Memilih Pemimpin Negara (Presiden) yang Berintegritas

ARTIKEL HUKUM
Pemimpin yang tidak menepati janjinya saat kampanye pemilihan umum Kepala Daerah maupun Kepala Negara, atau yang bahkan sampai perlu ditagih janjinya oleh rakyat pemilih, sudah merupakan indikator nyata pemimpin yang tidak berintegritas. Integritas sangat terkait erat dengan konsitensi antara ucapan dan tindakan. Menepati janji, adalah kewajiban si pemberi janji, bukan kewajiban rakyat pemilih untuk menagih barulah janji demikian direalisasikan.
Terlepas dari segenap kontroversi Donald Trump, sang Presiden Amerika Serikat, namun dari segi integritas kebijakan dan sikap, beliau patut mendapat apresiasi dan acungan jempol. Betapa tidak, rakyat Amerika Serikat selaku pemilih telah dijanjikan berbagai kebijakan yang akan diambilnya bila terpilih sebagai presiden, maka segala kebijakan Donald Trump sekalipun menuai kontroversi dunia global internasional, namun segala kebijakan yang diambilnya dengan sepenuh hati (dan terkesan bersikukuh) tersebut adalah semata realisasi janji-janji kampanye yang direstui oleh rakyat saat pemilihan umum. Rakyat dengan demikian telah memberi restu sekaligus sebagai suatu “referendum” demokrasi saat memilih Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Bisa disimpulkan pula, bahwa segala kebijakan yang kini direalisasikan oleh Donald Trump, merupakan kemauan dari rakyat pemilih di Amerika Serikat. Tidak pernah terdengar kabar berita bahwa rakyat Amerika Serikat menagih janji-janji kampanye sang presiden terpilih tersebut, bahkan sang presiden ketika dilantik dan menjabat sebagai kepala negara dan pemerintahan Amerika Serikat, justru terkesan “mati-matian” mewujudkan seluruh janji-janji kampanyenya kepada publik yang barangkali sudah melupakan berbagai janji-janji sang Kepala Negara.
Suka tidak suka, pro dan kontra, terlepas dari seluruh polemik dalam dan luar negeri Negeri “Paman Sam” tersebut, rakyat Amerika Serikat tidaklah kecewa terhadap sang presiden terpilih, karena rakyat tidak merasa tertipu, tidak merasa diperdaya dan dikecoh oleh slogan-slogan jargon yang sebatas “lip service”.
Berbeda dengan realita yang terjadi di Indonesia, dimana siapa pun presiden yang dipilih, siapa pun calon Kepala Negara maupun Kepala Daerah yang dielu-elukan oleh rakyat di Indonesia, tidak terdapat banyak perbedaan secara signifikan—justru terdapat kesamaan pola dan karakter, yakni: mengumbar janji-janji kampanye yang pada gilirannya mengecewakan rakyat dan harus senantiasa ditagih janjinya ketika menjabat, sampai pada akhirnya semua itu hanya menjadi slogan semata, jargon yang bagai menulis janji di pasir yang semudah tersapu ombak pantai, menguap begitu saja—terlebih bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang “pelupa” (bukankah sangat menggiurkan menjadi calon Kepala Pemerintahan di Indonesia, dimana para pemilihnya sangatlah “pelupa”?).
Mungkin tepatlah bila pihak-pihak tertentu menilai agar janji-janji calon kepala negara dan calon kepada daerah agar ditulis dalam suatu dekrit janji yang dimonumenkan agar terus terpatri, yang harus diamanatkan kedalam realisasi konkret ketika terpilih dan menjabat. Tujuannya, tidak lain agar sang Kepala Pemerintahan tidak berkelit saat jajninya kemudian ditagih oleh rakyat.
Namun, seorang pemimpin yang berintegritas, terlepas dari sebetapa kontroversial apapun janji-janji kampanyenya, ketika janji-janji tersebut direstui rakyat saat pemilihan umum (pemilu), maka janji tersebut harus direalisasi oleh pemimpin terpilih yang bersangkutan—terlepas dari apapun konsekuensi dan resiko yang akan dihadapi, agar seorang calon tidak mudah sesumbar atau mengumbar janji yang diketahui secara sadar olehnya bahwa janji demikian tidak akan dapat dipenuhinya sendiri.
Pemimpin yang berintegritas tidak akan seketika menganulir janji kampanyenya sendiri, dengan mengatas-namakan mendapat penentangan dari dunia internasional maupun dari kongres / parlemen. Janji kampanye yang direstui oleh rakyat saat pemilu, menjadi mandat tertinggi dari segenap rakyat pemilih bagi sang pemimpin terpilih untuk merealisasi dan mewujudkan janji-janji kampanye tersebut—tanpa perlu merepotkan rakyat untuk menagihnya.
Pemimpin yang berintegritas, tidaklah plin-plan dalam membuat kebijakan dan mengambil sikap sesuai apa yang telah dijanjikan olehnya sebelum terpilih. Pemimpin yang berintegritas tidak akan menipu dan mengecoh rakyatnya sendiri, karena janji yang kemudian mendapat “kesepakatan” oleh rakyat lewat memilih dan terpilihnya sang pemimpin, maka janji tersebut menjelma “perikatan” yang berlaku seperti Undang-Undang Dasar bagi sang pemimpin terpilih untuk tunduk, menaatinya, dan melaksanakannya.
Janji-janji dapat berisi tiga jenis prestasi, yakni berupa: untuk melakukan sesuatu, untuk tidak melakukan sesuatu, dan untuk menyerahkan sesuatu. Kampanye, tidak berbeda layaknya dengan sebuah proposal penawaran kerja sama, dimana ada penawaran dan kesepakatan, hukum konsensus berlaku sebagai sebentuk “kontrak sosial” yang bersifat makro dan sekaligus menjadi perikatan antara sang pemimpin terpilih dan rakyat pemilih.
Tentu saja, konsekuensi yuridisnya, kepala negara yang mengingkari janjinya, dapat digugat secara perdata agar sang pejabat yang bersangkutan dihukum untuk menaati dan melaksanakan apa yang dulu pernah ia janjikan. Kepala Negara yang berintegritas tidak akan berkelit, bahwa semua janji itu hanyalah “janji-janji kampanye” yang juga akan dilupakan oleh rakyat dan calon pemimpin lainnya.
Jika janji-janji kampanye memang dianggap tidak mengikat sang calon ketika terpilih, maka apa bedanya antara kampanye politik dengan sebuah panggung sandiwara yang menjadi ajang pembodohan massal yang merakyat sekaligus berjemaah, dimana sang calon dan simpatisan warga pemilih dan pendukung menjadi pemain sekaligus penonton sandiwara yang patut dilekatkan predikat “komedi satiris” demikian?
Untuk itu marilah kita bercermin lewat contoh / teladan yang diberikan oleh sang Presiden Amerika Serikat yang penuh kontroversi namun patut mendapat pengakuan dari rakyat dalam negeri maupun dunia global ini. Roy Franedya “Donald Trump, Tembok Perbatasan & Lumpuhnya Pemerintahan AS”, 22 December 2018, sebagaimana dikutip dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20181222120657-4-47599/donald-trump-tembok-perbatasan-lumpuhnya-pemerintahan-as dan diakses pada tanggal 02 Februari 2019:
Penutupan sementara pemerintahan karena Senat AS tak kunjung menyepakati anggaran sebesar US$5,7 miliar atau sekitar Rp82,5 triliun, di mana sebagian dana akan digunakan untuk membangun tembok perbatasan AS dengan Meksiko.
Belum disahkannya anggaran ini membuat sebagian lembaga pemerintahan tidak dapat beroperasi hingga jangka waktu yang belum ditentukan karena tak memiliki anggaran operasional.
Pembahasan ini mandek karena Partai Demokrat menentang keras ide pembangunan tembok tersebut yang dinilai memboroskan anggaran.
Ide pembangunan tembok perbatasan AS dan Meksiko memang menjadi kontroversi.
Pembangunan tembok ini merupakan janji kampanye Donald Trump. Mantan pengusaha properti ini beralasan tembok perbatasan harus dibangun untuk membatasi imigran ilegal dan penyelundupan nark0ba. Imigran gelap dianggap bisa membuat lapangan kerja bagi warga AS berkurang dan membersihan AS dari nark0ba.
Pada awal pemerintahan, Donald Trump sempat memaksa Meksiko untuk mendanai pembangunan tembok senilai US$25 miliar ini. Tembok raksasa ini rencananya akan membentang sepanjang 1.600 kilometer.
Namun, Meksiko menolak rencana tersebut karena dianggap tidak masuk akal. Trump pun meluncurkan sejumlah jurus untuk paksa Mesiko. Salah satunya dengan kenaikan tarif atas produk dari Meksiko.
Kebijakan ini mendapat tentangan karena Meksiko merupakan salah satu negara pengekspor bahan baku terbesar ke AS. Menurut Kementerian Perdagangan AS, sekitar 40% produk buatan Meksiko berasal dari Amerika Serikat dan sekitar enam juta lapangan kerja di AS bergantung pada hubungan dagang dengan Meksiko. Bila tarif dinaikkan maka harga barang yang ditanggung masyarakat meningkat.
Opsi lainnya menghalangi warga AS untuk melakukan pengiriman uang ke Meksiko atau mengenakan pajak tambahan dalam pengiriman uang. Setiap tahun warga Meksiko di AS melakukan pengiriman dana sebesar US$25 miliar. Namun kebijakan ini kembali ditentang.
Terbaru adalah aksi pemisahan anak-anak dari orang tua imigran di perbatasan Amerika Serikat-Meksiko. Aksi ini memisahkan hampir 2.000 anak dari orang tua mereka di perbatasan AS dan Meksiko antara pertengahan April dan akhir Mei lalu. Aksi ini mendapat banyak kritikan dan kecaman sehingga harus dihentikan.
Mengutip CNBC International, pembangunan tembok perbatasan penting bagi Donald Trump. Pasalnya, kesuksesan pembangunan ini akan menjadi modal Trump dalam bertarung di Pemilu Presiden AS 2020.
integritas, itulah yang membuat kepemimpinan Donald Trump menjadi tampak memiliki daya tarik tersendiri, yakni identik dengan pemimpin yang menepati seluruh janji-janji pada saat kampange, meski harus perang “urat saraf” dengan kongres dari partai politik seberang, tidak lain demi memuaskan keinginan rakyat pemilih yang memang layak untuk mendapat realisasi janji. Realisasi janji adalah hak rakyat pemilih, sekaligus menjadi kewajiban si pengumbar janji.
Tetapi tunggu dulu, selalu terdapat “embel-embel” dibalik janji kampanye seorang politikus yang dikenal “licin”. Menepati janji kampanye adalah hal yang idealis, namun kita harus siaga mewaspadai “embel-embel” dibalik sebuah janji kampenye yang akan dikonkretkan oleh sang pemimpin  terpilih. Tujuan boleh baik, namun kita tidak boleh lupa terhadap cara yang digunakan untuk merealisai tujuan yang dijanjikan.
Sebuah pemberitaan perlu dicermati / ditinjau dari berbagai sudut pandang, tidak parsial. Michael Collins (Sumber www.usatoday.com) “Trump Minta $5 Miliar untuk Tembok Perbatasan atau Ancam Tutup Pemerintah”, 14 December 2018, https://www.matamatapolitik.com/trump-minta-5-miliar-untuk-tembok-perbatasan-atau-ancam-tutup-pemerintah/ , diakses pada tanggal 02 Februari 2019:
Presiden AS Donald Trump meminta dana kepada Kongres sebesar $5 miliar untuk membangun tembok perbatasan dengan Meksiko, jika tidak, Trump mengancam akan menutup pemerintah. Pada masa kampanye kepresidenannya, Trump berjanji bahwa Meksiko akan membayar pendanaan tembok itu. Tapi janji itu sepertinya saat ini ia langgar.
Ini adalah salah satu janji kampanye yang paling sering diulang-ulang oleh Donald Trump: Tidak hanya dia akan membangun tembok di sepanjang perbatasan selatan Amerika Serikat (AS)—”tembok besar yang indah,” seperti yang ia sombongkan—tetapi dia juga akan membuat Meksiko membayarnya.
Itu dulu.
Sebagai presiden, Trump menuntut agar Kongres memberinya $5 miliar sebagai uang muka untuk tembok perbatasan tersebut, dan mengancam akan menutup pemerintah jika ia tidak mendapatkannya.
“Saya bangga untuk menutup pemerintah untuk keamanan perbatasan,” katanya pada Selasa (11/12) selama pertengkaran hebat di depan kamera dengan Ketua DPR Demokrat Nancy Pelosi dan Pemimpin Senat Demokrat Charles Schumer di Ruang Oval.
Entah Trump menggertak atau tidak, pertempuran atas pendanaan perbatasan dengan cepat menjadi hambatan utama dalam membuat RUU anggaran diloloskan Kongres, sebelum batas waktu minggu depan. Sebuah RUU anggaran jangka pendek berakhir pada tengah malam tanggal 21 Desember, dan pemerintah akan kehabisan uang dan ditutup, kecuali anggota parlemen mencapai konsensus mengenai rencana pendanaan.
Penutupan pemerintah tampaknya lebih mungkin terjadi, setelah perkelahian di Ruang Oval pada Selasa (11/12). Demokrat menuduh Trump melemparkan kemarahan yang ‘dibuat-untuk-televisi’, tetapi berjanji bahwa mereka tidak memiliki niat memberikan $5 miliar untuk tembok perbatasan.
Desakan Trump agar Kongres memberinya $5 miliar untuk membantu membayar tembok adalah perubahan dari janjinya sepanjang kampanye presiden tahun 2016—dan bahkan selama kepresidenannya—bahwa Meksiko akan menanggung biayanya.
“Kami semua tahu itu tidak akan terjadi, tetapi itu adalah janji,” Senator Jeff Flake, R-Ariz, mengatakan pada Selasa (11/12). “Gagasan bahwa dia harus memenuhi janjinya untuk mendapatkan jumlah pendanaan ini untuk pembangunan tembok—Itu bukan janji kampanye yang dipenuhi, itu adalah janji yang dilanggar.”
Sebagai kandidat, Trump “memiliki kebiasaan buruk membuat banyak janji cepat—janji-janji palsu, besar, dan berlebihan,” kata Jesse Lee, juru bicara untuk cabang politik dari Center for American Progress yang berhaluan kiri.
Dalam hal ini, “itu bukan hanya janji yang dilanggar—itu semacam kebohongan,” kata Lee.
Trump bersikeras pada Kamis (13/12) pagi bahwa Meksiko akan membayar untuk tembok tersebut melalui Perjanjian AS-Meksiko-Kanada yang baru. Kesepakatan perdagangan itu—yang membutuhkan persetujuan oleh Kongres—adalah versi revisi dari Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara, atau NAFTA.
“Saya sering menyatakan, ‘Bagaimanapun caranya, Meksiko akan membayar tembok itu,'” tulisnya di Twitter. “Ini tidak pernah berubah. Kesepakatan baru kami dengan Meksiko (dan Kanada), USMCA, jauh lebih baik daripada kesepakatan NAFTA lama, yang sangat mahal & anti-AS, dan dengan uang yang kita hemat, MEKSIKO AKAN MEMBAYAR UNTUK TEMBOK ITU!”
Pada hari ketika ia meluncurkan kampanye kepresidenan, Trump berjanji bahwa dia akan membangun tembok di sepanjang perbatasan dengan Meksiko, dan Meksiko—bukan Amerika—akan membayar dananya.
“Tidak ada yang membangun tembok lebih baik dari saya, percayalah, dan saya akan membangunnya dengan sangat murah,” katanya kepada para pendukung selama pidato pembukaan kampanyenya di Trump Tower pada tanggal 16 Juni 2015. “Saya akan membangun tembok besar di perbatasan selatan kita. Dan saya akan membuat Meksiko membayar tembok itu. Catat kata-kata saya.”
Meskipun dia memberikan beberapa rincian tentang bagaimana dia akan memaksa Meksiko untuk membayar tembok itu, namun Trump membuat janji yang sama lagi dan lagi.
“Meksiko akan membayar—mereka tahu itu—Meksiko akan membayar untuk tembok itu, dan itu mudah,” katanya kepada kerumunan massa di Portland, Maine, pada tanggal 4 Agustus 2016.
“Meksiko akan membayar untuk tembok itu, OK, percayalah, mereka akan membayar untuk tembok itu,” ia berjanji dalam pawai kampanye di Jacksonville, Florida, pada tanggal 3 November 2016, lima hari sebelum hari pemilihan.
Trump terus membuat janji yang sama setelah dia menjadi presiden, bersikeras pada tanggal 29 Mei di sebuah acara di Nashville, bahwa Meksiko “akan membayar untuk tembok itu, dan mereka akan menikmatinya.”
Tidak peduli apa kata Trump, Meksiko tidak akan membayar untuk tembok itu, kata Arturo Sarukhan, yang menjabat enam tahun sebagai Duta Besar Meksiko untuk Amerika Serikat.
“Meksiko dan AS telah melakukan—dan dapat melakukan—hal-hal hebat bersama-sama, tetapi satu hal yang tidak akan dilakukan Meksiko dengan AS adalah membangun tembok di sepanjang perbatasan bersama kami,” kata Sarukhan. “Ini adalah solusi abad pertama untuk tantangan abad ke-21.”
Kamis (13/12), Pelosi menepis klaim Trump bahwa Meksiko akan membayar untuk tembok tersebut melalui kesepakatan perdagangan baru.
“Ini tidak masuk akal,” katanya. “Pada dasarnya apa yang dia katakan: Setiap keuntungan yang mungkin didapatkan ekonomi kita dari perjanjian perdagangan yang direvisi dengan Meksiko dan Kanada, akan dihabiskan untuk tembok dan bukannya menumbuhkan ekonomi kita, meningkatkan gaji untuk pekerja kita.”
“Dia bahkan tidak memiliki perjanjian perdagangan,” katanya, karena kesepakatan itu belum disetujui oleh Kongres.
Trump terus mendorong mitos bahwa Meksiko akan membayar, karena dia tahu bahwa gagal untuk memenuhi janji itu akan menjadi pukulan politik yang menghancurkan, mengingat pentingnya masalah imigrasi bagi basisnya, kata Lee.
“Itu sebabnya Anda melihat betapa ia dengan putus asa mencoba mewujudkan kata-kata ‘Saya menepati janji itu,'” kata Lee.
“Dia akan menghadapi kegagalan,” kata Lee. “Apa yang disukai oleh basisnya tentang dia adalah gagasan bahwa dia adalah seorang pemenang. Dan dia akan menjadi pecundang besar dalam hal ini.”
Meski demikian, tidak ada yang lebih ironis daripada rakyat yang justru memilih kembali seorang calon presiden (incumbent) yang notabene justru membuktikan bahwa dirinya hanyalah pemimpin yang pandai mengumbar janji demi janji (janji kosong), atau bahkan harus membebani rakyat pembayar pajak itu sendiri untuk merealisasi janji-janji politiknya. Artinya, ketika rakyat (pembayar pajak) yang pada gilirannya harus menanggung dampak langsung dan tidak langsung “diperas” dan “diperah” oleh sang presiden yang hendak mewujudkan janji (atau mungkin impian pribadinya).
Terlepas juga dari semua polemik demikian, terdapat karakter jenis pemimpin yang sangat perlu dihindari untuk kembali dipilih sebagai Kepala Negara, yakni pemimpin yang hanya pandai untuk membodohi warga negaranya sendiri. Contoh, ketika mendapati aduan dari warga masyarakat bahwa mereka menjadi korban pungutan liar dari instansi pemerintahan, sang presiden hanya menjawab secara sumir: “Laporkan saja ke polisi, jika ada warga yang menemui pungutan liar oleh oknum aparatur sipil negara di kantor pertanahan.”
Sang presiden tahu betul, bahwa adalah percuma melaporkan pungutan liar kepada pihak kepolisian, adalah hanya membuang waktu dan energi, tidak akan ditanggapi ataupun ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Bahkan, kehilangan “kambing” akan menjadi kehilangan “sapi” bila melapor pada pihak kepolisian, sebagaimana kerap terjadi dan bukanlah merupakan urban mitos—namun sudah menjadi rahasia umum, yang sebetulnya juga diketahui oleh sang presiden, tidak mungkin tidak.
Sang presiden, tampak lebih pandai berkelit dibalik jargon-jargon klise yang hanya membodohi dan melecehkan rakyat pemilih. Tidak dapat dihindari kesan terlampau sibuk bermain dalam ranah “defensif”, yang sama sekali tidak layak untuk menyandang gelar “presiden dari kabinet kerja”.
Selebihnya, rakyat berhak “menghukum” sang presiden incumbent lewat referendum saat pemilihan umum lima tahunan, akan kembali memilih dan menunjuk yang bersangkutan kembali menduduki tampuk kekuasaan tertinggi negara, atau memilih calon lain yang belum tentu lebih baik dalam hal komitmen untuk mewujudkan janji-janji politik.
Singkat kata, menjadi pemilih “golput” (golongan putih) bukanlah suatu kejahatan atau dosa terhadap asas demokrasi—tidak layak untuk divonis kriminalisasi atas sebuah “hak” untuk memilih. Memilih “golput” adalah pilihan itu sendiri, seperti negara-negara yang tergabung dalam “negara non-blok” yang bukan dimaknai tidak memihak kubu Timur ataupun Barat, namun lebih kepada suatu idealisme politik untuk “memilih” atau untuk “memilih tidak memilih satupun calon” yang disodorkan.
Akibat presidential tresshold yang demikian tinggi, mengibatkan calon presiden yang dapat dipilih oleh rakyat menjadi sangat terbatas “stok-nya” untuk dapat dipilih, dimana rakyat justru kini tersandera oleh minimnya calon yang dipajang pada “etalase toko politik”. Itu bukanlah demokrasi yang ideal untuk dapat disebut sebagai demokrasi, yakni ketika calon yang dapat dipilih sangat terbatas karena hanya diusung oleh partai-partai koalisi pengusung tanpa dapat disuguhkan lebih banyak calon oleh masing partai politik kecil, atau bahkan seorang calon presiden independen sekalipun.
Tidak ada demokrasi bila proses pencalonan calon kepala negara saja sudah demikian tidak demokratis (terkesan dipaksakan). Antara “kentang busuk” dan “cabe busuk”, manakah yang akan Anda pilih untuk menentukan nasib bangsa Anda lima tahun ke depannya? Mengapa juga kita harus memilih yang telah “busuk” dimana masih banyak manusia Indonesia yang lebih kredibel dan lebih berbobot dari segi integritas serta visi dan misi?
Kabar baiknya, calon pemimpin mana pun yang akan Anda pilih, tidak akan pernah ada pengaruh signifikan, seperti yang terbukti dari pesta demokrasi yang sudah-sudah, semua hanya sebatas mengumbar janji demi janji, tanpa pernah mampu direalisasi oleh pemimpin yang bersangkutan. Sebetulnya mudah saja bagi calon presiden yang diusung oleh partai politik kompetitor (maupun oposisi) untuk menjatuhkan moril calon presiden petahana, yakni semudah mengungkit kembali janji-janji kampanye sang calon presiden incumbent ketika lima tahun lalu yang bersangkutan berkampanye menjelang pemilihan umum, dan mengajak masyarakat untuk turut menagih janji-janji yang tiada realisasinya tersebut. Itulah trik politik adu domba yang secara moril dapat dibenarkan.
Krisis moneter tahun 1997—1998 yang mengakibatkan kurs mata uang Rupiah terdepresiasi mencapai level angka Rp 15.000;- terhadap valuta asing Dollar US, kini tidak ada perubahan berarti sejak naiknya sang presiden yang lima tahun lalu sangat dielu-elukan sebagai calon presiden paling populis dan paling ideal. Warga masyarakat yang cerdas politik, tidak pernah melupakan sejarah.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.