Pelanggaran terhadap Peraturan Perusahaan Tidak identik Pelanggaran Berat

LEGAL OPINION
Question: Bedanya dimana, antara melanggar peraturan perusahaan dan melakukan pelanggaran berat?
Brief Answer: Jenis-jenis “pelanggaran berat” dapat dicantumkan dan dapat juga tidak dicantumkan dalam Peraturan Perusahaan, dimana sekalipun tidak dicantumkan jenis-jenis “pelanggaran berat”, bila Pekerja / Buruh melakukan suatu “kesalahan fatal” maka dapat diputus hubungan kerja (PHK) dengan alasan “pelanggaran berat” dengan memohon PHK ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) setempat.
Sehingga, “pelanggaran berat” merupakan sebentuk perilaku tidak patut yang sangat merugikan dan mencederai asas hubungan industrial, yakni: Buruh wajib bersikap produktif. Diatur atau tidak diaturnya kriteria perilaku “pelanggaran berat” dalam Peraturan Perusahaan, tidak menjadi prasyarat mutlak untuk dapat mengajukan PHK dan tidak menjadi alasan pembenar bagi pihak Pekerja untuk melakukan “kesalahan fatal”.
Sementara perihal “Peraturan Perusahaan”, lebih berfungsi mengatur dan merinci SOP dan tata-tertib internal perusahaan, sebagai contoh jam masuk kerja, tata cara berpakaian, dan hal-hal lain yang sesuai karakter bidang usaha Pemberi Kerja. Karena “pelanggaran berat” memiliki sifat pelanggaran terhadap kepatutan yang sangat “fatal”, maka tidak menjadi soal apakah kriteria perbuatan “fatal” demikian diatur atau tidak diatur dalam suatu “Peraturan Perusahaan”.
Karena itu jugalah, melanggar “Peraturan Perusahaan” belum tentu merupakan suatu “pelanggaran berat”, sehingga perlu terlebih dahulu diketahui fakta empirik “kesalahan fatal” yang telah dilakukan oleh sang Pekerja. “Kesalahan fatal” saling berbeda corak ragamnya antar fungsi pekerjaan, sebagai contoh seorang staf akuntansi adalah fatal kesalahannya ketika salah menghitung angka pembukuan perusahaan, namun bukan suatu “kesalahan fatal” bagi seorang petugas keamanan. Karena itu, menjadi tidak efisien bila merinci jenis-jenis kriteria perbuatan “pelanggaran berat” untuk setiap jenis fungsi pekerjaan dalam suatu Peraturan Perusahaan.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 125 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 20 Februari 2017, perkara antara:
- PT. SAN XIONG STEEL INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi, semula sebagai Tergugat; melawan
- 6 orang Pekerja, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Bermula ketika pihak Pekerja melakukan mogok kerja yagn dinilai tidak sah sehingga dianggap terjadi PHK kategori “mengundurkan diri” di mata pihak Pengusaha. Sebagai respon, pihak Pekerja mengajukan gugatan ini. Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial kemudian menjatuhkan putusan Nomor 11/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Tjk tanggal 13 Oktober 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Para Penggugat menerangkan secara terpisah maupun bersama-sama telah terjadi pemutusan hubungan kerja pada hari Senin tanggal 28 September 2015 dimana Para Penggugat diberikan Surat Pemutusan hubungan Kerja oleh Tergugat tanpa ada pemberian surat peringatan 1, Surat Peringatan 2 dan Surat Peringatan 3 juga skorsing dengan tanpa alasan belum ada kesepakatan dan/atau dirundingkan terlebih dahulu sehingga berdasarkan Pasal 170 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 151 ayat (3), adalah batal demi hukum yang menurut Tergugat karena Para Penggugat tidak masuk lembur pada tanggal 27 September 2015 telah mengganggu produktifitas dan merugikan Tergugat;
“Menimbang, bahwa Para Penggugat berpendapat berhak tetap menerima upah sejak dinyatakan PHK sejak tanggal 28 Februari 2015 sepihak oleh Tergugat sampai dengan diajukannya gugatan tersebut, atau sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap;
“Menimbang, bahwa atas dalil Tergugat yang menyatakan Para Penggugat dikenakan sangsi pemecatan dan atau pemberhentian dengan hormat sehubungan dengan tindakannya yang terkualifikasi sebagai pelanggaran berat yakni melakukan tindakan mogok kerja tanpa surat pemberitahuan untuk kedua kalinya sehingga membuat tidak kondusif proses produksi yang menyebabkan kerugian perusahaan milik Tergugat, dan jika dikaitkan dengan keterangan seluruh saksi-saksi bahwa tidak ada aksi mogok kerja, dan jika dikaitkan lagi dengan alat bukti T.08, berupa Surat Keterangan Babin Kamthibmas Desa Tarahan tertanggal 27 September 2015 yang pada pokoknya menerangkan bahwa pada hari Minggu tanggal 27 September 2015 sekira jam 21.00 WIB saudara Andi Saputra menghubungi saudara Bunyamin R. (Babin Kamthibmas Desa Tarahan) menginformasikan bahwa akan terjadi unjuk rasa di PT. San Xiong Steel Indonesia, kemudian saudara Bunyamin R. diminta untuk melakukan pengamanan, setelah di cek di lapangan ternyata tidak terjadi / tidak ada unjuk rasa yang dimaksud, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat dengan alasan mogok kerja tidak terbukti dan tidak beralasan hukum yang kuat, dan oleh karenanya dalil tersebut tidak dapat dibenarkan dan harus dinyatakan untuk tidak dapat diterima;
“Menimbang, bahwa atas perintah Tergugat untuk masuk kerja pada hari Minggu tidak dibayar upahnya dan dibuat secara tidak tertulis, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Tergugat telah salah dalam menerapkan hukum ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Kep-102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur pada Pasal 6 ayat (1) menyatakan untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja / buruh yang bersangkutan; dan Pasal 7 ayat (1) menyatakan perusahaan yang mempekerjakan pekerja / buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban membayar upah kerja lembur, dan oleh karenanya perintah Tergugat tersebut tidak dapat dibenarkan, dan harus dinyatakan batal demi hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi yang bernama Rahman, Andi Saputra dan Erdiansyah menyatakan bahwa pada hari Minggu tanggal 27 September 2015 datang ke perusahaan milik Tergugat untuk masuk bekerja sebagaimana mestinya, namun saat berada di dekat pintu gerbang Penggugat 5 (Rio Winarno) bersama-sama dengan para Penggugat lainnya menghadang saksi-saksi agar tidak masuk kerja dengan alasan supaya kompak, dan akhirnya para saksi balik ke rumah dan tidak masuk kerja. Dan selanjutnya keesokan harinya pada hari Senin, tanggal 28 Septeember 2015 para saksi dan bebarapa orang temannya yang tidak masuk kerja dipanggil pihak managemen dan dikenakan surat peringatan dari pihak perusahaan karena tidak masuk kerja, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan para Penggugat tersebut tidak dapat dibenarkan, karena telah menimbulkan kerugian bagi para pekerja lainnya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi yang bernama Rahman, Andi Saputra dan Erdiansyah menyatakan bahwa pada hari Senin, tanggal 28 September 2015, para pekerja yang tidak masuk kerja pada hari Minggu, tanggal 27 September 2015 dikumpulkan oleh manajemen perusahaan dan diberi pilihan apakah masih mau bekerja atau tidak mau bekerja lagi. Dan selanjutnya saksi dan beberapa pekerja lainnya masih memilih bekerja dan diberikan surat peringatan, sedangkan Rio Winarno dan Para Penggugat yang lainnya memilih untuk berhenti bekerja dengan meminta gaji pada bulan tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa akibat dari pada perbuatan Para Penggugat tersebut telah terjadi keresahan yang berakibat hubungan kerja menjadi tidak harmonis, dan oleh karenanya cara-cara seperti ini tidak dapat dibenarkan;
“Menimbang, bahwa atas dalil Tergugat yang menyatakan Para Penggugat dikenakan sangsi pemecatan dan atau pemberhentian dengan hormat sehubungan dengan tindakannya yang terkualifikasi sebagai pelanggaran berat yakni melakukan tindakan mogok kerja, dan memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 jo Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: SE-13/Men/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang pada pokoknya menerangkan pada poin nomor urut (2) menyebutkan Pasal-Pasal Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Kerenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar / acuan dalam penyelesaian hubungan industrial, dan pada poin nomor 3 huruf a, menyatakan Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja / buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1), maka Pemutusan Hubungan Kerja dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan oleh karena Tergugat tidak melampirkan bukti-bukti yang kuat bahwa kesalahan tersebut berupa pelanggaran berat, serta tidak melampirkan berapa kerugian yang diderita perusahaan, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat adalah termasuk kategori pelanggaran peraturan perusahaan, bukan karena pelanggaran berat, dan oleh karenanya dalil tersebut tidak dapat diterima;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat sejak dibacakan putusan ini;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai kepada Para Penggugat sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja dengan perincian sebagai berikut: ...;
5. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan mengutip norma Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.232/MEN/2003 tertanggal 31 Oktober 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah, sebagai pelaksanaan Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan, dalam Pasal 3 mengatur: bahwa Mogok kerja tidak sah apabila dilakukan :
a. bukan akibat gagalnya perundingan; dan atau
b. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan atau
c. dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja, dan atau
d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sedangkan norma Pasal 6 mengatur:
1) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikualifikasikan sebagai mangkir;
(2) Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis; dan
(3) Pekerja / buruh yang tidak memenuhi panggilan sebgaimana dimaksud pada ayat (2) maka dianggap mengundurkan diri.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 8 November 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 28 November 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Tanjungkarang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa pertimbangan hukum putusan Judex Facti dengan mengabulkan gugatan Para Penggugat dapat dibenarkan, karena berdasarkan fakta-fakta dalam perkara a quo Judex Facti telah memberikan pertimbangan yang cukup, dimana Para Penggugat telah memutus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat dan ternyata pemutusan hubungan kerja tersebut tidak didahului dengan teguran dan atau peringatan secara tertulis dengan cukup, sehingga tindakan Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Penggugat dapat dinilai tidak melalui prosedur sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Tanjungkarang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : PT. SAN XIONG STEEL INDONESIA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. SAN XIONG STEEL INDONESIA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.