Berbicara tentang Hak dan Kewajiban, Berbicara Mengenai Suka dan Duka

ARTIKEL HUKUM
Prinsip resiprositas (atau yang kadang disebut juga sebagai prinsip resiprokal), adalah prinsip yang bertopang pada asas timbal-balik yang menekankan aspek kesetimpalan dan keadilan yang seimbang. Pembahasan dalam artikel singkat ini sangalah penting, bukan hanya untuk berkehidupan hukum negara, namun juga demi keharmonisan hidup dalam komunitas warga, dalam suatu keutuhan lingkup terkecil seperti dalam rumah-tangga.
Penulis akan mencoba menguraikannya dalam bahasa yang semudah mungkin untuk dicerna oleh para pembaca awam. Dapat dikatakan, inilah teori sekaligus prinsip yang paling absolut dan paling tinggi dari segala teori dan asas-asas hukum yang pernah dikenal dalam peradaban ilmu sosial. Meski sayangnya, hingga sejauh ini penulis belum pernah menemukan pembahasan demikian dalam literatur mana pun yang mengulas secara utuh maupun secara gamblang yang dapat dicerna secara mudah tanpa perlu mengernyitkan kening dan menebak-nebak apa maksud tulisan si penulisnya—yang bisa jadi si penulisnya sendiri tidak betul-betul paham atas apa yang sedang ditulisnya. Penulis sering menyebutnya sebagai “buku lelucon” yang sama sekali tidak lucu.
Padahal, hal yang tampak sederhana, bukan berarti tidak memiliki daya estetik apapun. Simple is beauty, kata pepatah klasik yang tampaknya masih relevan. Untuk apa juga, hal yang sebenarnya simpel namun diperumit agar tampak intelek. Senyatanya pula, Anda tidak perlu membuang banyak waktu membaca karya tulis ratusan halaman yang membahas apa itu “hak” dan apa itu “kewajiban”, seolah “hak” dan “kewajiban” adalah hal yang demikian kompleks untuk diurai. Bisa jadi, Anda akan “keburu” bosan dan tidak lagi menaruh minat, dan itu akan sangat kontraproduktif membaca berbagai “omong-kosong” yang tiada faedahnya.
Sejujurnya esensi prinsip yang hendak penulis bahas, adalah sederhana saja, hanya saja tampaknya kerap kali luput dari kesadaran kita yang terbiasa kurang peka terhadap hal-hal sederhana hingga kadang kerap kita remehkan dan kurang mendapat perhatian khusus. Untuk itulah, dalam kesempatan ini penulis akan mengajak pembaca untuk menelusuri kedalaman samudera prinsip penting ini secara lugas namun secara singkat saja, tanpa bermaksud untuk berpanjang-lebar.
Pada dasarnya, watak subjek hukum di suatu komunitas mikro maupun komunitas makro, terbagi menjadi 4 jenis kategori watak, yakni:
1) Seseorang pribadi yang menyusun diri dari unsur “hak” dan “kewajiban” secara seimbang. Seseorang dengan tipe kepribadian ini, merupakan ciri warga negara yang paling ideal dan berkesadaran hukum tinggi. Ia akan menunaikan kewajibannya tanpa perlu dituntut;
2) Seseorang pribadi yang menampilkan wujud diri individu yang tersusun dari unsur “hak” dan “hak”, sehingga mengingkari “kewajiban” apapun untuk dipikulnya. Itulah tipe yang kerap kali menjadi bibit sengketa dan konflik sengketa, menjadi sangat berbahaya ketika hukum negara tidak hadir untuk memainkan peran perlindungannya bagi setiap warga negara yang berpotensi tinggi menjadi mangsa para “predator” demikian;
3) Seseorang pribadi yang entah bagaimana, mampu membuat kesan dirinya rela untuk mengusung konsep unsur yang tersusun dari “kewajiban” dan “kewajiban”, seolah dirinya secara sukarela berlaku layaknya “budak” tanpa “hak” apapun untuk dikedepankan. Penulis menyebutnya sebagai semangat “altruistik berlebih” yang cenderung bodoh dan memang layak untuk mati konyol, karena gagal menghargai eksistensi dan martabat dirinya sendiri;
4) Seseorang pribadi dengan mengadopsi kedua unsur, “hak” dan “kewajiban”, namun tidak secara seimbang, dimana bisa jadi dirinya lebih berat menonjolkan “hak” untuk dirinya sendiri, atau juga seseorang yang berwatak penuh pengorbanan sehingga meski menuntut sebentuk “hak” namun jumlahnya tidaklah saling setara dengan “kewajiban” yang dipikul oleh pundaknya. Contoh paling sederhana dari sikap ini, ialah seseorang yang gemar berdonasi, dan sebaliknya, orang-orang yang “bermental pengemis” atau yang “mendadak miskin”.
Hukum negara yang baik, pada falsafahnya harus membuat suatu rekayasa sosial (law as tool of social engineering) agar setiap warga negara, secara terselubung maupun secara langsung, dipaksa dan terpaksa untuk saling menyeimbangkan antara “hak” dan “kewajiban” yang diusung oleh dirinya. Sosial-kemasyarakatan tidak akan pernah harmonis, ketika terjadi ketimpangan antara “hak” dan “kewajiban” satu anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Konsep harmoni ini tidak bisa ditoleransi terlebih ditolerir oleh argumen-argumentasi apapun.
Yang mengambil “kewajiban” lebih sedikit, hanya berhak klaim atas “hak” yang juga lebih sedikit. Menuntut “hak” dari satu subjek hukum, maka dirinya pun dapat dituntut “kewajiban” dari orang tersebut. Sengketa dan konflik hukum maupun konflik sosial dapat riskan menjadi pecah, dimulai dari benih-benih ketimpangan prinsip resiprositas ini.
Dengan demikian, kejujuran dan nurani terkait keadilan menjadi sangat penting dan memainkan peran vital untuk dikedepankan, dengan menyadari bahwa tiada “hak” ataupun “kewajiban” yang dapat “dicurangi”. Kita mungkin dapat meminum sejumlah produk mengandung kafein agar tampak bugar sepanjang hari, namun kita tidak dapat memungkiri terlebih mencurangi waktu yang dalam sehari hanya 24 jam bagi masing-masing individu.
Jangan pernah kita terlibat ataupun bekerja sama dengan calon rekan bisnis yang hanya mengusung konsep diri “hak dan hak”—tidak ada gunanya menjajaki kerja-sama ataupun bersosialisasi dengan manusia tipe demikian, selain hanya membuang waktu, energi, serta biaya. Sebaliknya, menjalin relasi dengan tipe pribadi “kewajiban dan kewajiban”, acapkali berbuah malapetaka serupa, karena tiadanya motivasi untuk bersikap profesional dari yang bersangkutan.
Bagaimana mungkin, Anda (berasumsi) merasa dapat menuntut tanggung jawab dari seseorang yang mengusung konsep citra diri “kewajiban dan kewajiban”, sementara Anda sadar betul bahwa hanya seseorang yang memiliki “hak” yang dapat dituntut sebentuk pertanggung-jawaban atas apa yang telah diterima olehnya. Bila Anda merasa cukup “cerdik” atau cukup beruntung dapat memperbudak seseorang bertipe “kewajiban dan kewajiban”, maka sejatinya Anda sedang membawa diri Anda sendiri menuju jurang—dalam arti yang sesungguhnya.
Sama halnya, sebaiknya Anda menjauhi diri dari tipe kawan yang berjenis “hak dan hak”, karena mereka tidak akan pernah ada untuk Anda ketika Anda sedang dalam kesukaran dan sedang benar-benar membutuhkan uluran tangan orang lain. Mereka banyak dapat kita temui dengan mudah ketika Anda sedang dipuncak kemakmuran, sekalipun tanpa diundang.
Begitu pula, hendaknya kita menghindari membangun hubungan relasi rumah-tangga dengan seseorang pribadi berkategori “hak dan hak”, karena hubungan Anda tidak akan pernah dapat bertahan lama, terutama bila Anda tidak akan tinggal diam ketika merasa dieksploitasi dan diperas secara mental dan secara keuangan.
Sebaliknya, jika Anda memahami bahwa Anda memiliki tabiat bawaan (constitute nature) berupa tipe “kewajiban dan kewajiban” atau tipe “hak dan kewajiban” namun lebih berat kepada “kewajiban”, maka pahami dan lacak secara memadai tipe jenis calon pasangan hidup Anda, jangan sampai memilih untuk menjalin tali hubungan darah dengan mereka yang bertipe “hak dan hak” atau yang berjenis “hak dan kewajiban” dengan lebih menitik-beratkan “hak” bagi dirinya sendiri. Mereka yang gagal membangun rumah-tangga yang harmonis dan berakhir pada perceraian, tidak lain ialah adanya satu atau kedua anggota pasangan yang berwatak “hak dan hak”.
Bagi Anda yang bertipe golongan “kewajiban dan kewajiban”, carilah sahabat atau calon pasangan dan calon rekanan bisnis yang kental nuasa watak “hak dan kewajiban” secara setimpal dan seimbang sebagai bagian dari dasariah sentimentalnya—ia akan memberikan sebentuk tanggung-jawab sebagai panggilan moral atas kewajibannya ketika dirinya mendapat suatu hak dari seseorang yang menjalin hubungan dengannya, tanpa perlu diminta ataupun dituntut. Anda tidak akan perlu menguras banyak waktu dan energi perhatian untuk berjejalin bisnis dengan mereka yang bertipe ini. Ia pun akan dengan berani menuntut sejauh apa yang memang menjadi haknya, ketika ia telah menuntaskan sejauh apa yang memang menjadi kewajibannya.
Hal kedua, yang tidak kalah penting untuk penulis sampaikan dan ingatkan dengan amat sangat, meski dengan intonasi yang cukup berhati-hati, janganlan pernah mencoba untuk meng-eksploitasi tipe pribadi yang berkategori “kewajiban dan kewajiban” atau yang berkategori “hak dan kewajiban” namun lebih berat pada unsur “kewajiban”, oleh karena hanyalah seseorang pengecut yang mengambil keuntungan dengan memanfaatkan sifat baik orang lain namun kemudian dieksploitasi untuk kepentingan pribadi—terlebih kepada orang-orang terdekat dan anggota keluarga Anda sendiri, tidak ada yang lebih hina daripada perilaku semacam itu.
Ketahuilah, segala sumber daya akan habis pada waktunya bila terus dieksploitasi, bukan hanya sumber daya alam, namun juga sumber daya itikad baik dari orang lain tersebut. Jadilah pribadi yang memahami dan dapat bersikap setimpal, bukan pribadi yang hanya tahu menuntut dan menghisap—karena tiada yang akan suka berlama-lama menghapi tipe pribadi demikian. Bukan mereka yang akan mengusir Anda, namun sikap Anda yang secara tidak langsung mengusir orang-orang terdekat dan rekan bisnis Anda sendiri.
Sebagaimana dapat kita sarikan pula, berbagilah “suka” dan “duka” secara setimpal dengan rekan bisnis maupun rekan hidup kita, secara adil dan seimbang. Jangan menjadi pribadi yang menyerupai “blackhole” si “lubang hitam” yang menghisap habis apapun yang berada di dekatnya, dan terus menghisap tanpa mengenal kata “cukup”.
Carilah seseorang yang bukan bertipe “suka dan suka” yang tidak akan pernah bersedia menanggung “duka” bersama-sama dengan diri kita, karena lebih baik Anda melangkah hidup seorang diri dengan “suka dan duka” diri Anda sendiri. Lebih baik kita simpan kebaikan hati kita untuk diri kita sendiri, daripada membiarkan terlebih mengumbar energi mental kita terhisap habis oleh seseorang yang menyerupai sebentuk “lubang hitam” yang tamak dan tak akan ada hentinya untuk menghisap hingga “kering”. Tiada yang lebih bodoh daripada mencoba memuaskan seorang “lubang hitam” demikian.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.