Mungkin Memang Sudah Adil, Apapun Kata Mereka

ARTIKEL HUKUM
Tidak adil! Itulah yang kerap kita lontarkan atau kita dengar, sebagai output dari pross peradilan di lembaga peradilan yang semestinya “adil”. Namun apa itu “adil” dan apa pula itu yang dimaksud dengan “tidak adil”? Bahkan mungkin para pemimpin negara yang tiran saja merasa tidak adil karena pada akhirnya nama dirinya menghiasi buku-buku sejarah pelajaran anak sekolahan, sebagai seorang diktator bersejarah yang patut dikenang—dikenang karena kepemimpinan “tangan besi”-nya.
Pengalaman profesi penulis, mungkin dapat menjadi cerminan. Dapat para pembaca bayangkan, sudah sedemikian jelasnya penulis berprofesi sebagai penjual jasa tanya-jawab seputar hukum (konsultan hukum), bahkan anak kecil yang mengunjungi website ini pun tahu, namun setiap harinya tetap saja nomor kontak kerja penulis pada website komersiel ini disalah-gunakan oleh orang-orang dewasa tidak bertanggung-jawab yang dengan lancang “memperkosa” profesi penulis (meminta dilayani tanpa mau membayar imbalan jasa SEPERAK pun). Alhasil, sudah ribuan pelanggar menjadi makanan penulis sehari-harinya hingga saat kini, menjadi korban perasaan pelecehan yang tidak manusiawi semacam itu.
Mencermati fenomena “para manusia bermental pengemis yang bahkan lebih hina daripada pengemis demikian” (pengemis tidak mencari makan dengan merampok nasi dari piring profesi orang lain), penulis mulai memahami, bahwa mereka (para pelanggar tersebut), adalah wajar memiliki masalah hukum, karena memang dasariahnya yang bermasalah ialah mental atau watak suka melanggar mereka, yang bahkan tanpa rasa malu melanggar dan memperkosa profesi orang lain, seolah hanya mereka sendiri yang berhak atas nafkah dan perlu “makan nasi”.
Banyak diantaranya memiliki sengketa tanah, sengketa korporasi, sengketa kredit, dan berbagai sengketa hukum yang tidak dimiliki oleh seorang pengemis. Tidak terkecuali para pegawai yang menuntut agar gajinya diberikan dan bersengketa hukum dengan pihak perusahaan tempatnya bekerja, namun disaat bersamaan mereka tega dan lancang menyuruh penulis untuk melayani dirinya sementara mereka menjejali mulut penulis dengan “batu”.
Mengapa tidak mereka sendiri saja yang “makan BATU”? Para pekerja tersebut merasa telah dibudaki, dan hendak protes dalam bentuk bersengketa hukum, namun disaat bersamaan mereka merasa berhak membudaki penulis? Dipikir seribu kali pun, logika dari mana sehingga mereka bisa memiliki ide gila demikian? Bahkan berpikir demikian pun penulis tidak sanggup, ternyata Indonesia adalah surga para “raja dan ratu tega”—orang yang tega memperkosa hak dan profesi orang lain, namun menolak ketika dirinya sendiri diperkosa.
Apakah salah, jika sekarang penulis beralih menjadi sama sekali tidak menaruh simpatik terhadap kalangan buruh di Indonesia, dan mulai lebih memilh berpihak pada kalangan pelaku usaha? Bukan karena hanya kalangan pelaku usaha yang sering menjadi klien pengguna jasa penulis, namun karena terlampau masifnya kalangan pekerja / buruh telah memperkosa profesi penulis—sudah tidak terhitung lagi jumlahnya.
Singkat cerita, sebagai kesimpulan, adalah memang sudah sewajarnya bila mereka bermasalah dengan hukum, karena dasariahnya mereka adalah “orang-orang yang bermasalah” secara mental dan memiliki pikiran yang “sakit”. Bahkan terhadap seorang konsultan hukum pun, mereka merasa berhak dengan lancang meminta dilayani tanya-jawab seputar hukum, namun tanpa mau dibebani tarif SEPESER PUN.
Tidak mau bayar SEPERAK PUN (jadi apanya lagi yang perlu dinegosiasikan?), memperkosa, tidak memperkenalkan diri, menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis, hingga secara vulgar melanggar peringatan di website ini, namun anehnya: mengharap selamat dan meminta dilayani?! Aneh bin ajaib, namun itulah realitanya, dan telah mencapai ribuan orang pelanggar demikian penulis hadapi selama bertahun-tahun berkecimpung sebagai profesional Legal Consultant.
Bahkan, saking ajaibnya, tidak sedikit di antara mereka memaksa untuk dilayani, menyatakan bahwa penulis “mata duitan” semata karena penulis menuntut tarif jasa (seolah penulis tidak berhak mencari nafkah) sementara dirinya memiliki sengketa tanah dimana ternyata dirinya juga menjual barang dengan mematok harga. Gembel dari mana yang punya sengketa tanah? Sungguh ironis, makin dipikir makin tidak masuk diakal, tapi semua ini NYATA! Mungkin fenomena ini hanya terjadi di Indonesia, penduduk yang dikenal egois, korup, penuh kekerasan, dan tidak logis.
Penulis bahkan tidak jarang dipersalahkan, semata karena tidak mau “memberikan pencerahan” bagi mereka. Mengapa tidak diri mereka sendiri saja yang menjadi “babu” tanpa upah bagi penulis sesuai profesi mereka, agar keluarga mereka mati dijejali BATU ke perut dan mulut mereka. Aneh tapi nyata, sungguh manusia-manusia sampah demikian berlimpah-ruah di negeri yang mengaku ‘agamais’ ini.
Entah sudah berapa banyak profesi konsultan hukum yang mereka perkosa profesinya, dan entah konsultan mana lagi yang akan mereka mangsa dan perkosa. Apakah orang-orang SAMPAH semacam itu layak ditolong? Apakah orang-orang SAMPAH demikian layak selamat dan bebas dari masalah hukum?
Seperti yang telah penulis sebutkan di muka, mereka bermasalah dengan hukum karena memang dasariahnya mereka orang-orang yang “BERMASALAH”. Manusia dengan akal sehat, tidak akan menuntut dilayani setelah memperkosa profesi orang lain—bahkan mengharap “selamat” pula. Mereka adalah makhluk-makhluk “aneh” yang layak dipajang di Kebun Binatang sebagai makhluk paling aneh di dunia, bukan hewan-hewan bertampang bodoh di kandang-kandang berbau itu. Rupanya manusia suka mempertontonkan kegilaan berpikir mereka.
Yang terlebih melukai nurani, telah begitu banyak pengorbanan waktu, energi, dan biaya yang penulis kerahkan dengan nilai yang tidak lagi terhitung jumlahnya demi membangun website hukum ini, namun mereka justru dengan ber-tega hari “membalas air susu dengan perkosaan” terhadap profesi penulis. Alih-alih berterima kasih dan membalas budi, mereka justru melecehkan dan memperkosa profesi penulis, bahkan beberapa diantara mereka begitu teganya mencoba menipu penulis dengan berbagai tipu-muslihat dan akal-bulus “murahan” yang pada tujuannya untuk meminta dilayani tanpa harus membayar SEPESER PUN.
Namun janganlah berasumsi, terlebih berpikir untuk itu, bahwa perbuatan mereka tidak akan dapat penulis berikan sanksi, seluruh ID pelanggar demikian penulis publikasikan dalam laman BLACKLIST sehingga dapat dilihat oleh semua penjelajah dunia maya. Pada akhirnya mereka hanya mencoreng wajah mereka sendiri yang memang sudah kotor dan rusak.
Padahal, kita tahu, hanya orang “tidak waras” yang mengharap selamat dan meminta dilayani dengan cara memperkosa profesi orang lain. Ternyata, di negeri ini lebih banyak kita jumpai orang-orang “tidak waras” demikian. Makin dipikirkan makin tidak masuk diakal.
Apa komentar kita bila kita menemukan seseorang berseru kepada penjual hotdog di pasar: “Saya mau beli hotdog yang kamu jual, tapi saya tidak mau bayar seperak pun!” Kita akan juluki mereka sebagai “orang sinting” yang berkeliaran di siang bolong. Faktanya, sudah ribuan ID pelangga super-gila demikian telah penulis blacklist dan berikan sanksi karena gila serupa.
Representatif dalam ilustrasi kisah berikut, dapat cukup mewakili, dikutip secara analogi dari seorang Bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya Opening the Door of Your Heart (Judul versi Bahasa Indonesia: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya), Penerjemah : Chuang, Awareness Publication, 2009, Jakarta, sebagai berikut:
MUNGKIN MEMANG (SUDAH) ADIL
Sering kali saat kita mengalami depresi, kita tergoda untuk mulai berpikir, “Ini tidak adil! Mengapa harus aku yang mengalaminya?” Akan tetapi melegakan jika hidup ini lebih adil.
Seorang narapidana paruh-baya di kelas meditasi yang saya ajarkan di penjara, minta bertemu dengan saya setelah sesi meditasi selesai. Dia telah mengikuti sesi sesi saya selama beberapa bulan dan saya telah cukup mengenal dirinya.
“Brahm,” katanya, “Saya ingin memberi tahu Anda bahwa saya tidak melakukan kejahatan yang membuat saya terkunci di penjara ini. Saya tidak bersalah. Saya tahu beberapa penjahat mungkin akan mengatakan hal yang sama dan berbohong bahwa mereka tidak bersalah atau tidak melakukan apa yang dituduhkan jaksa, tetapi saya mengatakan yang sebenarnya kepada Anda. Saya tidak akan berbohong kepada Anda, Brahm, tidak kepada Anda.”
Saya percaya kepadanya. Keadaan dan sikapnya membuat saya merasa yakin jikalau dia tidak mungkin berbohong. Saya mulai berpikir betapa tidak adilnya keadaan ini, dan bertanya-tanya bagaimana saya bisa memperbaiki ketidakadilan yang mengerikan ini. Namun tepat disaat itu, dia menyela pikiran saya.
Dengan tersenyum nakal, dia melanjutkan ceritanya, “Tetapi Brahm, ada banyak kejahatan lain yang saya perbuat, tetapi saya tak tertangkap. Jadi saya kira apa yang terjadi sekarang ini memang adil.”
Saya tertawa terbahak-bahak. Rupanya si ‘tua bangka’ satu ini sedikit-banyak telah memahami betul tentang hukum karma, bahkan lebih baik daripada beberapa biksu yang saya kenal.
Berapa seringkah kita melakukan ‘kejahatan’, yang begitu melukai, tindakan yang penuh kedengkian, tetapi kita tidak dibuat menderita olehnya? Apakah kita pernah berkata, “ini tidak adil! Mengapa aku tidak ditangkap?
Ketika kita dibuat menderita oleh suatu alasan yang tidak jelas, belum-belum kita sudah menjerit sejadi-jadinya, “Ini tidak adil! Mengapa aku?”
Barangkali itu sebenarnya adil. Seperti napi yang tadi saya ceritakan, barangkali ada banyak ‘kejahatan’ lain yang kita perbuat, tetapi kita tidak tertangkap, inilah yang menjadikan hidup ini sebenarnya adil.
Para pelanggar tersebut, menjerit-jerit dan berkoar-koar seolah mereka telah diculasi lawan mereka, menggebu-gebu ingin menggugat, namun secara fakta tepat di depan hidung penulis (lewat layar digital, tentunya), mereka justru mempertontonkan sikap-sikap ala biadab yang tidak beradab, seolah mereka punya hak untuk melecehkan profesi penulis, memperbudak kalangan profesi konsultan, menyuruh penulis untuk mati memakan batu. Kewajiban mana bagi penulis untuk mau diganggu oleh manusia-manusia “SPAM” demikian? Sekali pun mereka musnah dari muka bumi ini, dunia tidak akan pernah kurang-kurangnya dari manusia “sampah” semacam mereka. Mereka pikir diri mereka itu siapa? Raja? Ratu? Mereka hanya berupa seonggok sampah bau di mata penulis, dengan masalah hukum mereka yang menyerupai sampah bau bagi penulis.
Pada akhirnya, penulis juga yang tertawa mendapati mereka bermasalah dengan hukum. Mereka memang layak mendapat apa paling layak bagi mereka. Penipu memang layak tertipu. Perampok memang layak dirampok. Penjarah memang layak dijarah. Pembunuh memang layak dibunuh. Kriminil memang layak jadi korban kriminalitas. Penyerobot memang layak diserobot haknya. Jadi, dimana letak salahnya semua sengketa dan masalah hukum yang mereka derita?
Tidak kurang-kurangnya keanehan sosial watak manusia negeri yang konon katanya serba “penuh sopan-santun” dan tahu diri ini—meski senyatanya itu semua hanya jargon untuk menipu bangsa sendiri, karena wajah asli bangsa ini yang kita saksikan di keseharian jauh dari kenyataan jargon demikian—atau mungkin sekadar slogan omong-kosong yang dibentuk demi menarik minat wisatawan asing agar bersedia menjejakkan kaki ke negeri yang konon “beradab” dan “demokratis” ini dan menghabiskan lembaran dolar mereka di sini.
Meski demikian, memang sudah adil dan layak bila negeri ini terus menjadi negeri terbelakang dari segi ekonomi dan peradaban. Lihatlah kurs mata uang asing terhadap rupiah, tidak berbeda dengan zaman krisis moneter era jatuhnya Orde Baru. Lihatlah kian bengkaknya hutang APBN negeri ini kepada pihak asing.
Sepanjang watak bangsa penghuninya masih suka melanggar dan tanpa malu berbohong ataupun memperkosa profesi orang lain, maka tentunya sudah adil bila negeri ini dijajah secara ekonomi dan budaya oleh negeri lain. Mereka hanya patut protes dan menggugat watak dan karakter mereka sendiri. bangsa ini sangat minim dalam urusan introspeksi diri, sangat kurang, dan nilai raport mereka untuk itu adalah “merah”—semerah api yang membara.
Tampaknya penulis memang lahir dan tumbuh besar di era dan di negeri yang keliru, beberapa orang dekat memiliki pemikiran dan pendapat demikian. Ya, mungkin saja mereka benar. Setidaknya, penulis sejak saat ini tidak akan lagi terlampau memedulikan masa depan negeri yang kian porak-poranda dari segi kelestarian alam maupun dari segi mentalitas ini. Negeri ini serba kekurangan orang-orang yang mau bersikap jujur dan adil. Jika saja mereka mau jujur, mereka akan mengakui bahwa mereka layak untuk mendapat sebentuk penghukuman. Sejak kapan, sebuah dan berbagai rangkaian perkataan dusta dianggap sebagai suatu kelaziman?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.