Tiada Perselingkuhan Tanpa Perkawinan Kedua, Kerancuan Delik Pidana Perzinahan

LEGAL OPINION
Question: Sebetulnya selingkuh itu pidana atau bukan di mata hukum? Bagaimana dengan “kumpul kebo”, apakah bisa dipidana?
Brief Answer: Undang-undang tidak secara tegas memberi definisi “selingkuh”, sehingga menjadi simpang-siur dalam praktiknya. Seseorang warga yang telah / masih terikat tali / berlangsungnya pernikahan (secara sah hukum negara), ketika yang bersangkutan menjalin “hubungan intim” layaknya suami-istri dengan pihak ketiga, maka sejatinya unsur delik perzinahan telah terpenuhi, terlepas apakah pihak ketiga tersebut juga terikat hubungan pernikahan ataupun tidak dengan pihak lainnya lagi.
Jika pihak ketiga tersebut juga masih sedang terikat pernikahan yang sah dengan suami / istrinya, maka pihak ketiga tersebut juga dapat turut dituntut secara pidana. Permasalahan timbul menjadi perdebatan dalam ranah praktik di peradilan, apakah melakukan “hubungan intim layaknya suami-istri” dimaknai sebagai “perkawinan”, ataukah semata harus dimaknai sebagai suatu ritual pernikahan secara agama dan secara administrasi kependudukan (adanya terbit akta pernikahan kedua) barulah dapat disebut “perkawinan”?
Jika seseorang subjek hukum baru dapat dituntut delik “perkawinan” yang kedua secara melawan hukum karena masih terikat perkawinan yang sah dengan istri / suaminya, sekalipun telah secara nyata terbukti melakukan “hubungan intim” layaknya suami-istri dengan pihak ketiga, maka tidak akan ada warga yang dengan sebegitu bodohnya bersusah-payah mencatatkan “perselingkuhan” yang dilakukan olehnya (perkawinan untuk kedua kalinya tanpa didahului perceraian dengan perkawinan pertama), sekalipun mereka secara nyata terbukti / mengakui telah melakukan “hubungan intim” layaknya suami-istri dengan pihak ketiga (“kumpul kebo”).
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang cukup janggal untuk ditelaah, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI register perkara pidana pernikahan Nomor 1463 K/PID/2014 tanggal 21 April 2015, dimana Terdakwa yang telah beristri didakwa karena telah melakukan “perkawinan” sedang diketahuinya, bahwa perkawinannya yang sudah ada menjadi penghalang yang sah baginya akan kawin lagi, sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 279 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Tanggal 20 Februari 1988 Terdakwa dr. Edison Stephen menikah dengan korban bernama Chintya Yeni di Gereja Methodis Indonesia, dan secara adat suku Tionghoa setelah memiliki anak pertama pernikahan Terdakwa dan korban diurus di Catatan Sipil dan tercatat sesuai dengan Akta Perkawinan yang dikeluarkan oleh Catatan Sipil tanggal 16 Juni 1999.
Dimulai dari tahun 1999 hingga tahun 2009, hubungan pernikahan Chintya Yeni dan Terdakwa berlangsung harmonis. Namun sejak tahun 2009, hubungan rumah tangga korban dan Terdakwa sering cek-cok, sampai pada akhirnya pada tahun 2010 Terdakwa mulai meninggalkan (menelantarkan) korban Chintya Yeni.
Hingga kemudian pada tahun 2010, korban mendapat informasi dari masyarakat setempat, bahwa dr. Edison Stephen telah menikah lagi secara agama Islam dengan Agustina Dalimunthe dan tinggal satu rumah di rumah Zainuddin Dalimunthe.
Setelah tinggal dan hidup satu rumah dengan Agustina Dalimunthe, pihak Terdakwa sudah melakukan layaknya hubungan suami-istri seminggu sekali, dimana Agustina Dalimunthe bersama dengan Terdakwa melakukan perbuatan tersebut dilandasi rasa “suka sama suka”, tidak ada unsur paksaan, namun demikian Terdakwa tidak ada meminta izin dari Chintya Yeni untuk selingkuh (hidup dan tinggal bersama dengan wanita lain).
Akibat perbuatan Terdakwa tersebut saksi Chintya Yeni merasa keberatan dan melaporkan kejadian tersebut ke Polres Labuhanbatu untuk pemeriksaan hukum lebih lanjut.
Adapun yang menjadi isi tuntutan pidana Penuntut Umum, sebagai berikut: Menyatakan Terdakwa, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu’.
Terhadap tuntutan pihak jaksa, secara antiklimaks yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 125/Pid.B/2014/PN- Rap tanggal 18 Juni 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa dr. EDISON STEPHEN tersebut di atas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tunggal Pasal 279 Ayat (1) Ke-1 KUHP;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Penuntut Umum;
3. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya.”
Pihak Jaksa Penuntut mengajukan upaya hukum kasasi, dengan merujuk terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 tanggal 28 Maret 2013, yang menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka Mahkamah Agung berwenang memeriksa permohonan kasasi terhadap putusan bebas.
Adapun keberatan yang diajukan oleh pihak Penuntut Umum, pada pokoknya dari keterangan saksi-saksi dan dihubungkan pula dengan berdasarkan pengakuan Terdakwa, benar bahwa antara Terdakwa sudah menikah secara agama Islam dengan Agustina Dalimunthe pada tanggal 28 Oktober 2010, sementara yang menyaksikan pernikahan tersebut adalah Zainuddin Manan Dalimunthe yang merupakan ayah dari Agustina Dalimunthe, Salma Alparsi Dalimunthe yang merupakan adik kandung Agustina Dalimunthe dan Abdullah yang merupakan paman dari Agustina Dalimunthe.
Pernikahan keduanya tersebut menggunakan uang sebagai mahar, namun ketika Terdakwa dan Agustina Dalimunthe menikah secara agama Islam, Terdakwa tidak ada mendapat izin dari Chintya Yenni. Namun pemidanaan pupus semata karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri menilai pernikahan demikian tidaklah sah maka tidak terjadi pelanggaran terhadap norma hukum perkawinan.
Padahal, esensi dari perkawinan ditandai dari mulai terjadi persetubuhan badan antara pria dan wanita yang saling menikah, sehingga bila perkawinan memang tidak sah adanya, mengapa perbuatan pria beristri demikian tidak mendapat hukuman sesuai ketentuan delik pidana perkawinan?
Syarat-syarat pernikahan kedua menurut agama Islam yang dilangsungkan pihak Terdakwa, sudah terpenuhi sepenuhnya sebagaimana keterangan saksi-saksi dan pengakuan Terdakwa di persidangan. Sementara yang menjadi pertimbangan hukum Majelis Hakim ketika membebaskan pihak Terdakwa, ialah semata karena pernikahan antara dr. Edison Stephen dan Agustina Dalimunthe tidak pernah dicatatkan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 34 Ayat (1) yang maka pemerintah tidak mengakui pernikahan tersebut dan perkawinan yang dilakukan oleh dr. Edison Stephen dan Agustina Dalimunte tidak dapat dikualifikasikan sebagai “perkawinan” sesuai dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Meski, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan definisi “perkawinan” sebagai: ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan. Pasal 2 Undang-Undang tentang Perkawinan juga menegaskan:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut doktrin M. Yahya Harahap, pencatatan hanyalah menjadi tindakan admistratif, sehingga pencatatan itu bukan merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan, maka norma Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan itu harus menjadi pasal yang tidak dipisahkan dalam dua ayat, sehingga perkataan sah itu akan meliputi unsur pencatatan tetapi tidak demikian antara perkataan sah yang terdapat pada ayat (1) tidak meliputi lagi unsur pencatatan yang dimaksud, selanjutnya beliau menghubungkan Pasal 2 Ayat (2) dengan penjelasan undang-undang yang disimpulkan sebagai berikut:
1. Setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Pencatatan tidak lain merupakan akta resmi yang dapat dipergunakan sebagai bukti autentik tentang adanya perkawinan.
Pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya suatu perkawinan, karena perkawinan sudah dianggap sah bilamana hukum agama dan kepercayaan mengesahkannya. Menjadi kontradiktif ketika Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengatakan unsur “perkawinan” tidak terpenuhi, karena hidup dalam satu rumah yang dilakukan Terdakwa bersama wanita lainnya tersebut tidak dicatatkan, mengakibatkan perkawinan yang dilakukan oleh dr. Edison Stephen dan Agustina Dalimunthe menjadi tidak sah menurut agama yang dianutnya dan dianggap tidak pernah terjadi.
Pihak Jaksa berpendirian, dengan tidak didaftarkannya perkawinan demikian yang faktualnya telah terjadi kehidupan berubah-tangga, tidak berarti perkawinan tersebut tidak sah dan dianggap tidak pernah terjadi—sehingga seolah terkesan dipaksakan untuk mengingkari fakta dan kenyataan bahwa telah terjadi “perselingkuhan”, dan siapalah yang akan mencatatkan perselingkuhan yang dilakukan oleh dirinya sendiri?
Bahwa untuk menyatakan perkawinan tersebut sah atau tidaknya, Jaksa menambahkan, bukanlah kewenangan dari Pengadilan Negeri tetapi merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Seolah terjadi pengalihan isu hukum utama, perihal persetubuhan oleh pria yang telah beristri, menjadi isu yang justru tidak relevan perihal sah atau tidaknya perkawinan yang merupakan rezim hukum perizinan / administrasi kependudukan bukan ranah pidana sebagaimana fokus dakwaan pihak Jaksa.
Dimana terhadap keberatan-keberatan demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan karena alasan tersebut tidak dapat mematahkan putusan bebas Judex Facti. Hal ini disebabkan tidak terpenuhinya pernikahan secara hukum Islam dan ternyata tidak pula dicatatkan di KUA, sehingga perkawinan antara Terdakwa dengan saksi Agustina Dalimunthe dianggap tidak ada, sehingga berarti tidak ada tindak pidana;
“Bahwa lagi pula alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan. Alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi;
“Menimbang, bahwa dengan demikian Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa putusan Judex Facti tidak memenuhi ketentuan Pasal 253 Ayat (1) Huruf a, b atau c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), maka permohonan kasasi Penuntut Umum berdasarkan Pasal 254 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Rantauprapat tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.