LEGAL OPINION
AMBIGUITAS KONSEP KESALAHAN TERKAIT PERBUATAN DAN MAKSUD BATIN PELAKU KELALAIAN, KONTEKS PIDANA
Question: Jika bertemu dengan istilah kesalahan dalam terminologi hukum pidana atau pemidanaan, itu artinya salah atau kesalahan dalam artian apa? Apa mungkin, ada orang yang punya maksud untuk tabrak orang lain di jalan sampai meninggal? Pihak jaksa bersikap seolah-olah terdakwa yang merupakan seorang pengemudi, memang punya maksud untuk menabrak pejalan kaki sampai tewas, padahal saling kenal saja tidak.
Brief Answer: Cukup dilematis jawaban dari dialektik perihal ilmu hukum pidana terkait konsepsi “kesalahan”. Teori ilmu hukum pidana klasik menyebutkan, “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Kesalahan, dapat berupa dua dimensi faset, yakni pidana kesalahan akibat “kesengajaan” (dolus) dan pidana kesalahan akibat “kelalaian” (culpa, yang juga berlaku dalam hukum perdata).
Sehingga, terjadinya delik pidana yang didalilkan akibat faktor kelalaian / alpha-nya pelaku, bukan menjadi alasan pemaaf ataupun pembenar untuk melakukan suatu tindak pidana yang telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Menjadi pertanyaan yang dilematis, ketika kita masuk lebih jauh kedalam falsafah ilmu pidana, dimana motif atau niat batin sang pelaku bisa jadi “tidak menghendaki” dan “tidak mengetahui” sesuatu perbuatan ataupun akibat yang merupakan delik kejahatan (kemungkinan demikian dapat saja terjadi, tanpa tertutup kemungkinan).
Sebagai contoh, pengemudi kendaraan karena lalai telah menabrak korban pejalan kaki hingga tewas. Sang pengemudi, yang sebelumnya tidak pernah mengenal korban, dapat dipastikan tidak menghendaki kematian atau lukanya sang korban, karena memang tiada faedahnya bagi si pengemudi untuk membuat tragedi berdarah.
Dengan bercermin dari contoh ilustrasi diatas, jelas bahwa pelaku / pengendara tidak berniat dan tidak menghendaki adanya korban jiwa. Sementara itu faktor niat batin (mens rea) disebutkan sebagai penentu bersalah atau tidaknya seorang tersangka / terdakwa. Apakah artinya si pelaku, tidak dapat dipidana?
Jika delik pidana dan pemidanaan otomatis efektif berlaku bila terjadi suatu pelanggaran secara lahiriah (actus reus) semata, apapun niat batin dari si pelaku (mens rea), maka untuk apa teks-teks ilmu hukum berkutat secara panjang-lebar membahas perihal faktor peranan mens rea dalam terjadi sempurnanya suatu delik?
Betul bahwa hukum pidana membedakan antara “delik formil” dan “delik materiil”, namun hal tersebut artinya melanggar asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Unsur adanya “kesalahan” menjadi jiwa / esensi pemidanaan, sehingga menjadi ambigu, bila ternyata “tanpa kesalahan seseorang dapat tetap dipidana”.
Dalam “delik formil”, disebutkan bahwa (seolah-olah) tanpa timbul akibat dari perbuatan yang dilarang sekalipun, seorang subjek hukum dapat tetap diancam pidana. Sebaliknya, dalam “delik materiil”, wajib terjadi dan telah timbul terlebih dahulu akibat dari perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.
Secara implisit, “delik formil” seolah tidak hirau terhadap maksud batin (mens rea) dari seorang subjek hukum pelaku. Sebagai contoh, seorang pengemudi melajukan mobilnya secara ugal-ugalan di jalan perumahan / pemukiman yang padat penduduk. Namun ternyata tiada yang menjadi korban jiwa, entah karena faktor kemahiran sang pengemudinya atau karena kesiap-siagaan para pejalan kaki setempat. Hal tersebut sangat menyerupai spekulasi, bisa jadi jatuh korban namun bisa jadi juga tidak. Mengapa ilmu hukum menjadi demikian spekulatif?
Pengendara kendaraan bermotor ditilang karena melanggar rambu-rambu lalu-lintas, termasuk dalam “delik formil” karena tujuan rambu-rambu lalu-lintas ialah untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu-lintas, sehingga sekalipun tidak timbul korban jiwa, maka sang pengemudi yang melanggar rambu / marka dapat dipidana denda (tilang). Padahal, bisa jadi si pengemudi sama sekali tidak menghendaki dan tidak mengetahui adanya rambu-rambu yang bahkan terkesan sengaja dipasang sebagai “jebakan” tanpa faedah. Dengan kata lain, itulah contoh konkret “dapat dipidana tanpa kesalahan”.
Menggunakan surat palsu / memalsukan disebut sebagai “delik formil”, karena tidak harus menunggu jatuh korban terlebih dahulu, sementara penipuan disebutkan merupakan “delik materiil”. Apakah hal tersebut dapat diartikan, seorang ilmuan yang sedang melakukan penelitian teknik-teknik duplikasi surat pun, dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana sekalipun dirinya tidak menghendaki timbulnya kerugian akibat penelitiannya tersebut, dan tidak mengetahui adanya orang yang sebodoh itu yang bisa tertipu oleh surat yang palsu? Apakah artinya, seseorang dengan niat batin yang buruk hendak menipu, namun korbannya mampu mengantisipasi sehingga tidak tertipu, perbuatan si penipu tidak dapat dipidana?
Mustahil bila seseorang dikatakan “menghendaki” atau “mengetahui” sesuatu perbuatan, namun tidak menghendaki suatu akibat dari suatu perbuatan. Apakah pernah kita jumpai, adanya pelaku tindak pidana kejahatan, yang hanya menghendaki suatu “perbuatan” tanpa menargetkan suatu “akibat” yang dilarang oleh hukum? Disitulah kerancuan utama stelsel hukum pidana / pemidanaan di Indonesia, terutama dalam segi falsafah.
Kelalaian, sangat terkait erat dengan faktor mens rea. Bila kelalaian dimasukan / dikategorikan sebagai “kesalahan” dalam konteks pidana, maka apa yang menjadi mens rea (faktor batin) dari si pelaku? Betul bahwa kecelakaan lalu-lintas yang mengakibatkan korban jiwa bisa jadi merupakan suatu kelalaian dari si pengendara.
Namun ketika beranjak lebih jauh dengan menyinggung perihal isu hukum “motif” atau “niat batin” si pelaku, mungkin adalah mustahil bagi Jaksa Penuntut untuk membuktikan adanya unsur “menghendaki” dan “mengetahui” suatu korban jiwa akan terjadi. Apakah mungkin, sebuah “kelalaian” diasosiasikan dengan “menghendaki” jatuhnya korban jiwa? Bagaimana mungkin lalai dapat bersumber dari menghendaki jatuhnya korban jiwa?
Menghendaki, merupakan faktor penentu unsur delik utama adanya “kesengajaan”. Yang paling relevan, ialah mens rea “mengetahui” bahwa suatu kelalaian dalam mengambil sikap dapat membahayakan warga negara lain, seperti berkendara dalam kecepatan tinggi bukan di jalan bebas hambatan, berkendara dalam kondisi permukaan roda ban yang telah gundul, pedal dan kampas rem yang tidak pernah diberi perhatian ataupun perawatan, atau bahkan berkendara dalam kecepatan tinggi di daerah pemukiman padat penduduk. Dirinya “patut” mengetahui sebentuk potensi resiko yang dapat terjadi (the worse case scenario).
Dapat juga kita simpulkan, bila pihak Jaksa Penuntut Umum gagal untuk membuktikan adanya faktor “kesalahan” berupa “kelalaian” dengan mens rea dalam wujud “mengetahui” semisal kelengkapan si pengemudi kendaraan ternyata tidak lengkap atau mengemudi secara tidak taat rambu-rambu lalu-lintas, maka si korban jiwa itu sendiri yang patut ditengarai telah melakukan “kelalaian” sehingga berujung maut bagi dirinya sendiri.
Semisal seorang pejalan kaki melintasi jalan tol, maka sekalipun dirinya tertabrak kendaraan bermotor hingga tewas, si pengemudi tidak dapat disebut telah “lalai”—karena baik si korban maupun si pengemudi sama-sama telah mengetahui (mafhum), bahwa jalan bebas hambatan diperuntukkan bukan bagi pejalan kaki untuk melintasi badan jalan.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret perihal “kelalaian” yang mengakibatkan kecelakaan kendaraan bermotor karena si pengemudi tidak memiliki legalitas mengemudi berupa Surat Izin Mengemudi (SIM) ketika mengemudikan kendaraan bermotor, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana lalu-lintas register Nomor 756 K/Pid/2015 tanggal 23 September 2015, dimana Terdakwa didakwakan karena telah mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai ketentuan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Berawal saat Terdakwa mengendarai mobil minibus dengan membawa beberapa penumpang, datang dari arah Batusangkar menuju arah Sungai Tarab, dengan kondisi jalan: arus lalu lintas dua arah dan sepi, cuaca cerah, jalan lurus dan lebar, marka jalan ada serta di kanan jalan merupakan rumah makan, dimana terdakwa yang ternyata pada saat itu mengendarai kendaraannya belum memiliki SIM A, dan setibanya di depan rumah makan, Terdakwa bersama dengan temannya yang menumpang sudah punya niat mampir dirumah makan tersebut berhenti di sebelah kiri jalan, pada jarak lebih kurang 20 meter dari kendaraan yang dikendarai Terdakwa berhenti, Terdakwa telah melihat sepeda motor yang dikendarai korban melaju dengan kencang datang dari arah Sungai Tarab menuju arah Batusangkar (berlawanan arah dengan kendaraan yang dikendarai terdakwa)
Melihat hal itu, “seharusnya” Terdakwa menahan mobil yang dikendarainya atau berhenti terlebih dahulu untuk tidak berbelok ke kanan jalan, guna memberikan kesempatan pada sepeda motor yang dikendarai pihak korban untuk lewat terlebih dahulu, terlebih dengan kondisi marka jalan putus-putus yang seharusnya terdakwa perkirakan berkemungkinan sepeda motor yang dikendarai oleh korban melaju dengan kencang menuju arah Batusangkar, namun hal itu tidak dilakukan oleh terdakwa, dimana pihak Terdakwa justru langsung membelokkan kendaraan yang dikendarainya ke kanan jalan menuju pintu masuk rumah makan dengan kecepatan 10 km/jam.
Pada saat kendaraan yang dikendarai Terdakwa masuk kekanan jalan, pada waktu yang bersamaan datang sepeda motor yang dikendarai korban, melihat hal itu terdakwa menjadi gugup, dikarenakan jarak sudah terlalu dekat sehingga sepeda motor yang dikendarai korban menabrak bagian bodi depan sebelah kiri mobil yang dikendarai terdakwa, yang mengakibatkan sepeda motor yang dikendarai korban terseret ke jalan sebelah kanan dari arah sungai tarab dan korban terjatuh ke aspal dengan kepala terhempas ke aspal yang mengakibatkan korban tidak sadarkan diri yang akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan menuju Rumah Sakit, sebagaimana hasil kesimpulan Visum Et Repertum pihak Rumah Sakit.
Terhadap tuntutan pihak Jaksa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Batusangkar Nomor 97/Pid.B/2014/PN.BS tanggal 9 Desember 2014, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa ... telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘KARENA KELALAIANNYA MENGAKIBATKAN KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA’.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PUTRI MAQFIRA PGL PUPUT BINTI SUNARDI dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.
3. Menetapkan agar terdakwa ditahan.”
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor 3/PID/2015/PT.PDG tanggal 11 Februari 2015, yang amar lengkapnya sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menerima permintaan banding dari Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Batusangkar nomor 97/Pid.B/2014/PN.BS tanggal 9 Desember 2014, yang dimintakan banding tersebut.”
Baik pihak Jaksa maupun Terdakwa, masing-masing mengajukan upaya hukum kasasi, dimana salah satu pokok keberatan pihak Jaksa ialah Terdakwa saat itu mengendarai kendaraan mobilnya, belum memiliki SIM untuk kendaraan roda empat.
Sementara alasan-alasan keberatan yang diajukan oleh Terdakwa, menyinggung bahwa Terdakwa dan keluarga telah berusaha beberapa kali datang dan meminta maaf kepada pihak keluarga korban, akan tetapi tidak pernah ditanggapi, hal ini telah dinyatakan di hadapan persidangan dan terdapat dalam berkas perkara, akan tetapi Hakim Pengadilan Negeri Batusangkar tidak mempertimbangkan usaha yang dilakukan oleh Terdakwa dalam kasus ini dan keluarga saya untuk meminta maaf atas kejadian tersebut, biarpun permintaan maaf kami tidak pernah diterima oleh keluarga korban [Note SHIETRA & PARTNERS: Permintaan maaf, yang bahkan terkesan dipaksakan, bukanlah alasan pemaaf penghapus kesalahan pidana].
Pihak Terdakwa lalu mencoba mempersalahkan pihak korban, dimaan terdakwa mengkalim telah menghidupkan lampu sen ke kanan sebagai penanda hendak berbelok ke kanan pada saat Terdakwa melihat sepeda motor yang datang dari arah berlawanan (dari Arah Sungai Tarab ke Batusangkar) kondisi jalan dari arah Sungai Tarab ke Batusangkar di depan rumah makan, adalah menurun ke arah Batusangkar dari arah Sungai Tarab.
Apabila diperhatikan dengan seksama berdasarkan kondisi mobil dan kontur jalan di lokasi kejadian, bisa dikatakan pengendara sepeda motor tersebut tentu dengan jelas dapat melihat posisi sepeda motor yang dikendarainya karena sepeda motor tersebut datang dari arah yang lebih tinggi dari posisi mobil yang Terdakwa kendarai, dimana arus jalan pada saat itu sepi.
Sedangkan tidak ada di depan persidangan Terdakwa ada menyebutkan melihat sepeda motor dengan kencang dari arah Sungai Tarab menuju ke Batusangkar. Sementara Terdakwa ada menghidupkan lampu sen ke kanan untuk berbelok, maka sudah tentu bisa dilihat oleh pengendara sepeda motor dari arah berlawanan, sehingga yang sebenarnya lalai ialah pengemudi sepeda motor.
Terdakwa mendalilkan pula, seharusnya sebagai pengguna jalur jalan raya tentu akan mengurangi kecepatan kendaraannya apabila ada sesuatu di depannya yang akan merintangi laju kendaraannya, disini dapat dikatakan pengemudi sepeda motor tidak melihat lurus ke jalan akan tetapi ada sesuatu hal yang membuat pengendara sepeda motor tersebut tidak memperhatikan jalan, sehingga menjadi kelalaian dari pengemudi sepeda motor bersangkutan itu sendiri.
Pertimbangan hukum pengadilan yang mengatakan bahwa Terdakwa melihat pengendara sepeda motor tersebut pada jarak lebih kurang 20 meter, tidak bisa menjadi acuan mengatakan bahwa Terdakwa telah lalai, karena jarak pada saat itu tidak bisa Terdakwa pastikan, akan tetapi Terdakwa sudah bisa memperdiksikan jarak aman untuk berbelok dan memberikan tanda lampu sen. Pada saat Terdakwa membawa mobil tersebut memng tidak membawa SIM, karena SIM Terdakwa hilang, dimana Terdakwa mengaku sudah mengemudikan mobil sejak tahun 2011, demikian tambah pihak Terdakwa dengan maksud menggambarkan adanya kontribusi kesalahan pihak korban itu sendiri yang telah lalai sehingga mengakibatkan tragedi yang tentunya tidak diinginkan oleh pihak manapun.
Terdakwa menilai, pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batusangkar sangatlah merugikan Terdakwa, karena tidak memasukan keterangan bahwa Terdakwa ada menghidupkan lampu sen sehingga mengakibatkan Terdakwa dianggap telah lalai dalam berkendaraan.
Meski demikian, secara tidak etis Terdakwa menyebutkan bahwa yang datang ke tempat keluarga korban untuk meminta maaf ialah orang tua pihak Terdakwa, karena Terdakwa mengklaim sedang dalam “kondisi trauma berat”, sebanyak 5 kali, namun pihak keluarga korban tidak pernah mau memaafkan, dan sudah bebagai cara dilakukan oleh keluarga Terdakwa untuk dapat meminta maaf, akan tetapi tidak pernah dimaafkan oleh keluarga pengendara motor.
Dimana terhadap keberatan para pihak, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Terhadap alasan Jaksa / Penuntut Umum:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri untuk keseluruhannya merupakan putusan yang tidak salah menerapkan hukum dengan cara mempertimbangkan secara tepat dan benar fakta-fakta hukum yang relevan secara yuridis sebagaimana yang terungkap di persidangan sesuai dengan alat-alat bukti yang diajukan secara sah sesuai dengan ketentuan hukum yang satu sama lain saling bersesuaian bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana ‘karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia’ melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan seperti dakwaan Jaksa / Penuntut Umum;
Terhadap alasan kasasi Terdakwa:
“Bahwa alasan-alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan, oleh putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri untuk seluruhnya merupakan putusan yang tidak salah menerapkan hukum, yang secara tepat dan benar seperti dipertimbangkan bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang disebutkan diatas, serta Judex Facti secara cukup memberikan pertimbangan mengenai dasar alasan-alasan penjatuhan pidananya;
“Bahwa namun demikian putusan Judex Facti tersebut perlu diperbaiki sepanjang mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa karena ada faktor-faktor yang meringankan atas perbuatan Terdakwa yang belum dipertimbangkan Judex Facti yaitu Terdakwa adalah seorang mahasiswi yang masih aktif sehingga apabila dijatuhkan pidana akan mengganggu kuliahnya dan tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata untuk balas dendam akan tetapi untuk pelajaran / edukatif dan lembaga pemasyarakatan bukanlah tempat yang cocok bagi Terdakwa dan selain itu juga ada niat baik dari Terdakwa dan keluarganya untuk meminta maaf tetapi kurang mendapat tanggapan dari keluarga korban;
[Note SHIETRA & PARTNERS: Secara falsafah ilmu pidana, adalah hak korban dan keluarganya untuk memaafkan atau untuk tidak memaafkan—terlebih dalam konteks delik umum, bukan delik aduan. Fakta persidangan, Terdakwa tidak pernah secara langsung menghadap keluarga korban untuk menyatakan penyesalannya, merupakan sikap yang bertolak-belakang dengan etika budaya Ketimuran.]
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Jaksa / Penuntut Umum dan Terdakwa tersebut harus ditolak dengan perbaikan terhadap pidana yang dijatuhkan sehingga selengkapnya seperti tersebut dibawah ini;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : Jaksa / Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Batusangkar tersebut;
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II / Terdakwa : ... tersebut;
“Memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor 3/PID/2015/PT.PDG tanggal 11 Februari 2015 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Batusangkar Nomor 97/Pid.B/2014/PN.BS tanggal 9 Desember 2014 sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa ... telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘KARENA KELALAIANNYA MENGAKIBATKAN KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA’.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.