ARTIKEL HUKUM
Ada dua tipe manusia yang tidak perlu kita dengarkan sama sekali ucapan dan substansi tutur-katanya. Pertama, manusia dengan mental pendusta, yang hanya pandai berhobong, sehingga tidak ada satupun dari kata-katanya yang dapat dipercayai ataupun dipegang (mana yang jujur dan mana yang dusta, tak lagi dapat dipilah-pilah sehingga sebaiknya tidak dipercayai semua kata yang keluar dari mulut tersebut, bagai nila setitik rusak susu sebelangan).
Berbohong, adalah sebuah kebiasaan, tiada kebohongan yang bukan cerminan kristalisasi dari sebuah kebiasaan—kebiasaan buruk, tentunya. Kedua, jenis manusia yang tidak perlu kita dengarkan ucapannya, tidak lain ialah kalangan advokat, alias yang biasa dipanggil dengan sebutan beken “lawyer” atau pengacara, rajanya pengumbar “iming-iming dan angin surga” yang melenakan calon klien.
Entah mengapa kaum pengacara di Indonesia suka sekali “mencoreng” wajah dan profesinya sendiri, seolah citra pengacara belum demikian rusak di mata masyarakat, sehingga masih juga terus dicoreng dan dikotori aksi “jungkir-balik” kalangan pengacara yang sangat rendah bobot integritas maupun moralitasnya. Alasan dan segudang alibi menjadi peluru dari mulut dan lidah akrobatik kalangan pengacara, meski sejatinya hanya kian melukai citra profesinya sendiri, lagi dan lagi.
Yang terbaru saat artikel ini ditulis, terdakwa Ratna Sarumpai, wanita yang berkoar-koar bahwa dirinya dianiaya dikarenakan polisi tidak berhasil menyelidiki pelaku penganiaya dirinya, mengaku-ngaku dizolimi namun sejatinya justru melakukan aksi “bedah plastik” yang tujuannya tidak lain hendak bermaksud mencoreng citra kepolisian dibawah kepemimpinan presiden incumbent yang menjadi “ladang empuk” bagi calon presiden penantang untuk mendongkrak citra sekaligus mendiskreditkan pemerintahan presiden petahana. Sang pengacara menyampaikan kepada pers, bahwa “menyampaikan pendapat di muka umum dengan dasar kebohongan adalah hal wajar”.
Pengacara Ratna Sarumpai, wanita pembohong penyebar hoax, menyatakan bahwa menyampaikan pendapat dengan dasar kebohongan sebagai hal yang wajar, sungguh suatu kebodohan yang ditampilkan oleh kalangan pengacara di Indonesia. Sejak kapan kah, kebohongan menjadi suatu hal yang lazim di tengah masyarakat kita dan tidak ditabukan? Mengapa kalangan pengacara seolah “tidak mengutuk” segala bentuk kebohongan, atau memang sudah menjadi bagian dari jatidiri kalangan profesi terhormat bersangkutan sebagai officium nobile? Sejak kapan, membela kebohongan disebut sebagai profesi yang mulia?
Rakyat sudah muak dengan segala “tetek-bengek” ulah kalangan pengacara, yang terkesan “kurang kerjaan”. Adalah tidak penting, pasal atau undang-undang apa yang dipakai oleh pihak Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwa dan menuntut pelaku pembuat sekaligus penyebar kabar bohong yang di-bombastiskan demi tujuan politik.
Yang terpenting ialah pelaku pembuat dan penyebar berita hoax yang dilandasi kebohongan, harus dipidana penjara, itulah esensinya, bukan memboroskan energi dan waktu kita untuk berputar-putar pada wacana sempit perihal undang-undang atau pasal apa yang harus dipakai pihak Jaksa Penuntut. Salah katakan salah, benar katakan benar, bukan berkoar demi membela yang bayar. Apakah beum cukup rusak citra profesi yang bersangkutan?
Sudah demikian jelasnya, perbuatan Ratna Sarumpai adalah perbuatan tercela, dan seluruh rakyat membenci kebohongan vulgar yang bersangkutan yang patut untuk dikutuk dan dicela, namun masih dipungkiri pengacaranya, mengakibatkan citra advokat di Tanah Air di mata masyarakat menjadi : PENUH OMONG-KOSONG, SUKA MENGINGKARI, YANG PUTIH JADI HITAM DAN HITAM JADI PUTIH, YANG SUDAH JELAS MASIH JUGA DIINGKARI DAN DIDEBAT, SEOLAH ORANG LAIN ADALAH BODOH UNTUK DAPAT DIBODOHI OLEH SEORANG LAWYER BODOH.
Di Indonesia, setelah direcoki oleh berbagai ulah pengacara berjas dan berdasi yang menampakkan kebodohan profesinya, dimulai dari OC Kaligis yang selalu berkelit meski bukti-bukti telah menunjuk ke hidungnya sebagai pelaku suap gratifikasi kepada hakim pengadilan yang membuatnya tampak lebih “evil” ketimbang tersangka korupsi yang biasanya bersedia mengakui kesalahannya di depan pengadilan, hingga Frederick Yunadi si “pengacara kepala bakpao” yang bersedia “jungkir-balik” membela klien pembayar, bahkan rela menantang maut demi menyelamatkan klien yang sudah jelas-jelas bersalah—sehingga makin menampakkan kebodohan kalangan pengacara di Tanah Air.
Seakan belum cukup kebodohannya, lagi-lagi kalangan pengacara membuat lontaran kata-kata yang sebetulnya tidak patut diucapkan (dan tidak perlu untuk diucapkan), seberapa besar pun bayaran yang ditawarkan dan diterima sang pengacara dari sang klien. Yang sudah jelas salah, namun dikatakan sebagai benar, atau bercerita panjang-lebar tentang hal-hal yang tidak relevan dan menyimpangi substansi demi memelintir isu atau mengkeruhkan fokus perhatian publik, sejatinya makin memperlihatkan kebodohan sang pengacara, bukan membuat tampak jenius atau intelek sang pembicara.
Melihat tingkah-polah kebodohan kalangan pengacara di Tanah Air, mungkin kita tidak akan heran bila menemukan kasus-kasus seperti pengacara bersedia masuk neraka guna menuruti perintah klien pembayar tarif. Sebetulnya kemungkinan demikian bukanlah “hisapan jempol” atau polemik belaka, namun sudah terbukti banyak kasus dan pemberitaan pengacara masui “bui” akibat mengikuti segala kemauan sang klien, jika perlu masuk neraka dalam arti sesungguhnya dengan menjadi “makelar kasus”.
Seakan-akan dan seolah-olah, seperti pengalaman penulis terlibat dan menghadapi kalangan pengacara di Tanah Air, kodrat kalangan pengacara ialah untuk berdebat, debat, dan mendebat. Apa yang sudah betul, tetap didebat sampai-sampai yang pengacara bersangkutan menempuh jalan sesat yang menyesatkan dan tersesat.
Apa yang tidak perlu didebat, tetap didebat, seakan demikian lapar dan haus untuk berdebat, yang sejatinya hanya memperlihatkan kebodohan dan kekerdilan pikirannya sendiri. Untuk tampak cerdas dan pandai, tidak harus dengan banyak berbicara. Pepatah klasik tetap relevan, tanaman padi makin merunduk artinya makin berisi. Tong kosong, nyaring bunyinya. Memamerkan dan mempertunjukkan kebodohan profesi sendiri, ibarat menampar wajah diri sendiri. Mengapa juga kebodohan harus dipertontonkan kepada khalayak ramai? Mungkin itulah yang patut disebut sebagai pameran parade kebodohan.
Dibayar mahal hanya untuk berbicara “omong kosong”, lebih cocok diemban kalangan politikus. Namun tampaknya lahan kalangan politikus, entah sejak kapan, juga digarap dengan penuh penjiwaan oleh kalangan advokat di Tanah Air. Ada saatnya, lidah yang terbiasa untuk berakrobatik itu akan “keseleo” atau bahkan “tergigit” oleh giginya sendiri.
Terlebih ironis, ialah kalangan mahasiswa di Fakultas Hukum di Perguruan Tinggi di Indonesia. Membayar mahal dan membuang-buang banyak waktu hanya untuk mendengarkan dan mengikuti ujian “omong kosong”, dan dilatih serta berlatih untuk mendebat apa yang sebetulnya tidak perlu didebat.
Untuk menumbuhkan melahirkan budaya dialektik--demokratis, bukan dengan cara selalu mendebat apapun yang dihadapkan kepada kita. Itu adalah cerminan pemborosan dan pembodohan—yang sama sekali tidak patut untuk dibanggakan. Ketika kita telah berada di jalur yang benar dan tepat, namun juga tetap dibantah dan didebat, maka siap-siaplah bagi Anda untuk menempuh jalan lain yang berlawanan arah dari jalan yang sudah tepat. Atau bahkan hanya diam dan berjalan di tempat akibat “hanya pandai untuk mendebat” sehingga tiada satupun jalur yang tidak luput dari kritik dan lahan basah untuk dijadikan bahan debat.
Sudah banyak debat yang penulis hadapi dalam berhadapan dengan banyak kalangan pengacara di Tanah Air. Sering penulis tantang sikap arogansi kalangan pengacara yang gemar mendebat apapun yang sebetulnya tidak perlu didebat, sampai akhirnya mereka sendiri merasa letih dan melarikan diri. Ada beberapa tipe manusia yang tidak tepat dijadikan lawan debat, namun kalangan pengacara merasa paling pandai soal urusan debat, sampai pada akhirnya mereka termakan oleh kebiasaan buruk mereka sendiri.
Entah bagaimana dan mengapa, ada orang yang rela membayar mahal untuk jasa advokat yang hanya pandai “bersilat lidah”. Padahal, untuk mencari orang yang pandai “bersilat lidah”, tidak perlu mencari profesi pengacara, mencari “makelar kasus” masih lebih tepat-guna ketimbang advokat. Alhasil, kalangan pengacara menyadari betul fenomena demikian, dan mulai merambah unit layanan bisnis kantor hukum mereka menjadi menjelma Kantor Pengacara (dan sekaligus Makelar), namun secara terselubung, tentunya.
Jika memang kalangan pengacara handal dan paling jago soal debat-mendebat, mengapa juga kalangan pengacara masih kerap tersandung kasus Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi? Semestinya mereka mampu memenangkan gugatan dan perkara apapun, cukup bermodalkan “silat lidah” atau lidah yang mampu bersilat, bukan kekuatan uang. Untuk memenangkan perkara dengan bermodalkan uang suap, siapa pun mampu, makelar mana pun sanggup, tidak harus menggunakan jasa advokat, bukankah demikian?
Faktanya, tidak ada yang perlu dibanggakan atau mengidolakan menjadi advokat di Tanah Air. Justru adalah suatu profesi yang demikian “memalukan” dan tabu untuk diberitahukan kepada orang lain, itulah nasib profesi pengacara di Tanah Air, yang sudah menjadi “rahasia umum”.
Tidak ada yang lebih konyol daripada mengenakan jas dan dasi mengilap dengan berpanas-panasan ke ruang sidang, hanya untuk menyerahkan berkas lalu pulang (atau ada hal tetek-bengek yang lagi-lagi perlu didebatkan), yang sejatinya—sebagaimana tren terkini—orang awam hukum pun mulai menggarap ruang sidang dengan mengajukan gugatannya sendiri atau mengajukan pledoi pembelaannya sendiri tanpa asistensi kalangan pengacara.
Pada gilirannya, segala ulah dan kekonyolan kalangan pengacara, membuat profesi mereka mulai dijauhi dan ditinggalkan oleh masyarakat. Suatu aksi yang kontraproduktif, menurut hemat penulis. Bila kebiasaan buruk kalangan advokat tidak segera diperbaiki, maka tamatnya kalangan profesi advokat tampaknya memang sudah di depan mata. Akselerasi kepunahan profesi advokat, mungkin itulah takdir kalangan pengacara di Tanah Air, yang tidak pernah hendak mereka sadari. Semoga otokritik ini bermanfaat untuk para advokat muda di Indonesia, agar tidak meniru dan tidak ikut mewarisi kerusakan mentalitas advokat-advokat senior mereka.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.