Mogok Kerja Tidak Sah, Tidak Serta-Merta Dianggap Mengundurkan Diri Tanpa Pesangon

LEGAL OPINION
Question: Bukankah suatu mogok kerja yang tidak sah secara hukum ketenagakerjaan, otomatis si para buruh yang mogok tidak secara sah itu akan dianggap mengundurkan diri, sehingga boleh dipecat tanpa pesangon?
Brief Answer: Untuk dapat dikualifikasi sebagai “mengundurkan diri”, ialah selama 5 hingga 7 hari berturut-turut mangkir kerja tanpa alasan yang sahih dan tidak memenuhi perintah untuk kembali masuk bekerja sebanyak dua kali pemanggilan secara patut dan layak. Bila semata terjadi suatu aksi mogok kerja tidak sah, maka hal demikian semata dikategorikan pelanggaran berat yang dapat dikenai sanksi indisipliner berupa surat peringatan serta kebijakan “no work no paid”, bukan secara serta-merta dianggap “mengundurkan diri”—semisal mogok kerja tidak sah hanya berlangsung kurang dari 5 hari kerja secara berturut-turut.
Perlu disusun strategi hukum yang tepat guna agar gugatan PHK tidak menjadi “bumerang”, yakni bila memang yang menjadi keberatan utama pihak Pengusaha ialah perbuatan Pekerja telah dapat dikategori sebagai “pelanggaran fatal”, maka ajukan gugatan PHK dengan bersedia membayar sejumlah pesangon sebesar satu kali ketentuan normal, alih-alih berfokus pada kerangka “mogok dan mangkir kerja dianggap mengundurkan diri”.
Bila perilaku Pekerja benar-benar membawa dampak kerugian bagi pihak perusahaan, maka tentulah putusan PHK oleh pengadilan yang disertai amar hukuman untuk dibayarkan sejumlah kompensasi pesangon, masih cukup rasional dan dapat diakomodasi secara finansial oleh perusahaan, guna menghindari kerugian yang lebih besar bagi roda produksi dan ekonomi perusahaan kedepannya.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret untuk memudahkan pemahaman, dimana untuk itu SHIETRA & PARTNERS mencerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 73 PK/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 28 September 2016, perkara antara:
- PT. GEMA ISTA RAYA, sebagai Peninjauan Kembali, semula selaku Penggugat; melawan
- 19 orang Pekerja, selaku Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu Para Tergugat.
Perusahaan Penggugat bergerak dibidang pengolahan hasil laut, yang bahan bakunya tergantung pada musim (musiman / pengaruh kondisi alam). Sejak tahun 2008 s.d. 2013, perusahaan kesulitan mendapat bahan baku (tidak ada ikan lokal). Namun agar pekerja dapat tetap lanjut bekerja, maka perusahaan melakukan import bahan pangan dari Cina dan India, itupun tidak lancar dan mulai bulan Juli 2013 sudah kekurangan bahan baku kembali.
Pada mulanya hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat yang merupakan Pekerja, berjalan dengan baik dan harmonis. Memasuki tanggal 23 s.d. 25 April 2013, sekitar pukul 07.00 WIB saat perusahan sedang melangsungkan proses produksi, tiba-tiba Para Tergugat melakukan mogok kerja, dimana mogok kerja yang mendadak dilakukan para Tergugat tersebut tidak didahului adanya perundingan atas suatu masalah, sehingga mogok para Tergugat lakukan bukan dalam rangka “akibat gagalnya perundingan”.
Begitu pula mengenai rencana mogok kerja demikian, tidak pernah diberitahukan kepada Penggugat (pengusaha) dan instansi yang berwenang dibidang ketenagakerjaan setempat, sebagaimana dipersyaratkan secara mutlak dalam norma Pasal 140 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengakibatkan berdasarkan ketentuan Pasal 142 Undang-Undang Ketenagakerjaan, mogok kerja yang dilakukan para Tergugat tidak dikategorikan sebagai “tidak sah” alias ilegal karena melanggar hukum.
Pihak Pengusaha menguraikan, berproduksinya perusahaan dan ketepatan memenuhi pesanan kepada pihak pelanggan maupun pembayaran kepada pihak pemasok bahan baku, adalah modal kepercayaan bisnis jangka panjang untuk dapat terus beroperasinya perusahaan di masa mendatang. Jelas bahwa perilaku seperti mogok kerja dapat mengancam stabilitas ekonomi akibat terganggunya roda produksi perusahaan.
Mogok kerja yang dilakukan Para Tergugat secara tidak sah demikian pada tanggal 23 s.d. 25 April 2013, mengakibatkan perusahaan tidak dapat berproduksi, karena bahan baku yang masuk tidak dapat dibongkar sehingga pihak supplier marah dan menuntut ganti-rugi, sementara bahan baku yang sudah ada di dalam perusahaan tidak dapat diproses secara segera sehingga membusuk / rusak.
Begitu pula pihak importir secara tegas melakukan protes keras terhadap tertundanya pengiriman barang dan mengajukan klaim pada Penggugat. Begitu pula kerugian lainnya adalah overhead mesin selama 3 hari. Kerugian nyata yang dengan demikian dialami perusahaan sebagai konsekuensi logisnya, yang bila dirinci jauh melampaui upah “no work no paid” para buruh yang melangsungkan aksi mogok kerja [Note SHIETRA & PARTNERS: suatu kecemasan kalangan pengusaha yang sebetulnya wajar dan patut dimengerti]:
a. Bahan baku ikan yang sampai di lokasi perusahaan tetapi tidak bisa dibongkar sehingga suplier menuntut ganti-kerugian sejumlah Rp12.000.000,00;
b. Thawing ikan (bahan baku yang siap produksi) terlantar, tidak dapat diproses. Terdiri dari ikan lokal dan ikan import sejumlah 54.141Kg x Rp700,-/kg = Rp378.987.000,00;
c. Komplain dari pihak importir sejumah 5 kontainer, bila dirupiahkan sejumlah Rp410.892.000,00 sebagai akibat tertundanya pengiriman pesanan;
d. Overhead Pabrik selama 3 hari sebesar Rp97.788.000,00 x 3 hari = Rp293.364.000,00.
Oleh karena Para Tergugat telah secara nyata melanggar hukum yaitu melakukan mogok kerja secara tidak sah, serta mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan, maka Penggugat bermaksud untuk memutuskan hubungan kerja Para Tergugat, sehingga untuk itu Penggugat telah menempuh prosedur berupa perundingan bipartit. Hasil dari bipartit tersebut, pada esensinya Para Tergugat mengakui akibat mogok kerja yang mereka lakukan, mengakibatkan merugikan langsung bagi pihak perusahaan, namun tetap tidak terjadi kesepakatan, maka perundingan dilanjutkan ke tingkat tripartit dengan meneruskan penyelesaiannya ke tingkat mediasi Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat.
Sebelum dilakukan mediasi di Disnaker setempat, Para Tergugat setuju untuk diberikan skorsing sambil menunggu proses lebih lanjut. Selanjutnya pada tanggal 24 Juni 2013 Penggugat mencatatkan perselisihannya di Disnaker Babupaten Pasuruan untuk dilakukan mediasi. Ternyata proses mediasi oleh pihak Disnaker berlangsung secara berlarut-larut hingga memakan tempo waktu 4, dan baru tanggal 16 Oktober 2013 diterbitkan anjuran tertulis akibat deadlock.
Pada saat proses mediasi sedang berlangsung, dimana Para Tergugat sedang dalam masa skorsing, ternyata pada tanggal 16 s.d. 19 September 2013, Para Tergugat melakukan mogok kerja lagi dimana mogok kerja berlangsung dilakukan dengan cara-cara yang melanggar kaedah hukum ketenagakerjaan, antara lain:
a. Pengakhiran mogok kerja setiap harinya melebihi waktu yang ditentukan saat mogok kerja yaitu jam kerja shift I berakhir (jam 15.00 WIB.);
b. Menghalang-halangi pekerja lain untuk bekerja;
c. Menutup akses keluar masuk perusahaan sehingga menghalangi bahan baku yang datang mengakibatkan perusahaan tidak berproduksi dan juga tidak dapat melakukan export (kontainer tidak bisa masuk atau keluar).
Mogok kerja yang dilakukan Para Tergugat tersebut adalah unsur “kesengajaan untuk menghambat produksi perusahaan”, sebab mereka bekerja sudah cukup lama dan tahu bahan baku perusahaan berupa ikan segar sangat rentan rusak bila tidak segera ditangani.
Kepada karyawan yang ikut mogok Penggugat telah melakukan pemanggilan, agar masuk kerja kembali, kecuali Para Tergugat karena mereka masih dalam status skorsing serta persoalannya masih dalam proses mediasi. Akibat mogok kerja kedua pada tanggal 16 s.d. 19 September 2013, Penggugat dirugikan secara keseluruhan sejumlah Rp1.691.221.917,00.
Pihak Penggugat tampaknya secara salah kaprah memaknai masa “skoorsing” sebagai suatu “mangkir”, dimana kaedah hukum ketenagakerjaan tetap mewajibkan pihak Pemberi Kerja membayar Upah penuh terhadap “skoorsing” sehingga tidak relevan ditarik sebagai suatu asumsi terjadinya mangkir kerja selama masa “skoorsing” belum dicabut oleh pihak Pengusaha (perintah “skoorsing” berangkat dari pihak Pemberi Kerja).
Selanjutnya pihak Mediator Disnakers Kabupaten Pasuruan menerbitkan surat anjuran tertanggal 16 Oktober 2013, dengan substansi:
- Agar pihak pengusaha mempekerjakan kembali pekerja Sdr. M. Suradi, dan kawan-kawan (19 orang) pada posisi semula;
- Agar pihak pengusaha membayar upah pekerja selama proses (selama skorsing) sampai mendapat keputusan mengikat.
Terhadap anjuran demikian, Penggugat menolaknya, dengan alasn karena Para Tergugat secara nyata telah sengaja melanggar hukum dan merugikan perusahaan. Demikian pula tindakan Para Tergugat, sudah diluar batas kepatutan hubungan kerja, sehingga tidak dapat ditolerir. Untuk menyelamatkan perusahaan agar dapat tetap memberikan pekerjaan kepada pekerja lainnya, maka Penggugat menghendaki untuk memutuskan hubungan kerja Para Tergugat, dimana Penggugat hanya akan memberikan hak Para Tergugat berupa uang penggantian hak, tanpa pesangon.
Terhadap gugatan pihak Pengusaha, Para Tergugat selaku Pekerja mengajukan gugatan-balik (rekonvensi), dengan dalil bahwa pihak perusahaan tidak melakukan pembayaran “upah skorsing menuju PHK” terhitung sejak bulan September 2013 hingga saat kini sekitar 4 bulan berjalan, meskipun pihak perusahaan telah sepakat dan berjanji akan melakukan pembayaran sebagaimana mestinya yang tertuang dalam Perjanjian Bersama pada tanggal 19 September 2013, akan tetapi pihak perusahaan tidak kunjung melakukan pembayaran upah semasa skoorsing berlangsung.
Berhubung PHK yang dilakukan oleh perusahaan terhadap Tergugat belum memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka berdasarkan kaedah Pasal 155 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, PHK demikian menjadi “batal demi hukum”. Untuk itu berdasarkan norma Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, baik Penggugat Rekonvensi maupun Tergugat Rekonvensi tetap wajib melaksanakan kewajibannya seperti biasa, berupa pembayaran upah sementara Tergugat tidak dapat bekerja karena sedang menerima perintah skoorsing.
Tergugat tidak bekerja (tidak menjalankan kewajibannya) bukan karena kemauannya sendiri, akan tetapi tidak diperbolehkan / dilarang alias di-skorsing oleh perusahaan, bahkan setelah di-skoorsing maupun setelah anjuran Disnaker diterbitkan, Para Tergugat menyatakan kesiapannya untuk kembali bekerja seperti biasa, akan tetapi pihak perusahaan tidak mengijinkan. Maka berdasarkan norma Pasal 155 Ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan, Pemberi Kerja wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima Pekerja sebesar 100% Upah.
Terhitung sejak bulan September 2012 sampai saat kini, pihak perusahaan nyata-nyata tidak melakukan pembayaran upah beserta hak–hak lainnya yang biasa diterima Tergugat, meskipun sudah ada kesepakatan dan sudah dilakukan penagihan oleh Tergugat selaku pihak Pekerja yang terkena skoorsing.
Terhadap aksi gugat-menggugat demikian, Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya kemudian menjatuhkan putusan Nomor 124/G/2013/PHI.Sby, tanggal 17 Maret 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Konvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Para Tergugat putus terhitung sejak tanggal 30 November 2013;
3. Menghukum Penggugat untuk membayar hak-hak Para Tergugat sebesar Rp392.525.475,00 dengan rincian sebagai berikut: Pesangon ...;
4. Menolak gugatan Penggugat Konpensi selain dan selebihnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar upah skorsing selama 3 bulan (bulan September, Oktober dan November) pada Para Penggugat Rekonvensi sebesar Rp98.644.500,- dengan perincian sebagai berikut: ...;
3. Menolak gugatan Para Penggugat Rekonvensi selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat kasasi, yang menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 549 K/Pdt.Sus-PHI/2014, tanggal 18 November 2014, sebagai berikut: “Menolak permohonan kasasi” dari pihak Pekerja maupun permohonan kasasi dari pihak Pengusaha. Dengan kata lain putusan PHI telah dikuatkan dan dikukuhkan oleh putusan tingkat kasasi.
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa oleh karena mogok kerja yang dilakukan Para Tergugat tidaklah sah, maka pihak Pengusaha berhak memberikan “tindakan balasan” berupa pemutusan hubungan kerja terhadap Para Tergugat, mengingat tindakan mogok kerja Para Tergugat tersebut mengakibatkan perusahaan menanggung kerugian sejumlah Rp2.798.464.917,00.
Akibat mogok kerja yang dilakukan Para Tergugat, perusahaan tidak dapat memenuhi pesanan dan kehilangan kepercayaan dari pembeli, supplier maupun perbankan. Karena itu Pengusaha terpaksa mencari relasi-relasi baru, namun sampai saat ini masih mengalami kesulitan, sehingga dengan sangat terpaksa perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama alasan-alasan peninjauan kembali yang diterima tanggal 14 Januari 2016 dan jawaban alasan peninjauan kembali tanggal 10 Maret 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Juris ternyata tidak melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa sesuai dengan pembuktian yang benar dari Judex Facti mogok kerja tidak sah tanggal 23 sampai dengan 25 April 2013 = 3 hari dan tanggal 16-19 September 2013 = 4 hari, dengan demikian mogok kerja tidak berlangsung selama 7 hari terus-menerus:
“Bahwa mogok kerja tidak sah dalam perkara a quo dilakukan tidak terus-menerus selama 7 hari, maka akibat dari mogok kerja tidak memenuhi yang disyaratkan Pasal 6 Kepmenkertrans Nomor Kep. 232/Men/2003 tentang Akibat Hukum Dari Mogok Kerja Tidak Sah, sehingga tidak beralasan hukum menyatakan kualifikasi pengunduran diri dengan hak kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berupa uang penggantian hak;
“Bahwa telah tepat dan benar penerapan hukum menyatakan PHK dengan uang kompensasi 1 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai dengan Pasal 156 ayat (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali PT. GEMA ISTA RAYA tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT. GEMA ISTA RAYA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.