Selamat, karena Anda Telah Kalah, Itu Kabar Bagus

ARTIKEL HUKUM
Judul dalam artikel ini tidaklah keliru, dan mata Anda tidak keliru membacanya. Mengapa pelaku kejahatan dapat lolos dari hukuman, dan korban justru kian teraniaya tanpa perlindungan hukum memadai—seolah, keadilan sangatlah jauh, tidak terjangkau, dan seakan hukum dan keadilan hanya eksis untuk melayani segelintir pihak tertentu. Mengapa, dan karena apa? Apa yang salah, dan apakah yang patut kita persalahkan?
Mengapa juga praktik hukum di negeri ini, demikian jauh dari kata “ideal”? Selentingan pendapat secara sinis sekaligus apatis menyebutkan, “kehilangan kambing, menggugat ataupun melapor kepada pihak berwajib, justru akan kehilangan sapi”. Yang benar menjadi salah, yang bersalah kemudian dibenarkan. Serba terbolak-balik. Hukum yang semestinya imperatif, menjelma negosiatif-koruptif. Korban dihukum, dan pelaku kejahatan dibebaskan.
Mengapa, setelah peraturan perundang-undangan dibuat dengan sedemikian masif dan produktif, namun realita yang terjadi justru berbanding terbalik, jumlah narapidana penghuni penjara meningkat, kasus-kasus kriminalisasi yang tidak tersentuh hukum justru menukik naik setiap tahunnya, kerancuan putusan perkara-perkara perdata yang ganjil dan mencederai nurani keadilan justru kian menggurita secara meluas dan seakan kita hanya mampu menjadi penonton tanpa daya yang bisu dan dibisukan?
Tentulah pertanyaan-pertanyaan semacam itu, kerap dan jamak kita jumpai di tengah masyarakat, di dalam komunitas profesi kita, bahkan di tengah keluarga besar kita sendiri. Tidak ada teks-teks literatur disiplin ilmu hukum maupun sosiologi yang mampu memberikan jawaban secara memuaskan atas pertanyaan klasik demikian—sehingga dapat disebut juga sebagai suatu momok realita kehidupan sosial.
Namun dalam kesempatan ini, penulis tidak bermaksud untuk menjawabnya secara frontal, dan memilih untuk menjadikan objek renungan perihal ketidak-adilan hidup secara global, yang kemudian dikaitkan dengan ketidak-adilan praktik hukum negara secara makro, sejatinya menunjukkan gejala serupa.
Mungkin ilustrasi kisah berikut, dapat cukup menginspirasi. Kisah pertama penulis kutipkan analogi dari seorang Bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya Opening the Door of Your Heart (Judul versi Bahasa Indonesia: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya), Penerjemah : Chuang, Awareness Publication, 2009, Jakarta, sebagai berikut:
APA SAKIT ITU SALAH?
“Dalam beberapa ceramah, saya sering meminta hadirin mengangkat tangan jika mereka pernah jatuh sakit. Hampir semua orang mengangkat tangannya (mereka yang tidak mengangkat tangan bisa jadi sedang tertidur atau sedang tersesat dalam fantasinya). Menurut saya, ini membuktikan bahwa fatuh sakit itu adalah lumrah.
Pada kenyataannya, adalah aneh jika Anda tidak pernah jatuh sakit dalam hidup Anda. Jadi mengapa, tanya saya, saat ke dokter, Anda bilang, ‘Ada sesuatu yang tidak beres dengan saya, Dok?’? Padahal, akan ada yang tidak beres jika Anda tidak pernah sakit sama sekali. Jadi, orang yang waras seharusnya bilang, ‘Saya beres-beres saja, Dok, saya sakit lagi, nih!’
Kapan pun Anda menganggap penyakit sebagai sesuatu yang salah, Anda menambahkan ketegangan yang tak perlu, bahkan juga rasa bersalah, ke puncak kesengsaraan. Dalam novel abad ke-19 yang berjudul Erehwon, Samuel Butler membayangkan suatu masyarakat dimana penyakit dianggap sebagai suatu kejahatan dan orang yang sakit akan dipenjarakan.
“Pada sebuah bagian yang tak terlupakan dari buku tersebut, si terdakwa, yang tengah tersedu-sedu dan bersin-bersin di atas mimbar, dicaci-maki sebagai pembunuh berantai oleh sang hakim, ini bukan kali pertama dia terpergok menderita flu oleh sang hakim. Lebih lanjut, itu semua adalah salahnya sendiri karena memakan makanan yang tidak sehat, kurang berolahraga, dan mengikuti gaya hidup yang tidak sehat. Dia dihukum penjara selama beberapa tahun.
“Berapa banyak dari kita yang menjadi merasa bersalah manakala kita sakit?
“Seorang rekan biksu telah menderita suatu penyakit tak dikenal selama beberapa tahun. Dia menghabiskan hari demi hari, minggu demi minggu, berbaring di ranjang sepanjang hari, terlalu lemah bahkan hanya untuk berjalan keluar kamar.
“Pihak wihara itu telah membiayai berbagai jenis pengobatan, baik medis maupun alternatif, dalam upaya menyembuhkannya, tetapi tampaknya tak ada yang berhasil. Ketika dia merasa sedikit baikan, dia berjalan terhuyung-huyung beberapa langkah, lalu tumbang lagi berminggu-minggu. Para anggota wihara sering berpikir bahwa dia akan segera meninggal.
“Suatu hari, kepala wihara yang bijaksana mendapatkan ilham mengenai masalah ini. Jadi, dia pergi ke kamar biksu yang sakit itu. Biksu yang terbaring itu menatap kepala wihara dengan tatapan nanar pasrah.
“’Saya datang ke sini,’ kata kepala wihara, ‘atas nama seluruh biarawan dan biarawati di wihara ini, juga seluruh umat penyantun kita. atas nama seluruh orang yang peduli dan mengasihimu, saya datang untuk memberimu izin untuk mati. Kamu tidak harus sembuh.’
“Mendengar kata-kata itu, si biksu sakit terisak. Dia telah berupaya keras untuk sembuh. Teman-temannya telah banyak membantu demi kesembuhannya, sehingga dia tidak mau mengecewakan mereka. Dia merasa begitu gagal, begitu bersalah, karena tak kunjung sembuh. Saat mendengar kata-kata sang kepala wihara, seketika dia merasa bebas untuk menjadi orang sakit, bahkan bebas untuk mati. Dia tak perlu lagi berjuang demikian keras untuk menyenangkan teman-temannya. Kelegaan itu membuatnya menangis.
“Menurut Anda, apa yang terjadi kemudian? Semenjak hari itu, kesehatannya mulai membaik.”
Untuk melengkapi, penulis akan mengutip pembabaran Dhamma oleh Ajahn Chah, guru dari Ajahn Brahm, yang penulis kutip dari buku berjudul Ini Pun Akan Berlalu (Judul asal: Everything Arises, Everything Falls Away), Penghimpun dan Penerjemah Thai—Inggris oleh Paul Breiter, Penerjemah Inggris—Indonesia oleh Nafta S. Meika, Penerbit Ehipassiko Foundation, Cetakan 3, Januari 2011, Jakarta, secara senada membabarkan sebagai berikut:
YA BEGINILAH...
“Di mana Dhamma? Segenap Dhamma sedang duduk di sini bersama kita. Apa pun yang Anda alami adalah benar, seperti apa adanya. Ketika Anda menjadi tua, jangan pikir bahwa itu adalah sesuatu yang salah. ketika punggung Anda sakit, jangan pikir itu semacam kekeliruan. Jika Anda menderita, jangan pikir itu salah. jika Anda bahagia, jangan pikir itu salah.
“Semuanya ini adalah Dhamma. Penderitaan hanyalah penderitaan. Kebahagiaan hanyalah kebahagiaan. Panas hanyalah panas. Dingin hanyalah dingin. Dhamma bukanlah ‘Aku bahagia, aku menderita, aku baik, aku buruk, aku mendapat sesuatu, aku kehilangan sesuatu.’
“Apakah ada yang bisa dihilangkan seseorang? Tidak ada sama sekali. Mendapatkan sesuatu adalah Dhamma. Kehilangan sesuatu adalah Dhamma. Bahagia dan nyaman adalah Dhamma. Sakit adalah Dhamma. Dhamma berarti tidak melekat pada kondisi-kondisi ini, namun mengenali mereka apa adanya.
“Jika Anda memiliki kebahagiaan, Anda sadari, ‘Oh? Kebahagiaan tidaklah tetap,’ Jika Anda menderita, Anda sadari, ‘Oh? Derita tidaklah tetap.’ ‘Oh, ini benar-benar baik!’—tidak tetap. ‘Ini benar-benar buruk!’—tidak tetap. Mereka punya keterbatasan, jadi jangan berpegang begitu erat pada mereka.
Buddha mengajarkan mengenai ketidaktetapan. Beginilah segala sesuatu sebagaimana adanya—mereka tidak mengikuti kehendak siapa pun. Itulah kebenaran mulia. Ketidaktetapan menguasai dunia, dan itu adalah sesuatu yang tetap. Inilah titik tempat kita terkelabui, jadi inilah tempat di mana seharusnya Anda lihat.
“Apa pun yang terjadi, kenalilah itu sebagai benar. Segala sesuatu benar dalam sifat alaminya sendiri, yaitu pergerakan tiada henti dan perubahan. Tubuh kita demikian. Semua fenomena badan dan batin pun demikian. Kita tidak bisa menghentikan mereka; mereka tidak bisa dibuat diam. Tidak diam berarti sifat mereka adalah tidak tetap.
“Jika kita tidak bergulat dengan kenyataan ini, maka di mana pun kita berada, kita akan bahagia. Di mana pun kita duduk, kita bahagia. Di mana pun kita tidur, kita bahagia. Bahkan ketika kita menjadi tua, kita tak akan terlalu menggubrisnya. Anda berdiri dan punggung Anda sakit, lalu Anda pikir, ‘Ya, ini kira-kira benar seperti ini.’ Itu benar, jadi jangan melawannya. Ketika rasa sakit berhenti, Anda mungkin berpikir, ‘Ah! Lebih baik!’ Tapi itu bukannya lebih baik. Anda masih hidup, jadi punggung Anda akan sakit lagi. Inilah jalan sebagaimana adanya, sehingga Anda harus mengarahkan batin pada perenungan ini, dan jangan membiarkan batin berpaling dari praktik.
“Tetaplah gigih di dalamnya, dan jangan memercayai segala sesuatu terlalu banyak; alih-alih, percayailah Dhamma, bahwa kehidupan itu ya seperti ini: jangan memercayai kebahagiaan. Jangan memercayai duka. Jangan terpaku mengejar apa pun.
Dengan landasan seperti ini, maka apa pun yang terjadi, janganlah dipikirkan—itu bukanlah sesuatu yang tetap, itu bukanlah sesuatu yang pasti. Dunia adalah seperti ini. Maka di sana ada jalan bagi kita, jalan untuk menata hidup kita dan melindungi kita. Dengan penyadaran murni dan pemahaman jernih terhadap kita sendiri, dengan kebijaksanaan yang melingkupi-segalanya, itulah jalan dalam keselarasan. Tak ada yang bisa mengelabui kita, karena kita telah memasuki jalan. Tetaplah melihat ke sini, kita bertemu dengan Dhamma sepanjang masa.”
Buddhisme tidak memungkiri adanya dukkha, dan menjadikan dukkha sebagai sesuatu hal yang wajar dalam kehidupan—bahkan mulai berdamai dengan keadaan itu demi ketenangan hidup. Bhikkhu Ajahn Brahm juga menyebutkan, sesuatu disebut sebagai masalah, bila hal tersebut terdapat solusi pemecahannya. Namun, ketika suatu hal tidak terdapat solusi untuk dipilih sebagai penyelesaiannya, maka itu bukanlah masalah—maka, kita tidak perlu lagi memikirkannya, dan teruslah untuk berjalan dan melanjutkan hidup. Bila sesuatu “itu” tidak patut disebut sebagai “masalah”, maka untuk apa lagi dipikirkan? Hanya “masalah” yang patut mendapat perhatian kita.
Ketika kita terobsesi untuk menunggu “waktu yang betul-betul tepat”, maka kita tidak akan pernah berjalan maju, dan akan terus berputar-putar di tempat, karena tidak akan pernah ada “waktu yang betul-betul tepat”. Ketika kita terobsesi untuk memiliki kehidupan dan dunia (realita) yang sempurna dan ideal, maka kita sejatinya tengah menyia-nyiakan kebahagiaan hidup kita sendiri. ketika kita terobsesi untuk “yang benar harus selalu menang”, maka Anda hidup di alam dunia yang keliru.
Tidaklah, menukar kesempatan hidup bahagia kita dengan sebuah obsesi yang tidak akan mampu digenggam erat—tiada yang pasti selain perubahan itu sendiri. Keadilan, adalah fatamorgana. Impian yang tidak mungkin terwujud, itulah utopia. Terobsesi pada utopia, hanya membuang energi dan waktu.
Memperjuangkan hidup dan kehidupan yang lebih humanis dan lebih ideal, patut diperjuangkan. Namun yang dapat diperjuangkan, ialah hanya sebatas proses menuju idealisme itu, bukan pada hasil dari sebuah perjuangan. Semoga tulisan singkat ini tidak justru menambah ambigu persepsi yang ada di benak para pembaca. Sesuatu yang tidak layak disebut sebagai “masalah”, tidak patut untuk diperjuangkan—lebih baik kita gunakan waktu yang ada untuk tidur siang.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.