LEGAL OPINION
Question: Bukannya jika antara keluarga korban dan pelaku (pidana), sudah ada bikin damai atau sudah dimaafkan, maka masalah sudah selesai dan tidak ada lagi yang saling tuntut atau merasa dirugikan? Kenapa ini perkara pidananya, masih juga dilanjutkan oleh jaksa dan hakim masih juga menyidangkan?
Brief Answer: Dalam ranah hukum publik (sebagai lawan dari hukum privat), yang menjadi pihak penuntut ialah Jaksa / Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri, sementara korban hanya didudukkan sebagai “saksi korban” atau “pelapor”. Berbeda dengan ranah konteks gugatan perdata (hukum privat), dimana bila gugatan dicabut oleh pihak Penggugat karena adanya perdamaian maka register perkara perdata dicabut oleh pengadilan.
Dalam konteks “delik aduan”, semisal tindak pidana penipuan, bila korban telah memaafkan pelaku / terdakwa / tersangka karena kerugian korban telah dipulihkan pelaku, maka laporan bahkan dakwaan dapat dicabut sewaktu-waktu, sekalipun itu di tengah-tengah proses pemeriksaan oleh Majelis Hakim Pidana.
Namun khusus untuk “delik umum”, kepentingan publik-lah yang menjadi causa prima terus dilangsungkannya proses penyidikan, penuntutan, hingga putusan pidana—dimana fakta empirik telah dimaafkannya pihak pelaku oleh korban, sebagai contoh, hanya sekadar menjadi alasan peringan vonis hukuman, bukan sebagai alasan pemaaf selayaknya “delik aduan”.
Namun juga, bukan berarti perdamaian antara pelaku dan pihak korban dalam konteks “delik umum” sama sekali tidak membawa dampak signifikan, oleh sebab bagaimana pun bobot bukti adanya perdamaian demikian menjadi cukup relevan untuk meringankan beban kesalahan pihak Terdakwa di persidangan pidana.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Pengadilan Negeri Klas IA Padang perkara pidana anak, register Nomor 208/Pid.B/2011/PN.PDG. tanggal 08 Jun i 2011, dimana baik pihak Terdakwa maupun korbannya, merupakan sama-sama seorang remaja, dengan delik dakwaan “delik umum” pidana asusila “persetubuhan”.
Adapun fakta yuridis yang mengemuka di persidangan dan menjadi salah satu perhatian sentral saat proses pembuktian, ialah Korban saat ini telah memaafkan dan telah sepakat berdamai dengan cara menyelesaikan secara kekeluargaan dan juga korban telah mencabut laporan polisi.
Dimana terhadap tuntutan pihak Jaksa, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang , bahwa selanjutnya akan dibuktikan unsur-unsur dari Dakwaan Kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja;
3. Melakukan kekerasan atau ancaamn kekerasan, memaksa, melakukan tipu-muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dialkukan perbuatan cabul.
“Menimbang, bahwa perbuatan cabul menurut R. Soesilo adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misal” cium-ciuman, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. ‘Persetubuhan’ termasuk juga dalam pengertian perbuatan cabul;
“Menimbang, bahwa selama persidangan perkara ini, Hakim Tunggal yang menyidangkan perkara ini tidak ada menemukan alasan-alasan yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Hakim Tunggal yang ditunjuk menyidangkan perkara ini akan mempertimbangkan sanksi yang tepat yang akan diberikan kepada terdakwa dengan tetap memperhatikan kepentingan si anak selaku terdakwa dan kepentingan keluarga korban;
“Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 59 UU Pengadilan Anak yang menyatakan agar sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak, serta putusan tersebut wajib mempertimbangkan laporan Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan;
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan ketentuan normatif diatas, jelas-jelas dalam menjatuhkan tindakan terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana harus dengan memperhatikan berbagai aspek dan tidak mengganggu masa depan anak dan pidana yang akan diterapkan adalah sebagai upaya terakhir (ultimum remedium);
“Menimbang, bahwa selanjutnya Balai Pemasyarakatan Klas I Padang juga menyarankan agar perkara ini diselesaikan diluar Pengadilan Negeri (Diversi) dan kalau tetap melalui proses peradilan maka diharapkan agar dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya dengan memperhatikan pendidikan anak;
“Menimbang, bahwa dari fakta di persidangan bahwa benar terdakwa telah berpacaran dengan AF dan telah melakukan hubungan layaknya suami-istri sebanyak dua kali, namun atas kejadian tersebut antara pihak korban dengan pihak terdakwa, telah ada perdamaian secara kekeluargaaan dengan menganggap peristiwa terjadi adalah semata-mata akibat pergaulan remaja serta masing-masing pihak menyadari keteledoran dalam pengawasan anak masing-masing dan juga berpedoman kepada ketentuan adat setempat, dimana disepakati antara terdakwa dengan korban akan dipertunangkan dan setelah cukup umur akan dinikahkan menurut hukum yang berlaku;
“Menimbang, bahwa selanjutnya dengan memperhatikan Pasal 29 UU No. 3 Tahun 1997, maka menurut Hakim yang mengadili perkara ini adalah tepat dan dimungkinkan untuk dijatuhkan pidana bersyarat yang besarnya akan ditentukan dalam amar putusan ini;
“Menimbang, bahwa pada pokoknya pidana yang dijatuhkan bukanlah semata pembalasan terhadap kesalahan terdakwa akan tetapi lebih kepada maksud menginsyafkan / menyadarkan terdakwa agar tidak lagi berbuat dimasa yang akan datang dan menyesali perbuatannya oleh karenanya Hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan, sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;
- Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya;
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Sudah ada perdamaian antara keluarga terdakwa dan keluarga saksi korban;
- Terdakwa masih muda dan mempunyai kesempatan untuk memperbaiki diri, serta terdakwa bermaksud akan melanjutkan pendidikan;
“M E N G A D I L I :
1. Menyatakan terdakwa bersalah melakukan ‘Tindak Pidana Dengan Sengaja Membujuk Anak Untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukan Perbuatan Cabul’;
2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dan denda sebanyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
3. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali dikemudian hari terdakwa dengan suatu putusan Hakim melakukan suatu perbuatan pidana selama dalam masa waktu percobaan selama 3 (tiga) tahun habis;
4. Menetapkan pula agar terdakwa mengikuti kegiatan yang diprogramkan oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Padang selama 3 (tiga) bulan;
5. Menetapkan lamanya terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.