LEGAL OPINION
TRIK
/ STRATEGI HUKUM AGAR UPAH PROSES TIDAK MEMBENGKAK MENCAPAI 6 BULAN: SEGERA AJUKAN
GUGATAN PHK SERTA BAYARKAN UPAH SKORSING, DALAM 2 BULAN TERBIT PUTUSAN TANPA
RESIKO DIBEBANI PEMBAYARAN UPAH PROSES
Question: Bagi seorang pegawai yang terang-terangan
melanggar atau lalai menjalankan prosedur yang telah ditetapkan manajemen,
sehingga perusahaan menderita kerugian besar, apa dapat dibenarkan si pegawai
menuntut pesangon saat kami pecat? Apa
tidak salah, dirinya bukan takut kami tuntut ganti-rugi, justru berani
menggugat perusahan meminta pesangon?
Brief Answer: Perihal sengketa ganti-kerugian, merupakan ranah
/ domain yurisdiksi Pengadilan Negeri. Sementara perihal hak-hak normatif
seorang Pekerja / Buruh, merupakan kompetensi absolut Peradilan Hubungan
Industrial (PHI), dimana Majelis Hakim PHI akan tetap memeriksa dan memutus
perkara berdasarkan norma hukum ketenagakerjaan, tanpa dapat dicampur-aduk
perihal tuntutan ganti-rugi keperdataan pada umumnya.
Meski demikian, tidak dimaknai perusahaan
tertutup haknya untuk menggugat sang mantan karyawan ke Pengadilan Negeri untuk
meminta ganti-rugi, sekalipun sang karyawan berhak atas pesangon berdasarkan
putusan PHI. Solusi terbaiknya bukanlah dengan mengajukan gugatan balik
(gugatan rekonpensi) dalam perkara gugatan sang Pekerja di PHI, namun
mengajukan gugatan secara terpisah di Pengadilan Negeri.
Sebaliknya, bila lebih taat hukum (prosedural),
pihak Pemberi Kerja tidak memutus hubungan kerja (PHK) secara politis (secara
sepihak), namun tetap harus menggugat sang Pekerja yang telah melakukan
pelanggaran, ke PHI untuk dinyatakan resmi di-PHK. Di mata kalangan pengusaha,
lebih baik “menyingkirkan” karyawan “benalu duri dalam daging” sekalipun harus
mengeluarkan lebih banyak anggaran untuk membayar pesangon, untuk menghindari
kerugian yang lebih besar dikemudian hari.
Tujuannya mengikuti prosedur hukum
ketenagakerjaan yang mewajibkan PHK harus disertai penetapan / putusan PHI,
ialah semata untuk menunjukkan itikad baik pihak Pengusaha selaku Pemberi Kerja
untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh hukum. Sepanjang dapat
dibuktikan adanya unsur kesengajaan / kelalaian oleh pihak Pekerja / Buruh yang
mengakibatkan kerugian bagi pihak Pengusaha, maka dapat dipastikan bahwa PHK
dapat direstui oleh Majelis Hakim di pengadilan—sehingga meminimalisir tuntutan
sang karyawan yang hendak meminta tetap / dipekerjakan kembali.
Hal kedua yang tidak kalah penting untuk
dipertimbangkan, bayarkan Upah Skoorsing selama masa skoorsing, dan disaat
bersamaan segera ajukan permohonan / gugatan PHK ke PHI, dimana dalam tempo
paling lambat 2 bulan setelahnya maka putusan PHI akan terbit, sehingga Upah
Proses tidak sampai harus beresiko sebesar 6 bulan Upah diberikan, namun cukup
selama bulan berjalan hingga terbit putusan PHI yang mengabulkan permohonan PHK
terhadap sang Pekerja.
PEMBAHASAN:
Absurbditas sengketa hubungan
industrial memang diakui SHIETRA & PARTNERS cukup tidak lazim, dimana
perusahaan yang merugi akibat kelalaian / kesengajaan seorang karyawan, tetap
dapat dituntut pembayaran sejumlah pesangon di hadapan PHI.
Salah satu ilustrasi konkret
berikut cukup unik, oleh sebab justru pihak perusahaan yang tetap menggugat PHK
sang Pekerja dengan resiko harus tetap membayar pesangon, alih-alih melakukan
pemecatan secara sepihak, sebagaimana putusan Mahkamah Agung sengketa hubungan
industrial register Nomor 174 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 7 Maret 2017, perkara
antara:
- PT. FOSROC INDONESIA, sebagai
Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- NAMU SAMIR (NAMU), selaku Termohon
Kasasi dahulu Tergugat.
Yang menjadikan erkara ini memiliki rona keunikan tersendiri, yakni
karena pihak Pemberi Kerja yang sebetulnya mengalami kerugian akibat ulah sang
pekerja, namun tetap berinisiatif mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja
(PHK) ke hadapan PHI untuk memutus hubungan kerja dengan seorang Pekerjanya.
Tergugat bekerja pada Penggugat sejak tanggal 1 November 1994, dengan
tanggung-jawab kerja terakhir sebagai Maintenance Leader. Untuk menjamin adanya
kepastian tentang hak dan kewajiban yang wajib dipatuhi oleh Penggugat dan
Tergugat dalam pelaksanaan hubungan kerja, telah diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama
yang ditandatangani antara perusahaan dan wakil dari pihak Serikat Pekerja.
Perjanjian Kerja Bersama PT Fosroc Indonesia periode 2015-2017 telah
didaftarkan pada Kementrian Ketenagakerjaan R.I. Direktorat Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Adapun pihak Tergugat
mempunyai tugas dan tanggung jawab, antara lain:
- Menerapkan preventif maintenance untuk menghindari kerusakan peralatan
yang fatal;
- Melakukan inspeksi rutin
harian dan memantau kondisi peralatan untuk menjaga kelancaran kegiatan
produksi dan pelayanan kepada pelanggan;
- Memonitor dan mengatur
persediaan (stock) spare parts secara memadai sehingga program maintenance dapat terlaksana secara
optimal;
- Memperbaiki peralatan yang
rusak dengan cepat dan efisien.
Selain sebagai maintenance leader, Tergugat mempunyai tugas pokok yaitu
melaksanakan pemeliharaan peralatan baik untuk produksi atau lainnya dan
menetapkan prosedur yang diperlukan untuk menghindari segala gangguan yang dapat
menghambat aktivitas bisnis.
Bermula pada bulan Oktober 2014, Penggugat mempunyai proyek yang disebut
sebagai project java (powder plant uprade)
yaitu proyek yang merubah packaging
(pengemasan) produk Fosroc yang awalnya memakai sistem manual menjadi packaging sistem automatic dengan
menginstall mesin baru, proses mixer, transfer conveyor, selanjutnya tahap
akhir packaging. Dengan adanya
project ini maka pengemasan produk yang dihasilkan oleh Penggugat tidak lagi
menggunakan sistem manual, pengemasan sudah menggunakan sistem automatic.
Tergugat ditunjuk oleh Penggugat sebagai maintenance supervisor dalam
Project Java. Selanjutnya Penggugat mengirim Tergugat beserta rekan kerjanya ke
Dubai untuk mengikuti pelatihan untuk project java mulai tanggal 10 - 14
Oktober 2014.
Selama berlangsungnya Project Java, dan sebagai anggota tim Project Java,
Tergugat mempunyai tugas yaitu meng-handle
masalah beroperasinya mesin-mesin, pemeriksaan barang-barang dan pemasangan
mesin-mesin milik perusahaan.
Disamping itu, sebagai salah satu tim dalam project java, Tergugat
mempunyai tugas khusus yaitu menghubungi vendor, supplier dan kontraktor.
Kecuali dalam hal pembelian mesin-mesin yang besar maupun seleksi kontraktor terkait
pekerjaan tersebut, Penggugat tidak melibatkan Tergugat dalam tim ini.
Project java telah dinyatakan berakhir dan selesai terhitung sejak tanggal
9 Juli 2015 tetapi belum dilakukan hand-over
karena masih ada pekerjaan yang kurang sempurna. Terhadap berakhirnya project
java ini secara jelas telah diketahui oleh Tergugat.
Dengan telah ditutup dan berakhirnya project java, ternyata masih ada
barang-barang project yang masih belum dimanfaatkan yaitu berupa satu rangkaian
mesin screw conveyor dimana mesin-mesin ex project java tersebut sebelumnya
masih terletak berantakan, dan Penggugat berniat untuk menjualnya ke pihak
ketiga.
Tetapi sesuai prosedur yang berlaku di lingkungan kerja Penggugat,
apabila ada barang-barang milik Penggugat yang akan dijual ke pihak ketiga,
harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari bagian finance dan management, tidak
terkecuali bagi mesin-mesin ex project java yang akan dijual ke pihak ketiga. Akan
tetapi Tergugat berinisiatif dan mengatakan kepada Penggugat bahwa mesin-mesin
tersebut akan dikembalikan ke PT SBC untuk diperbaiki karena mesin-mesin tersebut
masih dalam masa garansi.
PT. SBC (PT. Sentra Buana Cipta) semula merupakan perusahaan yang
ditunjuk oleh Penggugat sebagai perusahaan dimana Penggugat membeli mesin-mesin
untuk pelaksanaan project java. Namun mengingat project java telah tutup dan
berakhir efektif terhitung sejak tanggal 9 Juli 2015, sehingga secara otomatis
Penggugat menghentikan pembelian mesin-mesin untuk pelaksanaan project java.
Dengan demikian Penggugat sudah tidak mempunyai kepentingan lagi dengan PT. SBC
lagi.
Tanggal 12 Januari 2016, Penggugat mengadakan rapat yang diikuti oleh
Direktur dan Manager PT Fosroc Indonesia. Hasil dari rapat tersebut antara lain
membahas telah ditemukannya pengeluaran barang berupa satu rangkaian mesin
screw conveyor yang dibeli dari PT. SBC dengan harga ± Rp700.000.000,00.
Mesin-mesin tersebut telah dikeluarkan oleh Tergugat pada tanggal 1 September
2015 dengan alasan mesin-mesin akan diperbaiki oleh PT. SBC karena masih
garansi.
Barang-barang yang dikeluarkan oleh Tergugat pada tanggal 1 September
2015 tersebut adalah barang-barang milik Penggugat yaitu berupa satu rangkaian
mesin screw conveyor. Setelah mesin-mesin tersebut keluar dari pabrik untuk
diperbaiki seperti yang pernah disampaikan oleh Tergugat, akan tetapi Tergugat
tidak pernah memberitahu kapan mesin-mesin tersebut selesai diperbaiki dan akan
dikirim kembali ke Penggugat, sehingga melalui memo internal tertanggal 5
Januari 2016 Penggugat menanyakan keberadaan mesinmesin tersebut kepada
Tergugat.
Kemudian, pada tanggal 12 Januari 2016,
Penggugat mengadakan rapat yang dihadiri oleh Direktur dan Manager PT. Fosroc
Indonesia yang membahas permasalahan mengenai satu rangkaian mesin screw
conveyor seharga Rp700.000.000,00. Tetapi sampai saat ini tidak ada laporan
dari Tergugat maupun pihak lain tentang keberadaan mesin-mesin tersebut.
Bentuk pengeluaran barang dari perusahaan, harus melalui prosedur sebagai
berikut:
- Mengisi Surat Pengeluaran
Barang (SPB) yang harus diisi lengkap, dan disetujui oleh departemen head yang
bertanggungjawab atas barang tersebut, tergantung pada tujuan untuk apa barang
tersebut dikeluarkan dari perusahaan;
- Form pengeluaran barang
ditanda-tangani oleh inisiator / pembuat surat jalan, bagian warehouse officer /
supervisor security dan penerima barang;
- Khusus untuk barang-barang
aset, Surat Pengeluaran Barang (SPB) wajib dilampiri foto, FM/proposal
pengajuan write off dan berita acara;
- Fotocopy SPB harus diserahkan
kepada warehouse officer / supervisor untuk di file.
Ternyata pengeluaran mesin-mesin ex project java tersebut tidak melalui
prosedur yang wajar yang biasa diberlakukan di lingkungan kerja Penggugat. Dalam
form SPB yang dibuat oleh Tergugat, hanya ditandatangani oleh Tergugat selaku
maintenance lead, tetapi SPB tidak ada tanda tangan Sdr. Wahyu selaku warehouse
supervisor yang memeriksa ulang barang-barang yang akan keluar sebelum
diserahkan ke bagian security. Artinya pihak Tergugat tidak pernah menyerahkan
form SPB tersebut ke Sdr. Wahyu. Padahal seharusnya form SPB tersebut
diserahkan ke Sdr. Wahyu untuk dicek ulang jenis barang yang keluar dari
perusahaan, kemudian setelah barang keluar, SPB disimpan oleh Sdr. Wahyu untuk
file.
Hingga gugatan ini didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial,
Tergugat sama sekali tidak pernah memberi informasi kepada Penggugat kapan
mesin-mesin sebagaimana tersebut dikirim kembali ke Penggugat. Bahkan
barang-barang berupa mesin-mesin ex project java tersebut tidak diketahui
keberadaannya, karena tidak pernah kembali ke Penggugat.
Inisiatif perbaikan satu rangkaian mesin screw conveyor tersebut berasal
dari Tergugat, akan tetapi sampai sekarang barang tersebut belum pernah
dikembalikan ke perusahaan, bahkan surat pengeluaran barang tersebut disimpan
oleh Tergugat yang seharusnya di serahkan kepada Sdr. Wahyu sebagai supervisor
warehouse. SPB baru diserahkan ke Penggugat pada tanggal 7 Januari 2016.
Apa yang dilakukan oleh Tergugat dalam pengeluaran barang milik Penggugat
tidak sesuai dengan ketentuan yang selama ini berlaku di lingkungan kerja
Penggugat, khususnya dalam prosedur pengeluaran barang, padahal Tergugat
termasuk pekerja yang sudah lama bekerja pada Penggugat, sehingga yang
bersangkutan pastinya dan seharusnya mengetahui prosedur pengeluaran barang.
Tindakan Tergugat tersebut termasuk pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) terutama Pasal 34 tentang Jenis Larangan: “Berikut ini adalah contoh larangan bagi pekerja, namun tidak terbatas pada
hal-hal berikut ini, yang apabila dilanggar, maka pekerja yang bersangkutan
dapat dikenai sanksi PHK karena alasan mendesak yaitu:
8) Dengan sengaja atau tidak sengaja (ceroboh) merusak atau membiarkan
dalam keadaan bahaya, atau menghilangkan barang, dokumen serta fasilitas milik
Perusahaan yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
10) Menyalah-gunakan tanggung-jawab / pekerjaan / jabatannya yang langsung
maupun tidak langsung dapat merugikan perusahaan.”
Telah pula ternyata, pelanggaran tersebut dilakukan oleh Tergugat dalam
tenggang waktu masa berlakunya Surat Peringatan Kedua (SP-2) yang berlaku enam
bulan terhitung sejak tanggal 12 Oktober 2015, karena Tergugat terbukti telah
melakukan validasi purchase / expendure aplication tertanggal 4
Agustus 2015 atas purchase order (PO),
yang diproses oleh Tergugat tanpa sepengetahuan Penggugat adalah PO untuk
pemesanan kepada PT. SBC, sekaligus Tergugat juga yang mengajukan jumlah pembayaran
kepada PT. SBC atas PO tersebut. Padahal faktanya project java tersebut sudah
ditutup dan sudah berakhir efektif sejak tanggal 9 Juli 2015.
Tindakan Tergugat yang melakukan validasi
purchase tertanggal 4 Agustus 2015 demikian, merupakan bentuk indisipliner
dan pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja Bersama,yakni ”melalaikan kewajiban
atau prosedur kerja”, sehingga Tergugat dikenai Surat Peringatan Kedua (SP-2)—yang
berlaku untuk masa enam bulan sejak tanggal diterbitkan. Tetapi, Tergugat
kembali melakukan pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat dalam tenggang waktu
berlakunya Surat Peringatan Kedua (SP-2), maka cukup beralasan secara hukum
apabila Tergugat diputus hubungan kerjanya.
Untuk itu Penggugat mendasarkan gugatannya pada kaedah Pasal 161 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur:
”Dalam hal pekerja / buruh
melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja, setelah kepada pekerja / buruh yang bersangkutan diberikan surat
peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut.”
Penggugat telah berupaya melakukan perundingan bipartit dengan mengundang
Tergugat untuk hadir, mulanya Tergugat tidak hadir namun kemudian tidak
tercapai kesepakatan. Sebagai bagian dari proses pemutusan hubungan kerja,
Tergugat dikenai skorsing, dimana selama menjalani masa skorsing Penggugat
tetap membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima Tergugat setiap
bulannya.
Mengingat perundingan bipartit tidak tercapai kesepakatan, maka ditempuh
upaya mediasi melalui Mediator Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi dan telah
terbit Anjuran tertanggal 31 Mei 2016. Atas Anjuran tersebut, Penggugat menyatakan
menolak seluruh isi Anjuran.
Pihak perusahaan pada akhirnya mengajukan gugatan PHK ini, dengan berani
memberikan kompensasi berupa uang pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156
ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003.
Mengingat hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat telah putus, sehingga
tidak ada kewajiban bagi Penggugat untuk membayar upah dan hak-hak lainnya yang
biasa diterima Tergugat setiap bulannya. Sehingga cukup alasan secara hukum
apabila upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima Tergugat untuk dihentikan
terhitung sejak pemutusan hubungan kerja ditetapkan, sesuai ketentuan Pasal 93
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003: “Upah tidak dibayar apabila pekerja / buruh tidak melakukan pekerjaan.”
Pihak perusahaan menambahkan, apabila hubungan kerja tetap dilanjutkan
akan menimbulkan ketidakharmonisan kerja serta menimbulkan preseden yang buruk
bagi Penggugat maupun pekerja lainnya, serta mengganggu ketenangan bekerja dan
ketenangan berusaha (industrial peace)
di lingkungan kerja Penggugat.
Terhadap gugatan tersebut, pihak Pekerja mengajukan gugatan-balik (rekonpensi),
dimana selanjutnya Pengadilan Hubungan Industrial Bandung Kelas IA Khusus kemudian
menjatuhkan putusan Nomor 117/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Bdg., tanggal 30 November
2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Bahwa berdasarkan fakta
tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat Tergugat telah lalai dalam
melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya sebagai PIC dalam perbaikan
mesin screw tersebut;
“MENGADILI :
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melanggar Pasal 34 romawi II angka 9 PKB PT.
Fosroc Indonesia dan dikenakan sanksi surat peringatan ke 3 (tiga);
3. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Dalam Rekonvesi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat
Rekonvensi belum terputus;
3. Menghukum Tergugat Rekonvensi memanggil Penggugat Rekonvensi untuk bekerja
kembali di PT. Fosroc Indonesia dengan mendapatkan upah dan hak-hak lainnya
yang biasa diterima oleh Penggugat Rekonvensi paling lambat 14 hari sejak
putusan ini dibacakan;
4. Menolak gugatan Penggugat Rekonvpensi untuk selain dan selebihnya.”
Pihak pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan
bahwa sampai saat ini telah lebih dari satu tahun, namun keberadaan mesin-mesin
tersebut belum diketahui. Begitupula antara amar putusan dan pertimbangan hukum
Majelis Hakim PHI, dinilai tidak sinkron.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar
putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat
dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal
23 Desember 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 10 Januari 2017 dihubungkan
dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus telah salah menerapkan hukum
dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Judex Facti tidak memberikan pertimbangan yang cukup terhadap fakta
barang-barang berupa mesin-mesin untuk keperluan pabrikasi dan repair (al.
screw conveyor) yang dikeluarkan Termohon Kasasi (vide bukti P.21.A) ke PT SBC
yang tidak sesuai dengan prosedur, yaitu tidak ditandatangani bagian
warehouse officer;
- Bahwa ternyata barang / mesin yang dikeluarkan Termohon Kasasi
sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya (P-13A, P-14.B);
- Bahwa dengan demikian Judex Facti yang hanya mempertimbangkan minutes
of meeting (bukti T.10, T.-13) telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian
sehingga Termohon Kasasi tepat dan beralasan hukum telah melanggar prosedur
pengeluaran barang, yang nilai kerugiannya mencapai Rp700.000.000,00 (tujuh
ratus juta rupiah);
- Bahwa beralasan hukum Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat karena
telah melakukan pelanggaran berdasarkan ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003, dan telah dikenai SP II, dengan hak kompensasi:
- UP = 1 x 9 x Rp3.704.000,00 = Rp33.336.000,00;
- UPMK = 8 x Rp3.704.000,00 = Rp29.632.000,00;
- UPH = 15% x Rp62.968.000,00 = Rp 9.445.200,00;
= Rp72.413.200,00;
- Bahwa Tergugat tidak berhak atas upah skorsing sesuai surat skorsing
tanggal 18 Januari 2016, karena upah skorsing sudah dibayar oleh Penggugat
kepada Tergugat sampai dengan putusan Judex Facti diucapkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup
alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. FOSROC
INDONESIA, tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus Nomor 117/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Bdg., tanggal
30 November 2016 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar
sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
“M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. FOSROC INDONESIA
tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Bandung Kelas IA Khusus Nomor 117/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Bdg.,tanggal 30 November
2016;
“MENGADILI SENDIRI:
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud
Pasal 161 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja sejak putusan Judex Facti diucapkan;
4. Menghukum Penggugat membayar uang kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja
kepada Tergugat sebesar Rp72.413.200,00 (tujuh puluh dua juta empat ratus tiga
belas ribu dua ratus rupiah);
5. Menyatakan Tergugat tidak berhak lagi atas pembayaran upah
skorsing berupa upah dan hak lainnya yang biasa diterima Tergugat setiap bulannya
sejak putusan Judex Facti diucapkan;
Dalam Rekonvensi:
- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.