Tiada Bukti Menyetor Modal Dasar, Pemegang Saham Semu / Fiktif

LEGAL OPINION
HAK PEMEGANG SAHAM DITUNDA SAMPAI MODAL DASAR EFEKTIF DISETOR KE REKENING PERSEROAN
Question: Yang namanya pemegang saham, kan nama pihak-pihak yang tercantum dalam Anggaran Dasar atau Akta Pendirian Perseroan Terbatas (PT). Kalau aktanya dan Surat Keputusan Menteri terkait perubahan modal dasar perseroan maupun pengesahan Akta Pendirian, sudah ada dicantum nama-nama pemegang saham beserta jumlah saham yang sudah disetor dan proporsional saham yang dimilikinya atas perseroan tersebut, maka apa si pemegang saham itu masih harus ditanya-tanya adanya bukti ia dulu pernah setor modal dasar perseroan ketika ia hendak menjual sahamnya tersebut kepada pihak luar?
Brief Answer: Secara norma yuridis peraturan perundang-undangan, akta otentik pendirian dan akta perubahan anggaran dasar oleh notaris, maupun Surat Keputusan Pengesahan yang diterbitkan otoritas terkait, merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian formil demi kepastian hukum bagi pihak ketiga yang hendak terlibat suatu perbuatan hukum dengan sang pemegang saham yang namanya tercantum dalam Data Yuridis dokumen Anggaran Dasar.
Bila pihak ketiga sampai harus mencari tahu terlebih dahulu, apakah betul sang pemegang saham dahulunya pernah menyetorkan modal dasar ke perseroan—suatu proses pembuktian bisnis yang sangat tidak efesien dan pendapat demikian bila diwajibkan oleh praktik peradilan sejatinya hanya menghambat jalannya roda dunia usaha.
Menjadi juga pertanyaan logis, bila memang pemegang saham belum benar-benar efektif menyetor modal dasar, maka mengapa bisa terdapat bunyi dalam Anggaran Basar bahwa sang pemegang saham telah menyetor modal dasar sejumlah sekian persen dari saham yang dimilikinya. Isi bukti dari akta Anggaran Dasar itu sendiri merupakan akta notaril, yang memiliki kekuatan pembuktian formil.
Namun seiring jalannya waktu, bila semula sang pemegang saham hanya menyetor 25% modal dari total saham yang dimilikinya, kini mengklaim telah menyetor 100% modal dari total saham yang dimilikinya, tentu harus ada bukti untuk mendukung klaim tersebut, karena akta Anggaran Dasar hanya merinci modal yang telah ditempatkan dan disetor oleh masing-masing pemegang saham saat pendirian perseroan maupun saat peningkatan modal dasar perseroan, bukan secara aktual setelah perseroan berjalan dan beroperasi beberapa waktu kemudian.
Namun barulah relevan dan rasional, kaedah norma demikian bila konteks “tiada pemegang saham tanpa penyetoran modal dasar” diberlakukan semata hanya terhadap internal para pemegang saham dalam perseroan tersebut, tidak berlaku dalam konteks hubungan eksternal yang cukup berpedoman / berpegang pada data yuridis yang tercantum dalam Akta Otentik yang memuat Anggaran Dasar dan Penetapan / Keputusan Pengesahannya oleh Kementerian Hukum.
Begitupula bila seorang pemegang saham disebut memiliki 60% dari total modal dasar perseroan, namun ternyata hanya menempatkan dan menyetor separuh dari nilai tersebut, maka secara efektif dirinya baru hanya berkedudkan sebagai pemegang saham atas 30% dari total modal dasar perseroan (60% x ½ = 30%). Bila pemegang saham lain yang hanya memiliki 40% dari modal dasar telah secara efektif menyetor seluruh modal sahamnya, maka dirinya menjadi pemegang saham mayoritas, meski secara pencantuman dalam akta disebut sebaliknya.
Untuk itu benarlah / dapat dibenarkan / ada benarnya pendapat yang menyatakan bahwa kepemilikan yuridis atas saham harus dilihat dari bukti telah menyetorkan bagian modal dasar yang dapat dikuasainya secara maksimum, bukan semata dibuktikan dari data yuridis dalam Anggaran Dasar, namun dari bukti empirik yang lebih aktual sifat pembuktiannya.
PEMBAHASAN:
Terdapat ilustrasi konkret diamputasinya hak pemegang saham untuk meminta diadakan / melangsungkan / mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila dirinya belum secara efektif tercatat telah menyetorkan sejumlah Modal Dasar ke Perseroan Terbatas sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar, untuk itu dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa korporasi register Nomor 756 K/Pdt/2017 tanggal 15 Mei 2017, perkara antara:
- ADI PURNAWARMAN, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Pemohon; melawan
1. MAHENDRA ASOKA BRATANATA; 2. AURILYA S. BONO WIDYAWATI, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Termohon.
Pemohon adalah Pemegang 3.060 lembar saham sah atau sebesar 60% dari seluruh saham yang dikeluarkan oleh Perseroan, sebagaimana diuraikan dalam Anggaran Dasar Perseroan, yang berdiri berdasarkan akta Pendirian tertanggal 12 April 2011 dan telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum, dengan surat keputusan tertanggal 27-4-2011.
Berdasarkan ketentuan dalam Anggaran Dasar Perseroan, masa jabatan Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan adalah 5 tahun, sehingga masa jabatan Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan telah berakhir pada tanggal 12 April 2016 yang lalu, dengan demikian pada saat permohonan ini diajukan secara hukum Perseroan tidak memiliki pengurus yang sahih secara Anggaran Dasar, karena belum kembali diangkat sebagai direksi dan komisaris.
Mengingat keadaan operasional, kinerja, dan keadaan keuangan Perseroan oleh karena itu Pemohon berpendapat secara hukum perlu mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Perseroan. Berdasarkan Pasal 79 Ayat 2 Angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Pemohon memiliki hak untuk meminta RUPSLB, oleh karena sesuai aturan tersebut, RUPSLB dapat diselenggarakan atas permintaan 1 pemegang saham yang mewakili sekurang-kurangnya 1/10 bagian atau 10% dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, sedangkan Pemohon adalah Pemegang 3.060 lembar saham atau sebesar 60% dari seluruh saham yang dikeluarkan oleh Perseroan.
Untuk maksud penyelenggaraan RUPSLB, Pemohon telah mengajukan permintaan tertulis kepada Termohon I selaku Direksi Perseroan melalui surat tertanggal 1-3-2016 perihal permohonan Penyelenggaraan RUPSLB yang isinya kurang lebih meminta kepada Termohon I agar melaksanakan / menyelenggarakan RUPSLB dengan agenda rapat penggantian pengurus Perseroan.
Berdasarkan Pasal 79 Ayat (5) UUPT, Direksi Perseroan wajib melakukan pemanggilan dalam jangka waktu paling lambat 15 hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPSLB diterima. Ternyata setelah waktu 15 hari sejak tanggal permintaan RUPSLB yang diajukan oleh Pemohon, Direksi tidak juga melaksanakan panggilan RUPSLB sebagaimana dimohonkan.
Oleh karena Termohon I selaku Direksi Perseroan tidak melakukan pemanggilan RUPSLB, maka Pemohon mengajukan permintaan penyelenggaraan RUPSLB kembali kepada Termohon II selaku Dewan Komisaris Perseroan melalui surat tertanggal 17 Maret 2016, sesuai dengan ketentuan Pasal 79 Ayat (6) UU PT: “Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) : a. permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan kembali kepada Dewan Komisaris.”
Berdasarkan Pasal 79 Ayat (7) UU PT, Termohon II selaku Dewan Komisaris Perseroan wajib melakukan panggilan RUPSLB dalam jangka waktu paling lambat 15 hari sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPSLB diterima. Namun setelah waktu 15 hari sejak tanggal permintaan RUPS yang diajukan oleh Pemohon, Dewan Komisaris tidak juga melaksanakan panggilan RUPSLB sebagaimana diminta.
Hingga saat permohonan ini diajukan, Pemohon tidak menerima undangan penyelenggaraan RUPSLB dari Termohon. Dikarenakan permintaan penyelenggarakan RUPSLB kepada Termohon tidak juga diindahkan, maka dengan terpaksa Pemohon mengajukan “permohonan” ini kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melakukan pemanggilan RUPSLB sendiri, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 80 Ayat (1) UU PT:
“Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada Pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 80 Ayat 2 UU PT, Ketua Pengadilan Negeri setelah memanggil dan mendengar Pemohon, Para Termohon selaku Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perseroan, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPSLB apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan Pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPSLB, mengingat bahwa Pemohon adalah:
i) Pemegang 3.060 lembar saham sah atau sebesar 60% saham dari seluruh saham yang dikeluarkan Perseroan;
ii) Telah mengajukan permintaan penyelenggaraan RUPSLB kepada Para Termohon selaku Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan; dan
iii) Mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPSLB; maka Permohonan ini sangat layak untuk dikabulkan oleh Pengadilan.
Ketentuan Pasal 80 Ayat (3) UU PT, mengatur:  “Penetapan Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat juga ketentuan mengenai:
a. Bentuk RUPS, mata acara RUPS sesuai dengan permohonan pemegang saham, jangka waktu pemanggilan RUPS, kuorum kehadiran, dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan undang-undang ini atau anggaran dasar; dan/atau
b. Perintah yang mewajibkan Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir dalam RUPS.”
Dengan upaya hukum inilah, Pemohon mengajukan permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk:
- Memberikan ijin kepada Pemohon untuk melakukan sendiri pemanggilan dan menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Perseroan dengan agenda rapat: - Pergantian Pengurus Perseroan;
- Memberikan ijin kepada Pemohon untuk menunjuk sendiri Notaris untuk RUPSLB;
- Menunjuk Pemohon atau kuasanya yang sah sebagai Ketua RUPSLB;
- Memberikan ijin kepada Pemohon untuk melakukan sendiri pemanggilan RUPSLB terhadap para pemegang saham Perseroan dalam jangka waktu 7 hari sebelum RUPSLB diadakan, tidak termasuk tanggal panggilan dan tanggal RUPSLB;
- Memberikan ijin kepada Pemohon untuk menyelenggarakan RUPSLB dan melakukan pengambilan keputusan yang sah dan mengikat apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili lebih dari ½ (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang telah dikeluarkan.
Sementara dalam sanggahannya pihak Tergugat mendalilkan, PT. Sebidang Alas secara yuridis tidak pernah eksis, tidak mempunyai kantor, tidak mempunyai karyawan, tidak memiliki asset dan inventaris kantor, tidak pernah membayar pajak apapun kepada pemeritah kecuali bea materai dalam surat-suratnya, jadi hanya merupakan perusahaan “diatas kertas” saja alias “paper company”.
Senyatanya PT. Sebidang Alas juga tidak pernah ada aktifitas usaha, adapun pengurus perseroan hanya formalitas akta semata dan belum pernah ada pembicaraan untuk dan/atau pembayaran gaji maupun tunjangan untuk Direktur dan Komisaris. Dengan demikian, Penggugat tidak mempunyai kedudukan hukum secara faktual dan oleh karenanya masih bersifat bayang-bayang semata atau calon perusahaan semata.
Pemohon selaku Pemegang Saham PT. Bumi Sebidang Alas, belum pernah mengirimkan surat atas nama Pemohon secara langsung kepada Termohon I maupun Termohon II untuk meminta diselenggarakannya RUPSLB. Adanya surat dari pemegang saham perseroan kepada Direksi perseroan untuk mengadakan RUPSLB, adalah hal yang disyaratkan oleh Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 79 UU PT.
Pemohon mendalilkan, masa jabatan Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan adalah 5 tahun, sehingga masa jabatan Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan telah berakhir pada tanggal 12 April 2016 yang lalu, dengan demikian pada saat permohonan ini diajukan secara hukum Perseroan tidak memiliki pengurus. Pemohon telah mengakui dan menyatakan bahwa saat permohonan ini diajukan, secara hukum Perseroan tidak memiliki pengurus. Dengan demikian, pergantian pengurus yang manakah yang akan dilakukan oleh RUPS termaksud?
Bahwa terhadap tarik-menarik kepentingan demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menjatuhkan putusan Nomor 212/Pdt.P/2016/PN.Jkt.Sel, tanggal 9 November 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap kewajiban Pemohon selaku pemegang saham yang harus menyetorkan kepada perusahaan, harus dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah kepada perusahaan yang dimohonkan RUPSLB dalam hal ini PT. Bumi Sebidang Alas;
“Menimbang bahwa terhadap hal tersebut dipertimbangkan bahwa penyetoran saham merupakan kewajiban mutlak yang harus dipenuhi oleh Pemohon yang menyetujui penempatan saham tersebut oleh perseroan dalam suatu dokumen resmi;
“Menimbang bahwa terhadap bukti surat P-7, P-8 dan P-9 yang merupakan bukti konfirmasi pencairan dana dari pemohon kepada perusahaan lain dan kepada Aurylia Sri Bono Widyawati selaku pribadi bukan kepada perusahaan yang dimintakan RUPSLB;
“Menimbang bahwa Pasal 50, 51, dan 52 pemegang saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya serta berdasarkan Permenkum HAM RI Nomor 4 Tahun 2014 bahwa penyetoran modal dapat dilakukan dengan surat pernyataan telah menyetorkan modal perseroan yang ditandatangani oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri dan Dewan Komisaris;
“Menimbang bahwa berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa tidak ada satu bukti pun yang membuktikan bahwa Pemohon telah menyetorkan sahamnya ke perusahaan yang diminta ijin RUPSLB, maka berakibat hukum bahwa hak-hak pendiri / pemegang saham yang tidak menyetorkan modal / saham tersebut ditunda sampai dengan yang bersangkutan menyetorkan sahamnya ke dalam rekening perusahaan, termasuk (ditundanya hak untuk) meminta ijin diadakannya RUPSLB sebagaimana dimohonkan pemohon;
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA:
- Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima.”
Pihak Pemohon mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa dengan akan berakhirnya masa jabatan Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar Perseroan dan norma Pasal 79 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dianggap perlu dan mempunyai kepentingan yang wajar untuk diadakan RUPSLB Perseroan guna mengangkat pengurus baru.
Pemohon berkeberatan ketika disebutkan bahwa Perseroan yang saat ini sedang dimohonkan penetapan untuk mengadakan RUPSLB adalah merupakan perusahaan “paper company” atau perusahaan “tidur”. Perseroan yang saat ini sedang dimohonkan penetapan untuk mengadakan RUPSLB, bukan merupakan perusahaan “tidur” dan masih memiliki eksistensi. Hal ini terbukti bahwa perseroan tersebut memiliki saham pada PT. KE, dimana PT. KE memiliki saham pada PT. ESDMU. Sedangkan PT. ESDMU memiliki IUP / kegiatan pertambangan, oleh karena itu PT. BUT tidak dapat dikatakan sebagai perusahaan yang tidur.
Pemohon secara bersama-sama dengan Para Termohon telah menandatangani akte pendirian Perseroan PT. Bumi Sebidang Alas dimana akte pendirian tersebut merupakan akte otentik sehingga tidak perlu harus dibuktikan lagi karena apa yang tertuang dalam akte pendirian Perseroan dianggap sah menurut hukum dan mengikat para pendiri Perseroan. Bila Termohon menyatakan tiada penyetoran modal, maka mengapa akta pendirian masih ditandatangani juga oleh seluruh pendiri?
Akte Pendirian Perseroan sudah secara terang dan jelas mencantumkan bahwa untuk saham-saham dalam Perseroan, para pendiri telah mengambil bagian dan menyetor secara penuh dengan uang tunai melalui kas Perseroan. Meski Direksi tidak mengakui pemegang saham tersebut / tidak membuat daftar pemegang saham, akan tetapi legalitas pemegang saham dapat dilihat dalam Akta Pendirian yang bersifat otentik. Selain itu, Akta Pendirian telah disahkan menjadi badan hukum melalui Penetapan / Keputusan Pengesahan Badan Hukum Perseroan Terbatas oleh pihak Kementarian Hukum sejak tahun 2011.
Sehingga, meski Direksi lalai atau tidak membuat DPS maupun menerbitkan bukti kepemilikan saham bagi pemegang saham, maka Akta Pendirian yang telah disahkan sebagai badan hukum merupakan bukti otentik kepemilikan saham yang dapat melindungi kepentingan pemegang saham. Karenanya Pemegang Saham dapat menjalankan haknya untuk menyelenggarakan RUPS. Jika Direksi tidak membuat DPS, maka daftar rincian pemegang saham dapat diketahui dari Akta Pendiriannya.
Termohon secara bersama-sama telah menandatangani Akte Pendirian Perseroan PT. Bumi Sebidang Alas dimana Akte Pendirian tersebut merupakan akte otentik, sehingga tidak perlu harus dibuktikan lagi karena apa yang tertuang dalam akte pendirian Perseroan dianggap sah menurut hukum dan mengikat seluruh pendiri Perseroan.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan oleh karena setelah meneliti dengan saksama memori kasasi tanggal 2 Desember 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Pemohon tidak pernah menyetorkan sahamnya ke perusahaan yang dimintakan ijin RUPSLB dan Pemohon belum memiliki bukti perihal kepemilikan sahamnya dalam buku daftar pemegang saham atas PT. a quo;
- Bahwa akibat hukum terhadap hak-hak pendiri atau pemegang saham yang tidak menyetorkan modal / saham, ditunda sampai dengan yang bersangkutan menyetorkan sahamnya ke dalam rekening perusahaan, termasuk hak untuk meminta ijin diadakannya RUPSLB;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata penetapan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi ADI PURNAWARMAN, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ADI PURNAWARMAN tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.