PHK Karyawan yang Melanggar Prosedur SOP yang Membuat Rugi Perusahaan

LEGAL OPINION
TRIK / STRATEGI HUKUM AGAR UPAH PROSES TIDAK MEMBENGKAK MENCAPAI 6 BULAN: SEGERA AJUKAN GUGATAN PHK SERTA BAYARKAN UPAH SKORSING, DALAM 2 BULAN TERBIT PUTUSAN TANPA RESIKO DIBEBANI PEMBAYARAN UPAH PROSES
Question: Bagi seorang pegawai yang terang-terangan melanggar atau lalai menjalankan prosedur yang telah ditetapkan manajemen, sehingga perusahaan menderita kerugian besar, apa dapat dibenarkan si pegawai menuntut pesangon saat kami pecat?  Apa tidak salah, dirinya bukan takut kami tuntut ganti-rugi, justru berani menggugat perusahan meminta pesangon?

Brief Answer: Perihal sengketa ganti-kerugian, merupakan ranah / domain yurisdiksi Pengadilan Negeri. Sementara perihal hak-hak normatif seorang Pekerja / Buruh, merupakan kompetensi absolut Peradilan Hubungan Industrial (PHI), dimana Majelis Hakim PHI akan tetap memeriksa dan memutus perkara berdasarkan norma hukum ketenagakerjaan, tanpa dapat dicampur-aduk perihal tuntutan ganti-rugi keperdataan pada umumnya.
Meski demikian, tidak dimaknai perusahaan tertutup haknya untuk menggugat sang mantan karyawan ke Pengadilan Negeri untuk meminta ganti-rugi, sekalipun sang karyawan berhak atas pesangon berdasarkan putusan PHI. Solusi terbaiknya bukanlah dengan mengajukan gugatan balik (gugatan rekonpensi) dalam perkara gugatan sang Pekerja di PHI, namun mengajukan gugatan secara terpisah di Pengadilan Negeri.
Sebaliknya, bila lebih taat hukum (prosedural), pihak Pemberi Kerja tidak memutus hubungan kerja (PHK) secara politis (secara sepihak), namun tetap harus menggugat sang Pekerja yang telah melakukan pelanggaran, ke PHI untuk dinyatakan resmi di-PHK. Di mata kalangan pengusaha, lebih baik “menyingkirkan” karyawan “benalu duri dalam daging” sekalipun harus mengeluarkan lebih banyak anggaran untuk membayar pesangon, untuk menghindari kerugian yang lebih besar dikemudian hari.
Tujuannya mengikuti prosedur hukum ketenagakerjaan yang mewajibkan PHK harus disertai penetapan / putusan PHI, ialah semata untuk menunjukkan itikad baik pihak Pengusaha selaku Pemberi Kerja untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh hukum. Sepanjang dapat dibuktikan adanya unsur kesengajaan / kelalaian oleh pihak Pekerja / Buruh yang mengakibatkan kerugian bagi pihak Pengusaha, maka dapat dipastikan bahwa PHK dapat direstui oleh Majelis Hakim di pengadilan—sehingga meminimalisir tuntutan sang karyawan yang hendak meminta tetap / dipekerjakan kembali.
Hal kedua yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan, bayarkan Upah Skoorsing selama masa skoorsing, dan disaat bersamaan segera ajukan permohonan / gugatan PHK ke PHI, dimana dalam tempo paling lambat 2 bulan setelahnya maka putusan PHI akan terbit, sehingga Upah Proses tidak sampai harus beresiko sebesar 6 bulan Upah diberikan, namun cukup selama bulan berjalan hingga terbit putusan PHI yang mengabulkan permohonan PHK terhadap sang Pekerja.
PEMBAHASAN:
Absurbditas sengketa hubungan industrial memang diakui SHIETRA & PARTNERS cukup tidak lazim, dimana perusahaan yang merugi akibat kelalaian / kesengajaan seorang karyawan, tetap dapat dituntut pembayaran sejumlah pesangon di hadapan PHI.
Salah satu ilustrasi konkret berikut cukup unik, oleh sebab justru pihak perusahaan yang tetap menggugat PHK sang Pekerja dengan resiko harus tetap membayar pesangon, alih-alih melakukan pemecatan secara sepihak, sebagaimana putusan Mahkamah Agung sengketa hubungan industrial register Nomor 174 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 7 Maret 2017, perkara antara:
- PT. FOSROC INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- NAMU SAMIR (NAMU), selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Yang menjadikan erkara ini memiliki rona keunikan tersendiri, yakni karena pihak Pemberi Kerja yang sebetulnya mengalami kerugian akibat ulah sang pekerja, namun tetap berinisiatif mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) ke hadapan PHI untuk memutus hubungan kerja dengan seorang Pekerjanya.
Tergugat bekerja pada Penggugat sejak tanggal 1 November 1994, dengan tanggung-jawab kerja terakhir sebagai Maintenance Leader. Untuk menjamin adanya kepastian tentang hak dan kewajiban yang wajib dipatuhi oleh Penggugat dan Tergugat dalam pelaksanaan hubungan kerja, telah diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama yang ditandatangani antara perusahaan dan wakil dari pihak Serikat Pekerja.
Perjanjian Kerja Bersama PT Fosroc Indonesia periode 2015-2017 telah didaftarkan pada Kementrian Ketenagakerjaan R.I. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Adapun pihak Tergugat mempunyai tugas dan tanggung jawab, antara lain:
- Menerapkan preventif maintenance untuk menghindari kerusakan peralatan yang fatal;
- Melakukan inspeksi rutin harian dan memantau kondisi peralatan untuk menjaga kelancaran kegiatan produksi dan pelayanan kepada pelanggan;
- Memonitor dan mengatur persediaan (stock) spare parts secara memadai sehingga program maintenance dapat terlaksana secara optimal;
- Memperbaiki peralatan yang rusak dengan cepat dan efisien.
Selain sebagai maintenance leader, Tergugat mempunyai tugas pokok yaitu melaksanakan pemeliharaan peralatan baik untuk produksi atau lainnya dan menetapkan prosedur yang diperlukan untuk menghindari segala gangguan yang dapat menghambat aktivitas bisnis.
Bermula pada bulan Oktober 2014, Penggugat mempunyai proyek yang disebut sebagai project java (powder plant uprade) yaitu proyek yang merubah packaging (pengemasan) produk Fosroc yang awalnya memakai sistem manual menjadi packaging sistem automatic dengan menginstall mesin baru, proses mixer, transfer conveyor, selanjutnya tahap akhir packaging. Dengan adanya project ini maka pengemasan produk yang dihasilkan oleh Penggugat tidak lagi menggunakan sistem manual, pengemasan sudah menggunakan sistem automatic.
Tergugat ditunjuk oleh Penggugat sebagai maintenance supervisor dalam Project Java. Selanjutnya Penggugat mengirim Tergugat beserta rekan kerjanya ke Dubai untuk mengikuti pelatihan untuk project java mulai tanggal 10 - 14 Oktober 2014.
Selama berlangsungnya Project Java, dan sebagai anggota tim Project Java, Tergugat mempunyai tugas yaitu meng-handle masalah beroperasinya mesin-mesin, pemeriksaan barang-barang dan pemasangan mesin-mesin milik perusahaan.
Disamping itu, sebagai salah satu tim dalam project java, Tergugat mempunyai tugas khusus yaitu menghubungi vendor, supplier dan kontraktor. Kecuali dalam hal pembelian mesin-mesin yang besar maupun seleksi kontraktor terkait pekerjaan tersebut, Penggugat tidak melibatkan Tergugat dalam tim ini.
Project java telah dinyatakan berakhir dan selesai terhitung sejak tanggal 9 Juli 2015 tetapi belum dilakukan hand-over karena masih ada pekerjaan yang kurang sempurna. Terhadap berakhirnya project java ini secara jelas telah diketahui oleh Tergugat.
Dengan telah ditutup dan berakhirnya project java, ternyata masih ada barang-barang project yang masih belum dimanfaatkan yaitu berupa satu rangkaian mesin screw conveyor dimana mesin-mesin ex project java tersebut sebelumnya masih terletak berantakan, dan Penggugat berniat untuk menjualnya ke pihak ketiga.
Tetapi sesuai prosedur yang berlaku di lingkungan kerja Penggugat, apabila ada barang-barang milik Penggugat yang akan dijual ke pihak ketiga, harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari bagian finance dan management, tidak terkecuali bagi mesin-mesin ex project java yang akan dijual ke pihak ketiga. Akan tetapi Tergugat berinisiatif dan mengatakan kepada Penggugat bahwa mesin-mesin tersebut akan dikembalikan ke PT SBC untuk diperbaiki karena mesin-mesin tersebut masih dalam masa garansi.
PT. SBC (PT. Sentra Buana Cipta) semula merupakan perusahaan yang ditunjuk oleh Penggugat sebagai perusahaan dimana Penggugat membeli mesin-mesin untuk pelaksanaan project java. Namun mengingat project java telah tutup dan berakhir efektif terhitung sejak tanggal 9 Juli 2015, sehingga secara otomatis Penggugat menghentikan pembelian mesin-mesin untuk pelaksanaan project java. Dengan demikian Penggugat sudah tidak mempunyai kepentingan lagi dengan PT. SBC lagi.
Tanggal 12 Januari 2016, Penggugat mengadakan rapat yang diikuti oleh Direktur dan Manager PT Fosroc Indonesia. Hasil dari rapat tersebut antara lain membahas telah ditemukannya pengeluaran barang berupa satu rangkaian mesin screw conveyor yang dibeli dari PT. SBC dengan harga ± Rp700.000.000,00. Mesin-mesin tersebut telah dikeluarkan oleh Tergugat pada tanggal 1 September 2015 dengan alasan mesin-mesin akan diperbaiki oleh PT. SBC karena masih garansi.
Barang-barang yang dikeluarkan oleh Tergugat pada tanggal 1 September 2015 tersebut adalah barang-barang milik Penggugat yaitu berupa satu rangkaian mesin screw conveyor. Setelah mesin-mesin tersebut keluar dari pabrik untuk diperbaiki seperti yang pernah disampaikan oleh Tergugat, akan tetapi Tergugat tidak pernah memberitahu kapan mesin-mesin tersebut selesai diperbaiki dan akan dikirim kembali ke Penggugat, sehingga melalui memo internal tertanggal 5 Januari 2016 Penggugat menanyakan keberadaan mesinmesin tersebut kepada Tergugat.
Kemudian, pada tanggal 12 Januari  2016, Penggugat mengadakan rapat yang dihadiri oleh Direktur dan Manager PT. Fosroc Indonesia yang membahas permasalahan mengenai satu rangkaian mesin screw conveyor seharga Rp700.000.000,00. Tetapi sampai saat ini tidak ada laporan dari Tergugat maupun pihak lain tentang keberadaan mesin-mesin tersebut.
Bentuk pengeluaran barang dari perusahaan, harus melalui prosedur sebagai berikut:
- Mengisi Surat Pengeluaran Barang (SPB) yang harus diisi lengkap, dan disetujui oleh departemen head yang bertanggungjawab atas barang tersebut, tergantung pada tujuan untuk apa barang tersebut dikeluarkan dari perusahaan;
- Form pengeluaran barang ditanda-tangani oleh inisiator / pembuat surat jalan, bagian warehouse officer / supervisor security dan penerima barang;
- Khusus untuk barang-barang aset, Surat Pengeluaran Barang (SPB) wajib dilampiri foto, FM/proposal pengajuan write off dan berita acara;
- Fotocopy SPB harus diserahkan kepada warehouse officer / supervisor untuk di file.
Ternyata pengeluaran mesin-mesin ex project java tersebut tidak melalui prosedur yang wajar yang biasa diberlakukan di lingkungan kerja Penggugat. Dalam form SPB yang dibuat oleh Tergugat, hanya ditandatangani oleh Tergugat selaku maintenance lead, tetapi SPB tidak ada tanda tangan Sdr. Wahyu selaku warehouse supervisor yang memeriksa ulang barang-barang yang akan keluar sebelum diserahkan ke bagian security. Artinya pihak Tergugat tidak pernah menyerahkan form SPB tersebut ke Sdr. Wahyu. Padahal seharusnya form SPB tersebut diserahkan ke Sdr. Wahyu untuk dicek ulang jenis barang yang keluar dari perusahaan, kemudian setelah barang keluar, SPB disimpan oleh Sdr. Wahyu untuk file.
Hingga gugatan ini didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial, Tergugat sama sekali tidak pernah memberi informasi kepada Penggugat kapan mesin-mesin sebagaimana tersebut dikirim kembali ke Penggugat. Bahkan barang-barang berupa mesin-mesin ex project java tersebut tidak diketahui keberadaannya, karena tidak pernah kembali ke Penggugat.
Inisiatif perbaikan satu rangkaian mesin screw conveyor tersebut berasal dari Tergugat, akan tetapi sampai sekarang barang tersebut belum pernah dikembalikan ke perusahaan, bahkan surat pengeluaran barang tersebut disimpan oleh Tergugat yang seharusnya di serahkan kepada Sdr. Wahyu sebagai supervisor warehouse. SPB baru diserahkan ke Penggugat pada tanggal 7 Januari 2016.
Apa yang dilakukan oleh Tergugat dalam pengeluaran barang milik Penggugat tidak sesuai dengan ketentuan yang selama ini berlaku di lingkungan kerja Penggugat, khususnya dalam prosedur pengeluaran barang, padahal Tergugat termasuk pekerja yang sudah lama bekerja pada Penggugat, sehingga yang bersangkutan pastinya dan seharusnya mengetahui prosedur pengeluaran barang.
Tindakan Tergugat tersebut termasuk pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) terutama Pasal 34 tentang Jenis Larangan: “Berikut ini adalah contoh larangan bagi pekerja, namun tidak terbatas pada hal-hal berikut ini, yang apabila dilanggar, maka pekerja yang bersangkutan dapat dikenai sanksi PHK karena alasan mendesak yaitu:
8) Dengan sengaja atau tidak sengaja (ceroboh) merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya, atau menghilangkan barang, dokumen serta fasilitas milik Perusahaan yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
10) Menyalah-gunakan tanggung-jawab / pekerjaan / jabatannya yang langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perusahaan.”
Telah pula ternyata, pelanggaran tersebut dilakukan oleh Tergugat dalam tenggang waktu masa berlakunya Surat Peringatan Kedua (SP-2) yang berlaku enam bulan terhitung sejak tanggal 12 Oktober 2015, karena Tergugat terbukti telah melakukan validasi purchase / expendure aplication tertanggal 4 Agustus 2015 atas purchase order (PO), yang diproses oleh Tergugat tanpa sepengetahuan Penggugat adalah PO untuk pemesanan kepada PT. SBC, sekaligus Tergugat juga yang mengajukan jumlah pembayaran kepada PT. SBC atas PO tersebut. Padahal faktanya project java tersebut sudah ditutup dan sudah berakhir efektif sejak tanggal 9 Juli 2015.
Tindakan Tergugat yang melakukan validasi purchase tertanggal 4 Agustus 2015 demikian, merupakan bentuk indisipliner dan pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja Bersama,yakni ”melalaikan kewajiban atau prosedur kerja”, sehingga Tergugat dikenai Surat Peringatan Kedua (SP-2)—yang berlaku untuk masa enam bulan sejak tanggal diterbitkan. Tetapi, Tergugat kembali melakukan pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat dalam tenggang waktu berlakunya Surat Peringatan Kedua (SP-2), maka cukup beralasan secara hukum apabila Tergugat diputus hubungan kerjanya.
Untuk itu Penggugat mendasarkan gugatannya pada kaedah Pasal 161 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur:
”Dalam hal pekerja / buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja /  buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut.”
Penggugat telah berupaya melakukan perundingan bipartit dengan mengundang Tergugat untuk hadir, mulanya Tergugat tidak hadir namun kemudian tidak tercapai kesepakatan. Sebagai bagian dari proses pemutusan hubungan kerja, Tergugat dikenai skorsing, dimana selama menjalani masa skorsing Penggugat tetap membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima Tergugat setiap bulannya.
Mengingat perundingan bipartit tidak tercapai kesepakatan, maka ditempuh upaya mediasi melalui Mediator Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi dan telah terbit Anjuran tertanggal 31 Mei 2016. Atas Anjuran tersebut, Penggugat menyatakan menolak seluruh isi Anjuran.
Pihak perusahaan pada akhirnya mengajukan gugatan PHK ini, dengan berani memberikan kompensasi berupa uang pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Mengingat hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat telah putus, sehingga tidak ada kewajiban bagi Penggugat untuk membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima Tergugat setiap bulannya. Sehingga cukup alasan secara hukum apabila upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima Tergugat untuk dihentikan terhitung sejak pemutusan hubungan kerja ditetapkan, sesuai ketentuan Pasal 93 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003: “Upah tidak dibayar apabila pekerja / buruh tidak melakukan pekerjaan.”
Pihak perusahaan menambahkan, apabila hubungan kerja tetap dilanjutkan akan menimbulkan ketidakharmonisan kerja serta menimbulkan preseden yang buruk bagi Penggugat maupun pekerja lainnya, serta mengganggu ketenangan bekerja dan ketenangan berusaha (industrial peace) di lingkungan kerja Penggugat.
Terhadap gugatan tersebut, pihak Pekerja mengajukan gugatan-balik (rekonpensi), dimana selanjutnya Pengadilan Hubungan Industrial Bandung Kelas IA Khusus kemudian menjatuhkan putusan Nomor 117/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Bdg., tanggal 30 November 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat Tergugat telah lalai dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya sebagai PIC dalam perbaikan mesin screw tersebut;
MENGADILI :
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melanggar Pasal 34 romawi II angka 9 PKB PT. Fosroc Indonesia dan dikenakan sanksi surat peringatan ke 3 (tiga);
3. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Dalam Rekonvesi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi belum terputus;
3. Menghukum Tergugat Rekonvensi memanggil Penggugat Rekonvensi untuk bekerja kembali di PT. Fosroc Indonesia dengan mendapatkan upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh Penggugat Rekonvensi paling lambat 14 hari sejak putusan ini dibacakan;
4. Menolak gugatan Penggugat Rekonvpensi untuk selain dan selebihnya.”
Pihak pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa sampai saat ini telah lebih dari satu tahun, namun keberadaan mesin-mesin tersebut belum diketahui. Begitupula antara amar putusan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim PHI, dinilai tidak sinkron.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 23 Desember 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 10 Januari 2017 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Judex Facti tidak memberikan pertimbangan yang cukup terhadap fakta barang-barang berupa mesin-mesin untuk keperluan pabrikasi dan repair (al. screw conveyor) yang dikeluarkan Termohon Kasasi (vide bukti P.21.A) ke PT SBC yang tidak sesuai dengan prosedur, yaitu tidak ditandatangani bagian warehouse officer;
- Bahwa ternyata barang / mesin yang dikeluarkan Termohon Kasasi sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya (P-13A, P-14.B);
- Bahwa dengan demikian Judex Facti yang hanya mempertimbangkan minutes of meeting (bukti T.10, T.-13) telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian sehingga Termohon Kasasi tepat dan beralasan hukum telah melanggar prosedur pengeluaran barang, yang nilai kerugiannya mencapai Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah);
- Bahwa beralasan hukum Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat karena telah melakukan pelanggaran berdasarkan ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan telah dikenai SP II, dengan hak kompensasi:
- UP = 1 x 9 x Rp3.704.000,00 = Rp33.336.000,00;
- UPMK = 8 x Rp3.704.000,00 = Rp29.632.000,00;
- UPH = 15% x Rp62.968.000,00 = Rp 9.445.200,00;
= Rp72.413.200,00;
- Bahwa Tergugat tidak berhak atas upah skorsing sesuai surat skorsing tanggal 18 Januari 2016, karena upah skorsing sudah dibayar oleh Penggugat kepada Tergugat sampai dengan putusan Judex Facti diucapkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. FOSROC INDONESIA, tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus Nomor 117/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Bdg., tanggal 30 November 2016 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. FOSROC INDONESIA tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus Nomor 117/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Bdg.,tanggal 30 November 2016;
“MENGADILI SENDIRI:
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud Pasal 161 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja sejak putusan Judex Facti diucapkan;
4. Menghukum Penggugat membayar uang kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja kepada Tergugat sebesar Rp72.413.200,00 (tujuh puluh dua juta empat ratus tiga belas ribu dua ratus rupiah);
5. Menyatakan Tergugat tidak berhak lagi atas pembayaran upah skorsing berupa upah dan hak lainnya yang biasa diterima Tergugat setiap bulannya sejak putusan Judex Facti diucapkan;
Dalam Rekonvensi:
- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.