghadapi pungutan liar oleh aparatur sipil negara, dengan mudahnya sang presiden selaku Kepala Pemerintahan memberi komentar, agar warga yang mendapati pungutan liar dapat mengadu dan melapor kepada pihak kepolisian. Padahal, sebagaimana juga sang presiden ketahui dengan baik, bahwa melapor kepada pihak polisi sama artinya “melaporkan kehilangan kambing, maka juga akan kehilangan sapi, berkat sang polisi”. Sindiran demikian, bukanlah hisapan jempol—namun suatu fakta yang telah penulis buktikan sendiri secara langsung.
Bila Anda korban penggelapan ataupun penipuan, mungkin saja setelah menguras emosi dan dana yang tidak sedikit, pihak Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim di Pengadilan Pidana sependapat dengan Anda, bahwa perbuatan tersangka / terdakwa adalah merupakan tindak pidana yang patut diganjar dengan hukuman pidana penjara. Sampai disitu, Anda mungkin merasa itulah ketika harapan Anda terwujud: agar si pelakunya dihukum penjara sebagai pembalasannya sebagaimana isi vonis hakim yang telah mencerminkan keadilan.
Namun kita juga mengetahui, sekarang ini pihak otoritas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sedang mengadopsi model pemidanaan “obral remisi”, dengan alasan overload terpidana penghuni Lapas. Secara pribadi, penulis menilai Lapas dan pemidanaan merupakan ajang “cuci tangan” dari dosa para kriminil. Penulis lebih menghendaki agar Hukum Karma yang menjadi pengadil dan eksekutornya, agar lebih adil dan lebih tepat-guna disamping lebih efisien dan tidak dapat disuap—juga tidak perlu disuap, itulah yang paling terpenting dalam perspektif pribadi penulis.
Ketika Anda berpikir bahwa lembaga gugatan perdata menawarkan solusi paling ideal untuk masalah hukum perdata Anda, entah lewat Pengadilan Negeri maupun Arbitrase yang bisa jadi biaya peradilan Arbitrase jauh lebih mahal ketimbang nilai objek sengketa, namun apakah harapan Anda tidak membutakan Anda dari fakta bahwa masalah terbesar dari gugatan dan putusan perdata bukanlah untuk memenangkan gugatan, namun problematik eksekusinya. Faktanya, tidak banyak diantara masyarakat kita yang mengetahui fakta tersebut, dan menaruh harapan begitu saja kepada penyedia jasa seperti pengacara yang senantiasa menawarkan “angin surga”.
Tidak sukar bagi kita untuk menjumpai contoh-contoh kasus putusan perdata, sekalipun telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan pengadilan menyatakan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya, namun dalam implementasinya “amar putusan tidak dapat dieksekusi” atau bahkan terbentuk masalah birokratisasi jurusita dan panitera yang korup. Pada titik itulah, Anda bukan hanya lagi telah kehilangan “sapi”, tapi juga akan kehilangan “mobil”.
Mengharap adalah hal yang sah-sah saja dilakukan, sepanjang tidak membutakan mata kita untuk bersikap rasional. Mereka yang realistik, tidak akan mengalami kerugian untuk kedua kalinya. Sementara mereka yang menelan “harapan semu”, akan menuai kerugian demi kerugian tanpa mau belajar dari seluruh pengalaman yang ada.
Sadarkah Anda, lawan kata dari “pengharapan”, “harapan”, atau “mengharap”? Jawabannya yakni: bersikap “negative thinking”. Seorang yang sedang melakukan aktivitas “negative thinking”, adalah seorang “pemimpi yang buruk”. Tahukah Anda manfaat terbesar dari “negative thinking”? Anda tidak akan mampu melakukan langkah-langkah preventif bila Anda selalu berpikiran positif bahwa rumah Anda tidak akan pernah “kemalingan” sehingga Anda pun sama sekali tidak membutuhkan gembok untuk mengunci pintu rumah Anda.
Bayangkan bila konsultan yang Anda sewa selalu bersikap “positive thinking”, maka Anda tidak perlu membuat persiapan ataupun langkah antisipatif. Atau ketika dokter Anda yang terlampau “positive thinking”, meyakinkan sang pasien bahwa sang pasien akan hidup hingga berusia tua dan umur panjang, sekalipun dengan pola gaya hidupnya yang tidak sehat.
Anda pernah tidak butuh dokter ataupun “tukang ramal” untuk mengatakan hal-hal yang baik dan indah untuk Anda, karena semua orang menyukai kabar yang baik untuk dirinya sendiri. Vonis yang buruk adalah “tukang ramal” yang buruk bagi sebagian besar orang.
Betul bahwa menaruh sebuah harapan adalah hal yang baik, sepanjang kita mampu untuk bercermin dan bersikap proaktif serta rasional. Perlu kita mampu untuk bedakan antara : tertipu oleh harapan diri sendiri atau tertipu oleh tipu-daya orang lain. Jangan sampai pintu gerbang kekalahan pihak kita, terletak pada tingkat “harapan” kita sendiri yang perlu diperbaiki. Harapan membuat Anda dapat melambung dan membubung ke angkasa. Namun ketika Anda terjatuh, semakin tinggi jatuhnya maka semakin keras Anda akan mendarat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.