Terdakwa Dipidana, Demi Hukum Dipenjara. Terdakwa Dibebaskan, Demi Hukum Dibebaskan dari Tahanan

LEGAL OPINION
Question: Jika saat masih sebagai tersangka dan terdakwa, tidak ditahan di rutan (rumah tanahan), lalu dalam putusannya dikemudian hari meski dinyatakan oleh hakim bahwa terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana dan menghukum penjara selama sekian tahun, tapi tak ada perintah agar terpidana ditahan dalam amar putusan, apa artinya si terpidana tidak harus menjalani masa hukuman pidana penjara itu?
Brief Answer: Dipenjara atau dikurungnya seorang Terdakwa, merupakan “konsekuensi logis” (konsekuensi lanjutan derajat kedua) dari dipidananya seorang Terdakwa menjadi Terpidana. Sebuah “konsekuensi logis” tidak perlu harus dicantumkan dalam amar putusan, karena sifatnya ialah semata turunan dari amar putusan bercorak karakter jenis putusan penghukuman (condemnatoir).
Berlaku juga prinsip sebaliknya, bila Terdakwa ditahan saat proses persidangan namun kemudian oleh Majelis Hakim dinyatakan Terdakwa tidak bersalah dan “menolak” tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka rehabilitasi nama dan dikeluarkan dari tahanan hanyalah merupakan “konsekuensi logis” dari dibebaskannya sang Terdakwa, tidak perlu perintah untuk membebaskan Terdakwa disebutkan secara eksplisit dalam amar putusan pengadilan. Sehingga, sifatnya ialah semata terjadi “demi hukum” yang tidak butuh dinyatakan oleh hakim saat menjatuhkan putusan.
PEMBAHASAN:
Mahkamah Konstitusi RI dalam pertimbangan hukum putusannya Nomor 68/PUU-XI/2013 tanggal 11 September 2014 sebagaimana perkara uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diajukan oleh Ferry Tansil dengan kuasa hukumnya Fredrich Yunadi, memberi keterangan sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang telah menjadi terpidana sebagaimana Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 82 PK/Pid/2012, bertanggal 27 September 2012 dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 707 K/PID/2009, bertanggal 28 Juli 2009, yang didalam amar putusannya Pemohon pada pokoknya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan, namun dalam amar putusan tersebut tidak mencantumkan hal-hal yang harus disebutkan berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP. Baik putusan Kasasi maupun putusan Peninjauan Kembali tidak mencantumkan nama Jaksa Penuntut Umum, sehingga berdasarkan Pasal 197 Ayat (2) KUHAP dengan tidak dicantumkannya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP tersebut, maka putusan menjadi batal demi hukum.
[3.7.2] Bahwa menurut Pemohon, putusan Mahkamah Agung tersebut harus dinyatakan tidak pernah ada dan tidak ada landasan hukum bagi jaksa yang hendak melaksanakan eksekusi terhadap Pemohon, namun demikian dalam praktiknya Jaksa masih berupaya mengeksekusi terhadap Pemohon yang mengakibatkan Pemohon tidak dapat menampilkan diri di hadapan umum, tidak dapat mencari nafkah, tidak dapat berkumpul dengan sanak keluarga, tidak dapat beraktivitas sebagai hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karenanya, menurut Pemohon, Pasal 197 ayat (1) huruf l dan ayat (2) KUHAP menimbulkan multi tafsir yang inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD RI 1945...;
[3.14] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 197 ayat (1) huruf l dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP bersifat multitafsir. Menurut Pemohon, seharusnya norma a quo bersifat perintah (imperative) dan bersifat memaksa (mandatory) yang harus dicantumkan pada semua putusan pengadilan dari segala tingkatan, baik tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung, akan tetapi norma a quo sering hanya berlaku pada pengadilan tingkat pertama sehingga menyebabkan ketidak-pastian hukum sebagaimana yang dialami oleh Pemohon.
[3.15] Menimbang bahwa terkait dengan konstitusionalitas norma Pasal 197 ayat (1) dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 69/PUU-X/2012, bertanggal 22 November 2012, pada paragraf [3.10.2], [3.10.3], [3.10.4], dan [3, 12], antara lain, telah mempertimbangkan sebagai berikut:
“... Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 secara formal merupakan ketentuan yang bersifat imperative atau mandatory kepada pengadilan, dalam hal ini hakim yang mengadili, yang manakala pengadilan atau hakim tidak mencantumkannya dalam putusan yang dibuatnya, maka akan menimbulkan akibat hukum tertentu. Meskipun demikian, menurut Mahkamah, secara materiil-substantif kualifikasi imperative atau mendatory-nya seluruh ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) a quo tidaklah dapat dikatakan sama atau setingkat, terlebih lagi manakala membacanya dikaitkan dengan pasal-pasal lain sebagai satu kesatuan sistem pengaturan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 197 ayat (2) UU 8/1981 bahwa, ‘Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini, mengakibatkan putusan batal demi hukum’, namun dalam Penjelasannya dinyatakan, ‘Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h, apabila terjadi kekhilafan dan/atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan/atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.’ Dengan demikian maka, apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf g dan huruf l karena tidak disebutkan dalam Pasal 197 ayat (2), serta terjadi kekhilafan dan/atau kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan materi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) yang mengecualikan huruf a, e, f, dan h, maka tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Oleh karenanya, secara materiil-substantif kualifikasi imperative atau mendatory dari keseluruhan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) a quo tidaklah dapat dikatakan sama atau setingkat...’
‘... Perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai salah satu yang harus termuat dalam putusan pemidanaan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981, yang menurut Pasal 197 ayat (2) tanpa mencantumkan perintah tersebut menyebabkan putusan batal demi hukum, adalah ketentuan yang mengingkari kemungkinan hakim sebagai hamba Tuhan yang tidak sempurna yang dapat membuat kekeliruan, baik disengaja maupun tidak disengaja, dengan tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan.
Setelah secara materiil termuat dalam putusan tentang identitas terdakwa, dakwaan, pertimbangan mengenai fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan dalam sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa, tuntutan pidana, pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, pernyataan kesalahan terdakwa, pertanyaan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan, keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu jika terdapat surat otentik dianggap palsu, hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera tetapi hakim tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan, lalu hal tersebut menyebabkan putusan batal demi hukum, menurut Mahkamah, hal tersebut adalah suatu bentuk pengingkaran atas kelemahan manusia sebagai hamba Tuhan yang tidak sempurna. Sungguh sangat ironis, bahwa terdakwa yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana lalu putusannya tidak dapat dieksekusi hanya oleh karena tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan yang sesungguhnya merupakan substansi ikutan dari adanya putusan yang menyatakan terdakwa bersalah dan penjatuhan pidana terhadapnya.
Bahwa ketika dalam perkara pidana yang harus dibuktikan adalah kebenaran materiil, dan saat kebenaran materiil tersebut sudah terbukti oleh karena karena itu terdakwa dijatuhi pidana, namun karena ketiadaan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan yang menyebabkan putusan batal demi hukum, sungguh merupakan suatu ketentuan yang jauh dari substansi keadilan, dan lebih mendekati keadilan prosedural atau keadilan formal semata.
Jikalau perkara yang dampaknya tidak meluas, misalnya penghinaan yang terbukti dilakukan oleh terdakwa yang dapat dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya lalu dijatuhi pidana akan tetapi dalam putusan hakim tidak mencantumkan supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan, kemudian putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum, mungkin tidak terlalu merugikan kepentingan umum karena hanya merugikan pihak korban yang dihina. Akan tetapi seandainya perkara tersebut memiliki dampak yang sangat luas seperti merugikan perekonomian negara, dan masyarakat bangsa secara masif, misalnya perkara korupsi, perkara narkotika, atau perkara terorisme, yang telah terbukti dilakukan terdakwa, lalu terdakwa dijatuhi pidana kemudian putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum hanya karena tidak memuat perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan maka putusan semacam itu akan sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Selain faktor tidak adanya perintah sebagaimana dijelaskan di atas, tidak dicantumkan perintah penahanan didalam surat putusan pemidanaan dapat saja terjadi karena disengaja dengan itikad buruk untuk memberi kesempatan kepada terpidana untuk melakukan langkah-langkah membebaskan diri, misalnya, hakim yang bersangkutan dapat saja berpura-pura lupa mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sehingga putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum yang kemudian membawa konsekuensi bahwa terdakwa dapat menuntut rehabilitasi dan ganti kerugian kepada negara padahal telah terbukti bersalah dan dijatuhi pidana, serta menimbulkan kerugian bagi masyarakat, sehingga akhirnya mendapat rehabilitasi dan ganti kerugian, tentunya hal ini semakin melukai rasa keadilan masyarakat.
Memang benar bahwa dalam suatu amar putusan pidana tetap perlu ada suatu pernyataan bahwa terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai bagian dari klausula untuk menegaskan materi amar putusan lainnya yang telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan harus dijatuhi pidana, namun ada atau tidak adanya pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan oleh hakim dalam amar putusannya...
... sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 197 ayat (2) UU 8/1981 adalah benar bahwa putusan yang dinyatakan batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) sehingga tidak mempunyai kekuatan apapun (legally null and void, nietigheid van rechtswege). Namun demikian harus dipahami bahwa suatu putusan pengadilan haruslah dianggap benar dan sah menurut hukum dan oleh karenanya mengikat secara hukum pula terhadap pihak yang dimaksud oleh putusan tersebut sebelum ada putusan pengadilan lain yang menyatakan kebatalan putusan tersebut. Terlebih lagi manakala terjadi sengketa terhadap adanya kebatalan mengenai putusan sesuai dengan arti positif dari mengikatnya suatu putusan hakim (res judicata pro veritate habetur). Terkait dengan uraian tersebut maka hal yang telah pasti adalah putusan tersebut sah dan mengikat. Adanya kebatalan mengenai putusan yang meskipun didasarkan pada sesuatu norma yang menurut Pemohon cukup terang-benderang, namun secara hukum harus dianggap tidak demikian, karena untuk kebatalannya masih diperlukan suatu putusan. Sesuatu yang tidak atau belum jelas tidak dapat menggugurkan eksistensi sesuatu yang telah jelas. Dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia, prinsip negara hukum memberi peluang untuk melakukan upaya hukum berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan [vide Pasal 1 angka 12 UU 8/1981] hingga melakukan pengawasan dan pengamatan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya [vide Pasal 280 Ayat (1) UU 8/1981] ...
... oleh karena permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum sepanjang permohonan penafsiran seperti yang dimohonkan, padahal ketentuan Pasal 197 ayat (2) huruf ‘k’ tersebut memang tidak sejalan dengan upaya pemenuhan kebenaran materiil dalam penegakan hukum pidana maka demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah memberikan makna bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf ‘k’ tersebut bertentangan dengan UUD RI 1945 apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 mengakibatkan putusan batal demi hukum.
[3.16] Menimbang, bahwa sebagaimana yang dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 69/PUU-X/2012, bertanggal 22 November 2012 tersebut, rumusan Undang-Undang yang didalamnya mengandung materi muatan hukum, terlebih lagi yang terkait dengan hukum pidana baik mengenai hukum materiil maupun hukum formil, haruslah rumusannya jelas, tegas, tidak ambiguitas, dan tidak multitafsir, sehingga tidak kontraproduktif dengan tujuannya, yang salah satunya, adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan putusan Nomor 69/PUU-X/2012 bertanggal 22 November 2012 Mahkamah telah pula memberikan makna bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD RI 1945 apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Sama halnya dengan kasus a quo, dalam praktik kadang-kadang surat putusan pemidanaan pengadilan lalai untuk mencantumkan syarat yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf l sehingga berdasarkan ketentuan ayat (2) pasal tersebut putusan menjadi batal demi hukum.
Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpastian hukum dalam penerapannya, apakah memang adil jika karena adanya kekeliruan administratif seseorang yang secara substantif seharusnya dipidana menjadi bebas. Jika permohonan Pemohon yang memohon dengan tidak dicantumkannya syarat formal yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP dalam surat putusan pemidanaan mutlak berlaku dan putusan menjadi batal demi hukum sehingga seseorang yang seharusnya dipidana menjadi bebas maka akan menimbulkan ketidakadilan. Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Untuk menghindari keraguan dan untuk memberikan kepastian hukum yang adil dalam penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf l dan ayat (2) Undang-Undang a quo, Mahkamah harus memberikan penafsiran sendiri terhadap pasal tersebut sebagaimana yang akan dimuat dalam amar putusan di bawah ini.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan
1. Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Mahkamah memaknai:
2.1. Pasal 197 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengakibatkan putusan batal demi hukum.
2.2. Pasal 197 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengakibatkan putusan batal demi hukum.
2.3. Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, selengkapnya menjadi, ‘Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum’;
3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.