Antara Kodrat Deterministik Genetik Kriminal & Daya Pilihan Bebas Manusia Berakal Budi, Hukum Pidana Tidak Pernah Mempertimbangkan Faktor GENOM

ARTIKEL HUKUM
David Hume (Hume’s Fork) : “Entah perbuatan kita telah ditakdirkan, sehingga kita terbebas dari tanggung jawab, atau terjadi begitu saja akibat sejumlah peristiwa acak, sehingga kita pun tidak usah bertanggung-jawab.”
Pernahkan hakim maupun legislator pembentuk undang-undang memperhatikan serta memperhitungkan faktor diluar niat batin pelaku kejahatan, seperti telah dibuktikan adanya “Faktor X” yang ditemukan oleh para ahli neurologi modern? Sebagaimana kita ketahui, kode genetik manusia telah berhasil dipetakan dalam beberapa dasawarsa terakhir, mengungkap berbagai misteri yang tidak pernah terpikirkan oleh para juris di pengadilan.
Dalam kesempatan ini SHIETRA & PARTNERS akan mengurai benang merah antara faktor prevalensi kriminalitas terkait faktor kriminogen bernama genetik manusia. Ibarat perangkat lunak (software), genetik cenderung mempengaruhi—jika tidak dapat dikatakan sebagai penentu utama—tendensi suatu dorongan perilaku, sebagaimana telah banyak dijelaskan oleh ilmu psikologi sosial dan psikologi perilaku, namun telah mendapat banyak tantangan dari berbagai penemuan rangkaian variasi kode genetik yang menguasai tubuh dan pikiran seorang umat manusia.
Born to be a criminal or to be an angel, mungkin tidak luput timbulnya kesan demikian dalam benak kita ketika telah membaca riset hasil pemetaan kode genetik kita, ras manusia, si homo sapiens. Faktor bobot, bibit, dan bebet, tampaknya juga cukup deterministik, dimana kita ketahui bahwa potensi penyakit keturunan hingga perilaku menyimpang asosial lainnya dapat dipengaruhi oleh faktor warisan genetik dari leluhur—belum lagi berbicara perihal mutasi genetik yang diwarnai ketidak-pastian.
Bila genetik manusia demikian deterministik, maka apakah perbuatan seorang kriminal yang memang dikodratkan oleh kode genetiknya untuk menjadi seorang kriminil atau seperti penyakit mental “gemar mencuri” bukan karena tidak punya uang untuk membeli, maka siapakah yang sebetulnya paling patut dipertanggung-jawabkan? Namun, apakah benar genetik demikian deterministik? Apakah selamanya umat manusia terkungkung oleh diktatoriat Kode Genetik yang dibawanya sejak lahir, tanpa dapat memilih dan menentukan nasib sendiri? “Self determination”, ataukah “gene’s determination”?
Terdapat sebuah ulasan menarik dari Matt Ridley dalam bukunya berjudul GENOME : The Autobiography of A Species in 23 Chapters (GENOM : Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab), tahun pertama kali terbit 1999, Alih Bahasa : Alex Tri Kantjono W., Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua, November 2005, Jakarta. Terungkap fakta-fakta kode genetik kita, para manusia, dengan uraian sebagai berikut:
Genom manusia—seperangkat lengkap gen manusia—hadir dalam paket berisi dua puluh tiga pasangan kromosom yang terpisah-pisah. Dari semua ini, dua puluh dua pasangan diberi nomor berdasarkan urusan ukuran, dari yang paling besar (nomor 1) hingga yang paling kecil (nomor 22(, sedangkan sepasang sisanya terdiri atas kromosom gender: dua kromosom X yang besar pada wanita, satu X dan satu Y pada pria. Dalam hal ukuran, kromosom X terletak antara kromosom 7 dan 8, sedangkan kromosom Y paling kecil.
Angka 23 tidak terlalu penting. Banyak spesies, termasuk kerabat terdekat kita di antara kelompok kera, mempunyai kromosom lebih banyak, dan banyak pula yang kurang dari itu. Begitu pula, gen-gen dengan fungsi dan tipe serupa tidak harus bergerombol dalam kromosom yang sama. Maka beberapa tahun lampau, ketika berbincang lewat sebuah komputer laptop dengan David Haig, seorang spesialis biologi evolusi, saya akan terkejut waktu mendengar dia mengatakan bahwa kromosom favoritnya adalah kromosom 19. Segala macam gen kelakuan buruk terdapat dalam kromosom ini, katanya.
Sebelumnya, tak pernah terpikir oleh saya bahwa kromosom mempunyai kepribadian. Lagi pula, bukankah kromosom hanya sekumpulan gen yang urutannya acak-acakan? Akan tetapi pernyataan David Haig mematok sebuah gagasan dalam benak saya yang tidak dapat saya singkirkan.
KROMOSOM 22 : KEHENDAK BEBAS. Mengutip Oxford Dictionary of Philosophy: “Hume’s fork: Entah perbuatan kita telah ditakdirkan, sehingga kita terbebas dari tanggung jawab, atau terjadi begitu saja akibat sejumlah peristiwa acak, sehingga kita pun tidak usah bertanggung jawab.”
Saat naskah edisi asli buku ini menjelang selesai, beberapa bulan sebelum akhir milenium, ada beberapa kabar yang sangat penting. Di Sanger Center, dekat Cambridge—laboratorium yang paling dahulu dalam upaya pembacaan genom manusia—urutan lengkap kromosom 22 dinyatakan selesai dibaca. Keseluruhan dari 15,5 juta “kata” (atau sekitar itu, mengingat panjang yang pasti tergantung pada urutan-urutan pengulangan, yang sangat bervariasi) dalam bab kedua puluh dua otobiografi manusia telah dibaca dan ditulis dalam huruf-huruf Bahasa Inggris: 47 juta A, C, G, dan T.
Dekat ujung lengan panjang kromosom 22 terdapat satu gen yang besar dan rumit, kaya makna, dan dikenal sebagai HFW. Gen ini mempunyai empat belas ekson, yang secara keseluruhan melafalkan teks sepanjang lebih dari 6000 huruf. Teks tersebut mengalami editing habis-habisan seusai transkripsi oleh proses RNA splicing yang aneh untuk menghasilkan protein sangat rumit yang terekspresikan hanya di suatu bagian kecil kortek prefrontalis pada otak. Fungsi protein itu, secara umum, adalah memungkinkan manusia memiliki kehendak bebas. Tanpa HFW, kita tidak akan mempunyai kehendak bebas.
Tapi nanti dulu... Paragraf di atas hanya rekaan. Gen HFW tidak pernah ada, baik di kromosom 22 maupun di kromosom lain. Sesudah dua puluh dua bab yang serius bicara soal kebenaran, entah bagaimana saya tergoda untuk bergurau. Sebagai orang yang telah sekian lama mengembangkan karier sebagai penulis non-fiksi, tidak usah heran jika saya ingin menulis sesuatu yang agak berbeda.
Tapi siapakah “saya”? siapakah saya, yang hanya karena suatu dorongan konyol, memutuskan menulis satu paragraf fiktif? Saya salah satu makhluk biologis yang terbentuk demikian oleh gen-gen dalam diri saya. Mereka meresepkan bentuk tubuh saya, memberi saya lima jari pada tiap tangan, dan tiga puluh dua buah gigi dalam mulut saya, memberi saya kemampuan berbahasa, serta mendefinisikan sekitar separuh kemampuan intelektual saya.
Ketika saya mengingat sesuatu, merekalah yang mengerjakannya untuk saya, mengaktifkan sistem CREB untuk menyimpan memori. Gen-gen membangun otak dan mendelegasikan tanggung-jawab tugas sehari-hari kepada organ ini. Mereka juga memberi saya kesan khusus bahwa saya bebas menentukan sikap sendiri soal cara berperilaku.
Lewat introspeksi sederhana saya tahu tidak ada yang dapat menghalangi saya berbuat apa pun. Juga tidak ada yang mengatakan saya harus mengerjakan satu hal dan bukan yang lain. Saya tinggal masuk ke mobil saya kemudian mengemudikannya menuju ke Edinburg sekarang juga tanpa alasan tertentu kecuali bahwa saya menghendakinya. Juga tidak ada yang menghalangi saya membuat satu paragraf fiksi dalam bab ini. Saya makhluk merdeka, yang dilengkapi dengan kehendak bebas.
Dari manakah asal kehendak bebas itu?
Jelas bahwa kehendak bebas bukan berasal dari gen-gen saya, sebab jika demikian namanya pasti bukan kehendak bebas. Jawabnya, menurut banyak orang, adalah bahwa itu berasal dari masyarakat, dari budaya, dari pengasuhan. Berdasarkan alasan ini, kemerdekaan adalah bagian dalam diri kita yang tidak ditentukan oleh gen, seperti bunga yang berkembang setelah gen tuntas melaksanakan hajat tiraninya yang paling buruk. Kita dapat meraih lebih dari yang telah ditentukan secara genetik dan karena itu dapat merengkuh bunga mistik yang disebut kemerdekaan atau kebebasan.
Ada suatu tradisi lama di kalangan penulis sains jenis tertentu untuk mengatakan bahwa dunia biologi terbatas atas orang-orang yang percaya kepada determinisme genetik dan orang-orang yang percaya kepada kebebasan. Namun penulis-penulis yang sama telah menolak determinisme genetik hanya untuk menggantikannya dengan bentuk lain determinisme biologis—determinisme pengaruh orang tua atau pengondisian sosial (alias determinisme lingkungan sosial).
Aneh sekali, mengingat begitu banyak penulis yang demikian gigih mempertahankan martabat manusia melawan tirani gen-gen, ternyata dengan senang hati menerima tirani dari lingkungan sekitar.
Saya pernah dikritik secara tertulis dengan tuduhan pernah mengatakan bahwa semua perilaku ditentukan secara genetik (padahal saya tidak pernah berkata begitu). Si komentator tersebut langsung menyebutkan satu contoh bahwa perilaku bukan bawaan: Katanya, sudah banyak orang tahu bahwa penyiksa anak umumnya sering mengalami siksaan sewaktu kanak-kanak dan inilah penyebab perilaku mereka di kemudian hari.
Tampaknya tidak terpikir olehnya bahwa ini sama dengan kutukan yang deterministik dan jauh lebih tidak berperasaan serta hanya didasarkan pada prasangka buruk terhadap orang-orang yang sudah cukup menderita. Ia berpendapat bahwa anak-anak para penyiksa anak mungkin sekali berkembang menjadi penyiksa anak pula, dan tidak banyak yang dapat diperbuat untuk menghindarinya. Tidak terpikir olehnya bahwa ia telah menerapkan satu standar ganda: menuntut pembuktian lengkap dan tegas untuk penjelasan genetik terhadap perilaku, sementara penjelasan berdasarkan ilmu sosial diterima begitu mudahnya.
Pemisahan yang kasar antara gen sebagai penyebab seseorang menjadi penganut ajaran Calvin dan lingkungan sebagai penyebab kehendak bebas, adalah pandangan menyesatkan. Salah satu pengaruh lingkungan yang paling menentukan terhadap watak dan kemampuan adalah bermacam-macam kondisi dalam rahim seorang ibu, sesuatu yang di luar kuasa kita.
Sebagaimana pernah saya ungkapkan dalam bab tentang kromosom 6, sebagian gen untuk kemampuan intelektual barangkali adalah gen-gen untuk kesukaan atau selera, bukan untuk bakat: artinya, gen tersebut membuat pemiliknya senang belajar. Hasil yang sama dapat diperoleh ketika seorang anak mendapatkan guru yang mampu menggugah minat belajarnya. Dengan kata lain, faktor bawaan bisa jauh lebih luwes daripada faktor pengasuhan.
Karya Aldous Huxley, “Brave New World”, yang ditulis saat demam eugenika tengah mencapai puncaknya selama tahun 1920-an, memberikan gambaran tentang betapa mengerikan dunia ini akibat kebijakan penyeragaman, akibat tiadanya kehendak bebas, akibat tiadanya individualitas. Tiap orang dengan pasrah dan dengan suka-hati menerima tempatnya dalam suatu sistem kasta—dari alfa hingga epsilon—dan dengan patuh mengerjakan tugas-tugas serta menikmati imbalan apa pun yang disediakan oleh masyarakat baginya.
Ungkapan “brave new world” dapat diartikan sebagai suatu distopia (suatu dunia maya dengan kondisi seburuk mungkin, lawan kata dari Utopia) yang dihadirkan ke tengah-tengah kita oleh suatu pusat kendali dengan bantuan sains teramat canggih.
Oleh sebab itu alangkah mengejutkan apabila ketika membaca buku itu orang menemukan tak ada sedikit pun pembicaraan tentang eugenika di situ. Alfa dan epsilon bukan dilahirkan melainkan dihasilkan oleh suatu proses penyesuaian kimiawi dalam rahim-rahim buatan, dilanjutkan dengan pembelajaran dan cuci otak ala Ivan Pavloc (pavlovian conditioning), kemudian dipertahankan dalam kehidupan dewasa menggunakan obat semacam candu.
Dengan kata lain, distopia tidak terkait sama sekali dengan proses alami karena segala sesuatu harus melewati proses pengasuhan. Alih-alih neraka genetik, ini merupakan neraka yang diciptakan oleh lingkungan sekitar. Nasib setiap orang ditentukan, bukan oleh gen-gen mereka, melainkan oleh lingkungan yang serba terkendali. Determinisme di sini biologis, tetapi bukan genetik.
Kecemerlangan Aldous Huxley tercermin dari kejeliannya membayangkan neraka yang dapat dialami dunia ketika pengasuhan diberi peran kelewat berlebihan. Sesungguhnya, sulit untuk mengatakan apakah penganut determinisme genetik ekstrem yang telah memerintah Jerman selama tahun 1930-an telah menyebabkan penderitaan lebih banyak ketimbang penganut determinisme lingkungan ekstrem yang memerintah Rusia dalam kurun waktu hampir sama. Yang pasti adalah, kedua ekstrem tadi sama-sama mengerikan.
Untungnya, manusia mempunyai ketahanan yang luar biasa terhadap proses cuci otak. Betapa pun kerasnya upaya orangtua atau orang-orang terpengaruh ketika mengatakan bahwa mer0k0k tidak baik bagi mereka, kaum muda masih menghisap r0k0k. Sesungguhnya, justru karena ceramah kaum tua-tua itulah mereka merasa bahwa mer0k0k sangat menarik.
Kita secara genetik telah diberi suatu kecenderungan untuk menentang keras siapa pun yang berkuasa, terutama semasa remaja, guna melindungi watak bawaan kita sendiri terhadap para diktator, guru, orangtua tiri jahat, atau kampanye iklan pemerintah.
Setelah itu, sekarang kita tahu bahwa hampir semua bukti menunjukkan bagaimana pengaruh orangtua dalam membentuk watak ternyata lemah sekali. Memang ada korelasi antara kebiasaan menyiksa anak dan pengalaman disakiti oleh orangtua semasa kanak-kanak, tetapi itu dapat terjadi sepenuhnya karena ada bakat kepribadian yang diturunkan.
Anak-anak pada penyiksa anak mewarisi kecenderungan tersebut dari orangtua mereka sendiri. Apabila diberi kontrol yang tepat untuk efek ini, penelitian tidak akan memberikan ruang sama sekali untuk determinisme pengasuhan. Anak-anak tiri orang yang cenderung menyiksa anak, misalnya, tidak menjadi penyiksa anak setelah mereka sendiri dewasa.
Yang menakjubkan, ini berlaku untuk hampir setiap penyakit sosial baku yang pernah kita dengar. Penjahat membesarkan penjahat. Tukang kawin-cerai membesarkan tukang kawin-cerai. Orangtua bermasalah membesarkan anak-anak bermasalah. Oarngtua rakus membesarkan anak-anak rakus.
Sesudah terbiasa dengan semua pernyataan yang dianggap benar tadi, selama kariernya yang panjang sebagai penulis buku ajar psikologi, Judith Rich Harris tiba-tiba mulai mempertanyakan pernyataan-pernyataan (konvensional) tersebut beberapa tahun lalu. Yang dijumpainya ternyata menarik sekali. Karena hampir tidak ada studi yang dilengkapi kontrol untuk heritabilitas, berarti bukti tentang sebab-akibat dalam studi-studi itu, tidak ada sama sekali.
Sayangnya, bahkan basa-basi pun tidak ada soal ketiadaan kontrol ini: malah sebaliknya, korelasi terus dihadirkan sebagai hubungan sebab-akibat. Namun dalam tiap kasus, dari studi genetika tentang perilaku, ada bukti baru dan kuat yang berlawanan dengan yang Rich Harris sebut dengan “the nurture assumption” atau “asumsi pengasuhan”.
Studi-studi terhadap angka perceraian di kalangan orang kembar, misalnya, mengungkapkan bahwa genetika berperan terhadap kira-kira separuh dari variasi yang terjadi dalam angka perceraian, separuh lagi ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang tidak sama-sama dialami oleh pasangan kembar itu, sedangkan faktor-faktor lingkungan rumah yang sama-sama dialami tidak mempunyai pengaruh sama sekali.
Dengan kata lain, Anda tidak mempunyai peluang lebih banyak untuk bercerai meskipun Anda dibesarkan di suatu keluarga berantakan—kecuali orangtua biologis Anda memang bercerai. Studi-studi terhadap catatan kriminal anak-anak pungut di Denmark menyingkapkan satu korelasi yang kuat dengan catatan kriminal orangtua biologis namun mempunyai korelasi lemah sekali dengan catatan kriminal orangtua adopsi—bahkan korelasi itu hilang apabila diberi kontrol untuk pengaruh teman sepermainan, ketika orangtua adopsi tinggal di lingkungan yang lebih, atau kurang, kental dengan kejahatan, tergantung apakah mereka sendiri penjahat atau bukan.
Sesungguhnya, sekarang jelas bahwa anak-anak barangkali lebih banyak memberi pengaruh non-genetik pada orangtua daripada sebaliknya. Seperti pernah saya katakan dalam bab tentang kromosom X dan Y, orang pada lazimnya berpendapat bahwa ayah yang jauh dan ibu yang terlalu protektif membuat seorang anak laki-laki menjadi pria h0m0seksuil. Pandangan sekarang barangkali justru kebalikan dari itu: karena merasa bahwa seorang anak laki-laki tidak begitu tertarik kepada hal-hal yang maskulin, sang ayah cenderung meninggalkannya; selanjutnya sang ibu memberi kompensasi dengan bersikap terlalu melindungi. Begitu pula, ada benarnya jika anak penderita autisme sering mempunyai ibu yang dingin, tetapi ini akibat, bukan penyebab: sang ibu, karena lelah setelah sekian tahun mencoba mendapatkan terobosan untuk menyembuhkan sang anak, pada akhirnya putus asa dan menyerah.
Rich Harris secara sistematik telah meruntuhkan dogma yang telah tergelar kokoh, tanpa tandingan, yang telah mendasari ilmu sosial abad kedua puluh: asumsi bahwa orangtua membentuk kepribadian serta budaya anak-anak mereka.
Dalam psikologi Sigmund Freud, ilmu perilaku John Watson dan antropologi Margareth Mead, determinisme pengasuhan oleh orangtua belum pernah diuji, hanya diandaikan. Namun pembuktian, dari studi terhadap orang kembar, dari studi terhadap anak-anak imigran dan terhadap kasus-kasus adopsi, sekarang sudah di depan mata: manusia mendapatkan kepribadian dari gen-gen mereka dan dari teman sepergaulan mereka, bukan dari orangtua.
Pada tahun 1970-an, sesudah terbit buku karya E.O. Wilson, “Sociology”, muncul suatu serangan balasan yang dahsyat terhadap gagasan pengaruh genetik terhadap perilaku yang dimotori rekan-rekan Wilson di Harvard, Richard Lewontin dan Stephen Jay Gould. Slogan favorit mereka, yang digunakan sebagai judul untuk salah satu buku Lewontin, bernada sangat dogmatik: “Not in our genes!”
Kala itu orang memang masih agak leluasa mengatakan bahwa pengaruh genetik terhadap perilaku sedikit atau tidak ada sama sekali. Sekarang, sesudah studi tentang genetika perilaku berusia lebih dari dua puluh lima tahun, pendangan itu tidak dapat dipertahankan lagi. Gen sungguh mempengaruhi perilaku.
Namun bahkan setelah penemuan-penemuan ini, faktor lingkungan masih sangat penting—barangkali secara keseluruhan lebih penting daripada gen-gen di hampir semua perilaku. Akan tetapi, yang di luar dugaan, pengaruh lingkungan yang berasal dari orangtua ternyata kecil sekali. Ini tidak menyangkal peran penting orangtua, atau bahwa anak-anak dapat tumbuh dewasa tanpa mereka.
Sesungguhnya, seperti menurut pengamatan Rich Harris, menggelikan sekali kalau kita berpendapat sebaliknya. Fungsi orangtua membentuk lingkungan rumah dalam arti lingkungan rumah yang bahagia adalah seseuatu yang positif dengan sendirinya. Anda tidak harus percaya bahwa kebahagiaan menentukan kepribadian, atau untuk setuju bahwa itu hal baik yang harus dipunyai.
Akan tetapi anak-anak tampaknya tidak begitu saja membiarkan lingkungan rumah memengaruhi kepribadian mereka di luar rumah, atau membiarkannya memengaruhi kepribadian mereka dalam kehidupan selanjutnya sebagai orang dewasa.
Rich Harris melakukan satu pengamatan teramat penting bahwa kita semua cenderung berusaha memisahkan zona umum dari zona pribadi dalam kehidupan kita, dan kita tidak harus mengambil pelajaran atau kepribadian dari orang lain. Kita dengan mudah berpindah-pindah dari zona satu ke zona lain. Itu sebabnya kita berhasil menguasai bahasa (dalam kasus imigrasi) atau aksen dari teman sepergaulan, bukan dari orangtua, untuk digunakan dalam sisa hidup kita.
Kultur atau budaya ditularkan secara otonom dari tiap anak kepada yang lain dalam lingkup pergaulan mereka dan bukan dari orangtua kepada anak—ini sebabnya, sebagai contoh, mengapa, di taman kanak-kanak, arahan untuk berteman tidak hanya dengan teman sejenis, seperti di kalangan orang dewasa, tidak berhasil mengalahkan kecenderungan untuk berkelompok dengan teman sejenis.
Sebagaimana diketahui semua orangtua, anak-anak lebih suka meniru teman sepergaulan daripada orangtua sendiri. Psikologi, seperti sosiologi dan antropologi, telah didominasi oleh mereka yang sangat antipati terhadap penjelasan genetik; namun sekarang mereka tidak bisa lagi mempertahankan sikap tersebut. [Note SHIETRA & PARTNERS: Dan, disiplin ilmu hukum berada di barisan paling belakang, paling primitif dan paling terbelakang dalam mengakomodasi berbagai penemuan terkait GENOM subjek hukum yang diaturnya. Hukum dibentuk dengan asumsi dasar bahwa semua manusia adalah seragam dan sama dalam hal bakat genetik dan perilaku, meski sejatinya bertolak-belakang dengan fakta.]
Tujuan saya bukan mengangkat kembali debat antara faktor bawaan dan faktor pengasuhan, yang pernah saya gali dalam bab tentang kromosom 6, atau menarik perhatian Anda ke kenyataan bahwa bahkan andaikata asumsi pengasuhan telah terbukti benar, itu tidak akan mengurangi determinisme barang sedikit pun.
Sebagaimana adanya, dengan menekankan kuatnya pengaruh penyesuaian diri kepada kelompok pergaulan terhadap kepribadian, Rich Harris mengungkapkan dengan gamblang betapa determinisme sosial dapat jauh lebih mengerikan ketimbang determinisme genetik. Itu sama dengan proses cuci otak. Alih-alih menyisakan ruang utnuk kehendak bebas, determinisme ini justru menguranginya. Seorang anak yang mengekspresikan kepribadiannya sendiri (sebagian di antaranya genetik) untuk mengatasi tekanan orangtuanya atau saudara kandungnya setidaknya mematuhi suatu dorongan yang berasal dari dalam dirinya sendiri, bukan dari orang lain.
Maka sebetulnya kita tidak bisa lari dari determinisme kendati kita berpaling ke penjelasan versi ilmu sosial. Efek mana pun mempunyai penyebab atau tidak sama sekali. Jika saya kurang percaya diri karena sesuatu yang terjadi pada saya semasa kecil, kejadian itu tidak kurang deterministik dibanding gen untuk sifat kurang percaya diri.
Kekeliruan telah besar dalam hal ini bukan karena mempersamakan determinisme dengan gen, melainkan menghubungkan determinisme dengan situasi tak terhindarkan. Maka kata ketiga pengarang “Not in our genes”, Steven Rose, Leon Kamin, dan Richard Lewontin, “Bagi para penganut determinisme biologis pakem lama ‘Anda tidak dapat mengubah sifat manusia’ adalah alfa dan omega untuk kondisi manusia.” Akan tetapi persamaan ini—determinisme yang dipersamakan dengan fatalisme—sekarang sudah disadari sekali sebagai suatu kekeliruan sehingga sulit menemukan “kambing hitam” atau tumbal yang dapat diajukan ketiga kritikus itu.
Alasan mengapa mempersamakan determinisme dengan fatalisme merupakan kesalahan besar adalah sebagai berikut. Misalkan Anda sakit, tetapi mernurut Anda tidak ada alasan untuk memeriksakan diri ke dokter karena Anda pasti sembuh dengan sendirinya, atau tidak akan sembuh lagi; dalam kasus mana pun, kehadiran seorang dokter tidak ada gunanya. Akan tetapi ini mengabaikan kemungkinan bahwa kesembuhan atau kematian Anda dapat disebabkan oleh kehadiran dokter atau kegagalan menghubunginya.
Selanjutnya determinisme tidak menyiratkan apa pun tentang apa yang dapat atau tidak dapat Anda perbuat. Determinisme menengok ke belakang ke arah penyebab keadaan sekarang, bukan ke depan atau ke akibat.
Kendatipun demikian, sebagaian orang masih mempertahankan mitos bahwa determinisme genetik lebih tidak mungkin ditawar dibanding determinisme sosial. Seperti kata James Watson, “Kita bicara soal terapi gen seolah-olah itu dapat mengubah nasib seseorang, tetapi Anda juga dapat mengubah nasib seseorang jika Anda melunaskan utang kartu kreditnya.”
Tujuan pokok orang mempelajari genetika adalah mencari upaya memperbaiki cacat genetik melalui campur-tangan (yang kebanyakan tidak usah genetik). Alih-alih mencari mutasi-mutasi genetik yang mengarah ke fatalisme, saya telah mengutip banyak contoh mutasi yang telah melipat-gandakan upaya mereka untuk memperbesar pengaruh mereka.
Sebagaimana saya tunjukkan dalam bab tentang kromosom 6, ketika disleksia belakangan diakui sebagai suatu kondisi nyata, dan tidak mustahil genetik, tanggapan orangtua, guru, dan pemerintah bukan fatalistik. Tidak seorang pun mengatakan bahwa karena merupakan kondisi genetik berarti disleksia boleh tetap buta huruf.
Yang terjadi justru sebaliknya: pendidikan khusus (perlu dihadirkan) guna mengatasi disleksia berkembang, dengan hasil yang mengesankan. Begitu pula sebagaimana saya katakan dalam bab tentang kromosom 11, bahwa psikoterapis telah menemukan penjelasan genetik untuk sifat pemalu, ternyata positif dalam upaya penyembuhannya. Dengan meyakinkan penderita bahwa rasa malu mereka bawaan dan “nyata”, entah bagaimana itu membantu mereka mengatasinya.
Juga tidak masuk akal jika mengatakan bahwa determinisme biologis mengancam kebebasan berpolitik. Seperti kata Sam Brittan, “lawan dari kebebasan adalah pemaksaan, bukan determinisme.” Kita menyanjung kebebasan berpolitik karena itu memberi kita kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, bukan sebaliknya.
Bagaimana pun, kita berbasa-basi ketika menyatakan dukungan terhadap kehendak bebas, sebab waktu nasib sedang sial, kita berlindung kepada determinisme untuk menyelamatkan kita. Dalam bulan Februari 1994 seorang Amerika bernama Stephen Mobley dinyatakan bersalah atas pembunuhan terhadap seorang manajer toko pizza, John Collins, lalu divonis hukuman mati. Dalam upaya banding agar hukuman itu dikurangi menjadi penjara seumur hidup, para pengacaranya mengajukan pembelaan berdasarkan data genetik. Menurut mereka, Mobley berasal dari keluarga yang turun-temurun terlibat dalam kejahatan. Ia barangkali membunuh Collins karena gen-gen membuatnya demikian. “Ia” tidak bertanggung-jawab atas perbuatannya; ia secara genetik ditakdirkan untuk menjadi manusia mesin.
Mobley dengan senang hati merelakan ilusinya tentang kehendak bebas; yang penting ia dianggap tidak bersalah. Maka begitu pula harapan setiap penjahat lain yang menggunakan ketidakwarasan atau ketidak-mampuan bertanggung-jawab sebagai senjata.
Maka begitu pula harapan setiap pasangan pencemburu yang menggunakan ketidak-warasan sesaat atau kemarahan yang dapat dibenarkan sebagai pembelaan setelah merenggut nyawa kekasih yang tidak setia.
Maka begitu pula harapan setiap pengusaha super kaya yang menggunakan alasan penyakit Alzheimer ketika terbukti berbuat culas kepada para penanam saham. Maka begitu pula alasan seorang anak di arena bermain yang berkata bahwa teman-teman membuatnya melakukan kenakalan yang dituduhkan.
Maka begitu pula tiap orang di antara kita ketika mau menerima diagnosis samar dari seorang terapis bahwa kita harus menyalahkan orangtua sendiri atas kemalangan kita sekarang. Maka begitu pula seorang politisi yang menyalahkan kondisi sosial untuk tingginya angka kejahatan di suatu daerah.
Maka begitu pula seorang pakar ekonomi sewaktu menyalahkan bakat konsumerisme atas pemborosan sumber daya. Maka begitu pula seorang pembuat biografi ketika mencoba menerangkan bagaimana watak subjeknya ditempa oleh pengalaman-pengalaman formatif.
Maka begitu pula setiap orang ketika membaca ramalan bintang. Dalam setiap kasus ada kesediaan, rasa suka, dan rasa syukur karena menerima determinisme. Maka meskipun sangat mendukung kehendak bebas, kita tampaknya menjadi spesies yang dengan serta-merta bersedia melepaskan kehendak bebas itu kapan saja kita bisa melakukannya.
Tanggung jawab penuh atas perbuatan masing-masing merupakan suatu fiksi yang penting, karena tanpa itu sistem hukum akan berantakan, meskipun sekali fiksi tetap fiksi. Sejauh Anda bertindak sesuai watak Anda yang bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan Anda; namun bertindak sesuai watak pada dasarnya mengekspresikan sejumlah determinisme yang menyebabkan Anda memiliki watak bersangkutan.
David Hume menemukan diri terjebak dalam dilema ini, yang dikenal sebagai garpu Hume atau “Hume’s fork”. Entah perbuatan kita telah ditakdirkan, sehingga kita terbebas dari tanggung-jawab, atau terjadi begitu saja akibat sejumlah peristiwa acak, sehingga kita pun tidak usah bertanggung-jawab. Untuk alasan mana pun, akal sehat mengalami perkosaan dan masyarakat yang menganutnya mustahil diatur.
Ajaran Kristen telah bergulat dengan perkara ini lebih dari dua ribu tahun dan pakar teologi dari kepercayaan lain telah berkutat jauh lebih lama. Tuhan, paling tidak menurut definisi, agaknya tidak ingin kita mempunyai kehendak bebas, sebab jika sebaliknya Ia tidak akan disebut Mahakuasa.
Namun ajaran Kristen secara khusus telah berusaha keras mempertahankan konsep kehendak bebas, sebab tanpa itu, manusia tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatan mereka masing-masing. Tanpa kemampuan bertanggung-jawab, dosa hanyalah kekonyolan dan neraka menjadi suatu bentuk ketidak-adilan sangat terkutuk dari Tuhan yang seharusnya Mahaadil.
Oleh sebab itu orang Kristen modern bersepakat mengatakan bahwa Tuhan telah menanamkan kehendak bebas dalam diri setiap manusia, sehingga kita mempunyai pilihan untuk hidup secara saleh atau bergelimang dalam dosa. [Note SHIETRA & PARTNERS: Sebentuk pilihan bebas yang pada akhirnya harus kita “bayar mahal”.]
Beberapa tokoh biologi evolusioner belum lama ini berpendapat bahwa keyakinan religius adalah bentuk ekspresi naluri manusia yang universal—artinya, ada sekelompok gen yang tidak mustahil berfungsi menimbulkan rasa percaya kepada Tuhan atau Dewa. (Seorang ilmuwan saraf bahkan menyatakan telah menemukan modul saraf khusus dalam lobus temporalis di otak yang lebih besar atau lebih aktif di kalangan orang takwa; hyper-religiosity atau religiusitas yang berlebihan menurut mereka adalah semacam epilepsi yang menyerang lobus temporalis.)
Naluri religius mungkin tidak lebih dari suatu produk sampingan takhayul naluriah yang mengandaikan bahwa semua peristiwa, termasuk badai petir, adalah kejadian yang disengaja. Takhayul semacam itu mungkin berguna di Zaman batu. Ketika sebongkah batu besar menggelinding dari puncak tebing dan hampir menggilas Anda, lebih aman jika Anda memilih teori konspirasi bahwa batu itu didorong oleh seseorang daripada mengandaikan bahwa itu merupakan kecelakaan. Bahasa kita kaya dengan kesengajaan. Saya pernah menulis bahwa gen-gen telah membangun saya dan mendelegasikan tanggung-jawab kepada otak saya. Gen-gen saya tidak mempunyai niat macam itu. Semuanya terjadi begitu saja.
E. O. Wilson bahkan berpendapat, dalam bukunya “Consilience”, bahwa moralitas adalah ekspresi naluriah yang dijabarkan, dan apa pun yang dianggap benar—terlepas dari kesalahan yang alami—sesungguhnya diturunkan dari apa pun yang terjadi secara alami. Ini mengantar orang ke kesimpulan paradoksikal bahwa keyakinan tentang ketuhanan, karena alami, dengan demikian dianggap benar.
Namun Wilson sendiri yang dibesarkan di lingkungan keluarga Baptist yang takwa sekarang menjadi seorang agnostik, berarti ia telah memberontak terhadap suatu naluri yang deterministik. Begitu pula, Steven Pinker, dengan tetap tidak mempunyai anak, sebagai penganut teori tentang gen yang egois, sama dengan menyuruh gen-gen egoisnya ‘terjun bunuh diri ke danau’.
Maka bahkan pendukung determinisme pun dapat meloloskan diri dari determinisme. Kita mempunyai suatu paradoks. Kecuali perilaku kita acak, berarti perilaku kita dapat ditentukan atau bahkan diramalkan.
Apabila perilaku kita dapat diramalkan, berarti kita tidak bebas. Namun kita tetap merasa, dan sengaja menunjukkan bahwa kita bebas. Charles Darwin menyebut kehendak bebas sebagai suatu delusi akibat ketidak-mampuan kita menganalisis motif-motif kita sendiri. Pendukung Darwinisme modern seperti Robert Trivers, bahkan mengatakan bahwa membohongi diri sendiri dalam perkara ini pun merupakan proses adaptasi. Pinker telah menyebut kehendak bebas “suatu idealisasi manusia yang membuat permainan etika dapat dimainkan.”
Penulis Rita Carter menyebutnya suatu ilusi yang terhubung langsung dengan pikiran. Tokoh filsafat Tony Ingram menyebut kehendak bebas sesuatu yang diandaikan dimiliki oleh orang lain—kita tampaknya memiliki prasangka bawaan untuk mengatakan bahwa kehendak bebas dimiliki oleh semua orang dan segala sesuatu yang terkait dengan kita, dari motor tempel yang bandel hingga anak-anak bengal yang mewarisi gen-gen kita. [Note SHIETRA & PARTNERS: Sekaligus menjadi ironis, kita kerap menyalahkan atau bahkan memarahi anak-anak kita, dan menjadi frustasi karenanya, sementara semua itu hanyalah genetik yang mereka warisi dari kita, orangtua mereka.]
Saya senang berharap bahwa kita bisa sedikit lebih dekat ke pemecahan paradoks itu. Ingat bahwa, ketika sedang membahas kromosom 10, saya bercerita tentang bagaimana tanggapan stres terkait dengan situasi ketika gen-gen dipengaruhi lingkungan sosial, bukan sebaliknya. Jika gen dapat memengaruhi perilaku dan perilaku dapat memengaruhi gen, berarti hukum sebab-akibat bekerja seperti lingkaran. Dan dalam suatu sistem dengan umpan-balik melingkar, proses deterministik sederhana pun dapat memberikan hasil-hasil yang sangat tidak dapat diramalkan.
Pandangan seperti ini sudah ada dengan sebutan teori ‘chaos’. Kendati berat, saya terpaksa harus mengakui bahwa orang fisika adalah orang pertama yang sampai ke sana. Pierre-Simon de LaPlace, matematikawan besar Prancis abad kedelapan belas, pernah berkhayal bahwa andaikata, sebagai pengikut Newton yang baik, ia dapat mengetahui posisi dan gerak setiap atom di jagat raya, ia pasti dapat meramalkan masa depan.
Atau sebaliknya, ia merasa bahwa ia tidak dapat mengetahui masa depan, namun ia penasaran tentang mengapa demikian. Sudah menjadi mode untuk mengatakan bahwa jawabannya terdapat di tingkat subatom, sementara sekarang kita tahu bahwa di sana ada peristiwa-peristiwa mekanika kuantum yang hanya dapat diprakirakan secara statistik, serta bahwa dunia tidak terbuat dari bola-bola biliar ala Newton.
Akan tetapi itu tidak banyak gunanya karena fisika Newton sesungguhnya memberikan penjelasan yang baik sekali tentang peristiwa-peristiwa dalam dunia sehari-hari dan tak ada seorang pun dengan serius percaya bahwa kita menggantungkan nasib kita pada kerangka probabilistik dalam prinsip ketidakpastian Heisenberg. Sejujurnya, ketika menulis bab ini, otak saya tidak seperti sedang bermain dadu. Bertindak secara acak tidak sama dengan bertindak secara bebas—sesungguhnya, justru saling bertolak-belakang.
Teori ‘chaos’ memberikan jawaban lebih baik bagi LaPlace. Tidak seperti fisika kuantum, teori ini tidak mengandalkan peluang atau nasib. Sistem-sistem dalam keadaan ‘chaos’, seperti yang didefinisikan oleh para matematikawan, adalah sistem-sistem yang serba tertentu, tidak acak.
Akan tetapi teori itu mengatakan bahwa bahkan andaikata Anda mengetahui semua faktor yang tertentu dalam suatu sistem, Anda mungkin tidak dapat memprediksi arah yang akan dituju, karena saling berbedanya hasil interakksi antara tiap faktor penyebab. Bahkan sistem tertentu yang sederhana dapat berperilaku sangat kacau (chaotic).
Itu terjadi antara lain akibat refleksivitas, yakni ketika suatu aksi memengaruhi kondisi-kondisi awal aksi berikutnya, sedemikian rupa sehingga efek-efek kecil menjadi faktor penyebab yang lebih besar. Arah perubahan indeks bursa saham, masa depan cuaca, dan bentuk garis pantai yang berubah-ubah, semuanya merupakan sistem ‘chaotic’ dalam tiap kasus tadi, garis besar arah kejadian dapat diprakirakan, tetapi perubahan rincinya tidak. Kita tahu bahwa cuaca akan dingin saat musim dingin, tetapi kita tidak dapat mengatakan apakah tanggal 25 Desember mendatang salju akan turun di kota tertentu.
Perilaku manusia ikut memiliki sifat ini. Stres dapat mengubah ekspresi gen, yang dapat memengaruhi tanggapan terhadap stres dan sebagainya. Dengan demikian, dalam jangka pendek perilaku manusia tidak dapat diramalkan, tetapi dalam jangka panjang dapat diramalkan secara kasar.
Jadi di setiap waktu pada hari ini, saya dapat memilih untuk tidak makan. Saya bebas untuk tidak makan. Akan tetapi entah kapan pada hari yang sama saya hampir pasti akan makan. Kapan saya makan mungkin bergantung pada banyak hal—rasa lapar (antara lain diatur oleh gen saya), cuaca (yang secara ‘chaotic’ ditentukan oleh banyak sekali faktor luar dan lainnya), atau keputusan seseorang lain yang mengundang saya makan siang (ia makhluk deterministik yang di luar pengendalian saya). Interaksi antara pengaruh-pengaruh genetik dan pengaruh-pengaruh dari luar ini menjadikan perilaku saya tidak dapat diperkirakan, meskipun bukan berarti tidak dapat ditentukan.
Di tengah-tengah, di antara kedua kata itulah terletak sesuatu yang disebut kebebasan.
Kita tidak pernah bisa lari dari determinisme, tetapi kita dapat membuat pemisahan antara determinisme baik dan determinisme yang buruk—determinisme yang bebas dan determinisme tidak bebas. Misalkan saya sedang duduk di laboratorium Shin Shimojo di California Institute of Technology, dan tepat pada saat ini ia sedang menggunakan sebuah elektroda untuk memeriksa suatu bagian dalam otak saya di daerah dekat anterior cingulate sulcus. Karena pengendali gerak “sukarela” berada di daerah sekitar itu, ia mungkin bertanggung-jawab atas diri saya ketika melakukan suatu gerakan yang, bagi saya, akan tampak menjadi gerak refleks.
Ketika ditanya mengapa saya menggerakkan lengan, saya hampir pasti akan menjawab dengan yakin bahwa itu merupakan gerakan refleks. Profesor Shimojo pasti lebih tahu daripada saya (tapi harus ditambahkan bahwa ini baru eksperimen yang diusulkan Shimojo kepada saya, belum eksperimen sesungguhnya). Yang bertentangan dengan ilusi saya soal kebebasan bukan fakta bahwa gerakan saya bisa ditentukan, melainkan bahwa fakta itu ditentukan dari luar oleh orang lain.
Tentang ini tokoh filsafat A. J. Ayer menulis sebagai berikut: “Andai saya menderita neurosis kompulsif, yang membuat saya bangkit dan berjalan memintas ruangan, entah saya menghendaki atau tidak, atau andai saya mengerjakannya karena seseorang memaksa saya, berarti saya tidak mempunyai kehendak bebas dalam hal ini. Akan tetapi jika mengerjakannya sekarang, saya akan melakukannya dengan kehendak bebas, hanya karena kondisi-kondisi tadi tidak terpenuhi, dan kenyataan bahwa perbuatan saya mungkin mengakibatkan sesuatu, berdasarkan sudut pandang ini, itu tidak relevan.
Seorang psikolog yang meneliti orang kembar, Lyndon Eaves, mempunyai pendapat serupa: “Kebebasan adalah kemampuan untuk bertahan dan mengatasi batasan-batasan dari lingkungan. Kemampuan itu sesuatu yang disediakan bagi kita, melalui seleksi alami, karena sifatnya yang adaptif... Apabila Anda ingin didorong, apakah Anda lebih suka didorong oleh lingkungan, yang berarti bukan oleh Anda, atau oleh gen-gen Anda, yang bagaimana pun juga tetap berasal Anda sendiri.”
Kebebasan terdapat dalam cara mengekspresikan determinisme Anda sendiri, bukan determinisme orang lain.
Bukan determinisme yang menjadikan berbeda, melainkan kepemilikannya. Jika kebebasan yang lebih kita sukai, maka alangkah baiknya jika itu ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang berasal dari diri sendiri, bukan dari luar.
Penolakan yang spontan terhadap kloning antara lain berpangkal pada ketakutan bahwa sesuatu yang unik dalam diri kita dapat dimiliki juga oleh orang lain. Obsesi satu-satunya para gen untuk menjalankan fungsi penentu dalam tubuh sendiri merupakan dinding pertahanan kita yang paling kuat terhadap hilangnya kebebasan oleh faktor-faktor penyebab dari luar.
Apakah Anda mulai memahami mengapa saya sengaja berkelakar soal gen pengatur kehendak bebas? Satu gen untuk kehendak bebas tidak akan menjadi paradoks sedemikian rupa karena ia akan menempatkan sumber-sumber perilaku kita dalam diri kita sendiri, yang tidak dapat dijangkau oleh orang lain.
Tentu saja, mungkin bukan karena gen saja, melainkan sesuatu yang jauh lebih menggugah dan lebih perkasa: manusia seutuhnya, yang telah diprogram secara luwes dalam kromosom-kromosom kita namun khas bagi tiap individu. Setiap orang mempunyai sifat untuk dan berbeda yang berasal dari dalam. Sosok pribadi.
Setelah mulai mengenali isi “dapur” dari kode genetik kita, mungkin kita akan mengkambing-hitamkan gen kita sendiri sebagai penyebab berbagai aksi kejahatan yang kita lakukan ataupun dorongan-dorongan untuk melakukan aksi ilegal—disalahkan oleh masyarakat dan menyalahkan diri sendiri diatas bersamaan, dua pukulan yang mematikan secara telak tidak dapat kita elakkan.
Itulah juga yang menjelaskan, sebetapa peraturan dibentuk demikian ketat dengan segala ancamannya, tetap saja sebagian warga masyarakat berani melanggarnya, tanpa mau memikirkan konsekuensi akibatnya bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri.
Seperti yang telah disebutkan penulis buku diatas, tampaknya hukum negara terpaksa membangun pilar dengan mendirikan menara gading yang angkuh berdiri sedemikian tegaknya, yang memberondong kita dengan asas fiksi bahwa semua warga negara merupakan subjek hukum dengan Kode Genetik yang normal tanpa anomali apapun yang diakui eksistensinya. Bila asas fiksi "semua orang dianggap tahu hukum" dinilai sudah cukup kejam, maka asas fiksi hukum terkait genetika manusia selama ini justru luput dari kritik para Sarjana Hukum. Hukum negara, ternyata dibangun diatas landasan demikian rapuh, bernama “asumsi”, sebuah “mega-asumsi” lebih tepatnya.
Ilmu psikologi konvensional maupun kriminologi dan antropologi (tidak terkecuali sosiologi), merupakan ilmu yang mencoba memahami perilaku manusia lewat pendekatan klasik. Pendekatan paling modern dan paling canggih, tidak lain ialah sains genetik dan neurologi, yang secara komprehensif menjelaskan seluruh asal-muasal sekaligus penyebab yang paling bertanggung-jawab atas perilaku dan irasionalitas umat manusia.
Telah ternyata, tidak ada penyebab genetik secara mutlak yang demikian deterministik, dan tiada pula pilihan bebas secara murni pilihan bebas tanpa dikeruhkan oleh faktor genetik pada seorang warga negara yang baik dan terhadap perbandingannya yang demikian kontras dengan seorang kriminil atau bahkan seorang residivis.
Namun menjadi pertanyaan besar, apakah ada perbedaan margin kemampuan memberdayakan pilihan bebas internal diri seseorang yang satu dan seseorang yang lain? Apakah mungkin pilihan bebas menyerupai sebuah bakat yang diturunkan dari faktor genetik itu sendiri? Dimana letak keadilan bagi setiap individu atau pribadi bila kemampuan bersikap bebas, demikian beragam satu sama lain.
Bila memang antar individu terkandung perbedaan kemampuan memberdayakan “pilihan bebas”, tetap saja terkandung ketidak-adilan laten disini, sehingga antara seorang kriminil dan seseorang yang bersih dari catatan kriminal bisa jadi adalah suatu ketidak-adilan terbesar yang dirasakan oleh sang “kriminil” yang merasa terkungkung dan terpenjara oleh ketidak-mampuan untuk “bersikap bebas” dari diktatoriat genetiknya sendiri.
Kita andaikan memang terdapat disparitas kemampuan memberdayakan “pilihan bebas” demikian. Maka, faktor mampu dimintakan pertanggung-jawaban atau tidaknya, ialah berpulang pada seberapa besar atau sebaliknya seberapa tipis kemampuan seseorang dalam memberdayakan “pilihan bebas”. Kita tahu, hukum pidana kental dan sarat konsep “dapat dimintakan pertanggung-jawaban”.
Orang dengan suatu cacat mental atau seorang warga yang menghadapi “daya paksa”, berada dalam posisi yang sangat tipis “pilihan bebas” yang dimilikinya. Meski demikian, sekalipun memiliki “pilihan bebas”, namun ketika dihadapkan pada suatu momen kejadian konkret dirinya justru memilih untuk menjadi “tidak bebas”, maka “pilihan bebas” tampaknya memang hanya sekadar menjadi “gen tidur” yang menyerupai “gen sampah” tak berguna. Kembali lagi, semua berpulang pada pilihan pribadi si individu.
Mungkin, tulisan singkat ini menjadi pintu pembuka ke pembahasan yang lebih komprehensif dan lebih holistik di masa mendatang, yang menggantikan berbagai persepsi dan perspektif usang berbagai disiplin ilmu sosial klasik. Berbagai peluang terbuka lebar, dan era ini bukanlah zaman kematian ilmu pengetahuan, namun justru menjadi pintu beranda ilmu pengetahuan yang lebih membuat kita mampu mengenal diri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.